Minggu, 28 Oktober 2012

Sepenggal Cerita Dari Lima Negeri (2)




Sebelum melakukan perjalanan, kami memesan tiket lima bulan sebelumnya. Nyocokin waktu dan empat kepala nggak klop-klop. Kristo, ujian skripsi, sementara Dita sudah masuk kuliah. Saya dan Mbak Yosi juga kerepotan menyusun jadwal lantaran kesibukan pekerjaan kami masing-masing.

Tapi begitulah, biar badan topan melanda, perjalanan back packer tetap harus kami teruskan. Mencari tiket melalui internet memang tak mudah. Cari harga tiket yang murah eh...baliknya yang bujubune mahalnya. Begitu terus. Jadi teman-teman yang ingin bepergian bareng-bareng,  mencari tiket pesawat  juga nggak gampang lho. Padahal kami sudah jauh-jauh hari memburu tiket.

Tapi sebagaimana pengalaman yang sudah-sudah, dewi keberuntungan masih mampir kepada tim nano-nano.  Kami mendapat tiket pulang pergi Jakarta-Singapura-Hongkong-Singapura-Yogyakarta dengan harga  Rp 2,7 juta. Murah atau nggak? Yang jelas, apa boleh buat harga ini jauh lebih murah ketimbang tiket PP Jakarta-Raja Ampat yang konon bisa Rp 10 juta (pingsan deh). Hiks hikss.... (Raja Ampat adalah lokasi impian saya yang karena kendala kantong belum juga saya singgahi)  Merasa bersalah bahwa saya belum menyinggahi beberapa tempat top di Indonesia antara lain Wakatobi, Raja Ampat, Pulau Komodo, dan Pulau Derawan. Namun perasaan bersalah saya terhadap Papua  terwakili atas kunjungan saya ke Timika dan Sorong, pulau kepala burung yang letaknya di ujung Timur Indonesia.

Dengan tiket di tangan senyum kami melebar. Urusan ribet pertiketan sudah teratasi. Lima negara sudah ada di pelupuk mata. Untuk semetara kami loncat jingkrak. Yeaaaahhh....


Yogyakarta, 27 Oktober 2012 


Jumat, 19 Oktober 2012

Tuhan, Apakah Kau Pernah Jatuh Cinta?



Tentu, saya tidak sedang meratap pada Tuhan.  Saya cuma penasaran saja, Tuhan itu kayak apa ya? Dia laki-laki atau perempuan. Kalau dia laki-laki apakah dia banyak memihak kaumnya jika ada yang tertimpa masalah, dan itu  melibatkan perempuan. Sebaliknya kalau dia perempuan, apakah dia juga membabi buta cuma memihak kaum hawa, jika berperkara dengan kaum adam.                                                                                                              
Saya persempit masalah jika kasusnya soal hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama, misalnya. Dia berada di pihak siapa ya? Apakah Tuhan punya agama? Kalau punya, agamanya apa ya hehehe. Setelah itu pertanyaan saya selanjutnya, siapa yang Dia bela jika ada yang mengalami masalah kepentok soal beda agama ini. Apakah Tuhan pernah jatuh cinta? Jadi, dengan begitu  dia punya pengalaman berada di pihak mana ketika dua orang jatuh cinta berpekara? Ini  mungkin pertanyaan bodoh. juga pertanyaan tidak mutu yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan. Tapi saya juga berhak sesekali mengajukan pertanyaan maha bodoh ini, kan? Menurut kalian  bagaimana?


Yogyakarta, 17 Oktober 2012





Sepenggal Cerita dari Lima Negeri (1)



Pengembaraan saya tahun ini berlabuh di lima negara. Hongkong, Macau, Senchen sebenarnya  ketiganya di bawah pemerintah Republik Rakyat China, namun memiliki otoritas sendiri. Tiga wilayah itu memiliki mata uang sendiri dolar hongkong, pataca, dan rimimbi. Dua negara  lainnya yang saya singgahi, apa boleh buat Singapura dan Malaysia yang sudah kerap saya kunjungi..

Mengapa saya memilih negara itu? Kecuali Senchen, empat negara itu  tak memerlukan ijin visa. Ini lantaran negara kita sudah memiliki MoU dengan negara itu. Nah, khusus untuk Senchen, kita bisa masuk ke negara itu dengan mengurus ke kantor imigrasi mereka. Prosesnya tidak begitu lama, kira-kira satu jam dengan membayar biaya sekitar Rp 250.000, jika dikurskan dalam rupiah.

Teman perjalanan yang saya pilih kali cukup berwarna. Dita, anak kuliahan berumur 19 tahun. Dia bepergian dengan ibunya Yosi, berusia 45 tahun, dan Kristo berusia 23 tahun. Saya sendiri 30-an tahun. Asyik, kan, jika melihat komposisi nano-nano tim ini? Dalam cerita perjalanan nanti akan saya ceritakan nano-nanonya tim baik dari kesukaan memilih makanan, memutuskan transportasi, hingga kesukaan me milih obyek wisata yang kami singgahi. Lumayan seru, deh!


Jumat, 05 Oktober 2012

Kelelahan

Sudah beberapa bulan ini saya kayak gasingan. Muter terus...Bukan muter di tempat, sih. Tapi berpinndah-pindah lokasi untuk mengerjakan beberapa pekerjaan. Tentu kaitannya dengan dunia tulis menulis.

Karena aktifitas saya yang begitu padat, saya kelelahan. Saya memang agak lalai belakangan ini. Pertama, tidak minum vitamin dan nyaris tak menyentuh buah segar.  Kedua,melupakan meditasi. Ketiga tidak berolahraga. Pengaruhnya besar sekali lho. Pikiran jadi riuh, badan gampang lelah, cepat mengantuk, dan kurang berpikir jernih.


Mungkin ini waktu saya untuk diam. Masuk ke dalam diri. Menziarahi batin.



Yogyakarta, 5 Oktober  2012

Ngongping 360


Damai



Senin, 24 September 2012

Hongkong Pada Suatu Siang







Aneh Nggak, Sih Saya Kagok Menulis


Sudah lama banget saya nggak menulis. Aneh nggak, sih kalau saya kagok menulis. Mengutip sebuah iklan, mana ...mana actionnya? Saya banyak bergerak, tapi menulis justru tengah tumpul. Hiks :(

Bukannya tidak ada yang perlu diceritakan. Cerita saya justru buanyak. Tapi mulai dari mana ya? Ada yang punya usul?


Yogyakarta, 24 September 2012

Rabu, 08 Agustus 2012

Lurik

Sudah tujuh tahun ini saya berkutat dengan lurik. Rajin membeli bahan lurik dan memakainya untuk baju, dompet, tas dan lain-lain. Belakangan lantaran banyak teman yang tertarik,  saya memproduksi dalam jumlah banyak dan menjualnya.

Lurik jaman dulu jelas berbeda dengan lurik sekarang. Dulu pakem warnanya itu-itu saja. Suram,  muram dan menunjukkan kelas bagi abdi dalem yang memakainya. Lain abdi dalem,  lain anak raja atau raja yang mengenakannya. Corak dan warna memiliki  arti yang berbeda. Misalnya, lurik gerimis warna hitam, biasanya dikenakan raja ketika tengah berduka.

Lurik warna biru dikenakan para abdi dalem untuk kelas tertentu. Tapi lurik sekarang warnanya ngejreng nyeter dan lebih meriah. Jaman rupanya membuat pengrajin lurik bertoleransi dengan perubahan jaman. Orang muda bagaimanapun   menjadi pasar yang perlu dilirik pada era sekarang.

Pada tahun 70-an lurik pernah berjaya.  Pengrajin bergairah karena permintaan pasar meningkat. Tercatat di kawasan Krapyak ada 80-an pengrajin lurik tenun yang menggantungkan mata pencaharian mereka dari tenun benang buatan tangan manusia ini. Industrialisasi sekitar tahun 1980 memukul pasar lurik.Mesin pengganti tenaga manusia lebih laku karena murah harganya.



