Selasa, 26 Juni 2012

Rencana Live In (1)


foto : Bayu
Saya agak kehilangan fokus beberapa pekan ini. Terutama menulis. Produktivitas menulis saya jeblok. Terburuk di paruh tengah tahun ini. Rupanya saya gelisah. Merencanakan ini itu, tetapi malahan ambyar semua :(  Maju nggak, mundur juga nggak. Pendek kata, stagnan.

Maka, malam ini saya merencanakan menyepi untuk beberapa pekan. Saya akan live in di suatu tempat yang akan saya pikir-pikir besok. Pengalaman live in sebenarnya bukan barang baru untuk saya.  Waktu saya kuliah dulu, pernah  live in di Kediri, nun jauh di atas bukit berbatu. Untuk menuju desa itu, kami berjalan kaki. Saya lupa nama daerahnya. Yang jelas, daerahnya kering,  susah air dan penduduknya benar-benar miskin. Pekerjaan utama warga desa,  memecah batu.

Untuk kerja dari pagi hingga sore hari, mereka cuma mampu menghasilkan dua tenggok (keranjang anyaman bambu). Per-tenggok cuma dihargai  Rp  5000 untuk satu tenggok.  Karena "live in" praktis saya hidup bersama mereka, makan apa yang mereka santap, tidur di sebelah kandang sapi yang kalau malam nyamuknya alamakjan. Malam pertama saya tidur di desa itu, saya menangis. Menangisi kemiskinan, menangisi ketidakadilan. Bukan meratapi nasib karena mendapat fasilitas minim dan apa adanya? Siapa bilang semua orang Jawa sejahtera semua? Dengan penghasilan Rp 10.000 per hari, apa yang bisa diperoleh untuk hidup? Waktu itu, sebagai anak kos-kosan, biaya makan perhari saja bisa  Rp 20.000.  Itupun tanpa kerja keras. Cuma menunggu kiriman orang tua.

Karena "keluarga baru" saya pemecah batu, maka "pekerjaan" saya waktu itu jadi pemecah batu. Sebenarnya mereka tak meminta saya memecah batu. Tapi saya pingin tahu seperti apa ya rasanya. Duh...biyung. Tangan saya  lecet-lecet, badan pegal-pegal semua, dan puanasnya minta ampun. Cuma hari pertama saya mampu melakukannya. Besoknya, saya menemani si bapak memecah batu tanpa ikut terlibat, lalu berkebun dan mengurus kerumahtanggaan.

Nah, ini dia, karena setiap penduduk tak memiliki kamar mandi, maka praktis kami semua mandi di kali. Suatu hari ketika kami mandi, hanya berjarak sekitar  5 meter dari kami sapi-sapi dimandikan. Benar-benar shock.Besoknya, saya mencari rumah warga yang punya sumur. Tetapi kami cuma menemukan sumur warga yang hanya dikhususkan untuk memasak air minum. Tentu saja, lokasi sumur   terbuka. Apa boleh buat, mengenakan jarik kemben kami cibang cibung di sumur terbuka. Wow ...every body can see us. Malu pastilah. Menurut kami, mandi terbuka ini lebih baik ketimbang mandi dengan sapi. Hoaaaa...mengenaskan. Kami sadar  tak benar-benar utuh seperti warga desa yang menjadikan kali sebagai kamar mandi luas mereka.

Ada kejadian pedih yang begitu menyanyat hati saya ketika itu. Saya membawa agar-agar dari rumah. Tujuannya, untuk camilan bersama. Waktu itu saya baru bisa membikin agar-agar pakai santan. Namanya baru bisa, kebetulan pula ada sisa dua bungkus, maka saya bawa agar-agar itu. Saya lalu memasak agar-agar dan akan kami jadikan camilan pada sore hari.Agar-agar saya titipkan ke ibu tetangga rumah teman yang tinggal di sana.

