Rabu, 16 Oktober 2013

Makna Biasa-Biasa Saja

Waktu saya jadi reporter, paling sebal kalau dengar komentar orang yang saya wawancarai menjawab begini. "Biasa-biasa saja." Pertanyaann yang saya tujukan kepada mereka kira-kira begini. "Apakah adik (kakak/bapak/ibu)  merasa bahagia ketika memenangkan perlombaan ini? Begitu si nara sumber menjawab kata-kata biasa-biasa saja, biasanya saya langsung cemberut. Duh....rasanya pingin saya kruwes bibirnya. Kayak nggak ada jawaban lain saja. Kasar bener saya ya?   Tapi cuma omelan di pikiran, kok. Nggak serius he...he...he.

Waktu berlalu. Keadaan sudah berubah. Ketika belakangan ini saya mendengar Jokowi, Gubernur DKI Jakarta sering menjawab kata-kata yang dulu saya benci;  biasa-biasa saja- saya sekarang justru tersenyum. Kalau saya ada di sana, pasti pertanyaan saya selanjutnya kepada nara sumber adalah apa makna pernyataan Anda yang biasa-biasa saja itu?

Sudut pandang tentang makna biasa-biasa saja itu, berubah. Terutama sejak saya mengenal bahwa bahagia dan sedih itu sama saja. Berasal dari pikiran. Bahagia dan sedih, sama-sama sumber penderitaan. Biasa-biasa saja, jika direnungkan lebih mendalam mengandung arti semua hal tak perlu lebih tak perlu kurang. Melihat sebagaimana adanya. Jadi ...ya biasa-biasa saja. Coba kalau kita merenungkannya lebih dalam, yang biasa-biasa saja itu membuat batin kita akan terbebaskan. 

Tapi  dalam hidup kita akan mengalami letupan kegembiraan, kesedihan. Dia datang silih berganti. Letupan kebahagiaan kadang-kadang sering membuat kita merasa euforia. Tapi berapa lama letupan kebahagiaan itu bertahan? Tak lama bukan? Sama halnya dengan kesedihan, rasa frustasi, dan rasa kecewa yang datang silih berganti. Tak pernah menetap lama. Jadi, jika demikian mengapa kita harus melekati kebahagiaan dan kesedihan itu begitu dalam? Dia datang silih berganti. Jadi ya....mengutip kata Jokowi dan narasumber saya dulu. Biasa....biasa saja. :)


Kemanggisan, 16 Oktober 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar