Selasa, 23 September 2014

Teh Poci, Bakiak, dan Gula Batu

Setiap melancong saya punya cerita lucu. Cerita kali ini tentang teh poci, bakiak, dan gula batu. Apa hubungannya? Ada.  Dalam lawatan saya ke Semarang kami menginap di hotel baru. Katanya bintang lima.  Sebagai hotel baru, tentu pihak hotel ingin memberi kesan untuk pelanggannya.

Dan kali ini memang cukup berhasil. Mereka menyediakan teh poci bersama cangkir dan tekonya yang khas itu lengkap dengan gula batunya. Belum pernah saya menginap hotel berbintang yang menyediakan teh poci bersama perangkatnya. Itu pun baru saya ketahui tahu keesokan paginya. 

Menjelang petang ketika kami tiba di hotel badan terasa penat. Agak konyol ihwal masalahnya terletak pada jadwal pesawat yang salah. Kami mengira menggunakan penerbangan Garuda pada pukul 7.55  sehingga dengan tergopoh-gopoh kami  berangkat dari rumah pukul  05.00. Belum lagi mesti bangun dan persiapan mandi dan lain-lain. Jam weker saya pasang di angka 04.00. Ternyata pesawat kami berangkat pukul 9.35. Hoaaaaa

Karena kelelahan, jadilah saya tidur dari pukul 18.30 hingga bangun jam 05.00. Teman saya rupanya belum bangun. Dia masih melingkar di kasurnya. Saya mengendap-endap. Mencuci muka dan menyelidiki sekeliling ruangan. Saya temukan teh poci lengkap dengan gula batu yang dibungkus plastik. Di sudut ruangan teronggok sandal bakiak yang kerasnya alang kepalang. 

Setelah saya mandi dan teman terbangun, saya bilang padanya tersedia teh poci. Dia mengangguk senang ketika dengan senang hati  menyeduh air panas dan membuat teh poci. Harum teh wanginya memenuhi ruangan. Segarrrrr. Melihat gula batu yang besarnya sejempol, saya berpikir bagaimana agar mengecilkan agar tak terlampau manis.  Tapi saya ingat teh poci memang diberi potongan gula batu yang besar karena  si penikmat teh akan mencampurkan air teh begitu mulai habis. Jadi otomatis gula batu akan lebur sampai kecil. 

Sembari memandangi bukit di luar dengan  aliran sungainya, teh poci saya seruput, Surga serasa di depan mata. Nikmat betul. Pagi ketika waktunya makan, saya bercerita dengan teman yang juga menginap di tempat yang sama. Dia menceritakan soal teh poci yang membuatnya terkesan. Seperti saya, malam-malam dia membuat teh poci. Tapi ada masalah. Gula batu yang besar itu tak sesuai keingiannya. Dia ingin kecil saja karena tak terlalu suka manis. Padahal biarkan saja dan otomatis dia akan lebur bersama teh yang panas. 

Teman ini berpikir," Bagaimana caranya gula batu bisa pecah." Pandangannya tertuju pada bakiak di sudut ruangan. Tak kurang akal bakiak dia gunakan sebagai pemecah gula batu. dan berhasil, Gula batu lebur. Kecil-kecil. Saya tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya dengan mimik wajah lucu. Tawa kami begitu keras karena teman sekamar saya sempat berpikiran hal yang sama. Bedanya...dia tidak mengeksekusinya. Hahahaha...


Jakarta, 23 September 2014


Selasa, 25 Maret 2014

Jokowi



Sihir itu bernama Jokowi atau Joko Widodo. Beberapa tahun terakhir  dia  menghiasi media-media nasional dan populer dengan acara blusukannya. Saya sendiri bertemu langsung dengan Jokowi ketika di Solo sekitar dua tahun lalu. Bersama teman-teman yang lain yang tengah belajar tentang kepemimpinan nasional, kami ingin mengenal dari dekat kepemimpinan  Jokowi di Surakarta.

Mengenakan sepatu kets, baju putih, dan celana gelap,  Jokowi waktu itu masih menjadi Walikota Surakarta. Selama satu jam bertamu itu, dia  menceritakan pengalamannya selama memimpin Solo. Kisah lucu yang saya ingat ketika dia pertama kali menjadi inspektur upacara, saat hari pertama memimpin Surakarta .Ketika komandan upacara melaporkan kepada Jokowi sebagai inspektur upacara, dia heran. "Sudah bermenit-menit kepalanya memegang dahi kanan tanda hormat kok tidak turun-turun juga. Akhirnya karena saya kecapekan, saya turunkan tangan, dan semua peserta upacara grenengan (bercakap-cakap) Usai upacara semua anak buah di lingkungan Pemerintah Kota Surakarta tertawa. "Saya baru tahu kalau yang menurunkan tanda hormat itu saya sendiri." Geeeeerrrrrrr....Kami yang ada di ruangan itu tertawa terbahak-bahak. Begitu cair dan lepas.

Seperti itulah Jokowi. Sederhana dan bersahaja. Tidak berubah. Sama seperti ketika hari Minggu, (23/3) ketika kami tim Kompas TV bertemu dengan Jokowi dalam sebuah undangan makan malah di Restoran Lara Jonggrang.

Perbincangan hangat dan cair. Saya melihat tawa Jokowi begitu lepas, hingga dia terpingkal-pingkal ketika seorang teman menyampaikan cerita ini.

Teman saya : Pak, ternyata sudah ketahuan lho Presiden bonekanya siapa?
Jokowi : Siapa (mimik wajahnya serius)
Teman : Itu yang memeluk teddy bear, pegang boneka.
(Terperanjat sebentar setelah itu tertawa terpingkal-pingkal. Ruangan serasa bergetar)
Jokowi : Kalian itu lho nakal-nakal. Apa saja bisa dibuat. Hahahaha...

Banyak hal yang diceritakan Jokowi. Mulai dari perjanjian Batu Tulis, cawapres yang akan bersanding dengan dirinya, hubungannya dengan Megawati, kisah pencapresan dan pendeklarasian di Rumah Pitung dll. Tentu semua off the record.

Pertemuan sekitar sejam lebih itu pun bubar. Setelah berpamitan, kami meminta Pak Jokowi berfoto bersama. Pak Jokowi memilih foto berlatar belakang Soekarno. "Latar belakangnya ini saja," kata Jokowi sembari menunjuk foto Bung Kanrno. Kami segera mengambil posisi bersama Jokowi.   Sayang, karena restoran itu gelap, sementara tidak ada di antara kami yang menggunakan kamera, jadilah foto kami ala kadarnya. Hiks. Tapi Jokowi memang sihir. Baru kali ini saya melihat teman-teman di kantor meminta foto satu per satu. Sihir itu bernama Jokowi.


Kemanggisan, pukul 09.08
27 Maret 2014


Rabu, 12 Maret 2014

Ahok


Ahok atau Basuki Tjahja Purnama adalah sebuah perkecualian. Dia mewakili agama dan suku minoritas di Indonesia, tapi apa yang dilakukannya mewakili keinginan  mayoritas rakyat Indonesia, yakni  Indonesia bersih, bebas dari korupsi.

Bicaranya meledak-ledak, tanpa tedeng aling-aling. Baginya bekerja di pemerintahan sebuah pengabdian, untuk ibu pertiwi. Maka, orang yang bekerja di pemerintahan jangan pernah bermimpi kaya, kecuali nyolong duit negara. Berkali-kali dia menegaskan, seseorang yang tidak mau dituduh korupsi harus bisa membuktikan kekayaannya.

Malam itu, saya bersama teman Kompas TV, diundang makan malam ke kantornya. Pak Ahok rupanya doyan makan enak. Menu yang dihidangkan wooow meriah banget. Sop buntut, udang, ikan bakar, cap cay, ayam goreng,  nasi merah, dan buah segar.Kami sampai kekenyangan. Di sela-sela obrolan  itulah Ahok menceritakan banyak hal, yang bikin bulu kuduk saya berdiri. Betapa korupnya pejabat kita. Rasanya saya makin frustasi setelah mendengar ceritamya. Masih adakah titik cerah bagi negeri kita bebas dari korupsi?

Mengapa orang tak bisa mengatakan cukup pada dirinya sendiri? Sampai seberapa lama kekayaan bisa membius seseorang? Di tengah rasa gundah itu, sesaat sebelum pulang saya minta berfoto bersama. Sangat jarang bagi saya untuk meminta foto seorang pejabat. Yang dulu pernah saya lakukan minta foto bersama Wapres Budiono ketika tengah berkampanye. Setelah itu, Pak Boediono benar-benar menjadi Wakil Presdien.  Nah, sekarang saya ingin berfoto bersama dengan Pak Ahok. Mungkinkah kursi DKI 1 benar-benar ada di pundaknya?  Tapi kadang-kadang kejutan kerap menyertai dalam kegiatan jurnalistik saya. Pak Ahok menawari saya berfoto dengan menduduki kursi kerjanya. Pak Ahok mengambil posisi di belakang saya.  Wooow. Teman-teman berkomentar, foto saya mirip pre wedding. Setelah melihatnya, saya pikir-pikir kok benar juga ya? Hahahaha



Palmerah, 12 Maret 2014





Minggu, 02 Maret 2014

Saya Kelelahan

Beberapa hari ini otak ini rasanya panas. Sepertinya saya kelelahan. Mungkin karena terlalu  terseret, jadi kesadaran ini melemah.

Pekerjaan beberapa hari ini menumpuk. Saya jadi produser sendirian lagi. Soal konten dan narasumber mungkin tidak terlalu keteteran. Tapi  persoalan teknis yang rumitnya setengah mati membuat saya kehabisan energi.

