Selasa, 31 Desember 2013

Mengapa Saya Harus Tetap Menulis

Saya kembali ke Riverside lagi. Cottage milik teman saya, Dessy  yang semula satu buah sudah beranak pinak menjadi lima. Riverside tak sesepi ketika saya pertama kali datang. Sejak tanggal 23 sampai 3 Januari, semua cottage-nya terisi penuh. Cerita tentang Riverside pernah saya posting di sini. http://tjapoenk.blogspot.com/2012/01/pagi-di-riverside.html

Siapa nyana, tulisan ini menginspirasi seseorang di belahan Jawa Timur, nun jauh dari ujung Timur Jawa.  Dessy bercerita, suatu hari kedatangan tamu sepasang suami istri. Keduanya mengaku dari Jember dan membaca informasi Riverside dari blog milik saya. Kata sang  pelancong, dia ingin menapaktilasi tulisan itu dan memutuskan  menginap di sana.

Tidak ada yang lebih menyenangkan dari seorang penulis selain tulisannya dibaca dan menginspirasi orang lain. Bagi saya itu puncak pencapaian  seorang penulis.

Ngomong-ngomong tentang tulisan, beberapa hari lalu, saya berjumpa dengan seorang teman di Facebook. Kami sebenarnya belum pernah berkenalan. Tapi karena sering memberi komentar, saya lupa bahwa kami belum pernah bertemu. Dan, tidak terduga, kami bertemu. Mak bedunduk. Dia bilang, kenal saya melalui tulisan saya di Tempo. Katanya, dia mengikuti tulisan saya di Tempo, media tempat saya bekerja sebelum kantor sekarang. Aih...saya mesam mesem tersipu-sipu malu. Rada bungah juga. Hihihi.

Teman ini juga mengaku menikmati status-status saya di Facebook. Katanya, status saya lucu-lucu. sampai-sampai dia pingin bertemu. "Apakah ketemu orangnya selucu statusnya di Facebook," kata teman ini. Dan saya berharap dia tidak kecewa setelah bertemu saya :)

Beberapa waktu lalu seorang teman juga mengapresiasi blog ini. Suatu hari dia menelpon. Di ujung telepon,  kakak kelas semasa di kampus ini menanyakan sesuatu yang bikin saya bungah. "Dik, kok jarang menulis. Mbok menulis lagi. Aku suka tulisanmu," katanya.

Cerita Dessy, dan dua teman ini  membuat saya tergugah. Saya harus aktif menulis kembali. Jujur saja, tak selancar dulu. Bekerja di televisi memang mengutamakan visual. Jadi menulis bukan prioritas. Tidak ada sesuatu yang kebetulan dalam hidup ini. Mengapa saya harus tetap menulis sudah jelas. Semesta memberikan tanda kepada saya. "Ayoo kamu harus menulis, itulah duniamu."

Nanti malam tahun baru. Saya menunggu tanda-tanda dari semesta. Kemana saya harus melangkah tahun depan dari berbagai pilihan yang ada di depan mata.

Selamat tahun baru, teman-teman. Teruslah menulis. Menulis adalah terapi jiwa.


Palmerah, 31 Desember 2013

Selasa, 24 Desember 2013

Tiga Sahabat Satu Tujuan



Saya punya sahabat sejak SMA yang awet sampai sekarang. Selepas SMA kami tak berkomunikasi. Melalui jejaring sosial inilah akhirnya hubungan persahabatan terpaut kembali.  Saya, Aning, dan Inten adalah satu bagian persahabatan yang saya miliki dalam hidup ini. Ada begitu banyak irisan persahabatan, salah satunya mereka.

Pada mereka, kami bertiga mengobrol tentang hidup ini. Hidup yang begitu berwarna dengan segala lika liku hidupnya. Bahagia, sedih, kecewa, gundah gulana, galau, dll. Kami saling menguatkan satu sama lain, tanpa banyak tipu daya, atau intrik sana sini yang tiada juntrungannya. Persahabatan kami tulus. Berpikir positif. Melengkapi hidup yang begitu indah.


Kami bertiga tak selalu bertemu.Apalagi Inten tinggal di Solo.  Tapi komunikasi kami lumayan intens. Bukan kuantitas, tapi kualitas pertemanan lebih penting. Dua pekan terakhir, semesta memberikan sinyal yang sama untuk kami bertiga. Tidak janjian, juga tidak berbisik-bisik. Suatu siang, di terik yang mengigit kulit, entah siapa yang memulai, kami ingin makan siang bersama. Kantor saya dan Aning hanya sepelemparan batu dari kantor saya.

Kami bertemu di kantin orange, saya namai begitu,  karena warna atapnya orange. Lalu, dengan mata tumpah ruah, kami tak sabar saling membuka mulut, menceritakan banyak hal. Celotehan tumpah ruah inilah yang membuat kami terbeliak bersama-sama. Dia bilang, "Beib, aku resign Februari." Inten Minggu ini."  "Lha, aku juga mau resign Jumat ini," saya menimpali pembicaraannya yang belum tuntas.

Tapi begitulah yang terjadi, di antara kami bertiga. Percaya nggak sih,  ketika seseorang satu hati, bahkan keputusan tanpa janjian pun bisa terjadi di antara kami. Lalu, dia menjelaskan alasannya keluar, begitu pula rencana saya.  Setelah makan siang satu jam, kami kembali ke kantor masing-masing. Kami pulang....masih dengan mata tumpah ruah. Tiga sahabat, satu tujuan....Itulah kami.

Selamat Natal, teman.

Kuningan, 24 Desember 2013

Catatan Senin, 17 Desember 2013.


Film dan Akhir Tahun Yang Indah

Akhir tahun ini tiada yang lebih indah dari mewujudkan  rencana besar ke depan membuat naskah film. Ini dunia baruku sekarang dan seterusnya. Selamat datang tahun baru, rencana baru, dan mimpi yang membentang luas.
Done!

Terimakasih semesta....

Kuningan, 24 Desember 2013

Rabu, 13 November 2013

Mengapa (Tidak) Menonton Film Korea?

Tulisan menarik tentang Film Korea. Ini hasil wawancara saya dengan dosen UGM. Silakan 



Ratih Pratiwi Anwar

Peneliti di Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada

Kepala Divisi Riset dan Pengembangan, Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada

Sepekan Film Korea (SFK) telah terselenggara hingga lima kali di
Yogyakarta sampai tahun 2004 kemarin. Pemutaran film-film layar lebar
selama enam hari non-stop tersebut memang telah jadi hajatan rutin
Center for Korean Studies Universitas Gadjah Mada tiap tahun. Tahun
ini film-film Korea terbaru telah dipersiapkan untuk diputar di
Sepekan Film Korea 2005.