Ketika saya menanyakan agar-agar itu, si ibu dengan wajah kebingungan menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. Penyebanya, agar-agar itu tak berbentuk padat lagi. "Wau kulo panasi kok dadi cair." Artinya, tadi agar-agarnya saya panaskan biar anget, kok malah cair. Saya hampir berhenti bernafas mendengar penjelasan si ibu waktu itu. Suara saya tercekat. Mau ngomong rasanya nggak keluar-keluar. Saya memalingkan muka saya yang panas dan menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh.

Kemiskinan membuat si ibu tak tahu bahwa agar-agar padat ini semula berbentuk cairan. Begitu dipanaskan, maka agar-agar akan kembali cair dan tak bisa padat lagi. Saya cuma bisa bilang "Nggak apa-apa bu." Suara saya begitu lemah. Saya menyalahkan diri saya, kenapa mesti bawa agar-agar ketika live in. Kenapa saya tidak bisa berempati dengan hanya menerima apapun makanan yang dihidangkan? Kenapa? Kenapa? Banyak pertanyaan berkecamuk dalam diri saya.


Setelah lima hari live in, kami pulang. Tapi kenangan akan desa itu, orang-orang sederhana bersama kemiskinan mereka begitu membekas. Beberapa minggu setelah live in saya nyaris nggak doyan makan. Saya juga membelanjakan uang dengan ketat.


Tapi lama setelah itu, semuanya memudar. Ingatan orang-orang miskin  terlupakan. Sampai saya menulis kembali kisah berpuluh tahun silam itu. Betapa beruntungnya saya, betapa beruntungnya orang-orang yang sejak dilahirkan sudah berlimpah materi, fasilitas. Tetapi muncul pertanyaan saya, orang-orang yang berkuasa itu, yang telah menikmati kemewahan, jabatan, pernahkah mereka merasakan kemiskinan itu seperti apa? Ketika para pejabat atau anggota dewan me-mark up anggaran,  mengkorupsi anggaran, tahukah mereka siapa yang menjadi korban? tidakkah merekamerasa bersalah jika melihat kemiskinan semacam ini?

Yogyakarta, 27 Juni 2012

Dini hari, 00.32





Berikan, Lepaskan

foto: bayu

Salah satu yang menghalangi seseorang menjadi manusia bebas adalah mengingat-ingat apa yang sudah dia berikan kepada keluarganya, temannya, sahabatnya atau siapa saja yang telah berinteraksi dengan dirinya. Pemberian itu entah berupa  jasa, pemberian materi, atau sekedar perhatian.

 Begitu dia mengalami kesulitan, entah itu sakit, dipecat, terpuruk masalah ekonomi, sementara tak ada seorang pun peduli, maka dia mengungkit-ngungkit apa yang sudah pernah dia lakukan. "Aku dulu menolong dia, kok sekarang tak ada yang datang. Aku dulu sudah menemani dia sakit, kok pas aku sakit ndak ada yang nengok," begitu kira-kira seseorang mengeluh. Sangat wajar dan alamiah kelihatannya.

Padahal jika dia menganut prinsip ini, berikan, dan lepaskan atau berikan dan lupakan, maka seseorang tak akan membawa beban apapun. Dia tak akan membawa kemelakatan ingin diperhatikan, ingin dipahami, ingin ditolong. Bahwa seseorang yang lain "tak punya hati" terhadap kesusahan orang lain itu masalah lain. Bukan masalah kita, kan?

Seseorang yang telah memiliki batin bebas, tak akan lagi merepotkan apa yang dilakukan orang lain. Sumber penderitaan itu berasal dari pikiran dan aku. Jadi mengapa orang lain berpengaruh untuk "aku"?

Yogyakarta,  26 Juni 2012

Pukul 6.43

Jumat, 22 Juni 2012

Semoga Bisa Renang


Tadi pagi saya renang. Tapi sungguh mati saya tetap kesulitan mengambil nafas. Jadi besok saya memutuskan mengambil guru renang. Bayarannya Rp 30.000 sekali datang. Murah ya?