Karena itulah saya harus berhenti. Rehat sebentar. Rabu Minggu depan untunglah saya ke Melaka. Jadi lumayan liburan tiga hari. Cuma pingin bawa baju apa adanya dan tas satu biji.Benar-benar pingin liburan efisien.

Meditasi, makan, dan nongkrong. Untung perginya bertiga dengan teman meditasi. Jadinya bisa meditasi bersama di pinggir sungai deh.

Tak cuma itu saja. Bulan April besok saya juga merencanakan liburan ke Jambi lima hari. Masuk hutan dan liburan di rumah penduduk. Tiket juga sudah saya pesan. Saya bersama sahabat di kantor, Tante Jul. Jambi tempat dulu KKN. Saya masih ingat rasanya pindang patin yang sedapnya auzubillah (sekarang pun masih ngeces). Seperti apa Jambi sekarang?

Nah di bulan Mei, liburan yang isinya tanggal merah semua, saya manfaatkan cuti. Lumayan bisa liburan hampir dua minggu. Saya cari tiket dan yiaaayyy tiket sudah di tangan. Tanggal 21 saya sudah berangkat ke Dili, pulang tanggal 30 Mei. Wooow lama banget ya.

Saya butuh rehat. Itu saja. Saya tahu caranya menyeimbangkan diri. Liburan adalah salah satu caranya.


Palmerah, 2 Maret 2014

Kerja di hari libur itu sesuatu yak. 

Kamis, 27 Februari 2014

Mencintai Diam-Diam Itu Indah

Saya punya cinta rahasia. Tentu karena sifatnya rahasia ya identitas orangnya tidak akan saya buka. Mengapa harus  merahasiakannya. Karena sesuatu hal yang tidak boleh. Oleh apa? Ya sesuatu hal yang tidak bisa saya ceritakan kepada siapapun. Rahasia perempuan itu sedalam lautan samudera, bukan? Begitulah.

Saya tahu cinta kami tak akan pernah mengikat. Kalau  kemungkinan atau suatu saat bersama  pun pasti ada keajaiban. Jadi saya memilih mencintainya diam-diam. Dari pengalaman mencintai diam-diam itu, saya menemukan keindahan di sana. Cinta itu berproses, iya. Naik turun. Kadang meletup-letup, kadang penuh gejolak.  Kadang ketika kangen menghinggapi dan saya bertanya-tanya sedang apa dia, apakah dia berbahagia, rasa itu memuncak begitu saja. Lalu dia padam dengan sendirinya?  Kalau saya ingin diperhatikan, saya menuntut. Kalau sedang asyik dengan diri sendiri, saya lupa dia. Lupa begitu saja.

Tapi lambat laun, seperti bunga, yang semula kuncup, mekar, dan lalu layu, cinta saya dan kami pun demikian. Hingga akhirnya saya memahami rumusan kalimat ini. Mencintai diam-diam itu indah. Asal terukur dan tak berlebihan. Pas saja. Cukup. Itu jauh lebih membebaskan. Saya temukan keindahan itu di sana. Dia ada ketika saya membutuhkan dia, tak harus bertemu fisik. Dan saya ada bersamanya ketika dia juga menumpahkan rindu.

Kadang-kadang saya menyimpulkan  sebuah hubungan itu seperti  menatap sebuah gelas. Jika kosong, yuk kita isi bersama. Tapi jangan sampai tumpah. Tumpah itu tak ada artinya. Sia-sia belaka. Sesimple itu, sebenarnya. Bagaimana cinta kalian?



Palmerah, 28 Februari 2014

Katanya bonus akhir bulan ini dibagikan...:)


Senin, 10 Februari 2014

Tiga Hal Biar Aman

Bagaimana kita bisa terlepas dan aman dari segala hal di dunia ini. Saya punya tiga hal. 1. Jangan kemaruk. 2. Jangan merugikan orang lain. 3. Berani mengatakan cukup pada diri sendiri.

Saya sudah melewati banyak hal di tempat bekerja. Dan karena tiga resep itu, hidup saya terasa menyenangkan, bebas, nyaman di hati.

Tidak sulit kok. Asal konsekwen. :) Mari hidup seadanya, maka alam semesta akan bersamamu.


Palmerah, 10 Februari 2014

Sudah Turun 5 Kilogram

Sudah sebulan ini saya diet. Diet yang alamakjan ...gak yakin deh kalian sanggup. Nggak percaya? Coba lihat menu sehari-hari saya.

Pagi  : Makan oatmeal
Siang : Nasi cuma sekitar 7 sendok dengan lauk apa aja tapi besarnya  sebesar  tiga jari dan sayur.
Nah...ini dia...semua lauk dan nasi itu tidak boleh dimasak dengan minyak. Semuanya dikukus atau direbus
Malam : Hanya sayur, buah atau lauk. 

Semua makanan di luar itu tidak bolehlah yauw. Jadi lupakan keju, pizza, macaroni, kue tart dan semuanya yang enak-enak. Waktu itu saya bilang, "Kalau ada godaan, saya akan bilang ke diri ini, aku sudah pernah menyantap makanan itu." Pede banget.

Makanan yang boleh saya santap hanya 1000 gram kalori. Daftarnya sudah disiapkan ahli gizi. Dengan semangat 45 saya memulainya. Tiga hari pertama saya detoks, hanya makan buah dan sayur tok. Haduh lapernyaaaa...Tapi ajaib saya turun 3 kilogram dalam seminggu. Selanjutnya menu yang seperti saya jelaskan di atas.

Dua minggu pertama saya masih kuat. Berikutnya saya mulai towal towel  lemper,  nyemil kacang goreng, makan lauk yang digoreng.

Alhasil dua minggu pertama saya cuma turun 3 kg satu ons. Busyet. Rupanya saya kena PMS dan nafsu makan saya lumayan hot. JAdi dokter menghibur saya dengan bilang, kalau mens memang tidak normal baik dari hormon, nafsu makan dll.

Baiklah. Karena frustasi saya makan mulai ngawur. Tapi dengan tetap makan nasi seuprit di siang hari.

Begitu palang merah berakhir, saya penasaran melihat timbangan. Ya sudah deh kalau memang turun 3 kilo diterima saja. Dan dengan agak deg-degan saya menimbang. Wooow....takjub. Saya turun 5 kilogram. Wah saya jadi semangat lagi. dua hari kemarin saya masak tanpa minyak goreng sama sekali.

Bisakah bulan depan saya turun 5 kilo lagi. Doakan saya ya? Target saya memang agak mengerikan sih, bisa turun 35 kilogram. semoga bisa.



Palmerah, 10 Januari 2014

Menjelang taping


Senin, 03 Februari 2014

Pupus

Saya pernah mencintai dia
Saya juga amat menyayanginya
Tapi semua rasa itu menguap di udara
Pupus sudah semuanya
Meski begitu, saya tetap merasakan kehilangan


Palmerah, 3 Januari 2014

Minggu, 26 Januari 2014

Tentang Melepas Kemarahan

Pernahkah kalian merasa sakit hati karena diremehkan, ditinggalkan, dikhianati, tidak dipercaya, dizalimi dll. Saya pernah doong. Tp waktu pd akhirnya berbicara. Dalam kondisi "jatuh" itu ketika kita tak memberi penilaian apapun, Cukup menyadari rasa sakit itu, keadaan berbalik begitu cepat. Miracle demi miracle, keberuntungan demi keberuntungan menghampiri saya. Jadi saya putuskan tdk akan marah pada apapun dan membiarkan orng marah pada saya smp mentok. Kemarahan hanya akan "membunuhmu" pelan2. Yang rugi hanya kita sendiri. 

Palmerah, 26 Januari 2014

Senin, 20 Januari 2014

Menghadapi Orang Sulit

Bagaimana ya caranya menghadapi orang sulit? Saya lagi galau. Pasalnya orangnya sensitif dan gak bisa menerima kritikan.  Selalu menuntut ini itu, memaksakan kehendak, kerap mengeluh ini itu, dan seolah-olah dirinya sempurna.

Bagaimana ya caranya menghadapi orang sulit?
Entah. Saya tidak tahu.

Lebih baik diam aja deh. Suka-suka dia. Rasanya sudah lelah menghadapinya.


Palmerah, 20 Januari 2014

Kamis, 16 Januari 2014

Tiga Kalimat

Ada tiga kalimat yang paling saya suka belakangan ini : 1. semua hal pasti berlalu. 2. kebenaran itu soal waktu. Dia tak pernah salah. 3. Sesulit apapun hidup, kita pasti akan melewatinya. Seseorang yang menggenggam masa lalu ibarat keong yang selalu membawa rumahnya kemana-mana. Penuh beban. Hidup yang berarti ada di sini, sekarang ini.

Rabu, 08 Januari 2014

Hening Pukul 12.00

Sejak Minggu ini, saya dan Aning sahabat saya memutuskan hening bersama di sebuah Gereja paling tidak seminggu sekali. Gereja di kawasan Slipi itu sepi. Ada sebuah gua Maria  dengan pohon yang menaunginya. Beberapa kursi berjejer. Teduh oleh rindangnya pohon. Pas sekali untuk hening di sana.

Kantor  kami berjarak sekitar 3  kilometer. Jadi memungkinkan kami untuk hening di saat rehat makan siang. Kemarin, kami janjian tepat pukul 12.00 saat matahari tepat di atas kepala. Karena dekat, kami cuma  naik angkot. Sekitar 15 menit perjalanan  kami sampai di lokasi keheningan.  Begitu tiba, kami memejamkan mata. Tiada berkata-kata. Hanya hening saja. Menyadarai pikiran ini dengan pasif, tanpa daya upaya. Sekitar setengah jam, mata kami terbuka. Kami beranjak. Pulang, kembali bekerja. Setengah jam cukup untuk melatih kesadaran.