Di kawasan Krapyak itu, dari 80-an pengrajin, tinggal satu yang bisnis lurik-nya masih berdetak. Itupun membayar pengrajinnya dengan ongkos yang sangat murah. Saya sampai tercekat ketika si pengrajin mengaku cumamendapat gaji Rp  488.000 sekitar lima tahun lalu. Waduh. Kok tega ya pemiliknya?Cerita punya cerita, lurik tenun ini mampu bertahan lantaran satu sekolah yakni SMA Tarakanita dan keraton Yogyakarta memesan di sini. Wah, saya jadi berpikir, kalau beberapa sekolah saja memesan lurik di sini, tentu bukan tak mungkin jika akan ada pabrik tenun yang memulai usahanya kembali.

Syukurlah sekitar tiga tahun ini, pengrajin lurik mulai berdetak. Meski mereka menjual dengan harga sangat mahal. Saya memilih menjual tak terlalu mahal, agar ada multiple efeknya. Makin laris, makin ada permintaan. Dengan demikian, pengusaha lurik yang dulu ambruk bisa membuka kembali pabriknya. Apakah mungkin ya? Nah kalau kalian mau lurik tenun ini menjadi aset bangsa. Yuk, membeli lurik.


Yogyakarta, tulisan lama tapi belum diposting.

Sekitar sebulan lalu.


Senin, 16 Juli 2012

Panitia Meditasi

Sebulan ini saya menjadi panitia penyelenggaraan meditasi di Muntilan, Magelang. Panitianya ya cuma saya sendiri. Wong tugasnya ringan. Cuma menerima telepon dari peserta yang ingin ikut, mengirim dan menjawab SMS, mengirimkan email formulir pendaftaran kecalon peserta,  menerima kembali formulir, mencatat siapa yang akan hadir, lalu mengirimkan semua resume kepada pembimbing meditasi, Romo Sudrijanta.

Saya tidak merasa terbebani atau merasa kerepotan. Seperti orang bernafas saja. Otomatis mengirup udara lalu mengeluarkannya. Sampai H-5, peserta sudah mencapai 35. Not bad-lah, mengingat persiapan cuma sebulan kurang. Bisa jadi saya tak terlalu kerepotan lantaran sejak tiga tahun terakhir ini, saya menjadi peserta retret. Jadi sudah tahu gambarannya seperti apa.

Jujur saja, dulu saya kerap ada dalam kepanitiaan berbagai kegiatan. Seminar nasional, retret, acara tahun baru dll. Saking banyaknya saya sampai lupa.  Tapi dulu kayaknya repot banget, sampai lupa waktu, rapat sampai malam hingga dini hari. Tapi hasilnya ya begitu-begitu saja tuh. 

Pada saat bersamaan ini,  saya juga mengadakan arisan beberapa grup. Mengumpulkan dana, menghubungi teman-teman. Herannya kok juga tidak merasa terbebani. Jawabannya, saya memang suka melakukannya dan berada dalam kesadaran. Tidak merasa terbebani. Jadi enjoy saja. 


Yogyakarta, 17 Juli 2012

Pukul 10.53

Selasa, 10 Juli 2012

Jalan kaki dan belanja


kampanye jalan kaki di jogja

Setelah renang, senam, dan jogging, saya dan teman Ela mulai mengaktifkan kaki untuk aktifitas radius  1 kilometer. Kami memulai jalan kaki untuk membeli keperluan belanja. Luma yan  jauh jaraknya. Kira-kira sekilo jauhnya. Jadi pulang pergi dua kilometer. Selain berkeringat, tubuh ini rasanya segar.

Hari-hari sebelumya, kami kemana-mana naik motor. Makan yang jaraknya cuma 300 meter saja kami naik motor. Ada beberapa alasan kami menggunakan kaki. Pertama, dengan naik motor maka  kami telah menyumbang polusi udara. Kedua, boros menggunakan bahan bakar minyak. Menurut data (saya lupa sumbernya), Indonesia cuma punya cadangan minyak mentah  tinggal 23 tahun lagi. Tidak ada salahnya bukan kalau mulai melatih diri berhemat sampai akhirnya negeri ini benar-benar kehabisan cadangan minyak. Ketiga, ini yang menurut kami paling penting, alasan kesehatan. Berjalan kaki menggerakkan hampir seluruh badan. Badan rasanya segar.


Begitu jalan jauh, terasa badan ini lebih lentur. Punggung saya yang biasanya sakit, juga lumayan membaik. Kenapa nggak dari dulu-dulu saya praktekkan ya. Yang paling penting dari semuanyaadalah semoga kami berdua konsisten. Bukan hangat-hangat tai pitik hehhe.

Yogyakarta, 10 Juli 2012

Minggu, 08 Juli 2012

Puding Pepaya

Pernah lihat pepaya didalamnya ada puding?.Wah rasanya enak banget. Saya bisa bikin pudding, tapi yang dikombinasi dengan pepaya belum pernah tahu. Saya temukan puding berbalut pepaya ini di sebuah pesta rakyat Solo. Pesta rakyatnya sederhana. Di sebuah lapangan besar, pengunjung tak begitu berjubel, tapi variasi barang yang ditawarkan beraneka ragam. 

Saya memang paling doyan mendatangi pesta rakyat semacam ini. Pertama, saya rakyat biasa. Kedua, saya bisa mengetahui kreatifitas masyarakat Indonesia dalam  menciptakan ide baru dalam hal  camilan, baju-baju, batik, asesoris.  Ketiga, saya bisa menyantap makanan di sana, sembari ngobrol dengan pemiliknya. Tanya ini, tanya itu. Interaksi semacam ini sungguh mengasyikkan. Ada kekeluargaan di sana, tidak kaku.  Serasa lebih membumi.  Kami antara penjual dan pembeli bisa saling menyapa,  ngobrol ngalur ngidul tentang banyak hal. Pokoknya  asyik ciamik.


Puding pepaya itu dijual sangat murah,  Rp 1500 yang ukuran kecil. Untuk ukuran besarnya,  Rp 2500. Mengapa saya bilang murah? Karena rasa enak yang diberikan tak sebanding dengan harganya. Jadi saya bilang terlalu murah.  Pudingnya warna hijau dengan tambahan santan. Puding jadi tidak begitu enek karena dibaluti pepaya.

Begitu luar biasanya Indonesia ini. Makanan apa saja bisa ditemukan dan dijadikan macam-macam makanan yang punya nilai jual. Tapi dengan kekayaan yang dimiliki ini, kenapa negara ini masih miskin ya? Ah sudahlah...membahas negara miskin dan segala permasalahannya, malah bikin puding jadi tak enak. Mari kita bicara puding saja. :)


Selagi menjajal puding pepaya, pemilik lapak menawari saya minuman teh. "Dijamin enak mbak, tehnya  sangat lain," kata dia. Tuh kan, nongkrong itu bisa kemana-mana dapetnya. Ya ilmu, kenalan baru, dan sajian teh. Saya penasaran. Teh bukannya rasanya begitu-begitu saja. Saya pun menerima satu cangkir teh itu. Begitu saya coba. Alamakjan. Sepertinya itu teh terenak yang pernah saya cicipi  selama ini, deh. Mau tahu rahasianya? Dengan sedikit membujuk, saya minta rahasia teh enak itu. Ternyata ada empat merk teh yang di oplos menjadi satu. Nah, oplosannya apa, "Itu rahasia," kata si ibu. Oke baiklah. Minimal saya cukup tahu sebagian kecil rahasianya. Jadi akan saya praktekkan di rumah.

Entah kenapa dari dulu saya punya mimpi punya restoran sendiri. Siapa tahu ilmu yang saya peroleh hari itu  kelak ada manfaatnya.Misalnya, bisa mencipta teh dengan rasa terbaik hehehe.

Begitu  pulang ke rumah,  ada semangat baru untuk membuat karya. Kalau mereka punya ide segudang, apa ya yang bisa kubuat untuk Indonesiaku. Minimal saya melakukannya untuk siapa saja yang membaca tulisan ini. Iya kan? Hehehe



Yogyakarta, 9 Juli 2012


Puku; 11.33

   

Makanan Sela

cendol hitam di kebumen. enak banget
Kita mengenal makanan pagi, siang, dan malam. Tapi saya menambahkan makanan sela di antara tiga makanan pokok itu. Mengapa makanan sela? Karena memang dia bukan termasuk jenis menu untuk makan pagi, siang, atau malam. Makanan ini di sela-sela makanan utama kita. Berapa banyak makanan sela yang kita miliki? Saya menyebutnya antara lain bakso, gado-gado, lotek, rujak cingur, empk-empek, tahu tek, tahu campur, tahu gejrot. Belum lagi minumannya. Ada cendol, es campur, es dong-dong, es serut. Weleh buanyak banget.  




Makanan tradisional yang  Indonesia miliki  begitu beragam, enak-enak, dan sangat khas rasa dan aromanya. Belum lagi makanan utama seperti nasi goreng, sate kambing, nasi gudeg,  gule kambing, rendang. Tapi yang sungguh mengherankan, kata Profesor Glinka SVD, guru besar antropologi ragawi dari Universitas Airlangga, dengan banyaknya jenis makanan yang Indonesia  miliki dan rasanya enak-enak, ternyata  KFC dan Mc Donald masih laku. "Saya tidak tahu dan belum ketemu jawabannya," ujar Prof Glinka yang asal Polandia.



Kok saya sepakat dengan pendapat beliau. Ada apa dengan masyarakat kita ya? Termasuk saya yang masih sesekali menyantap Mc Donald.  Mc Donald rasanya begitu saja. Nggak ada yang istimewa. Coba kalau kita menyantap rendang, misalnya. Berapa banyak macam bumbu untuk masakan rendang. Konon semua bumbu yang ada di dapur kita adalah bumbu memasak rendang. Jumlahnya lebih dari 15 macam, mulai dari rempah-rempah sampai bawang merah, bawang putih, laos dan kawan-kawan. Betapa kaya rasa masakan itu. Sementara ayam goreng? Paling banter juga lima jenis  bumbunya.

nasi liwet solo kesukaan saya. masih pake pincuk makannya

Tapi kenapa Mc Donald dan KFC tak pernah sepi pengunjung? Ada yang tahu jawabannya? Kalau saya  sih menduga orang datang ke Mc Donald karena membeli image, membeli gengsi, membeli tempat. Tidak ada hubungannya dengan  rasanya yang enak. Wong makanan yang kita miliki jauh lebih enak kok. Mau sharing di sini?



Yogyakarta, 9 Juli 2012






es lilin. favorit saya waktu kecil. untung masih ada sampai sekarang



Panggung Catwalk dan Dunia Nyata Kita

Jumat pekan lalu saya menghadiri Jogja Fashion Week di JEC. Perhatian saya justru bukan di panggungnya yang gebyar gebyar, tapi aktivitas di belakang panggungnya. Apa yang dilakoni para modelnya? Bagaimana mereka berdandan? Interaksi mereka dengan sekitarnya. Kesibukan para pemakai dress, perancang busana dengan para modelnya.

Dan benar saja. Riweh banget. Apalagi menjelang pementasan berlangsung. Koreografer sibuk mengarahkan  para model, petugas bolak-balik mengabsen yang belum jua pepak jumlahnya. Si model cari-cari baju yang akan dipakai tapi belum jua ketemu  perancang busananya. Setelah ketemu, baju yang dikenakan beda dengan rencana semula. Nah, begitu musik diputar menjelang pementasan, nyaris hampir  setiap pribadi punya tegangan tinggi. "Ya gampang marah, nervous, pokoknya hectic banget," kata seorang model, Valentina Pramudita.

Lain panggung belakang, lain panggung depan. Begitu mereka berhadapan dengan penonton, langsung saja kemarahan dan keribetan itu menguap. Gantinya, wajah senyam senyum, kadang-kadang terlihat gigi dan senyum lebar mereka yang bikin mak nyesss dada ini. Pula tubuh lenggak lenggok lemah gemulai, dengan dandanan elegan plus baju yang dikenakan "wah" banget. Semua terlihat sempurna. Penonton pun bertepuk tangan untuk kesempurnaan itu.

Saya memaknai  dunia panggung dan belakang panggung itu dalam dunia keseharian kita. Dunia nyata. Betapa  kerapkali kita mengenakan  topeng kita setiap hari seperti model  catwalk di panggung. Serba sempurna, indah, nyaris tiada cacat. Padahal begitu masuk dunia nyata woooww  tak semudah dan seindah itu. Itulah dunia di belakang panggung. Dunia yang sebenarnya. Siapa yang tahu di balik perkawinan  sempurna, mobil bagus, rumah bagus, jabatan bagus, ternyata mereka tak pernah berkomunikasi satu sama lain, pisah ranjang, utang menumpuk. Siapa pula mengira di balik perkawinan yang terlihat bahagia, tampak dari luar, mereka dipusingkan kartu kredit dengan utang ratusan juta rupiah. Siapa yang tahu, di balik kesempurnaan itu, kehidupan seksual pasangan itu seperti sayur tanpa garam. Hambar dan kering. Yang satu doyan seks, pasangannya  nggak. Akhirnya "jajan" kemana-mana. Selingkuh kemana-mana.


Siapa yang tahu pula  di balik perkawinan bahagia ada kesenjangan materi antara suami dan istri yang mengganggu hubungan perkawinan mereka. Belum lagi persoalan perbedaan karakter yang sulit disatukan. Yang satu rapi, satunya sembarangan. Satunya sukanya ke mall, pasangannya suka menyepi. Satunya doyan menghamburkan uang, pasangannya begitu pintar menyimpan uang. Satunya dominan, pasangannya ngalahan. Keributan kecil akhirnya menjalar kemana-mana.

Itu dunia pernikahan. Siapa mengira bahwa seorang pejabat politik yang begitu memukau banyak publik tetapi melakukan kekerasan dalam rumah tangga dengan sang istri. Seorang perempuan atau laki-laki dengan tampilan cashing baik jabatan tinggi tetapi mengidap penyakit HIV. Siapa yang juga tahu, ketika seseorang menikah dengan pasangannya, ada hati yang menangis karena pernikahan itu terjadi karena merebut pacar, suami, atau istrinya. 


Sialnya, kita kerap membicarakan orang lain, sementara diri sendiri sebagai pelakunya. Begitu banyaknya persoalan yang menimpa diri ini, tetapi masih sibuk mengurusi orang lain. Misalnya, ada teman yang saya tahu jelas pernikahannya bermasalah, masih sempat-sempatnya dia menanyakan,"Kenapa kamu nggak menikah? Enak lho menikah itu. Punya anak.Kok nggak laku-laku" Atau saya juga tahu pernikahannya bermasalah, masih sempat-sempatnya bilang. "Tidak menikah itu bikin sakit kanker lho." Welah. Lha kalau banyak saya temukan orang menikah itu kena kanker...terus itu kategorinya apa?

Yang paling bikin saya mangap ketika ada teman juga bilang "Jadi suster saja, ketimbang nggak laku." Padahal saya juga tahu pernikahannya juga nggak bagus-bagus amat. Lagipula, pemikiran bahwa orang sendiri itu harus menjadi biarawati itu, pemikiran tolol. Memangnya, kesendirian itu harus menjadi biarawati. Memangnya biarawati itu manusia sempurna?


Meski saya tahu dunia sesungguhnya begitu ruwetnya, banyak orang  memilih pura-pura bahagia meski tahu sesungguhnya kenyataannya tidak begitu. Ada pula seseorang yang tidak tahu kalau dirinya  tidak bahagia, tetapi menganggap dirinya baik-baik saja. Itu lebih kacau lagi. Akhirnya mereka depresi.

Ketika segala sesuatunya  tak tertahankan selama bertahun-tahun ledakan pun muncul. Seseorang depresi bahkan bisa berujung kehilangan kewarasan.  Seperti para model di dunia panggung. Ketika dia  turun panggung tak menyadari bahwa panggung hanyalah panggung, maka kelak di dunia nyata dia seperti layang-layang putus. Kehilangan arah. Tapi kalau dia menyadari bahwa panggung hanyalah panggung. Begitu dia turun panggung, menjadi dirinya kembali tentu  dia tak akan kehilangan dirinya.

Dalam dunia meditasi yang saya ikuti bahagia atau sedih itu sama-sama sumber penderitaan. Orang akan bebas dari penderitaan kalau pikiran dan aku -nya lenyap. Bagaimana caranya? Ya melatih kesadaran dari saat ke saat.


Yogyakarta, 9 Juli 2012

Pukul 08.25



Rabu, 04 Juli 2012

Pinus



Pucuk pinus menjulang tinggi. Daunnya kecil-kecil lembut. Indah dipandang mata. Apalagi kalau baris berjejer. Pepohonan pinus sebenarnya ada di mana-mana. Tapi begitu melewati Kabupaten Cilacap, jejeran pinus itu sungguh memikat hati saya.



Segera saja, saya meminta sopir mobil menghentikan perjalanan kami. Bersama adek saya Kristo, kami berdua memotret pinus-pinus yang berjejer. Menikmati batangnya yang menjulur hingga leher kami terdongak ke atas. Jauh sekali. Di sela-sela pohon, langit cerah. Cantik.


Setelah puas menikmati pinusnya, tak lupa memotret diri. Sungguh narsis. Tapi ciamik, kawan memotret diri berlatar belakang pinus. Bagi saya berwisata tak harus menuju tempat-tempat hebat. Pinus-pinus yang meneduhkan ini sudah membuat perjalanan melancong juga terasa indah. Coba saja kalau tidak percaya.


Yogyakarta, 5 Juli 2012

Senin, 02 Juli 2012

Nusa Kambangan (2)

lorong karang
pantai karang bolong. tuh karena ada bolongan di ujung pulau kecil itu
wisata sebanyak ini mana cukup sejam. Jadi saya pasti akan kembali




Nusa Kambangan (1)

Nusa Kambangan, jelas saya tahu,  tempat para narapidana "dibuang" ke sini. Ada Tommy Soeharto, Bob Hasan dll. Tapi karena cuma mendengar namanya yang kesohor dan identik dengan kejahatan, maka saya sampai melupakan pertanyaan ini.  Pulau Nusa Kambangan itu kayak apa sih wilayahnya, pulaunya ada orang atau tidak, bagaimana kalau mau kesana?

Sampai Sabtu, pekan kemarin saya datang ke Cilacap. Sebenarnya tujuan utama saya menghadiri pernikahan sahabat saya Lutfi dan Yudi. Tapi seperti kata pepatah, "sekali mendayung dua pulau terlampaui" jadi mengapa saya tak mengintip Nusa Kambangan yang tersohor itu sekalian?



Tak sulit mencari Nusa Kambangan. dari Kota Cilacap cuma 6 kilometer jauhnya. Begitu tiba di sana, pemilik perahu tradisional sudah menawari kami menyeberang Nusa Kambangan. Dari daratan, Nusa Kambangan seperti perawan yang kesepian. Kalaupun ada penduduk di sekitar itu, mereka menjual makanan dan minuman air degan saja. 



Laut yang mengitari Nusa Kambangan jernih meski  berwarna agak coklatan. Jelas tak sebiru laut di sekitar Pantai Pasir Putih Lampung yang agak mirip dengan Nusa Kambangan.


Dengan waktu tempuh sekitar 15 menit dari daratan ke Nusa Kambangan,  lumayanlah perjalanan saya  menikmati air, kilang minyak, dan tentu langit. Biaya menyeberangnya nggak terlalu mahal lho. Satu orang Rp 20.000 cuma diisi saya dan teman. Kalau sama rombongan banyak biayanya Rp 15.000. Cukup ramah buat kocek-lah. 



Ketika kami mulai menyeberang pukul  17.00 saya cukup kaget bulan sudah mulai kentara. Jadi dari perahu itu, mata saya bergantian menengadah ke langit dan ke laut. Aih elok benar. Sempurna betul perjalanan singkat ini.

Begitu tiba di pulau, nyaris tak ada apa-apa. Ada goa di atas pulau itu. Tapi karena sudah menjelang Magrib saya urungkan niat. Tak sampai sejam saya berkeliling  Nusa Kambangan. Ada banyak titik yang belum terexplorasi. Meski begitu saya tetap puas. Perjalanan ke  Nusa Kambangan berjalan lancar. Saya pasti akan kembali.






Yogyakarta, 2 Juli 2012

Pukul 11.10


Lutfi Menikah

Seorang sahabat menikah. Lutfi namanya. Dia teman sekos saya kala di Jogja. Teman bobo bareng, makan bareng, main bareng, dan dongggg....dandan bareng. Rumahnya di Sidareja, sejam dari Cilacap kalau  jalanan normal. Lantaran ada perbaikan jalan, perjalanan molor jadi dua jam. Jarak Jogja-Cilacap  dengan kendaraan sendiri mencapai 5 jam. Apes memang karena di Kebumen, juga sedang perbaikan jalan. Total perjalanan yang saya tempuh tujuh jam. 

Berangkat umun-umun sekitar pukul 5.30 saya tentu bersemangat sekali. Membayangkan, seperti apa ya kalau dia menikah? Penasaran. Umur Upichan, saya biasa memanggilnya begitu, jauh di bawah saya. Meski begitu, dia juga memanggil nama saya tanpa embel-embel "mbak". Entah kenapa, saya suka betul dan merasa nyaman. Memang dia memanggil nama kesayangan saya "Yuyiiit". Dengan panggilan itu kami  merasa  setara tanpa ada diskriminasi usia. Usia tua kadang-kadang mengintimidasi saya jika berhadapan dengan mereka yang jauh lebih muda. Hehe.


Perkenalan kami yang sesungguhnya  cukup unik. Kami sama-sama satu kos meski tanpa janjian. Dia wartawan sama seperti saya tapi belum kenal satu sama lain. Dia kaget satu kos dengan saya dan sudah kadung menerima informasi bahwa saya sombong. Hihihi. Jadi selama enam bulan itu, baik saya dan dia sama-sama cuma ber-hai-hai tanpa pernah ngobrol bareng. Basa basi banget. Tapi waktu tidak pernah berdusta. Alam semesta mempertemukan kami pada buku dan film. 


Di sebuah sore, kami berpapasan di gang kos dan mengobrol-lah kami tentang sebuah buku.  Saya cukup terkejut semuda dia referensi buku dan filmnyanya banyak. Jadi nyambung deh.  Dari diskusi buku dan film ini, pertemanan kami menjalar kemana-mana. Nonton bareng,  belanja bareng, macak (dandan) bareng, sampai mendengarkan Ebiet G Ade bareng. 




Kesukaan kami juga nyaris sama. Misalnya, kami berdua sama-sama suka coklat sore-sore atau nge-teh di pagi hari berteman lagu Ebiet G Ade. Pernah lho suatu sore hujan turun rintik-rintik, lagu Ebiet mengalun, berteman  coklat, kami berdua sama-sama diaaamm. Lama sekali. Terus...ketika kami sama-sama membuka mulut nyerocos memuji syair Ebiet yang begitu dahsyat. Dan menyerempet ke soal lelaki yang tak kunjung jua kami temukan. Setelah itu kami berdua tertawa  lepas. Saya rasa, itulah momen indah pertemanan kami berdua selama hampir dua tahun kos bersama.

Karena saya suka memasak, sementara dia tidak, maka dia yang menjadi "korban" icip-icip masakan saya. Saya punya menu yang katanya dia suka. Martabak mie keju. Jadilah menu itu trademark" di kos. Itu menu makanan yang saya karang-karang sendiri. Tapi kok ya enak ya? Hihihihi.

Dari semua persamaan makanan, buku,dan film, saya mengenal pribadinya yang lucu. Mungkin begitu juga dia menilai saya. Alhasil, ketika bersama,  kami lebih banyak tertawa.  Tapi kami juga sama-sama naif, kadang-kadang. Terutama bicara soal laki-laki. Hingga saya tahu kemudian, setahun setelah berpisah, dia menjadi wartawan The Jakarta Post di Jakarta, dia tak lagi naif soal laki-laki. Dia lebih maju dari saya dalam hal laki-laki. Dia berani memilih lelaki pilihannya untuk berbagi bersama, sementara saya tidak. Saya masih menulis, dan saya masih sendiri. Tapi saya rasa,  sama menyenangkannya dengan pilihannya untuk  menikah.  