Kata teman saya, dia cuma belajar satu kali langsung bisa. Teman saya yang lain malahan download di internet, terus praktik langsung dan bisa! Tanpa guru. Hoaaa...saya agak tertekan juga. Kok kayaknya mereka gampang banget ya? Kalau saya berkali-kali tetap nggak bisa apa berarti saya oon. Hiks.

Tapi doakan saya bisa renang. Biar punggung saya ini cepat sembuh. :) Dan yang pasti sehat dong. :)


Yogyakarta, 22 Juni 2012


07.30


(Malam Minggu kecil aktif bener yak saya nulis blog)


Permainan Egrang


Beberapa pekan lalu saya ke Surabaya. Ke kampus almamater saya Universitas Airlangga, saya hadir untuk peringatan hari ulang tahun  guru besar Antropologi Ragawi Universitas Airlangga Prof. Josef Glinka yang ke-80. Dalam rangkaian acara itu, ada kegiatan yang menarik perhatian saya. 

Mahasiswa antropologi UNAIR bikin pameran dolanan anak. Acaranya sederhana banget sebenarnya. Mereka menyediakan  dakon, ketapel, bola bekel, dan egrang. Setiap anak yang datang dipersilahkan bermain pada meja yang tersedia. 


Perhatian saya tertuju pada permainan egrang. Lamunan saya melayang puluhan tahun silam. Percaya nggak? Saya bisa  main egrang lho waktu kecil. Tapi alamakjan susahnya. Latihannya beberapa hari. Pake jatuh jatuh...lecet-lecet, tapi begitu bisa...woowww...serasa di surga (kayak pernah liat surga ajah). Permainan ini membutuhkan keberanian yang besar. Saya sebenarnya penasaran pingin menjajal. Masih bisa nggak ya? Tapi saya batalkan keinginan untuk mencoba. Badan gendut, takut nggak seimbang. Jatuh. Wah bisa berabe. 


Permainan egrang memang mengutamakan keseimbangan. Berbahan  tongkat bambu, egrang atau tongkat bisa digunakan seseorang untuk berdiri di atas tanah. Kalau sudah naik dan berjalan, berasa di atas angin. Waktu saya kecil, pada hari kemerdeaan kerap diadakan lomba egrang. Mereka yang paling cepat di garis finish itulah pemenangnya. 

Lomba ini paling seru mendatangkan penonton. Ini karena tak semua punya nyali main egrang. Betapa mereka tahu sulitnya menjajal permainan ini. Sama seperti hari ini, ketika saya hadir di kampus tercinta dan menyaksikan anak-anak mahasiswa berinisiatif memperkenalkan permainan tradisional yang sudah hampir ditinggalkan, rasanya terharu. Meski jaman sudah demikian modern...anak-anak muda ini masih tergerak melanggengkan permainan tradisional. 


Bagaimanapun permainan tradisional masih memiliki sisi pertemanan yang tinggi. Bandingkan dengan permainan modern seperti play station atau game dimana orang hanya berkutat di depan  layar komputer. Tak perlu teman, tak perlu komunitas. Sendiri saja. Jangan heran kalau anak-anak edisi abad 21 menjadi sosok yang apatis dengan lingkungannya. Ini lantaran permainan yang ditawarkan kepada mereka memungkinkan anak-anak bermain  sendiri. Tak perlu teman bukan?  Egois bener ya? 

Permainan tradisional apapun selalu  membutuhkan teman. Coba sebut, permainan tradisional yang tak memerlukan teman? Tak ada. Semua pasti ada lawan main. Kalaupun ada yoyo yang bisa dimainkan sendiri,  tetapi yoyo tidak akan seru tanpa lawan. Sebab siapa yang paling jauh melemparkan yoyo tanpa bikin benang bunded, dia-lah pemenangnya. 