Kami memulai tahun baru dengan begitu sederhana. Resolusi 2014 yang ingin  saya jalani, sadar setiap saat.


Palmerah, 8 Januari 2014

Rabu, 01 Januari 2014

Kenangan Kembang Api dan Tahun Baru

Entah kenapa cerita kembang api dan tahun baru yang pernah saya tulis beberapa tahun lalu menjadi  favorit saya. Ini cerita miris sebenarnya. Tapi dari cerita ini saya bisa mentertawakan hidup saya yang belum juga punya pasangan, tetapi tetap bisa bahagia.


Tahun ini, seharusnya saya  menonton kembang api di Singapura. Ada partner perjalanan ke sana dan  saya hooh-hooh saja. Eh menjelang pemesanan tiket dia membatalkan karena masuk  kerja. (duuuh nggak mutu banget sih tuh kantor...) Saya akhirnya menurunkan standar, menonton kembang api  di Bundaran HI saja.


Menjelang sore,  kepala kok berdenyut-denyut dan badan panas. Pastilah karena urusan kepindahan. Belum lagi malam menjelang saya sudah blek sek...bobo dengan suksesnya. Tahu-tahu bangun sudah tahun 2014. Ya sudahlah. Jadi, sebagai pelipur lara saya buka tulisan ini. Kejadian ini  terjadi di Singapura tahun 2002. Perjalanan nekat tapi asyik. Seperti inilah ceritanya.


Masihkah Kalian Punya  Sensasi Yang Belum Terwujud?

Saya punya. Mungkin buat orang lain bukan sensasi,  tetapi buat saya ‘iya’.  Memang sih  sensasi saya  norak. Tapi namanya juga angan-angan,  nggak ada salahnya kan? Siapa tahu mewujud .   Pertanyaan itu diajukan oleh salah satu kawan ketika kami “nyangkruk “ bertahun lalu. Sembari menyeruput coklat, minuman kegemaran saya, kami menghabiskan  cerita sensasi ini sampai berbusa-busa.

Tadi malam,  obrolan sensasi  juga terjadi kala saya dan seorang kawan menyeruput coklat. Kali ini saya yang memulainya. Tak jelas bagaimana awalnya, tahu-tahu  obrolan sensasi menghangat.  Terbersitlah ide menuliskannya dlam note.  Nggak penting, mungkin.

Tapi akhir-akhir ini saya  mesti banyak menulis guna  menciptakan atmosfir menulis setelah saya padamkan selama empat bulan.  Apa alasannya, tidak penting untuk diceritakan. Terlebih kawan saya menagih tulisan  ini pagi tadi. Wah saya memang perlu diingatkan, biar nggak “nggambleh”. Jadi mari kita bahas sensasi  impian saya.

“Saya ingin berciuman dengan  orang yang saya cintai  di lift yang angka lantainya lebih dari 25,” kata saya kepada dia.  Saya berhenti sejenak,  menyeruput cuklat  bertabur keju di depan saya. Hemmm nikmatnya.  Mata teman saya terbeliak. “Hah? Nggak biasa ini?,” katanya.  “Ya namanya juga sensasi, pasti  agak anehlah,”  jawab saya buru-buru.  “Sensasinya dimana?,” tanyanya lagi. “Berciuman di lift yang punya  lantai di atas angka 25 itu butuh waktu agak lama, lho?. Setidaknya 10 menit bolak balik. Belum lagi kalau di tiap lantai ada yang tiba-tiba masuk. Nah deg-degannya itu yang  pasti bikin sensasi tersendiri. Antara menikmati ciuman itu sendiri dan harus berkonsentrasi jika “ting …ting” tanda ada orang masuk. Gugup pastilah, apalagi kalau ketahuan orang.

Teman saya manggut-manggut.  Ekspresinya  sulit saya ceritakan.  Tapi kurang lebih “Wong aneh tenan ki koncoku.” hihihihi. Memandanginya, saya cuma  cengar cengir dan mengulum senyum.

Cerita tentang gugup itu sendiri, bukan perkara sederhana untuk saya.  Gugup , buat saya adalah sensasi  yang  menggetarkan.  Coba kalian ingat, kapan terakhir kali gugup.  Gugup yang saya ceritakan bukan  karena ketahuan korupsi lho. Dalam konteks ini,  gugup yang sedang saya bincangkan  ketika kita sedang bersuka-suka dengan  teman,  pacaran  baru tetapi masih malu-malu, ketemu temen baru, atau ya gugup karena tidak ada  alasan. (aih kalau ini nggak mungkin).  Pendek kata, getaran  kegugupan itu sendiri,  sensasinya juga tak terjemahkan.  Bikin gagu, jantung berdegup lebih kencang,  ngomong salah-salah, atau bertindak juga jadi kacau. Nah, begitulah.  “Bikin hidup lebih hidup,” kata  sebuah iklan.