Entahlah, apakah kami kelak masih bisa traveling bareng meski dia sudah punya momongan atau suami.  Atau   masihkah kami bisa tidur bersama ngobrol sampai pagi untuk berbagi cerita tentang persahabatan. Saya sadar kemungkinan ini akan kecil lantaran dia kini punya label "milik orang lain." Cuma waktu yang bisa menjawabnya. So...Selamat menjadi bagian dari "penjara kecil" yang semoga bisa membahagiakanmu, Upichan. Bahagia melihatmu berani memilih Yudhi, sebagai bagian dari hidupmu.  




Yogyakarta, 2 Juli 2012 


Pukul 20.02





Dan kini dia sudah milik orang lain.

Minggu, 01 Juli 2012

Rencana Live In (2)

Rencana live in saya nanti tentu tak seperti yang saya lakoni di bangku kuliah dulu. Live in yang saya maksudkan adalah pergi ke suatu tempat,  kemungkinan besar  kawasan Borobudur, Magelang. Saya berencana nge-kos di sana selama sepekan. Ada tiga hal yang ingin saya kerjakan di sana. Menulis, jogging, puasa, dan meditasi :)

Semoga sepulang dari sana, tubuh lebih segara dan konsistensi menulis tetap terjaga dengan baik. Karena ini yang saya perlukan belakangan ini. Ada yang mau gabung dengan saya?


Yogyakarta, 1 Juli 2012


Selasa, 26 Juni 2012

Rencana Live In (1)


foto : Bayu
Saya agak kehilangan fokus beberapa pekan ini. Terutama menulis. Produktivitas menulis saya jeblok. Terburuk di paruh tengah tahun ini. Rupanya saya gelisah. Merencanakan ini itu, tetapi malahan ambyar semua :(  Maju nggak, mundur juga nggak. Pendek kata, stagnan.

Maka, malam ini saya merencanakan menyepi untuk beberapa pekan. Saya akan live in di suatu tempat yang akan saya pikir-pikir besok. Pengalaman live in sebenarnya bukan barang baru untuk saya.  Waktu saya kuliah dulu, pernah  live in di Kediri, nun jauh di atas bukit berbatu. Untuk menuju desa itu, kami berjalan kaki. Saya lupa nama daerahnya. Yang jelas, daerahnya kering,  susah air dan penduduknya benar-benar miskin. Pekerjaan utama warga desa,  memecah batu.

Untuk kerja dari pagi hingga sore hari, mereka cuma mampu menghasilkan dua tenggok (keranjang anyaman bambu). Per-tenggok cuma dihargai  Rp  5000 untuk satu tenggok.  Karena "live in" praktis saya hidup bersama mereka, makan apa yang mereka santap, tidur di sebelah kandang sapi yang kalau malam nyamuknya alamakjan. Malam pertama saya tidur di desa itu, saya menangis. Menangisi kemiskinan, menangisi ketidakadilan. Bukan meratapi nasib karena mendapat fasilitas minim dan apa adanya? Siapa bilang semua orang Jawa sejahtera semua? Dengan penghasilan Rp 10.000 per hari, apa yang bisa diperoleh untuk hidup? Waktu itu, sebagai anak kos-kosan, biaya makan perhari saja bisa  Rp 20.000.  Itupun tanpa kerja keras. Cuma menunggu kiriman orang tua.

Karena "keluarga baru" saya pemecah batu, maka "pekerjaan" saya waktu itu jadi pemecah batu. Sebenarnya mereka tak meminta saya memecah batu. Tapi saya pingin tahu seperti apa ya rasanya. Duh...biyung. Tangan saya  lecet-lecet, badan pegal-pegal semua, dan puanasnya minta ampun. Cuma hari pertama saya mampu melakukannya. Besoknya, saya menemani si bapak memecah batu tanpa ikut terlibat, lalu berkebun dan mengurus kerumahtanggaan.

Nah, ini dia, karena setiap penduduk tak memiliki kamar mandi, maka praktis kami semua mandi di kali. Suatu hari ketika kami mandi, hanya berjarak sekitar  5 meter dari kami sapi-sapi dimandikan. Benar-benar shock.Besoknya, saya mencari rumah warga yang punya sumur. Tetapi kami cuma menemukan sumur warga yang hanya dikhususkan untuk memasak air minum. Tentu saja, lokasi sumur   terbuka. Apa boleh buat, mengenakan jarik kemben kami cibang cibung di sumur terbuka. Wow ...every body can see us. Malu pastilah. Menurut kami, mandi terbuka ini lebih baik ketimbang mandi dengan sapi. Hoaaaa...mengenaskan. Kami sadar  tak benar-benar utuh seperti warga desa yang menjadikan kali sebagai kamar mandi luas mereka.

Ada kejadian pedih yang begitu menyanyat hati saya ketika itu. Saya membawa agar-agar dari rumah. Tujuannya, untuk camilan bersama. Waktu itu saya baru bisa membikin agar-agar pakai santan. Namanya baru bisa, kebetulan pula ada sisa dua bungkus, maka saya bawa agar-agar itu. Saya lalu memasak agar-agar dan akan kami jadikan camilan pada sore hari.Agar-agar saya titipkan ke ibu tetangga rumah teman yang tinggal di sana.

Ketika saya menanyakan agar-agar itu, si ibu dengan wajah kebingungan menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. Penyebanya, agar-agar itu tak berbentuk padat lagi. "Wau kulo panasi kok dadi cair." Artinya, tadi agar-agarnya saya panaskan biar anget, kok malah cair. Saya hampir berhenti bernafas mendengar penjelasan si ibu waktu itu. Suara saya tercekat. Mau ngomong rasanya nggak keluar-keluar. Saya memalingkan muka saya yang panas dan menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh.

Kemiskinan membuat si ibu tak tahu bahwa agar-agar padat ini semula berbentuk cairan. Begitu dipanaskan, maka agar-agar akan kembali cair dan tak bisa padat lagi. Saya cuma bisa bilang "Nggak apa-apa bu." Suara saya begitu lemah. Saya menyalahkan diri saya, kenapa mesti bawa agar-agar ketika live in. Kenapa saya tidak bisa berempati dengan hanya menerima apapun makanan yang dihidangkan? Kenapa? Kenapa? Banyak pertanyaan berkecamuk dalam diri saya.


Setelah lima hari live in, kami pulang. Tapi kenangan akan desa itu, orang-orang sederhana bersama kemiskinan mereka begitu membekas. Beberapa minggu setelah live in saya nyaris nggak doyan makan. Saya juga membelanjakan uang dengan ketat.


Tapi lama setelah itu, semuanya memudar. Ingatan orang-orang miskin  terlupakan. Sampai saya menulis kembali kisah berpuluh tahun silam itu. Betapa beruntungnya saya, betapa beruntungnya orang-orang yang sejak dilahirkan sudah berlimpah materi, fasilitas. Tetapi muncul pertanyaan saya, orang-orang yang berkuasa itu, yang telah menikmati kemewahan, jabatan, pernahkah mereka merasakan kemiskinan itu seperti apa? Ketika para pejabat atau anggota dewan me-mark up anggaran,  mengkorupsi anggaran, tahukah mereka siapa yang menjadi korban? tidakkah merekamerasa bersalah jika melihat kemiskinan semacam ini?

Yogyakarta, 27 Juni 2012

Dini hari, 00.32





Berikan, Lepaskan

foto: bayu

Salah satu yang menghalangi seseorang menjadi manusia bebas adalah mengingat-ingat apa yang sudah dia berikan kepada keluarganya, temannya, sahabatnya atau siapa saja yang telah berinteraksi dengan dirinya. Pemberian itu entah berupa  jasa, pemberian materi, atau sekedar perhatian.

 Begitu dia mengalami kesulitan, entah itu sakit, dipecat, terpuruk masalah ekonomi, sementara tak ada seorang pun peduli, maka dia mengungkit-ngungkit apa yang sudah pernah dia lakukan. "Aku dulu menolong dia, kok sekarang tak ada yang datang. Aku dulu sudah menemani dia sakit, kok pas aku sakit ndak ada yang nengok," begitu kira-kira seseorang mengeluh. Sangat wajar dan alamiah kelihatannya.