Tujuan ditayangkannya film-film negeri ginseng tersebut selain untuk
mengenalkan budaya Korea juga sekaligus untuk menyediakan kesempatan
masyarakat Indonesia mengapresiasi sinema Korea (yang juga salah satu
produk budaya Korea). Masyarakat Yogyakarta, terutama generasi
mudanya, setiap tahun selalu menyambut SFK dengan sangat antusias.
Setiap hari diputar 2 film dan satu film ditonton rata-rata 600 orang.

Apakah ini berarti sinema Korea sudah diterima di hati masyarakat Indonesia?
Setelah kesuksesan sinetron Taiwan Meteor Garden, pemirsa Indonesia
melihat bahwa serial teve dan film Asia, termasuk dari Korea Selatan,
merupakan alternatif tontonan yang menarik. Mini seri dari Korea yang
memasuki layar kaca Indonesia, seperti Winter Sonata, Endless Love,
Hotelier, atau All About Eve, ternyata juga mendapat sambutan yang
hangat. Setelah mengenal dan menyukai Tao Ming-Tze, penggemar sinetron
mulai mengenal aktor-aktor muda Korea Selatan, terutama Bae Yong-Jun
yang menjadi aktor utama dalam mini seri drama romantis dan menyentuh
hati Winter Sonata.

Nampaknya gelombang hallyu telah merambah sampai Nusantara. Namun
dibandingkan dengan Cina, Jepang dan Taiwan yang secara budaya dan
geografis dekat dengan Korea, Indonesia dan negara ASEAN lainnya
seperti Thailand, Singapura dan Vietnam memang terlambat di dekati
hallyu.

Istilah hallyu telah muncul di Cina tahun 1997 untuk menyebut
gelombang budaya pop Korea yang melanda generasi muda Cina. Dampaknya
di Cina luar biasa karena kemudian lahirlah hahanzu, yaitu fans
fanatik aktris, aktor, penyanyi dan budaya pop Korea.

Fenomena hallyu di Cina tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
penetrasi budaya yang sukses. Umumnya negara-negara industri maju yang
mampu melakukan ekspansi budaya sampai ke luar batas negara. Menurut
Prof. Yang Seung-yoon dari Hankuk University of Foreign Studies di
Seoul, ekspansi budaya terjadi dan akan berkelanjutan jika fundamental
perekonomian suatu negara sudah cukup kuat. Apakah Korea Selatan
termasuk negara kelompok ini?


Ada beberapa sebab mengapa kini budaya pop Korea Selatan mampu
menjelajah cukup luas di Asia. Pertama, Korea memang telah menjadi
negara maju sejak resmi menjadi anggota OECD tahun 1996. Kesuksesan
industrialisasinya membawa pengaruh yang besar di Asia. Cina, Vietnam
dan Indonesia adalah penerima investasi asing Korea dan pasar yang
luas bagi produk-produk industri Korea. Umumnya ekspansi budaya
mengawali atau mengikuti ekspansi ekonomi suatu negara dan menjadi
salah satu strategi perluasan pasar.

Kedua, budaya pop Korea mempunyai keunikan, yaitu meskipun memadukan
unsur Amerika dan Jepang tapi terlihat segar dengan kandungan yang
kuat aroma Korea-nya. Kemampuan mengharmoniskan nilai Timur dan Barat
ini membuat drama dan film Korea lebih disukai di Cina. Sebaliknya,
sinema Jepang tidak disukai di Cina karena dianggap terlalu ekstrem
dan kebarat-baratan. Lagu pop Korea juga sangat laris di Cina karena
berirama dinamis, tidak konvensional, dan dianggap mampu memuaskan
jiwa dan keinginan generasi muda. Di Jepang, film layar lebar Korea
disambut hangat karena menawarkan tema-tema alternatif dan mengandung
segi hiburan yang tinggi.


Ketiga, perkembangan industri budaya pop di Korea sangat pesat sepuluh
tahun terakhir ini. Tahun 1997 disebut sebagai tahun renaissance film
Korea karena ada pendekatan baru dalam membuat film, yaitu lebih
menonjolkan kreativitas, kebebasan berekspresi dan mengusung tema
individualisme yang sesuai kecenderungan masyarakat Korea sekarang.
Hasilnya muncul berbagai genre film dan lahir pula sutradara-sutradara
film independen. Pendekatan baru ini ternyata meningkatkan gairah
membuat film, termasuk film-film pendek yang didukung penayangannya
oleh bioskop-bioskop lokal.

Keempat, pertumbuhan industri film di Korea tak lepas dari peran
pemerintah. Di samping memberlakukan kuota tayang (minimal 106 hari
per tahun untuk film domestik), pemerintah Korea melakukan
revitalisasi industri film domestik sejak tahun 1973 melalui Komisi
Film Korea (KOFIC).

Kegiatan Komisi Film Korea dibagi dalam lima departemen. Departemen
Promosi menyediakan dana dan bantuan untuk film lokal. Departemen
Promosi Internasional mempromosikan film Korea di luar negeri.
Departemen Pendidikan mengelola Akademi Film Korea, Akademi Film
Animasi Korea, dan mendukung 40 institut perfilman di Korea.
Departemen R&D yang membuat penelitian, statistik film, dan publikasi.
KOFIC juga mengelola studio out-door dan in-door di Seoul Complex
Studio untuk mendongkrak mutu visual sinema Korea. Kegiatan KOFIC
lainnya yang menarik adalah lomba penulisan skenario film dua kali
setahun dan skenario film animasi sekali setahun. KOFIC menyeleksi dan
mendanai film pendek, film dokumentasi, film independen dan film
animasi.


Untuk mempromosikan film Korea di luar negeri, KOFIC membuat
terjemahan film Korea dalam berbagai bahasa seperti Perancis, Jerman,
Itali, Jepang, Cina, Rusia, dan Spanyol. KOFIC mendukung ikut sertanya
sinema Korea di festival-festival film internasional bergengsi,
disamping Korea sendiri sering menjadi tuan rumah seperti di Busan
Internasional Film Festival. Jika tahun 1999 sejumlah 80 film Korea
diikutsertakan di 73 festival film internasional, maka pada tahun 2002
jumlahnya meningkat menjadi 280 film (KOFIC, 2002).