Nah, dalam kitannya  mewujudkan sensasi  itu, percaya tidak, saya pernah sampai mengamati dengan detil,  gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Karena  dulu saya tinggal di Jakarta,   apalagi kerap melakukan tugas jurnalistik, saya  jadi tahu  gedung-gedung mana saja yang memiliki lantai di atas  25 tingkat. Jam berapa  kantor itu padat pengunjung, jam berapa sela. Benar-benar niat ya?

Tapi  seperti  cerita bersambung, kisah  impian sensasi ini belum berakhir.  Bisa ditebak bukan?  Saya belum pernah melakukannya, meski  saya  punya pacar dalam beberapa masa.  Ehem.

Sensasi  kedua yang ingin saya lakukan adalah bersama yang tercinta  menyaksikan kembang api di Singapura.  Lalu apa sensasinya? Ini sebenarnya kisah yang  sempat saya  simpan rapat. Alasannya, sederhana, takut orang punya pikiran yang tidak-tidak. Tapi  sudah  saya buang persepsi itu karena  tidak ada yang perlu ditakutkan.

Kejadiannya tahun 2002. Saya melancong  ala backpacker dengan dua sahabat saya Zara dan Siska.  Pada waktu itu, saya hanya  memberikan budgjet Rp 3 juta dlam perjalanan ke ke tiga negara  Singapura, Malaysia, dan Thailand.  Selama  dua minggu perjalanan itu,   keuangan sudah menipis di Thailand.  Dua sahabat saya memutuskan naik   pesawat dari Thailand ke Indonesia. Saya ngotot tinggal. Alasannya sederhana. Saya ingin membuktikan  Rp 3 juta itu bisa nggak sih keliling ke tiga negara?

Saya naik perjalanan darat dari Thailand ke Singapura sendirian. Hehehe cukup heroiklah. Satu malam di bus, bener-bener  garing.  Dari Singapura perjalanan mestinya berlanjut ke  Batam menuju  Jakarta  dengan  pesawat.

Dasar  naluri petualangan saya, duit  tak sampai  Rp 500.000 masih ngotot tinggal semalam  di Singapura. Ya…hari itu tanggal 31 Desember,  saya  menginjakkan kaki  kembali di Singapura.   Biar agak keren (norak  betul) saya pingin  bertahun baru di Singapura. Aih…rasanya  waktu  itu agak keren juga ya kalau pas lagi nongkrong  sama teman-teman, ditanya,” Tahun baru kemana?”  Lalu saya jawab “Singapura.” Yeksss… ingat itu saya jadi malu. Norak norak. Saya pingin mauk ke got  kalau ingat kenorakan  itu.  hiiii.

Jadi begitulah. Saya memutuskan, biar badai topan melanda, saya harus bertahun baru di  Singapura. Pesta kembang api-lah yang menjadi magnitnya.   Ini karena saya dengar, pesta kembang api di Singapura keren banget.  Kembang api seperti nafas hidup saya. Saya suka sekali.  Kesenangannya sulit dilukiskan.

Nah, Inilah awal cerita sensasi  itu.  Di stasiun MRT  Jurong (saya agak lupa) saya melihat bule yang lagi  bengong.  Tampangnya kelihatan baik. Saya menyapanya.  Dia bilang mau cari motel.  Keinginan kami sama.  Dasar sok tahu, saya bilang, saya punya referensi hotel yang biayanya murah antara lain daerah Tanjung Katong.  Ketika kami telepon, hotel penuh semua.  Saya memang  konyol, malam tahun baru di negeri yang menjadi tujuan wisata, belum pesan hotel. Waduh…saya mulai panic. 

Atas rekomendasi dari warga Singapur, kami diminta ke Little India. Di kawasan itu, menurut cerita mereka, ada banyak  pilihan hotel yang harganya miring. Dan tibalah kami  di hotel, ketika petang menjelang.  Begitu tiba di hotel, astaganaga. Saya hampir pingsan.   Mahal amat. Jelek amat.   Nggak ada  pendingin, puanasnya minta ampun, kumuh. Yang bikin saya melotot, kok bisa ya kawasan   kayak gini bisa jadi jualan  wisatanya Singapura. Halah. Indonesia jauh-jauh lebih asyik dan menarik deh.  Saya sudah mau balik badan, cabut dari tempat itu. Tetapi Tobias, nama turis Jerman itu, melarang saya. Dia bilang, “Kan cuma untuk tidur sebentar saja.  It’s oke-lah,” katanya.


coba tebak gambar apa hayooo
Dan yaelah astaganaga. Harga kamarnya waktu itu   35 $ dengan kurs  Rp 5500. Sial, sial, sial. Bener-bener negara seiprit yang nggak yeye banget soal kemahalannya.  Sebagai perbandingan, saya menginap di Thailand dan Malaysia dengan tarif  Rp 125.000 hotel sudah AC dan dapat makan pagi.  Di Hotel Khaosan Road, kami lebih gila lagi, nginep Cuma Rp 20.00 semalam, tetapi jauh lebih manusia ketimbang kamar yang saya masuki di Singapur. Nggondok buanget.