Padahal jika dia menganut prinsip ini, berikan, dan lepaskan atau berikan dan lupakan, maka seseorang tak akan membawa beban apapun. Dia tak akan membawa kemelakatan ingin diperhatikan, ingin dipahami, ingin ditolong. Bahwa seseorang yang lain "tak punya hati" terhadap kesusahan orang lain itu masalah lain. Bukan masalah kita, kan?

Seseorang yang telah memiliki batin bebas, tak akan lagi merepotkan apa yang dilakukan orang lain. Sumber penderitaan itu berasal dari pikiran dan aku. Jadi mengapa orang lain berpengaruh untuk "aku"?

Yogyakarta,  26 Juni 2012

Pukul 6.43

Jumat, 22 Juni 2012

Semoga Bisa Renang


Tadi pagi saya renang. Tapi sungguh mati saya tetap kesulitan mengambil nafas. Jadi besok saya memutuskan mengambil guru renang. Bayarannya Rp 30.000 sekali datang. Murah ya?

Kata teman saya, dia cuma belajar satu kali langsung bisa. Teman saya yang lain malahan download di internet, terus praktik langsung dan bisa! Tanpa guru. Hoaaa...saya agak tertekan juga. Kok kayaknya mereka gampang banget ya? Kalau saya berkali-kali tetap nggak bisa apa berarti saya oon. Hiks.

Tapi doakan saya bisa renang. Biar punggung saya ini cepat sembuh. :) Dan yang pasti sehat dong. :)


Yogyakarta, 22 Juni 2012


07.30


(Malam Minggu kecil aktif bener yak saya nulis blog)


Permainan Egrang


Beberapa pekan lalu saya ke Surabaya. Ke kampus almamater saya Universitas Airlangga, saya hadir untuk peringatan hari ulang tahun  guru besar Antropologi Ragawi Universitas Airlangga Prof. Josef Glinka yang ke-80. Dalam rangkaian acara itu, ada kegiatan yang menarik perhatian saya. 

Mahasiswa antropologi UNAIR bikin pameran dolanan anak. Acaranya sederhana banget sebenarnya. Mereka menyediakan  dakon, ketapel, bola bekel, dan egrang. Setiap anak yang datang dipersilahkan bermain pada meja yang tersedia. 


Perhatian saya tertuju pada permainan egrang. Lamunan saya melayang puluhan tahun silam. Percaya nggak? Saya bisa  main egrang lho waktu kecil. Tapi alamakjan susahnya. Latihannya beberapa hari. Pake jatuh jatuh...lecet-lecet, tapi begitu bisa...woowww...serasa di surga (kayak pernah liat surga ajah). Permainan ini membutuhkan keberanian yang besar. Saya sebenarnya penasaran pingin menjajal. Masih bisa nggak ya? Tapi saya batalkan keinginan untuk mencoba. Badan gendut, takut nggak seimbang. Jatuh. Wah bisa berabe. 


Permainan egrang memang mengutamakan keseimbangan. Berbahan  tongkat bambu, egrang atau tongkat bisa digunakan seseorang untuk berdiri di atas tanah. Kalau sudah naik dan berjalan, berasa di atas angin. Waktu saya kecil, pada hari kemerdeaan kerap diadakan lomba egrang. Mereka yang paling cepat di garis finish itulah pemenangnya. 

Lomba ini paling seru mendatangkan penonton. Ini karena tak semua punya nyali main egrang. Betapa mereka tahu sulitnya menjajal permainan ini. Sama seperti hari ini, ketika saya hadir di kampus tercinta dan menyaksikan anak-anak mahasiswa berinisiatif memperkenalkan permainan tradisional yang sudah hampir ditinggalkan, rasanya terharu. Meski jaman sudah demikian modern...anak-anak muda ini masih tergerak melanggengkan permainan tradisional. 


Bagaimanapun permainan tradisional masih memiliki sisi pertemanan yang tinggi. Bandingkan dengan permainan modern seperti play station atau game dimana orang hanya berkutat di depan  layar komputer. Tak perlu teman, tak perlu komunitas. Sendiri saja. Jangan heran kalau anak-anak edisi abad 21 menjadi sosok yang apatis dengan lingkungannya. Ini lantaran permainan yang ditawarkan kepada mereka memungkinkan anak-anak bermain  sendiri. Tak perlu teman bukan?  Egois bener ya? 

Permainan tradisional apapun selalu  membutuhkan teman. Coba sebut, permainan tradisional yang tak memerlukan teman? Tak ada. Semua pasti ada lawan main. Kalaupun ada yoyo yang bisa dimainkan sendiri,  tetapi yoyo tidak akan seru tanpa lawan. Sebab siapa yang paling jauh melemparkan yoyo tanpa bikin benang bunded, dia-lah pemenangnya. 


Nah, mengingat permainan tradisional ini bermanfaat bagi anak-anak generasi mendatang. Yuk, kita tularkan lagi mulai sekarang? :)




Yogyakarta 22 Juni 2012

Pukul 06.37 PM 


Rabu, 20 Juni 2012

Cerita Meditasi

Pada dua pekan lalu 8-10 Juni, kembali saya ikut retret meditasi di Vihara Mendut dengan bimbingan Pak Hudoyo Hupudio. Retret menarik yang bisa ditulis kali ini bukan soal reaksi batin, cara bermeditasi dll. Itu sudah ada dalam tulisan sebelumnya (Para Pencari Keheningan).

Saya ingin bercerita tentang dialog dan sharing di sela-sela latihan meditasi yang kami jalani selama tiga hari.

Dialog 1.

Bapak berusia 78 tahun. Sepuh, jalannya pelan, dengan tubuh agak membungkuk. Bapak ini dari Surabaya lho. Khusus datang untuk melatih kesadaran. Dia suka membaca buku dan referensinya banyak sekali.

Pada hari kedua, dia bertanya :

Si bapak: Saya kesepian sekali. Bagaimana cara mengatasi kesepian ini?

Pak Hudoyo : Kalau Anda sepi, apa yang Anda lakukan?

Si bapak : Mendengarkan musik, nonton televisi

Pak Hudoyo : Setelah itu

Si Bapak : Ya sepi lagi

(semua peserta tertawa) Saya yakin kami semua tertawa karena pernah mengalami hal yang sama dengan si Bapak. Bedanya si Bapak mau mengakui dan tidak malu membagikan itu.

Pak Hudoyo: Bagaimana cara menghadapi sepi. Bukan dilawan, bukan ditolak. Disadari saja rasa kesepian itu. Reaksi batinnya. Itu saja. Lama-lama juga lenyap. Kalau muncul lagi, disadari lagi.

Dialog 2

Dany : Saya hanya ingin sharing saja, setelah mengikuti latihan  MMD (Meditasi Mengenal Diri). Dulu saya perokok. sehari habis 4 bungkus. Saya mencoba berbagai cara untuk berhenti. Mengganti makan persen...puasa...dll. sempet  hilang tetapi kembali lagi merokok.

Setelah saya ikut MMD, keinginan merokok itu lenyap. Sekarang saya tidak merokok lagi. Sampai saya mengikuti MMD yang kedua.

Pak Hudoyo : Mengapa begitu? Karena setiap keinginan merokok itu timbul,  disadari lalu lenyap. Jadi sudah tidak ada keinginan merokok lagi. Saya dulu sejak mahasiswa merokok sampai  50 tahun.  Suatu hari saya masuk rumah sakit. Kan nggak bisa merokok? Ya sudah keinginan itu disadari. Lenyap.


Dialog ke -3


Bapak A : Saya merasakan manfaat meditasi dalam keseharian. Soal keinginan. Pernah ditawari jabatan, tapi saya menolak.  Meurut saya apa nggak sebaiknya  koruptor-koruptor itu ikut latihan meditasi. Supaya mereka nggak serakah, nggak korupsi? Mungkin MMD bisa membagikan brosur ke anggota dewan, supaya mereka latihan meditasi. (sembari mengatakan ini, wajah sang bapak terlihat jengkel dan geram).

(Grrrrrrr.... peserta tertawa terbahak-bahak, termasuk juga Pak Hud yang biasanya jarang tertawa :)

Pak Hudoyo : Orang yang mengikuti meditasi itu menyadari bahwa batin mereka bermasalah. Jadi latihan kesadaran batin itu datangnya harus dari dalam diri, bukan dari orang lain.