Hasilnya tidak sia-sia karena film Korea akhirnya merebut beberapa
penghargaan internasional. Film Chihwaseoun dan Oasis memenangkan
Sutradara Terbaik pada Festival Film Internasional di Cannes dan di
Venice tahun 2002. Film animasi My Beautiful Girl, Mari mendapatkan
grand prize pada Festival Film Animasi Internasional. Bahkan film-film
terlaris tahun 2001 seperti My Sassy Girl dan My Wife is A Gangster,
menarik Hollywood dan dibeli oleh Dreamworks Pictures dan Miramax
International untuk dibuat versi Amerikanya (Cinemags, April-Mei,
2003).


Di dalam negeri film Korea juga sukses menuai box office. Statistik
film yang dirilis KOFIC memperlihatkan film lokal mampu menggeser
dominasi film impor, terutama dari Hollywood. Jika pada tahun 1991 di
Korea pangsa penonton film lokal hanya 21 persen, tahun 2001 justru
saat kuota tayang makin dikurangi melonjak jadi 50 persen. Dari 10
film terlaris di Korea, rangking satu sampai lima diduduki oleh film
Korea. Film yang menjadi box office tahun 2001 adalah Friend yang
ditonton 2,5 juta orang. Tahun 2002 kembali film lokal menendang film
Hollywood. Dari 10 film paling laris di Korea, lima di antaranya
produksi lokal. Film The Way Home yang disutradarai oleh sutradara
muda perempuan Lee Jeong-hyang menjadi box office dan ditonton lebih
dari 1,5 juta orang di Korea (belum yang di luar Korea).

Film-film terlaris tahun 2001 dan 2002 bercerita tentang realitas
sosial masyarakat Korea. Film Friend misalnya, menuturkan persahabatan
sebagai salah satu bentuk relasi sosial yang penting di Korea.
Sedangkan film The Way Home mengingatkan gejala runtuhnya loyalitas
anak pada orang tua, yang di Korea merupakan nilai sosial paling
utama. Film ini membuat banyak orang Korea merasa sangat bersalah
karena meninggalkan orang tua mereka yang jompo di kampung halaman,
sementara mereka sibuk dengan pekerjaannya di kota besar.

Bagaimana untuk lebih menikmati film Korea di Indonesia?

Suatu film bercerita tentang isu, budaya, sistem sosial tertentu yang
merefleksikan suatu masyarakat. Apresiasi tentang budaya Korea yang
mencukupi tentunya sangat bermanfaat untuk lebih memahami suatu
permasalahan yang disuguhkan lewat film.

Sebagai contoh, menonton film Korea bertema gangster seperti Guns and
Talks atau Friend (keduanya produksi tahun 2001) lebih asyik jika tahu
bahwa masyarakat Korea adalah masyarakat patriarki dengan stratifikasi
sosial yang kaku. Tema gangster yang menjadi genre sinema Korea
akhir-akhir ini muncul akibat frustasi sebagian masyarakat atas
tergerusnya nilai-nilai tradisional. Dalam film bertema gangster,
orang Korea mencoba menyusun suatu keluarga artifisial dimana
laki-laki tetap dominan dalam masyarakat (Kim Sohee, 2002).

Tetapi, tanpa tahu menahu sedikit pun seperti apa kondisi sosial
budaya di Korea, sinema Korea tetap enak diikuti. Sembari menonton
kita dapat mengetahui kehidupan, adat istiadat dan emosi orang Korea
(walau tidak seratus persen dapat mewakili). Beberapa tema film
mewakili situasi yang memang sungguh-sunguh dialami oleh rakyat Korea
Selatan. Misalnya film JSA (Joint Security Area) dan Taekukki yang
bertema konflik politik dan perang dingin antara Korea Utara dan Korea
Selatan.

Ketika menonton film Korea Selatan kadang-kadang muncul pertanyaan:
mengapa sering ada adegan menangis, baik yang dilakukan oleh aktor
maupun artis? Ternyata menangis adalah salah satu karakter orang
Korea. Menurut Lee O-Yong, mantan Menteri Kebudayaan Korea, bukan
orang Korea kalau tidak bisa menangis. Jika sedih orang Korea
menangis, jika bahagia juga menangis. Karakter ini muncul akibat
lamanya mereka hidup dalam penderitaan. Menderita karena sumber daya
alam terbatas, iklim yang keras, sering mengalami perang dan pernah
hidup dalam kediktatoran.

Apakah film dapat menjadi alat diplomasi?

Bagi pemerintah Korea Selatan, mereka menyadari betul bahwa film dapat
menjadi media untuk peningkatan pemahaman budaya antar negara dan alat
diplomasi. Menurut Prof. Yang Seung-yoon, budaya pop Korea telah
mendukung keberhasilan Korea Selatan dalam hubungan diplomasinya
dengan negara-negara di ASEAN.

Film dan musik dari negeri ginseng ini telah mengubah persepsi orang
Vietnam terhadap Korea Selatan yang menjadi sekutu Amerika Serikat
waktu perang Vietnam. Perasaan benci berubah menjadi hubungan romantis
dan sentimentil generasi muda Vietnam dengan artis dan musisi Korea.
Banyak generasi muda Vietnam kini juga menjadikan Korea Selatan
sebagai kiblat budaya pop, mode, dan standar kemakmuran.

Di Indonesia sinema maupun musik Korea belum begitu sepopuler di
Vietnam, Jepang atau Cina. Ini karena masih sedikitnya pemutaran film
Korea di televisi atau di bioskop serta sedikitnya resensi tentang
sinema dan musik Korea. Bagi orang awam juga sulit membedakan film
Korea dari film Jepang, Hongkong atau Taiwan karena aktor atau
artisnya mempunyai ciri-ciri fisik yang hampir sama.

Cara mudah untuk mengenali film Korea adalah dari tulisan judul
filmnya. Judul film dan nama aktor-aktrisnya biasanya ditulis dengan
huruf han geul (alfabet Korea) yang berbeda dengan alfabet Mandarin
dan Jepang. Bisa juga dari bahasanya (jika tanpa dubbing). Menurut
saya lebih puas jika menonton film dalam bahasa aslinya. Sebab bahasa
Korea itu sendiri merupakan salah satu keunikan film Korea.***


     Referensi:

     Kim Sohee, “A Review of Korean Cinema in 2002”, Korean
Cinema 2002, KOFIC, Seoul

     KOFIC, “The Korean Film Commission”, Korean Cinema 2002, KOFIC, Seoul.