Nah, mengingat permainan tradisional ini bermanfaat bagi anak-anak generasi mendatang. Yuk, kita tularkan lagi mulai sekarang? :)




Yogyakarta 22 Juni 2012

Pukul 06.37 PM 


Rabu, 20 Juni 2012

Cerita Meditasi

Pada dua pekan lalu 8-10 Juni, kembali saya ikut retret meditasi di Vihara Mendut dengan bimbingan Pak Hudoyo Hupudio. Retret menarik yang bisa ditulis kali ini bukan soal reaksi batin, cara bermeditasi dll. Itu sudah ada dalam tulisan sebelumnya (Para Pencari Keheningan).

Saya ingin bercerita tentang dialog dan sharing di sela-sela latihan meditasi yang kami jalani selama tiga hari.

Dialog 1.

Bapak berusia 78 tahun. Sepuh, jalannya pelan, dengan tubuh agak membungkuk. Bapak ini dari Surabaya lho. Khusus datang untuk melatih kesadaran. Dia suka membaca buku dan referensinya banyak sekali.

Pada hari kedua, dia bertanya :

Si bapak: Saya kesepian sekali. Bagaimana cara mengatasi kesepian ini?

Pak Hudoyo : Kalau Anda sepi, apa yang Anda lakukan?

Si bapak : Mendengarkan musik, nonton televisi

Pak Hudoyo : Setelah itu

Si Bapak : Ya sepi lagi

(semua peserta tertawa) Saya yakin kami semua tertawa karena pernah mengalami hal yang sama dengan si Bapak. Bedanya si Bapak mau mengakui dan tidak malu membagikan itu.

Pak Hudoyo: Bagaimana cara menghadapi sepi. Bukan dilawan, bukan ditolak. Disadari saja rasa kesepian itu. Reaksi batinnya. Itu saja. Lama-lama juga lenyap. Kalau muncul lagi, disadari lagi.

Dialog 2

Dany : Saya hanya ingin sharing saja, setelah mengikuti latihan  MMD (Meditasi Mengenal Diri). Dulu saya perokok. sehari habis 4 bungkus. Saya mencoba berbagai cara untuk berhenti. Mengganti makan persen...puasa...dll. sempet  hilang tetapi kembali lagi merokok.

Setelah saya ikut MMD, keinginan merokok itu lenyap. Sekarang saya tidak merokok lagi. Sampai saya mengikuti MMD yang kedua.

Pak Hudoyo : Mengapa begitu? Karena setiap keinginan merokok itu timbul,  disadari lalu lenyap. Jadi sudah tidak ada keinginan merokok lagi. Saya dulu sejak mahasiswa merokok sampai  50 tahun.  Suatu hari saya masuk rumah sakit. Kan nggak bisa merokok? Ya sudah keinginan itu disadari. Lenyap.


Dialog ke -3


Bapak A : Saya merasakan manfaat meditasi dalam keseharian. Soal keinginan. Pernah ditawari jabatan, tapi saya menolak.  Meurut saya apa nggak sebaiknya  koruptor-koruptor itu ikut latihan meditasi. Supaya mereka nggak serakah, nggak korupsi? Mungkin MMD bisa membagikan brosur ke anggota dewan, supaya mereka latihan meditasi. (sembari mengatakan ini, wajah sang bapak terlihat jengkel dan geram).

(Grrrrrrr.... peserta tertawa terbahak-bahak, termasuk juga Pak Hud yang biasanya jarang tertawa :)

Pak Hudoyo : Orang yang mengikuti meditasi itu menyadari bahwa batin mereka bermasalah. Jadi latihan kesadaran batin itu datangnya harus dari dalam diri, bukan dari orang lain.

Peserta lain: Tapi siapa tahu dengan membagikan brosur, mereka membaca, lalu tergerak, dan melatih kesadaran.

Pak Hudoyo: Semuanya tetap harus dari kesadaran diri. Bukan karena orang lain.


Hemm...selalu ada yang bisa dibawa pulang ketika mengikuti retret. Tertarik ikut?