Peserta lain: Tapi siapa tahu dengan membagikan brosur, mereka membaca, lalu tergerak, dan melatih kesadaran.

Pak Hudoyo: Semuanya tetap harus dari kesadaran diri. Bukan karena orang lain.


Hemm...selalu ada yang bisa dibawa pulang ketika mengikuti retret. Tertarik ikut?


Yogyakarta, 20 Juni 2012

Pukul 08.00

Rumah Pohon

Saya berkunjung lagi ke rumah sahabat saya, Ine Febriyanti. Ada yang berubah dari lingkungan rumahnya. Rumah pohon dan tenda biru berukuran besar di halaman rumah pavilion mereka. "Agar anak-anak bisa bermain," kata Ine. Rumah pohon ini dari pohon rambutan yang nangkring di depan joglo rumahnya. Karena dibentuk rumah, maka beberapa dahan harus dipotong. "Sedih karena harus memotongnya," kata Ine. "Tapi semoga akan tumbuh ranting dan dahan yang lain."

Di sekolah anak-anak mereka ada rumah pohon. Jadilah sang suami dan Ine membuatkan mereka rumah pohon agar mereka dapat meneruskan  bermain di rumah sendiri.

Tiga putera dan puterinya, Fa, Zyein, dan Amanina tentu senang. "Nina berani naik ke atas?," tanya saya padanya. Bidadari kecil ini langsung mengangguk-angguk. "Bisa, Tante." "Kan di sekolah ada." Tak lama kemudian, Nina  melesat ke rumah pohon. "Eit...foto dulu yuk?," kata saya. Cetrek...cetrek...tanpa arahan, si cantik sudah bergaya ala model. Duh...cantiknya.

Setelah itu, dengan lincah Nina  naik tangga satu persatu. Tukang yang belum tuntas memasang atap umbi rumah pohon membantu si bungsu. Nggak ada rasa takut. Yang ada kegembiraan karena memiliki rumah pohon di areal rumahnya.

Tak lama kemudian sang kakak Fa dan Zyein menyusul. Bermainlah ketiganya di rumah pohon baru mereka. Berceloteh tentang sekolah dan permainan dengan bahasa anak-anak Saya menyaksikan dari bawah. Bergetar. Alangkah bahagianya mereka memiliki  orangtua yang  memfasilitasi anak-anak mereka dengan permainan baru. Tentu, sesuai  kebutuhan mereka.

Mengapa saya bilang permainan baru? Ini lantaran saat saya mengunjungi rumah mereka beberapa waktu, ada permainan titian tali yang menghubungan pohon rambutan dan pohon kelapa. Sekarang areal itu telah berganti tenda biru besar. Tenda dipasang untuk menjajal berapa luas dan kekokohannya. "Juli nanti sekeluarga mau mendaki gunung," kata Ine. "Anak-anak juga diajak."

Nina sendiri menjadikan tenda sebagai rumah barunya. "Tante...sini, aku masuk lorong,"katanya. Dan Tante Lulit tinggal jepret sana sini deh. Senangnya bermain dengan anak-anak, meski cuma sebentar.


Yogyakarta, 19 Juni 2012

Pukul 21.00




Senin, 18 Juni 2012

Capung Kiriman dari Papua

Sudah lama sekali saya tidak berburu capung yang menjadi nama blog saya "tjapoenk". Seorang sahabat yang baik sekali, Pakde Tja, dia bernama asli Tjahjono, mengirimi saya capung. Wow capung yang saya temukan di Jawa memang indah. Tapi capung kirimannya jauh lebih indah. Senangnya.

Rasanya seperti baru putus dari pacar, eh mak bedunduk segera dapat gantinya. (hihihi...lebay mulai)....Banyak orang bertanya-tanya mengapa saya memilih blog ini  tjapoenk. Ada penjelasannya sedikit sih di Tentang Tjapoenk. Saya sebenarnya ingin berpanjang-panjang bercerita. Tapi saya khawatir mereka yang membaca blog ini  jadi terganggu keindahannya menikmati capung kiriman sahabat saya dari Papua ini. Jadi informasinya saya singkat saja ya?

Kata  Pakde Tja, capung menjaga keseimbangan ekologis. Benar, Pakde. Selama capung masih terbang, kita berlega hati bahwa udara yang kita hirup masih bisa kita nikmati dengan segar.  Kehilangan  capung berarti polusi mengancam lingkungan sekitar kita. Kapan-kapan saya akan bercerita panjang lebar tentang capung ya?Sekarang, mari kita nikmati Capung Pakde Tja. Terima kasih. Ingat capung, ingatlah blog ini tjapoenk :) Terus aku tunggu kiriman capung lainnya.


Yogyakarta, 18 Juni  2012


Pukul 19.23

Minggu, 17 Juni 2012

Arisan

Ini identik dengan perempuan. Apa boleh buat. Embel-embel lainnya, identik dengan makan, ketemu teman lama, dan bergosip dong. Gosip, digosok makin siiiippp. Apalagi setelah muncul film Arisan yang membidik kaum jetset dengan segala polahnya yang bikin kita "bergidik".

Jika Arisan jaman sekarang layaknya di film itu....wow sudah jelas  bergeser jauh dari yang saya ketahui. Di kampung-kampung, motivasi warga ikut arisan biasanya karena alasan ekonomi. Misalnya, pingin beli kompor gas,  pingin bayar SPP anak. Jarang sekali saya mendengar, arisan untuk foya-foya, apalagi cuma sekedar pamer kekayaan, pamer jabatan suami dll.

Ketika  awal-awal kerja, saya ikut arisan Rp 350.000-an. Waduh ...berat banget. Karena gaji saya pada saat  itu tak sampai Rp 2 juta. Kayak orang terengah-engah habis lari-lari. Tapi waktu itu saya pingin jalan-jalan ke luar negeri. Nah...dengan memaksa menabung lewat arisan, maka keinginan saya bisa terpenuhi. Saya harus mengakui kelemahan diri ini sulit menabung. Nyaris tak ada uang berlebih dalam tabungan saya. Kadang-kadang malah minus. Hiks hiks. Investasi saya cuma asuransi doang. (kasian ya saya !) Maka, saya punya tiga sampai empat asuransi untuk hari tua nanti :) Kayak orang pensiunan PNS yang digaji, tetapi dari asuransi.

Nggak semua arisan yang saya ikuti gede-gede. Palingan cuma Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Itupun dapetnya auzubilah lamanya. Bayangin aja pesertanya di atas 30. Sampai merongos nunggunya deh. Saking lamanya, bisa-bisa peserta sudah ada yang pindah kerja dan kabur deh hehehe. Ini menurut cerita teman-teman lho. Tapi kisah saya tentang Arisan manis-manis aja tuh. Nggak ada yang kabur atau menilap uang.

Nah, teman saya punya ide bikin arisan ngumpulin modal. Kami berdua lalu mengajak teman yang tertarik. Pesertanya kebanyakan pengusaha. Karena motivasinya mengumpulkan modal, entah untuk biaya sekolah, usaha, traveling dll, maka nilainya gede. Perorang Rp1 juta dan Rp 500.000.Peserta hanya dibatasi 10 orang karena kita semua malas berlama-lama.

Pernahkah terpikir bahwa arisan dengan nilai besar itu seperti kita tengah mengajukan kredit tanpa agunan tetapi bunganya 0 persen. Saya cukup kaget mendengar cerita teman-teman yang mengikuti arisan Rp 5 jutaan  bahkan di empat tempat. Walah...arisan kelas berat.  Berapa besar pendapatan mereka ya? Biasanya tarikan arisan yang mereka peroleh untuk membayar uang  DP rumah  anaknya, atau mengganti mobil lama. Hiiii...saya mah nggak sanggup.