     My Wife is A Gangster, The Most Powerful Lethal Weapon is in a
Woman!, Cinemags Edisi 46/Mei 2003

     My Sassy Girl, A Big-Hearted Boy and His Eccentric Girl Friend,
Cinemags Edisi 45 April 2003

     Kim Youn-jung, “Korean Pop Culture Craze Hayyu Sweeps through
Asia,” Korea Pictorial, Seoul

     Yang Seoung-Yoon, “Expanding Cultural Exchange with Southeast
Asia”, Korea Focus, January-February, 2000





Bencana dan Tuhan

Filipina tengah berduka. Topan Haiyan berkecepatan  275 km/jam mengoyak tujuh propinsi dan menewaskan lebih dari 10.000 penduduk. Kota Tacloban yang berpenduduk 220.000 jiwa disebut yang paling porak poranda. Sekitar lima persen penduduknya tewas karena bencana ini.


Apakah Tuhan di balik kesengsaraan ini? Buat orang yang beriman dan percaya pada Tuhan percaya absolut bahwa ini kehendak Tuhan. Tapi mereka yang memercaya alam semesta dengan segala hubungan sebab akibatnya menganggap bahwa hukum alam bekerja. Karena itu, topan Haiyan sebuah bencana yang jelas ada karena ada hubungan sebab akibatnya.

Beberapa hari lalu, saya membaca ucapan Karlina Supelli dalam pidatonya "Kebudayaan dan Kegagapan Kita", di TIM dalam wall Facebook teman. Bu Karlina menyampaikan, "Tanggung jawab adalah jalan sepi sang pemimpin. Dia bahkan tidak dapat membuang tanggung jawab pada kekuatan adidunia dan membawa-bawa Tuhan untuk menjelaskan bencana akibat kelalaian manusia.

.... Ilmu punya batas dalam berhadapan dengan misteri hidup. Tapi, sikap mudah bersembunyi dalam pernyataan saleh dan terdengar suci bisa menjadi tanda malas berpikir."


Saya tak mau dianggap sebagai orang yang malas berpikir. Maka, bencana buat saya adalah alam semesta dan hubungan sebab akibatnya yang bekerja. 



Palmerah, 13 November 2013

Rabu, 06 November 2013

Saya Menyukaimu, Tapi ...

Hai lelaki, kau bilang, "Aku menyukaimu."
Jawabku, "Tapi gimana dong, kamu sudah menikah!

Kamu sepertinya kecewa.

Lalu kubilang  : "Kita memandang  dari jauh saja ya?"
"Iya, nanti juga lama-lama hilang," ujarmu. "Datang dan pergi".

"Nah begitu dong? Jika kamu ingin tahu aku, datang saja ke sini," kataku.
"Di blog?"  katamu.
"Iya, kita bisa menangis dan tertawa di sini," ujarku.
"Aku memang mengagumi tulisanmu," katanya.

"Tulisan  menetap lebih  lama ketimbang perasaan kita,bukan?"
Kau mengangguk.



Kemanggisan, 5 Oktober

Untuk lelaki yang menyukai tulisanku, terimakasih ya?







Gengsi

Suatu hari saya ke Yogyakarta. Saya bertemu teman-teman dan menjumpai keganjilan dalam pertemuan itu. Misalnya, ada teman kantor lama bilang begini," Sekarang kerja  di mana?
Saya sampai mengernyitkan kening, heran dengan pertanyaan itu. Nggak salah nih orang. Tapi tidak cuma dia, beberapa orang yang saya temui menyatakan hal sama. Padahal saya tahu persis dia mengetahui kepindahan dan kantor tempat saya bekerja.

Tidak perlu waktu bagi saya untuk mengetahui bahwa seseorang itu  berpura-pura tidak tahu karena sesuatu alasan.  Gengsi atau mungkin malah menganggap saya tidak penting atau tidak mau mengakui bahwa seseorang lebih dari dirinya sementara seseorang masih berada di titik yang sama. Saya sendiri selalu merasa bahagia jika menemukan beberapa teman yang sukses. Malahan saya berkhayal kapan ya saya bisa punya karya seperti dia?  Mata  tajam saya mengatakan kadang-kadang orang memang sering tidak punya alasan apa-apa untuk enggan mengakui orang lain. Gengsi saja, titik.

Ada juga saya temukan beberapa teman,  enggan menghubungi temannya  karena berbagai alasan. Satu, dia  mungkin dia merasa lebih dari segalanya, kedua orangnya pasif, dan kemungkinan lain egonya begitu besar.  Saya sendiri kalau mau menghubungi orang kapan saja saya mau, lebih banyak karena alasan fungsional. Cuma, saya memang punya kelemahan, orangnya pasif. Bukan karena tidak butuh dengan orang lain atau sekedar gengsi.  Jadi jika suatu hari seseorang marah pada saya karena tidak bertegur sapa, sebenarnya saya bisa berkata sebaliknya. "Lho memangnya kamu juga pernah menghubungi saya?" Kadang-kadang orang terus-terusan menunjuk dan paling mengerikannya menuntut  orang lain, tapi tidak menyadari bahwa dia sendiri melakukan hal seperti itu. Tapi, ya begitulah ego manusia. Seperti yang kerap saya lakukan :)


Selasa, 29 Oktober 2013

Lelaki dan Aku

Untuk lelaki yang telah memberiku senyuman manis di sore yang basah, terima kasih
Untuk lelaki yang telah memberiku sebongkah harapan, salam manisku
Untuk lelaki yang pernah ingkar, tak apa, bukankah cuma matahari yang paling setia pada janjinya?



Kemanggisan, 29 Oktober 2013


Menuju Layar Lebar

Buku The Children of War yang dibuat dengan tim akan merambah ke layar lebar.  Gagasan memvisualkan buku ini sebenarnya sudah saya lontarkan kepada  pendiri FSAB, Jenderal Agus Widjojo  setahun lalu, sebelum pembuatan buku rampung. Idenya sederhana, narasumbernya  dari tangan pertama, pelaku sejarah tragedi 1965, peristiwa Mei 1998, DI/TII, kenapa tidak membuat film? Kaya cerita, kaya percikan sejarah,  dan langsung dari tangan pertama, tentunya akan dahsyat hasilnya. 

Daripada dilirik oleh sutradara lain, alangkah lebih baiknya jika forum ini sendiri yang menghasilkan film. Lantaran tenggelam dalam pembuatan bukunya sendiri yang berliku, saya sempat melupakannya. Hingga, pada suatu hari saya bertemu Bu Nani Sutojo. Pada Bu Nani, saya menceritakan keresahan saya, bahwa kisah rekonsiliasi anak-anak yang orangtuanya berkonflik ini tidak boleh berhenti di buku saja. Membaca,  menurut saya belum menjadi kebiasaan buat warga negara kita. Masyarakat lebih dominan "nyantol" dengan sesuatu yang divisualkan.