Yogyakarta, 20 Juni 2012

Pukul 08.00

Rumah Pohon

Saya berkunjung lagi ke rumah sahabat saya, Ine Febriyanti. Ada yang berubah dari lingkungan rumahnya. Rumah pohon dan tenda biru berukuran besar di halaman rumah pavilion mereka. "Agar anak-anak bisa bermain," kata Ine. Rumah pohon ini dari pohon rambutan yang nangkring di depan joglo rumahnya. Karena dibentuk rumah, maka beberapa dahan harus dipotong. "Sedih karena harus memotongnya," kata Ine. "Tapi semoga akan tumbuh ranting dan dahan yang lain."

Di sekolah anak-anak mereka ada rumah pohon. Jadilah sang suami dan Ine membuatkan mereka rumah pohon agar mereka dapat meneruskan  bermain di rumah sendiri.

Tiga putera dan puterinya, Fa, Zyein, dan Amanina tentu senang. "Nina berani naik ke atas?," tanya saya padanya. Bidadari kecil ini langsung mengangguk-angguk. "Bisa, Tante." "Kan di sekolah ada." Tak lama kemudian, Nina  melesat ke rumah pohon. "Eit...foto dulu yuk?," kata saya. Cetrek...cetrek...tanpa arahan, si cantik sudah bergaya ala model. Duh...cantiknya.

Setelah itu, dengan lincah Nina  naik tangga satu persatu. Tukang yang belum tuntas memasang atap umbi rumah pohon membantu si bungsu. Nggak ada rasa takut. Yang ada kegembiraan karena memiliki rumah pohon di areal rumahnya.

Tak lama kemudian sang kakak Fa dan Zyein menyusul. Bermainlah ketiganya di rumah pohon baru mereka. Berceloteh tentang sekolah dan permainan dengan bahasa anak-anak Saya menyaksikan dari bawah. Bergetar. Alangkah bahagianya mereka memiliki  orangtua yang  memfasilitasi anak-anak mereka dengan permainan baru. Tentu, sesuai  kebutuhan mereka.

Mengapa saya bilang permainan baru? Ini lantaran saat saya mengunjungi rumah mereka beberapa waktu, ada permainan titian tali yang menghubungan pohon rambutan dan pohon kelapa. Sekarang areal itu telah berganti tenda biru besar. Tenda dipasang untuk menjajal berapa luas dan kekokohannya. "Juli nanti sekeluarga mau mendaki gunung," kata Ine. "Anak-anak juga diajak."

Nina sendiri menjadikan tenda sebagai rumah barunya. "Tante...sini, aku masuk lorong,"katanya. Dan Tante Lulit tinggal jepret sana sini deh. Senangnya bermain dengan anak-anak, meski cuma sebentar.


Yogyakarta, 19 Juni 2012

Pukul 21.00




Senin, 18 Juni 2012

Capung Kiriman dari Papua

Sudah lama sekali saya tidak berburu capung yang menjadi nama blog saya "tjapoenk". Seorang sahabat yang baik sekali, Pakde Tja, dia bernama asli Tjahjono, mengirimi saya capung. Wow capung yang saya temukan di Jawa memang indah. Tapi capung kirimannya jauh lebih indah. Senangnya.

Rasanya seperti baru putus dari pacar, eh mak bedunduk segera dapat gantinya. (hihihi...lebay mulai)....Banyak orang bertanya-tanya mengapa saya memilih blog ini  tjapoenk. Ada penjelasannya sedikit sih di Tentang Tjapoenk. Saya sebenarnya ingin berpanjang-panjang bercerita. Tapi saya khawatir mereka yang membaca blog ini  jadi terganggu keindahannya menikmati capung kiriman sahabat saya dari Papua ini. Jadi informasinya saya singkat saja ya?