Tapi begitulah. Sudut pandang orang berduit sungguh berbeda dengan orang kebanyakan. Dengan perputaran arisan, uang bisa dimanfaatkan sedemikian rupa. Memang buat orang kaya lainnya, menyisihkan uang Rp 5 juta dengan rentang waktu justru merugikan. Dalam bayangan mereka, uang sebanyak itu sudah  beranak pinak ketika dalam genggaman mereka. Atau pihak lain menilai, lebih baik menabung di bank tetapi mendapat bunga. Tapi pada situasi sekarang berapa besar sih perolehan bunga di bank. Minim sekali. Saya lebih suka pendapat pertama. Arisan itu semacam kredit tanpa agunan dengan bunga 0 persen. Tapi yang kebagian terakhir tak berlaku-lah hukum ini hehhee.

Arisan ini pun, tak akan kongkow-kongkow di cafe-cafe atau restoran yang mengeluarkan biaya. Uang terkumpul, dikocok siapa yang namanya keluar. Begitu namanya keluar, transfer deh. Karena peserta tersebar di Jakarta, Bogor, Bali, dan Yogyakarta, maka murni arisan ini untuk menambah modal atau menabung untuk  keperluan lain. Jadi arisan sungguh bermanfaat bukan? Ayo, siapa mau gabung? Masih ada kursi lho. :)


Yogyakarta, 17 Juni 2012 




Kamis, 14 Juni 2012

Reuni dan Cerita Rumah


Pekan lalu, setelah meditasi di Mendut, saya menemui teman kantor tempat saya bekerja  yang juga atasan dari Jakarta. Dia tengah tugas di Solo menggantikan tugas atasannya lagi. Sudah lama  sekali kami tak mengobrol ataupun berhubungan lewat BBM. Kami tenggelam dalam kesibukan kami masing-masing. 

Setelah menjemputnya di stasiun kereta api, saya mengajaknya ke restoran Phuket, makanan khas Thailand. Ini salah satu restoran favorit saya. Tentu, menu Tom Yum Khung, salah satu andalan makanan di sini.  Bukan cuma Tom Yum  yang kami pesan. Tapi juga  singkong Thai, salad ayam panggang, cha sawi, teh Thai, disusul roti Canai dan ayam kemangi. Saking banyaknya pesanan, pelayan restoran sampai "bergidik" ngeri menyaksikan pesanan kami. Saya sendiri juga cukup surprised. Maklum selama ini cuma pesan tom yum dengan roti canai atau singkong Thai.

Semula kami cuma  coba-coba. Cicip menu sana-sini.  Tapi sungguh ya ampun, semua  makanan yang ada di sini enak semua. Alhasil, kami berdua sampai "klenger" kekenyangan. Wajah meruap merah kepedasan. Keringat bercucuran, dengan perut sedikit membuncit. 

Begitu kelar makan, kami menuju Hotel Dusun Village Inn, tempat dia menginap. Tampak dari luar, suasananya agak menyeramkan. Tapi begitu masuk ke dalamnya, asri dan serasa di rumah sendiri. Kolam renang mungil berkecibung suara air ketika anak-anak bule berenang bersama orangtuanya. Kebahagian mereka menular pada saya. Nyesss.

Pada kamar suite tempat dia menginap, kami berbagi cerita soal rumah. Percaya atau tidak, dengan jabatan redaktur,  masa kerja puluhan tahun,  dia belum punya rumah. Sama  seperti saya. Kalaupun ada keberuntungan, saya sudah memiliki tanah, tetapi belum jua dibangun-bangun hehehhe. Saya menarik kesimpulan, kesalahan strategis yang kami lakukan bersama adalah terlalu idealis memilih tempat tinggal. Jauh sedikit ogah. Tipe rumah tak sesuai juga emoh.

Bandingkan, teman-teman kami yang memilih tempat tinggal jauh seperti masuk ke negeri antah berantah. Mereka mencicil dengan harga murah. Seiring waktu harga tanah sudah melambung, kawasan yang semula mereka huni jauh sudah ramai. Jika mereka enggan menempati rumahnya, mereka akan mengontrakkan rumah dan  memilih kos di pusat Jakarta. Pada waktunya ketika mereka mau menikah, ingin tinggal di rumah yang lebih besar, rumah kecil dijual dan jadi uang muka. Tentu dengan harga yang berlipat-lipat dari sebelumnya. Itulah kesalahan kami. Tak menyadari investasi rumah betapapun kecil dan murahnya, perlu dilakukan sejak dini.

Tapi tak ada kata terlambat untuk memulai. Dia memutuskan akan membeli rumah di Jogja dengan harga yang reasonable. Alasannya, persiapan pensiun kelak di kemudian hari yang akan dilaluinya di Yogyakarta. Kedua investasi.

Ilustrasi yang saya ceritakan padanya mungkin bisa menjadi gambaran teman-teman lain.  Suatu hari, saya mencari rumah kontrakan. Pemiliknya simbah-simbah berjualan di pasar. Yang bikin saya terhenyak adalah, dia membuat 8 rumah dengan tipe berbeda-beda. Rumah dikontrakkan dengan sewa Rp 8 juta  pertahunnya. Pasive income datang padanya dengan nilai total Rp 64 juta pertahun. Seperti menerima uang pensiun Rp 5 juta lebih perbulan bukan? Pada masa tua-nya si simbok di pasar tak tergagap-gagap kekurangan uang untuk menghidupi dirinya sendiri, bahkan keluarganya.

Saya bilang pada dia, kita ini wartawan yang "seolah-olah" mengetahui semua informasi, tetapi tak cukup "cerdas" dalam menata hidup. Tenggelam dengan persoalan banyak hal, pejabat korupsi, negara akan bangkut dan sesuatu besar lainnya,  tetapi alpha terhadap diri sendiri. Dan suatu hari...ketika  rambut sudah beruban, barulah tergagap-gagap menyadari tak memiliki  rumah tempat berteduh. 

Sekali lagi, tak pernah ada kata terlambat. Saya cuma berpesan. Buat mereka yang masih bujangan, atau pasangan muda, berinvestasilah tanah atau rumah, sesederhana apapun, atau sekecil apapun. Rumah adalah kebutuhan primer, siapapun insan di dunia pasti membutuhkannya. 


Yogyakarta, 14 Juni 2012

Pukul 10.00







Kamis, 07 Juni 2012

Cerita Akhir Pekan

Akhir pekan ini begitu banyak cerita. Tapi saya benar-benar kelelahan. Jadi belum sempat menulis blog. Apalagi, mulai malam nanti  saya mulai retret meditasi dari Jumat sore ini sampai Minggu pagi. Praktis akhir pekan ini dalam keheningan. Tak boleh menelpon, SMS, buka laptop, tak boleh bicara. Cuma diam, masuk ke dalam batin-menziarahi batin.

Meditasi tiga bulanan ini rutin sudah saya lakukan memasuki tahun ketiga. Kali ini saya membawa teman-teman baru. Mereka belum punya pengalaman meditasi. Sayang, tiga teman, satu dari Jakarta, Ine dan Mbak Menik dan Mas Sentot dari Surabaya batal ikut karena alasan mendadak.  Sedangkan Shinta yang sudah pingin banget ikut, mulai bekerja di tempat baru per hari ini. Praktis, dia tidak bisa ikut karena mulai bekerja.

Sementara, Oliv, Ela, Kristo, dan Erik dipastikan berangkat. Eva yang pernah saya ajak pada meditasi akhir pekan, mengajak dua orang temannya. Mereka bertiga dari Jakarta. Senang rasanya, makin banyak orang tertarik untuk sadar. Meditasi yang kami ikuti tidak punya tujuan lain kecuali satu : sadar setiap saat. Jika pikiran dan aku berhenti, maka titik hening akan dialami oleh setiap pribadi. Itu saja.

Siapa tertarik untuk sadar setiap saat bersama kami? Atau buka saja http://www.facebook.com/pages/MMD-Meditasi-Mengenal-Diri/112080885544108


Yogyakarta, Jumat, 8 Juni 2012

8.52

Kamis, 31 Mei 2012

Kisah Kepahlawanan yang Terlupakan

Shukoi, secara pribadi membuka mata saya tentang sebuah profesi langka. Tiga ahli antropolog forensik yang cuma dimiliki Indonesia sangatlah minim. Semoga saja tulisan ini mengetuk pintu bagi putra putri Indonesia untuk berkecimpung disana.

http://www.tempo.co/read/news/2012/05/28/173406574/Kisah-Pengumpul-Puzzle-Jenazah-Korban-Sukhoi