Seperti yang saya ceritakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, massa di negeri ini hanya menoleh pada tiga hal ini : bola, musik, dan film. Ini berdasarkan pengamatan saya dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, memfilmkan buku ini merupakan langkah tepat agar roh rekonsiliasi Forum Silaturahmi Anak Bangsa menyebar ke  seluruh nusantara. 

Bu Nani antusias menyambutnya. Dosen Universitas Atmajaya ini kurang lebih punya pendapat senada dengan saya. Jadi gayung bersambut. Apalagi, kata Bu Nani, tragedi 1965 pada 2015 mendatang berusia 50 tahun. Momen yang pas.


Nah, bedah buku The Children of War persis dilaksanakan pada 28 Oktober 2013 di Gramedia. Ini momen yang tepat. Bu Nina, Bu Nani, dan Mbak Ayu, saya ajak bicara mengenai rencana memfilmkan buku ini. Jawaban keempatnya pada gelombang yang sama. Setuju difilmkan. Saya lega. Ini baru langkah awal. Kami tim kecil, tim pejuang yang akan mewujudkan The Children of War. Semoga. Yaaaay....menuju layar lebar. Itu impian saya....Alam semesta, semoga berpihak pada kami semua. Untuk negeri tercinta.


Palmerah, ketika hujan

29 Oktober 2013

Rabu, 16 Oktober 2013

Makna Biasa-Biasa Saja

Waktu saya jadi reporter, paling sebal kalau dengar komentar orang yang saya wawancarai menjawab begini. "Biasa-biasa saja." Pertanyaann yang saya tujukan kepada mereka kira-kira begini. "Apakah adik (kakak/bapak/ibu)  merasa bahagia ketika memenangkan perlombaan ini? Begitu si nara sumber menjawab kata-kata biasa-biasa saja, biasanya saya langsung cemberut. Duh....rasanya pingin saya kruwes bibirnya. Kayak nggak ada jawaban lain saja. Kasar bener saya ya?   Tapi cuma omelan di pikiran, kok. Nggak serius he...he...he.

Waktu berlalu. Keadaan sudah berubah. Ketika belakangan ini saya mendengar Jokowi, Gubernur DKI Jakarta sering menjawab kata-kata yang dulu saya benci;  biasa-biasa saja- saya sekarang justru tersenyum. Kalau saya ada di sana, pasti pertanyaan saya selanjutnya kepada nara sumber adalah apa makna pernyataan Anda yang biasa-biasa saja itu?

Sudut pandang tentang makna biasa-biasa saja itu, berubah. Terutama sejak saya mengenal bahwa bahagia dan sedih itu sama saja. Berasal dari pikiran. Bahagia dan sedih, sama-sama sumber penderitaan. Biasa-biasa saja, jika direnungkan lebih mendalam mengandung arti semua hal tak perlu lebih tak perlu kurang. Melihat sebagaimana adanya. Jadi ...ya biasa-biasa saja. Coba kalau kita merenungkannya lebih dalam, yang biasa-biasa saja itu membuat batin kita akan terbebaskan. 

Tapi  dalam hidup kita akan mengalami letupan kegembiraan, kesedihan. Dia datang silih berganti. Letupan kebahagiaan kadang-kadang sering membuat kita merasa euforia. Tapi berapa lama letupan kebahagiaan itu bertahan? Tak lama bukan? Sama halnya dengan kesedihan, rasa frustasi, dan rasa kecewa yang datang silih berganti. Tak pernah menetap lama. Jadi, jika demikian mengapa kita harus melekati kebahagiaan dan kesedihan itu begitu dalam? Dia datang silih berganti. Jadi ya....mengutip kata Jokowi dan narasumber saya dulu. Biasa....biasa saja. :)


Kemanggisan, 16 Oktober 2013


Senin, 07 Oktober 2013

Berenang di Kedalaman 3,8 Meter

Ini pengalaman baru saya. Berenang di kedalaman 3,8 meter. Selama ini saya cuma berenang di apartemen yang saya tinggali. Dalamnya paling-paling cuma 1,2 meter. Hihi cetek banget ya? TApi cethek-cethek begitu saya bisa bisa mahir berenang di tempat ini lho. Belajar sendiri tanpa bantuan guru renang. Di sini pula saya memraktekkan gaya bebas dan gaya punggung. Cuma satu gaya yang belum saya lakukan gaya kupu-kupu. Jujur, saya merasa cukup bisa menguasai tiga gaya saja bebas, punggung, dan katak.

Ngomong-ngomong soal pengalaman baru ini, begini ceritanya. Ibu angkat kami anak-anak UNAIR, mengajak saya menginap di Hotel Borobudur. Ajakan itu saya terima dengan senang hati. Sembari ngobrol bisa berenang dan berendam. Beliau dokter rehabilitasi medis. Pas banget dengan kondisi tubuh saya yang tengah sakit punggung dan syaraf kejepit.

Renang dan berendam adalah obat paling mujarab untuk sakit saya. Maka berenanglah saya di tempat ini. Kolam renangnya luas dan kedalamannya bervariasi. Mula-mula saya cuma berani menyentuh di kedalaman 1,4 meter. Lalu bergeser ke 1,6 m. Tapi di angka 2,4 meter saya memilih melipir. Hiiii. Seram. Balik lagi di 1,6 m.

Datanglah Dokter Cicil. "Ayo ke yang dalam," katanya. "Saya belum berani, dok," jawab saya. "Mosok kalah ama anak 3 tahun," katanya. Saya terperanjat. Astaga! Benar! Mata saya menatap nanar pada anak kecil di sebelah saya. Ya, ampun. Memalukan. Tapi ditantang begitu, justru muncul keberanian saya. Di kedalaman 3,8 meter, saya pun byuuuuuuur. Berenang di kedalaman  3,8 meter. Woow. Mana pernah saya membayangkannya. Saya bisa. Tidak sulit. Semuanya cuma butuh keberanian. Seperti saat saya memutuskan pindah bekerja. Memilih pekerjaan yang saya sukai dan saya cintai. Memilih meninggalkan teman demi kebaikan bersama. Semua butuh keberanian.

Ah dunia saya makin berwarna. Dan yang terpenting....hidup ini belajar terus menerus. Setuju nggak?



Palmerah, 7 Oktober 2013



Kamis, 19 September 2013

Dul (bagian 1)

Seorang menghubungi saya melalui WA. "Mau ikut nggak, nengok Dul? Entah mengapa saya tertarik ikut. Padahal saya tidak ada rencana untuk mengadakan dialog ini, karena usulan tema soal Dul ditolak. Alasannya sudah basi. Tapi entah insting saya mengatakan kunjungan ini akan berguna.