Tobias sendiri juga terlihat  kaget dengan tarif  untuk hotel sejelek itu. Lantaran si backpacker ini  sudah menghabiskan uangnya  sebesar Rp 120 juta untuk keliling dunia, maka kondisi keuangannya juga sudah menipis.  Singapura adalah tujuan terakhirnya ke Asia. Selanjutnya dia akan mengunjungi Australia dan kembali ke Jerman.  Dengan duit yang makin cekak,  dia mengatakan  harus mengirit perjalanan.

Tak terduga, yang bikin saya melotot, dia berujar pada pemilik hotel. “Boleh nggak saya menginap di atap hotel ini.”  Saya terbeliak. Hah edan. Backpacker ya backpacker sih,  tapi saya ndak seedan itu, menginap di atas atap. Hiii.   Tapi saya diam saja.  Jelas saja si pemilik hotel tak memperbolehkan.  Tobias garuk-garuk kepala. Hemmm…sedetik kemudian,  dia bilang pada saya. “Hemmm…kamu keberatan tidak kalau kita share sewa kamar?  Mata saya melotot. Mungkin dia menangkap kecemasan saya. Dia bilang, “Kamu akan baik-baik saja,  kita hanya  sharing biaya kamar.” Sedetik saya berpikir. Tapi jujur, matanya terlihat  baik,  dan bukan tipe yang aneh-aneh.

Wadeuww….saya tolah toleh…Gugup….nah gugup memang sensasi  yang  asyik,kan? Si Tobias bilang, dia akan tidur di lantai kalau memang  tempat tidurnya hanya satu, meskipun harga kamar dibagi dua.  Hihihihi… Akhirnya saya mengangguk  setuju. Ternyata, tempat tidur kami  bersusun kayak jaman tanksi perang.  Bahannya bukan kayu, tetapi dari besi. Kalau kejedot kepala, lumayan juga tuh.  Dan saya bener-benr kejedut malam itu. Tobias mengambil tempat tidur  di atas, saya di bawah. Saya yakin aman, karena  untuk naik dan turun ke tempat tidur agak susah.

Rupanya  Tobias juga ingin menyaksikan pesta kembang api. Begitu tiba di hotel, dia  mencari informasi ke Orchard Road.  Saya memilih di hotel, mandi, dan istirahat. Tobias datang  2,5 jam kemudian.  Rupanya, dia jalan kaki dari Little India. (pantesan lama banget sampai hotel). Lokasi pesta kembang api itu di pinggir laut, Marina Bay.  Katanya  yang paling ramai dan  terbesar pada perayaan Tahun Baru.  Dari little India,  Tobias mengajak saya jalan kaki.  Katanya dekat. Tapi ternyata  1,5  jam  perjalanan. Gempor kaki saya. Alamakjan.  Jalan sama bule memang  doyannya pake kaki.

Dalam hati saya, jangan sampai  pulang jalan kaki lagi. Saya bilang ke dia. “Naik taksi deh, saya bayar nggak papa pulangnya.”  Tobias cuma  tertawa kecil. Dan begitu  sampai, lautan manusia sudah memenuhi kawasan Marina Bay. Untung kami tak terlewat gara-gara jalan kaki itu. Seperti yang  saya tebak, hampir sebagian besar orang berpasangan.  Duduk  di pinggir laut, angin cukup kencang bikin saya agak masuk angin. Saking asyiknya ngobrol, tak terasa jam sudah  menunjukkan  pukul 23.30. Dan ledakan api nan indah itu tibalah….wowww…saya bahkan masih mengingat keindahannya  hingga  sekarang.

Pesta kembang api   yang agak bikin  bibir saya menganga  adalah pesta kembang api  di halaman mall  Lippo Karawaci  tiap akhir pekan beberapa puluh tahun silam.  Tapi alamakjan, kembang api Singapura  benar-benar istimewa.  Kembang api itu  diluncurkan dari tengah laut. Langit  bersih…dan siiiiiiiuttttttt  duaaarrrr. Bulat bertingkat, ada yang  seperti kerucut,  ada yang seperti ekor naga.  Saya seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru. Wow…wow…indah sekali.  Seolah-olah sayalah yang menikmatinya sendirian.  Saya bahkan lupa  ada Tobias  di sebelah saya.

Saya benar-benar terhipnotis dengan pesta kembang api itu.  Tiba-tiba Tobias berteriak pada saya. “Ini sangat cantik, di negara saya saja, saya belum pernah menyaksikan yang seindah ini,” katanya.  Dalam hati saya mengatakan. “Wah syukur deh berarti aku nggak terlalu udik,  mengagumi  pesta kembang api ini. Dia yang dari negara  maju saja terkagum-kagum  hihi.”  Tobias tak henti-hentinya memotret  ke langit bertaburan kembang api.