Kata  Pakde Tja, capung menjaga keseimbangan ekologis. Benar, Pakde. Selama capung masih terbang, kita berlega hati bahwa udara yang kita hirup masih bisa kita nikmati dengan segar.  Kehilangan  capung berarti polusi mengancam lingkungan sekitar kita. Kapan-kapan saya akan bercerita panjang lebar tentang capung ya?Sekarang, mari kita nikmati Capung Pakde Tja. Terima kasih. Ingat capung, ingatlah blog ini tjapoenk :) Terus aku tunggu kiriman capung lainnya.


Yogyakarta, 18 Juni  2012


Pukul 19.23

Minggu, 17 Juni 2012

Arisan

Ini identik dengan perempuan. Apa boleh buat. Embel-embel lainnya, identik dengan makan, ketemu teman lama, dan bergosip dong. Gosip, digosok makin siiiippp. Apalagi setelah muncul film Arisan yang membidik kaum jetset dengan segala polahnya yang bikin kita "bergidik".

Jika Arisan jaman sekarang layaknya di film itu....wow sudah jelas  bergeser jauh dari yang saya ketahui. Di kampung-kampung, motivasi warga ikut arisan biasanya karena alasan ekonomi. Misalnya, pingin beli kompor gas,  pingin bayar SPP anak. Jarang sekali saya mendengar, arisan untuk foya-foya, apalagi cuma sekedar pamer kekayaan, pamer jabatan suami dll.

Ketika  awal-awal kerja, saya ikut arisan Rp 350.000-an. Waduh ...berat banget. Karena gaji saya pada saat  itu tak sampai Rp 2 juta. Kayak orang terengah-engah habis lari-lari. Tapi waktu itu saya pingin jalan-jalan ke luar negeri. Nah...dengan memaksa menabung lewat arisan, maka keinginan saya bisa terpenuhi. Saya harus mengakui kelemahan diri ini sulit menabung. Nyaris tak ada uang berlebih dalam tabungan saya. Kadang-kadang malah minus. Hiks hiks. Investasi saya cuma asuransi doang. (kasian ya saya !) Maka, saya punya tiga sampai empat asuransi untuk hari tua nanti :) Kayak orang pensiunan PNS yang digaji, tetapi dari asuransi.

Nggak semua arisan yang saya ikuti gede-gede. Palingan cuma Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Itupun dapetnya auzubilah lamanya. Bayangin aja pesertanya di atas 30. Sampai merongos nunggunya deh. Saking lamanya, bisa-bisa peserta sudah ada yang pindah kerja dan kabur deh hehehe. Ini menurut cerita teman-teman lho. Tapi kisah saya tentang Arisan manis-manis aja tuh. Nggak ada yang kabur atau menilap uang.

Nah, teman saya punya ide bikin arisan ngumpulin modal. Kami berdua lalu mengajak teman yang tertarik. Pesertanya kebanyakan pengusaha. Karena motivasinya mengumpulkan modal, entah untuk biaya sekolah, usaha, traveling dll, maka nilainya gede. Perorang Rp1 juta dan Rp 500.000.Peserta hanya dibatasi 10 orang karena kita semua malas berlama-lama.

Pernahkah terpikir bahwa arisan dengan nilai besar itu seperti kita tengah mengajukan kredit tanpa agunan tetapi bunganya 0 persen. Saya cukup kaget mendengar cerita teman-teman yang mengikuti arisan Rp 5 jutaan  bahkan di empat tempat. Walah...arisan kelas berat.  Berapa besar pendapatan mereka ya? Biasanya tarikan arisan yang mereka peroleh untuk membayar uang  DP rumah  anaknya, atau mengganti mobil lama. Hiiii...saya mah nggak sanggup.