Nama lengkap sebenarnya Abdul Qodir Djaelani. Dul,  13 tahun,  panggilan akrab anak pasangan Ahmad Dhani dan Maia Estiyanti, musikus Indonesia menjadi pemberitaan utama di media nasional.  Bukan karena mereka artis, kecuali infotainment yang memang menjadikan artis sebagai komoditas berita. Berita menghebohkan itu karena  anak sekecil itu, menyetir kendaraan di tengah malam, habis mengantarkan sang pacar dan menabrak dua mobil berpenumpang penuh. 6 orang tewas seketika, satu orang menyusul.

Publik marah. Bagaimana mungkin  orang tua  membiarkan sang anak mengendarai mobil sedini itu. Terlebih mobil yang dikendarai senilai hampir miliaran rupiah. Bergelimang harta tapi "salah asuh" begitu bunyi berita yang saya baca.

Saya tiba di RS Pondok Indah menjelang malam. Dul, dirawat di Ruang ICCU. Waktu saya datang, tangan sang pacar tak lepas menggenggam kekasihnya yang tiga tahun lebih muda. Dul jebolan kelas 2 SMP sementara sang kekasih sudah kelas 1 SMA. Dul  masih kesakitan. Beberapa kali minta suntikan penahan rasa sakit. Ibunya, Maia masih terlihat berduka. Matanya sembab. Mengenakan baju hitam-hitam, mewakili perasaannya yang masih berduka. Tanpa polesan make up apapun wajahnya tetap cantik. Senyuman nyaris hilang dari wajahnya. Sementara sang ayah Dhani, nyaris tak memperlihatkan rasa duka. Bicaranya ceplas ceplos,  tak merasa susah. Biasa saja.

Banyak tamu yang datang. Silih berganti.  Artis, aktor, termasuk Rhoma Irama, cang calon Presiden. Ehem, menjenguk Dul. Tiap kali ada yang datang ekpresinya kebingungan. Ahmad Dhani bolak balik mengantar jemput tamu, setelah itu konferensi pers. Salah satu tamu istimewa yang datang malam itu  adalah keluarga korban meninggal. Seorang perempuan tua memeluk Maia. Menangis. Seseorang entah siapa membawa kamera video, merekam seluruh kejadian. Saya merekam meski tanpa alat apapun.

Saya menyaksikan peristiwa itu. Saya heran. Benar-benar heran. Tidak ada penilaian. Tidak ada haru, tidak ada kejengkelan. Sebuah peristiwa hanyalah peristiwa. Itu saja.


20 September 2013


Unik vs Aneh

Ada yang bilang saya aneh. Mungkin betul. Tapi saya menganggap kata pas untuk saya : unik. Kalau itu betul, saya menyadari jika saya unik :) Nah menghadapi orang seperti saya yang  unik memang membutuhkan energi besar. Itu jika tak mampu mengimbanginya. Tapi jika selaras dengan keunikan saya, maka tak perlu energi besar untuk menghadapi orang seunik saya hehehe.

Saya sendiri menganggap setiap pribadi unik. Karena itu tak ada orang yang aneh di mata saya. Jadi saya mencoba memahami keunikan itu. Tapi ada hal yang bisa diubah, ada hal yang tak bisa diubah.  Itu menyangkut karakter. Nah, ada jenis orang yang bisa mudah berubah karena melatih kesadaran. Itulah yang saya alami selama selama tiga tahun ini.

Tapi makin melatih kesadaran saya jadi teringat guru pembimbing meditasi, Pak Hudoyo Hupudio. Dia bilang orang yang sadar akan terasing dari lingkungan sekitarnya. Tadinya saya tak memahami keterasingan itu. Sampai saya berada di sekumpulan banyak orang. Saya penyendiri, jarang ngobrol basa basi jadilah saya seolah-olah orang yang sombong, tak pandai bersilaturahmi.

Hampir delapan bulan saya bekerja, saya nyaris makan sendirian di kantin. Jujur setiap kali mengedarkan pandangan di kantin yang maha luas itu, saya kerapi menyaksikan,  cuma saya yang makan tak berteman. Benar-benar sendirian. Mungkin mereka menganggap saya aneh dan tak punya teman. Padahal saya sadar melakukannya. Saya makan sendiri karena di tengah kesibukan bekerja itu, memerlukan waktu menziarahi batin, meski waktunya singkat. Hanya 20 menit atau maksimal satu jam.

Setelah itu saya melenggang ke kantor, kembali bekerja. Dari diam sesaat itu, biasanya energi saya bekerja lebih besar. Satu lagi, di kantor demi koordinasi lebih baik tim besar kami membuat Whatapps bersama. Tujuannya baik sih. Tapi alih-alih saya menyaksikan lho kok 90 persen obrolannya bukan koordinasi. Tadinya kening saya berkenyit. Tapi akhirnya saya memutuskan, hanya akan menimpali kalau koordinasi pekerjaan saja. Selebihnya, saya pasif saja.

Nah...dengan kesendirian dan pengalaman itu, mungkin benar saya masuk kategori aneh? Mungkin saja. Dan orang sah-sah saja menilai demikian.  Nggak ada masalah kok. Buat saya, ketika saya bekerja, maka saya penuh berada di dalamnya. Orang lain pingin bekerja sambil bercanda juga nggak monggo. Saya tak perlu menilainya. Meski pada awalnya, batin saya agak terganggu. Hehehe.


Kemanggisan, 20 September 2013

Jumat, 13 September 2013

Sok Tahu dan Pandir

Ada jenis orang yang tahu tapi pura-pura tidak tahu. Ada pula jenis orang yang tidak tahu tapi sok tahu. Nah jenis yang terakhir ini yang repot. Ketika dia ada di depan mata kita, cuma satu kata yang tepat untuk mengatakan bahwa orang ini pandir. Hahaha...Cegluk...

Saya justru terpingkal-pingkal menyaksikannya. Ini hari yang istimewa. Saya menemukan lelucon hari ini, yang akan saya catat dalam sejarah hehehe...


Palmerah, 12 September 2013




Rabu, 28 Agustus 2013

Puntung Rokok


Saya tahu, merokok itu hak setiap pribadi. Tapi membuang puntung rokok itu bukan lagi hak pribadi. Ada  kepentingan publik yang  harus dijaga dengan baik. Puntung rokok berarti terkait dengan sampah, dampak lingkungan, dan nyawa.