Setengah jam diluncurkan…dan inilah saat menjelang detik pergantian  tahun. “10,9, 8, 7,6,5,4,3,2,1,” teriak massa.  Dan kembang api itu meluncur dari tengah laut seperti rentetan  mesiu jaman perang.  Bersaut-sautan.  Ledakan-ledakan api yang membentuk api indah  begitu membius saya.  Tempik sorak  dari lautan manusia terdengar. Happy new year…. Langit Marina Bay terang benderang oleh api yang bermacam-macam bentuknya.

Dan ketika dongakan leher kami terlepas dari langit, segera kami tersadar dengan pemadangan  di sekeliling kami.   Kami berdua   terkurung di antara pasangan-pasangan yang saling berlumatan bibir. Hanya beberapa inci dari tempat kami berdiri.  Clap clup clap clup, bercipokan menyambut tahun baru. Mereka mengepung kami dari depan, tengah, belakang.  Saya dan Tobias sama-sama  getir.  Kami berdua  sama-sama  jengah. Tetapi juga nggak bisa apa-apa.  Saya misuh-misuh dalam hati.  “Jangkrik, kelamutan kabeh.”  Tempat sudah benar,  suasana mendukung,  malam  kian melankolis, tetapi  orang di sebelah saya, bukan kekasih,  hanya orang asing. Ah, sedih betul, kawan.

 Saking gugupnya Tobias dengan pemandangan di sekitar, dia mengulurkan tangannya ke saya. Tapi lebih mirip kayak teletabbies itu lho, yang suka bilang “Berpelukan.” Nah, seperti itulah.  Dan saya menyambut pelukan itu.  “Bernada, happy new year,” katanya.  Matanya yang baik hati itu terlihat tulus. Lalu dia mencium pipi saya. Hihihihi..Tahun baru dengan orang asing,  dengan kepungan  pasangan  berciuman sungguh tak enak, kawan. 

 Sambil memandang langit  dimana kembang api  masih muncrat dengan indahnya,  saya berucap dalam hati. “Suatu saat saya akan ke sini,  menikmati kembang api, di malam tahun baru, berlumatan, jika perlu sampai pagi dengan orang yang tercinta.” Jadi begitulah…sensasi yang saya impikan itu.

Dan hem… bisa ditebak yang kedua kalinya.  Impian itu belum terwujud.  Sudah  beberapa kali  mengunjungi  Singapura, tetapi tidak  tahun baru, juga tidak dengan pacar. Aih….

Ending:

Tapi meski itu pengalaman manis dan getir,  setidaknya ada  beberapa hal berharga  yang bisa  saya bagikan.  Satu, laki-laki  dan perempuan dalam satu kamar, tidak  selalu harus “begituan” kata anak muda jaman sekarang.  Kedua, tiada taksi, tiada bus malam, apalagi ojeklah yauw (dalam hati saya bersyukur  tinggal di  Indonesia punya tukang ojek. Sumpah).  Malam itu, meski kegembiraan saya begitu berwarna seperti kembang api dan  kegetirannya  seperti menelan pil pahit, saya tak punya pilihan lain untuk jalan kaki. Hem…1,5  jam.  Lengkap sudah malam pergantian tahun itu.    Ketiga, percaya tidak,  meski kami melewatkan malam tahun bersama, kami sama-sama  tak meninggalkan alamat   email, nomer telepon, atau apapun itu.  Bahkan nama belakang keluarganya saja saya tak tahu sampai sekarang.  Jam 3 pagi kami  sampai hotel,  pukul 05.00 saya  mengendap-endap keluar dari hotel. Sebelumnya kami sudah berpamitan.  Tobias masih mengantuk. Matanya keriyip-keriyip. Tapi dia masih  turun dari tempat tidur, memeluk saya. “Goodbye,” katanya.  Saya juga menjawab pendek.”Goodbye.”

Tekad 2014

Tahun baru sudah lewat sehari. Lembar baru di mulai. Tidak ada yang berubah dari sekeliling saya juga lingkungan tempat saya tinggal. Yang berubah adalah kesadaran ini. Saya lebih cepat mengetahui batin saya ketika kesadaran ini mulai melemah.

Saya sadar pikiran bersifat dualistik. Saya memang belum bisa memutuskan penuh untuk meninggalkan semua. Saya harus mengakui bahwa saya masih "merasa" harus melanjutkan hidup, dari satu keinginan ke keinginan lain. Well. Saya memilih sesuatu yang berbeda. Yang tidak bisa saya sharekan sekarang. Cukup dalam hati saja. Nanti kelak ketika harus dibuka, saya akan menjelaskan alasan saya yang sesungguhnya.

Tapi pada akhirnya perhentian saya selanjutnya adalah menyebarkan kesadaran bagi semua makhluk di bumi. Sadar setiap saat. Hanya itulah yang ingin saya latih.


Palmerah, 2 Januari 2014