Selasa, 26 Juni 2012

Rencana Live In (1)


foto : Bayu
Saya agak kehilangan fokus beberapa pekan ini. Terutama menulis. Produktivitas menulis saya jeblok. Terburuk di paruh tengah tahun ini. Rupanya saya gelisah. Merencanakan ini itu, tetapi malahan ambyar semua :(  Maju nggak, mundur juga nggak. Pendek kata, stagnan.

Maka, malam ini saya merencanakan menyepi untuk beberapa pekan. Saya akan live in di suatu tempat yang akan saya pikir-pikir besok. Pengalaman live in sebenarnya bukan barang baru untuk saya.  Waktu saya kuliah dulu, pernah  live in di Kediri, nun jauh di atas bukit berbatu. Untuk menuju desa itu, kami berjalan kaki. Saya lupa nama daerahnya. Yang jelas, daerahnya kering,  susah air dan penduduknya benar-benar miskin. Pekerjaan utama warga desa,  memecah batu.

Untuk kerja dari pagi hingga sore hari, mereka cuma mampu menghasilkan dua tenggok (keranjang anyaman bambu). Per-tenggok cuma dihargai  Rp  5000 untuk satu tenggok.  Karena "live in" praktis saya hidup bersama mereka, makan apa yang mereka santap, tidur di sebelah kandang sapi yang kalau malam nyamuknya alamakjan. Malam pertama saya tidur di desa itu, saya menangis. Menangisi kemiskinan, menangisi ketidakadilan. Bukan meratapi nasib karena mendapat fasilitas minim dan apa adanya? Siapa bilang semua orang Jawa sejahtera semua? Dengan penghasilan Rp 10.000 per hari, apa yang bisa diperoleh untuk hidup? Waktu itu, sebagai anak kos-kosan, biaya makan perhari saja bisa  Rp 20.000.  Itupun tanpa kerja keras. Cuma menunggu kiriman orang tua.

Karena "keluarga baru" saya pemecah batu, maka "pekerjaan" saya waktu itu jadi pemecah batu. Sebenarnya mereka tak meminta saya memecah batu. Tapi saya pingin tahu seperti apa ya rasanya. Duh...biyung. Tangan saya  lecet-lecet, badan pegal-pegal semua, dan puanasnya minta ampun. Cuma hari pertama saya mampu melakukannya. Besoknya, saya menemani si bapak memecah batu tanpa ikut terlibat, lalu berkebun dan mengurus kerumahtanggaan.

Nah, ini dia, karena setiap penduduk tak memiliki kamar mandi, maka praktis kami semua mandi di kali. Suatu hari ketika kami mandi, hanya berjarak sekitar  5 meter dari kami sapi-sapi dimandikan. Benar-benar shock.Besoknya, saya mencari rumah warga yang punya sumur. Tetapi kami cuma menemukan sumur warga yang hanya dikhususkan untuk memasak air minum. Tentu saja, lokasi sumur   terbuka. Apa boleh buat, mengenakan jarik kemben kami cibang cibung di sumur terbuka. Wow ...every body can see us. Malu pastilah. Menurut kami, mandi terbuka ini lebih baik ketimbang mandi dengan sapi. Hoaaaa...mengenaskan. Kami sadar  tak benar-benar utuh seperti warga desa yang menjadikan kali sebagai kamar mandi luas mereka.

Ada kejadian pedih yang begitu menyanyat hati saya ketika itu. Saya membawa agar-agar dari rumah. Tujuannya, untuk camilan bersama. Waktu itu saya baru bisa membikin agar-agar pakai santan. Namanya baru bisa, kebetulan pula ada sisa dua bungkus, maka saya bawa agar-agar itu. Saya lalu memasak agar-agar dan akan kami jadikan camilan pada sore hari.Agar-agar saya titipkan ke ibu tetangga rumah teman yang tinggal di sana.

Ketika saya menanyakan agar-agar itu, si ibu dengan wajah kebingungan menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. Penyebanya, agar-agar itu tak berbentuk padat lagi. "Wau kulo panasi kok dadi cair." Artinya, tadi agar-agarnya saya panaskan biar anget, kok malah cair. Saya hampir berhenti bernafas mendengar penjelasan si ibu waktu itu. Suara saya tercekat. Mau ngomong rasanya nggak keluar-keluar. Saya memalingkan muka saya yang panas dan menyembunyikan air mata yang nyaris jatuh.

Kemiskinan membuat si ibu tak tahu bahwa agar-agar padat ini semula berbentuk cairan. Begitu dipanaskan, maka agar-agar akan kembali cair dan tak bisa padat lagi. Saya cuma bisa bilang "Nggak apa-apa bu." Suara saya begitu lemah. Saya menyalahkan diri saya, kenapa mesti bawa agar-agar ketika live in. Kenapa saya tidak bisa berempati dengan hanya menerima apapun makanan yang dihidangkan? Kenapa? Kenapa? Banyak pertanyaan berkecamuk dalam diri saya.


Setelah lima hari live in, kami pulang. Tapi kenangan akan desa itu, orang-orang sederhana bersama kemiskinan mereka begitu membekas. Beberapa minggu setelah live in saya nyaris nggak doyan makan. Saya juga membelanjakan uang dengan ketat.


Tapi lama setelah itu, semuanya memudar. Ingatan orang-orang miskin  terlupakan. Sampai saya menulis kembali kisah berpuluh tahun silam itu. Betapa beruntungnya saya, betapa beruntungnya orang-orang yang sejak dilahirkan sudah berlimpah materi, fasilitas. Tetapi muncul pertanyaan saya, orang-orang yang berkuasa itu, yang telah menikmati kemewahan, jabatan, pernahkah mereka merasakan kemiskinan itu seperti apa? Ketika para pejabat atau anggota dewan me-mark up anggaran,  mengkorupsi anggaran, tahukah mereka siapa yang menjadi korban? tidakkah merekamerasa bersalah jika melihat kemiskinan semacam ini?

Yogyakarta, 27 Juni 2012

Dini hari, 00.32





2 komentar:

  1. kesenjangan sosial yg begitu ketara... hiks

    BalasHapus
  2. hiks hikss dan masih smapai skrng subur seakali

    BalasHapus