Saya sebenarnya enggan sekali menyebut perokok itu tak beradab. Tapi memandangi keseharian mereka; plempas plempus di depan anak kecil tanpa merasa berdosa, dan terakhir membuangnya sembarangan membuat saya mengelus dada. Tak ada kata lain selain menyebut para perokok itu tak beradab.

Beberapa bukti yang menjadi teman akrab saya bisa menjelaskan saat berhadapan dengan puntung rokok dan orang yang mengisapnya. Di tempat saya  tinggal ada kolam renang. Setiap hari saya berenang karena alasan kesehatan. Nah, ketika saya berenang, haaapppp....saat saya mengambil nafas, satu buah puntung rokok berada tepat di  depan mulut saya dan nyaris masuk mulut. Konsentrasi jadi terganggu dan umpatan di dalam air sempat saya lontarkan. Sudah lima kali saya menemukan puntung rokok di kolam renang.

Pengalaman terjadi di depan kamar sudah. Sudah tak terhitung  berapa sekian kalinya puntung rokok nongkring di depan pintu. Dulu, saya pernah meletakkan keset di depan pintu. Pulang kerja keset sudah bolong dan sebuah puntung rokok tergeletak.

Yang teranyar, karena puntung rokok gedung tempat saya bekerja terbakar meskipun tak melalap seluruh areal gedung. Dari cerita driver yang menyaksikan malam itu, ada puntung rokok yang dibuang tepat di atas kasur. Asap rokok sampai di lantai 5. Padahal di sekitar areal gedung sudah ada aturan larangan merokok. Dulu di tempat parkir perusahaan masih menyediakan kursi untuk mereka yang merokok. Ealah...ya itu tadi dasar tak beradab, kursi bolong-bolong dan pot tanaman berisi  puntung rokok. Andai tanaman bisa menangis. Lalu muncullan larangan merokok diareal parkir dan dipindah tempat lain.

Kembali ke puntung  rokok yang telah membakar sebagian kecil gedung itu, rupanya perusahaan menelusuri pembuang puntung rokok. Mereka mencarinya melalui kamera CCTV. Dan tralala trilili....sudah ketemu pembuang puntung rokok itu. Seorang driver bercerita pada saya yang menyaksikan langsung peristiwa itu, tiga orang di cut alias diputus kerja. Seorang teman menyeletuk, kok nggak pakai SP1 dan seterusnya?

Jawaban saya. "Kalau puntung rokok itu membakar semua gedung dan perusahaan kita bangkrut lalu kita jadi pengangguran, maukah kamu? Dia diam. Saya melanjutkan. "Kalau puntung rokok itu membakar seluruh gedung dan ada orang yang terbakar dan salah satunya, misalnya kamu atau teman kita, meninggal, bisakah kamu menerimanya?Dia diam juga.

Seringkali  orang tak sadar dengan apa yang dia lakukan. Bisa jadi pelaku pembuang puntung rokok tidak tahu bahwa sebelumnya dia telah melakukan perbuatan yang merugikan. Misalnya, dia membuang puntung rokok sembarangan di tengah hutan belantara  ketika dia mengendarai mobil. Sementara kendaraannya telah melaju, puntung rokok telah membakar hutan. Tahukah dia atas perbuatannya? Pasti dia tidak tahu karena dia sudah berada berapa di radius puluhan atau ratusan kilometer.

 Bicara puntung rokok, tak lepas dari si pengisapnya. Saya paling miris menyaksikan orang naik motor sembari plempas plempus di motor. How come? My God. Asap rokok di belakang, berapa banyak orang rugi? Juga kejahatan perokok yang paling mengerikan adalah merokok di ruang publik angkutan umum, bus kota, dan ruang terbuka sementara ada anak kecil di dekat mereka. Tega sekali ya?

 Saya tak alergi ada orang merokok. Silakan.Tapi asapnya ditelan sendiri, ya? Jangan merugikan orang.


Kuningan, 27 Agustus 2013

Di sela deadline menulis buku yang lagi mandeg ide

Kamis, 01 Agustus 2013

MRI Itu Mahal Amit-amit Yak

Pinggang saya ternyata ada penyempitan syaraf. Hasil persisnya menurut dr Andreas di stadium 1. Agar hasilnya lebih jelas lagi, dokter syaraf lulusan Universitas Airlangga ini meminta saya MRI.
Saya belum pernah MRI. Jadi saya menganggukkan kepala ketika menerima surat rekomendasi ke RS.

Saya pun segera menghubungi RS tempat saya harus menjalani MRI. Dari informasi teman dan kakak saya, MRI berbiaya Rp 1,6 juta - Rp 2,2 jutaan. Tapi begitu saya hubungi pihak RS ternyata biaya MRI untuk kasus saya lumbun sacral akan menghabiskan Rp 3 jutaan. Wadauwww...MRI itu mahal amit-amit yak, ternyata.

Duh mana saya tinggal beberapa saat lagi menjadi karyawan tetap. Dilema dilema. Saya punya asuransi yang bisa digunakan kalau saya masuk RS pula. Asem asem...Sakit itu mahal teman. Jadi olahraga dan hidup sehat deh.


Salam sehat


Palmerah, 2 Agustus 2013

Rabu, 10 Juli 2013

Sedang Tidak Sehat

Badan saya kurang enak pekan ini. Punggung saya penyebabnya. Juga makanan rujak cingur yang entah bikin saya murus-murus. Alhasil seharian di kantor saya cuma browsing saja mencari materi dan bahan untuk taping dua minggu mendatang. Semoga saja ini hanya sampai akhir pekan saja.

Gawat. Kalau tidak enak badan ini berlanjut hingga pekan depan. Pasalnya minggu depan akan padat. Narasumber banyak yang belum fix. Jadi semoga alam semesta melimpahkan rahmatnya pada saya agar saya sehat.

Ngomong-ngomong, badan ini kurang begitu enak karena sepekan ini saya absen renang. Bukan saya malas. Tapi bulanan yang wajib dijalani perempuan membuat saya mesti absen dulu berenang. Akibatnya punggung ini nyeri sekali. Menjalar ke kepala. Jadi penasaran apa penyebabnya.


Palmerah, 10 Juli 2013

Selasa, 09 Juli 2013

Siang di Salihara Bersama Mas Goen


Senin, 8 Juli 2013 saya menemui Mas Goen di Salihara. Pertemuan yang membekas di hati saya. Kami bicara beberapa hal. Tentu yang akan saya ceritakan soal membuat buku yang kami rencanakan bertahun lalu. Buku tentang Pak Djoko Pekik, pelukis Celeng yang tersohor itu. Harga lukisannya tergolong termahal pada saat itu. Rp 1 miliar.  Semula saya hanya mewawancarai Pak Pekik dan beberapa orang di sekitarnya. Tapi saya tidak ingin hanya mewawancara saja. Saya mengutarakan niat saya untuk belajar menulis.