Tapi begitulah. Sudut pandang orang berduit sungguh berbeda dengan orang kebanyakan. Dengan perputaran arisan, uang bisa dimanfaatkan sedemikian rupa. Memang buat orang kaya lainnya, menyisihkan uang Rp 5 juta dengan rentang waktu justru merugikan. Dalam bayangan mereka, uang sebanyak itu sudah  beranak pinak ketika dalam genggaman mereka. Atau pihak lain menilai, lebih baik menabung di bank tetapi mendapat bunga. Tapi pada situasi sekarang berapa besar sih perolehan bunga di bank. Minim sekali. Saya lebih suka pendapat pertama. Arisan itu semacam kredit tanpa agunan dengan bunga 0 persen. Tapi yang kebagian terakhir tak berlaku-lah hukum ini hehhee.

Arisan ini pun, tak akan kongkow-kongkow di cafe-cafe atau restoran yang mengeluarkan biaya. Uang terkumpul, dikocok siapa yang namanya keluar. Begitu namanya keluar, transfer deh. Karena peserta tersebar di Jakarta, Bogor, Bali, dan Yogyakarta, maka murni arisan ini untuk menambah modal atau menabung untuk  keperluan lain. Jadi arisan sungguh bermanfaat bukan? Ayo, siapa mau gabung? Masih ada kursi lho. :)


Yogyakarta, 17 Juni 2012 




Kamis, 14 Juni 2012

Reuni dan Cerita Rumah


Pekan lalu, setelah meditasi di Mendut, saya menemui teman kantor tempat saya bekerja  yang juga atasan dari Jakarta. Dia tengah tugas di Solo menggantikan tugas atasannya lagi. Sudah lama  sekali kami tak mengobrol ataupun berhubungan lewat BBM. Kami tenggelam dalam kesibukan kami masing-masing. 

Setelah menjemputnya di stasiun kereta api, saya mengajaknya ke restoran Phuket, makanan khas Thailand. Ini salah satu restoran favorit saya. Tentu, menu Tom Yum Khung, salah satu andalan makanan di sini.  Bukan cuma Tom Yum  yang kami pesan. Tapi juga  singkong Thai, salad ayam panggang, cha sawi, teh Thai, disusul roti Canai dan ayam kemangi. Saking banyaknya pesanan, pelayan restoran sampai "bergidik" ngeri menyaksikan pesanan kami. Saya sendiri juga cukup surprised. Maklum selama ini cuma pesan tom yum dengan roti canai atau singkong Thai.

Semula kami cuma  coba-coba. Cicip menu sana-sini.  Tapi sungguh ya ampun, semua  makanan yang ada di sini enak semua. Alhasil, kami berdua sampai "klenger" kekenyangan. Wajah meruap merah kepedasan. Keringat bercucuran, dengan perut sedikit membuncit. 

Begitu kelar makan, kami menuju Hotel Dusun Village Inn, tempat dia menginap. Tampak dari luar, suasananya agak menyeramkan. Tapi begitu masuk ke dalamnya, asri dan serasa di rumah sendiri. Kolam renang mungil berkecibung suara air ketika anak-anak bule berenang bersama orangtuanya. Kebahagian mereka menular pada saya. Nyesss.

Pada kamar suite tempat dia menginap, kami berbagi cerita soal rumah. Percaya atau tidak, dengan jabatan redaktur,  masa kerja puluhan tahun,  dia belum punya rumah. Sama  seperti saya. Kalaupun ada keberuntungan, saya sudah memiliki tanah, tetapi belum jua dibangun-bangun hehehhe. Saya menarik kesimpulan, kesalahan strategis yang kami lakukan bersama adalah terlalu idealis memilih tempat tinggal. Jauh sedikit ogah. Tipe rumah tak sesuai juga emoh.

Bandingkan, teman-teman kami yang memilih tempat tinggal jauh seperti masuk ke negeri antah berantah. Mereka mencicil dengan harga murah. Seiring waktu harga tanah sudah melambung, kawasan yang semula mereka huni jauh sudah ramai. Jika mereka enggan menempati rumahnya, mereka akan mengontrakkan rumah dan  memilih kos di pusat Jakarta. Pada waktunya ketika mereka mau menikah, ingin tinggal di rumah yang lebih besar, rumah kecil dijual dan jadi uang muka. Tentu dengan harga yang berlipat-lipat dari sebelumnya. Itulah kesalahan kami. Tak menyadari investasi rumah betapapun kecil dan murahnya, perlu dilakukan sejak dini.

Tapi tak ada kata terlambat untuk memulai. Dia memutuskan akan membeli rumah di Jogja dengan harga yang reasonable. Alasannya, persiapan pensiun kelak di kemudian hari yang akan dilaluinya di Yogyakarta. Kedua investasi.

Ilustrasi yang saya ceritakan padanya mungkin bisa menjadi gambaran teman-teman lain.  Suatu hari, saya mencari rumah kontrakan. Pemiliknya simbah-simbah berjualan di pasar. Yang bikin saya terhenyak adalah, dia membuat 8 rumah dengan tipe berbeda-beda. Rumah dikontrakkan dengan sewa Rp 8 juta  pertahunnya. Pasive income datang padanya dengan nilai total Rp 64 juta pertahun. Seperti menerima uang pensiun Rp 5 juta lebih perbulan bukan? Pada masa tua-nya si simbok di pasar tak tergagap-gagap kekurangan uang untuk menghidupi dirinya sendiri, bahkan keluarganya.

Saya bilang pada dia, kita ini wartawan yang "seolah-olah" mengetahui semua informasi, tetapi tak cukup "cerdas" dalam menata hidup. Tenggelam dengan persoalan banyak hal, pejabat korupsi, negara akan bangkut dan sesuatu besar lainnya,  tetapi alpha terhadap diri sendiri. Dan suatu hari...ketika  rambut sudah beruban, barulah tergagap-gagap menyadari tak memiliki  rumah tempat berteduh. 

Sekali lagi, tak pernah ada kata terlambat. Saya cuma berpesan. Buat mereka yang masih bujangan, atau pasangan muda, berinvestasilah tanah atau rumah, sesederhana apapun, atau sekecil apapun. Rumah adalah kebutuhan primer, siapapun insan di dunia pasti membutuhkannya. 


Yogyakarta, 14 Juni 2012

Pukul 10.00







Kamis, 07 Juni 2012

Cerita Akhir Pekan

Akhir pekan ini begitu banyak cerita. Tapi saya benar-benar kelelahan. Jadi belum sempat menulis blog. Apalagi, mulai malam nanti  saya mulai retret meditasi dari Jumat sore ini sampai Minggu pagi. Praktis akhir pekan ini dalam keheningan. Tak boleh menelpon, SMS, buka laptop, tak boleh bicara. Cuma diam, masuk ke dalam batin-menziarahi batin.

Meditasi tiga bulanan ini rutin sudah saya lakukan memasuki tahun ketiga. Kali ini saya membawa teman-teman baru. Mereka belum punya pengalaman meditasi. Sayang, tiga teman, satu dari Jakarta, Ine dan Mbak Menik dan Mas Sentot dari Surabaya batal ikut karena alasan mendadak.  Sedangkan Shinta yang sudah pingin banget ikut, mulai bekerja di tempat baru per hari ini. Praktis, dia tidak bisa ikut karena mulai bekerja.

Sementara, Oliv, Ela, Kristo, dan Erik dipastikan berangkat. Eva yang pernah saya ajak pada meditasi akhir pekan, mengajak dua orang temannya. Mereka bertiga dari Jakarta. Senang rasanya, makin banyak orang tertarik untuk sadar. Meditasi yang kami ikuti tidak punya tujuan lain kecuali satu : sadar setiap saat. Jika pikiran dan aku berhenti, maka titik hening akan dialami oleh setiap pribadi. Itu saja.

Siapa tertarik untuk sadar setiap saat bersama kami? Atau buka saja http://www.facebook.com/pages/MMD-Meditasi-Mengenal-Diri/112080885544108


Yogyakarta, Jumat, 8 Juni 2012

8.52