Belajar langsung dari sang suhu, penulis Caping Majalah Tempo tentu akan berbeda rasanya. Mas Goen  menyambut keinginan saya. Aih senangnya. Tapi buru-buru saya bilang. "Kalau terlalu ringan, mohon dimaklumi ya, Mas?" Mas Goen bilang,"Justru jangan berat semua. Memang bagian saya sangat berat."

Wah rasanya saya melayang. Senang betul. Saya merutuki diri, kenapa tidak dari dulu saya sampaikan keinginan ini. Kami harus bergegas menuntaskan buku ini. Dan saya sudah menyiapkan diri melekan dan bekerja keras untuk menuntaskan ini.


Semoga alam semesta memberkahi.

Palmerah, 10 Juli 2013

Kamis, 04 Juli 2013

Meluncurkan Buku The Children of War

Lega dan senang. Dua kata sudah cukup untuk menyatakan perasaan saya setelah buku The Children of War diluncurkan. Buku ini merupakan ide Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang datang dari berbagai anak korban konflik di Indonesia.  Saya beruntung terlibat di dalamnya. Proses pembuatannya ....woooow. Berliku. Semula saya hanya menjadi proof reader. Tapi meningkat menjadi editing....lalu ikut menulis meskipun hanya beberapa judul saja. Maka jadilah buku itu milik tim, bukan saya pribadi.

Saya belum sanggup membuat buku tunggal. Kalaupun ada yang tengah saya siapkan adalah sesosok yang sangat saya kagumi. Dan buku itu belum jadi. Aihhhh kapan ya? Tapi meski begitu, senang rasanya sudah menuntaskan buku itu. Tokoh-tokoh di dalamnya itulah yang membuat saya bersedia menjadi bagian tim. Bayangkan! Banyak sejarah terserak yang belum banyak diceritakan dari keluarga pelaku  peristiwa 1965, pemberontakan DI/TII, PSI, dll. Iam lucky girl. Berkarya itu impian saya. Jika buku itu menginspirasi banyak orang alangkah senangnya.

Dan... Rabu, 3 Juli 2013, peluncuran buku itu berlangsung di Gedung MPR Nusantara 5.  Pembahasnya,  pengamat politik dan militer Salim Said, Jenderal (Purn) Luhut Panjaitan, Baskara T Wardaya SJ,  Sidharto Danusubroto (hanya beberapa jam setelah hadir di peluncuran, dia menjadi Ketua MPR) dan dimoderatori Budiarto Sambaz. Tamu undangan yang direncanakan hanya 150 orang membludak menjadi 230-an orang.

Acara sukses dan semua orang berbahagia. Saya terharu. Untuk Indonesia yang lebih baik,  semoga silaturahmi anak-anak korban konflik ini menjadi nafas bagi rakyatnya. Seseorang yang sudah selesai dengan dirinya akan mencapai pembebasan. Dendam, luka, pada akhirnya akan pupus.



Palmerah, 5 Juli 2013.





Buku The Children of War

Info Buku

Buku              : “The Children of War”
Penerbit          :  Penerbit Buku Kompas, Juni 2013
Tim Penyusun:  Nina Pane, Stella Warouw, Bernarda Triwara Rurit


Pernahkah membayangkan orangtua kita saling membunuh karena perbedaan ideologi, saling bermusuhan karena situasi politik? Sejarah kelam Republik ini telah menggoreskan luka begitu dalam bagi orang-orang yang terlibat. Sebut saja, tragedi 30 September 1965, pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta, Gerakan Aceh Merdeka, dan lain-lain. Perasaan terhina, dendam, benci, takut, menjadi pergumulan setiap pribadi. Beberapa orang di antaranya mengalami trauma psikologis. Pertanyaan pun berseliweran di kepala. Pihak yang orangtuanya dibunuh penasaran bagaimana caranya dibunuh? Oleh siapa? Sementara pihak yang tertuduh menjadi pembunuh juga penasaran, benarkah orangtuanya menjadi otak pembunuhan itu?


Judul buku ini  diilhami dari sebutan terhadap anak-anak korban Perang Dunia I & II secara universal yaitu  the Children of War.  Buku “The Children of War” merupakan buku pertama yang menceritakan bersatunya anak-anak korban perang dari orangtua mereka yang berbeda ideologi di Indonesia. Di antara mereka adalah putra-putri Pahlawan Revolusi, putra-putri tokoh PKI dan PSI, putra-putri para tokoh pemberontak seperti Kartosuwiryo dan Daud Beureuh.

Kisah-kisah yang mengharu biru di dalam buku ini dibuka oleh pertemuan perdana Nani Sutojo puteri Mayjen TNI (anumerta) Sutojo Siswomihardjo dan Sugiarto putera “Jenderal Merah” Brigjen Supardjo. Anak dua jenderal yang mula-mula canggung ketika bertemu inilah yang membuka jalan bagi terwujudnya perdamaian. Tentu tidak mudah mempertemukan mereka. Melalui para tokoh dari organisasi Pemuda Panca Marga (PPM),  dua orang tak saling mengenal ini bertemu dan berbicara tentang keresahan mereka mengenai dendam, luka lama, dan semangat menyuarakan kata damai. (halaman 3)

Maka sekitar tahun 2000 dilakukan “gerilya perdamaian” dengan menghubungi anak-anak yang masih ”dikuasai” perasaan dendam dan mudah dibakar emosinya, agar mau duduk bersama dengan anak-anak dari pihak yang ”berseberangan”. Tidak mudah mengajak pihak-pihak yang “berseberangan” untuk mau duduk bersama dan berdialog. Ada yang hingga beberapa kali diundang baru bersedia datang, ada yang masih terus menolak. Namun dengan kesabaran dan itikad untuk bersama- sama ”menghapus luka lama” dan saling ”menghilangkan dendam”, mereka yang sudah mau duduk bersama dan berdialog bersepakat untuk membentuk wadah yang dinamakan “Forum Silaturahmi Anak Bangsa” (FSAB) dengan motto “Berhenti Mewariskan Konflik, Tidak Membuat Konflik Baru”. Gerakan moral ini diawali dari panggilan jiwa anak-anak Pejuang yang gundah gulana bahwa bangsa Indonesia berada dalam bahaya perpecahan bila masih berada dalam ”tawanan” konflik masa lalu, yang menjadi seperti api dalam sekam yang setiap saat mudah terbakar.

Buku ini sayang untuk dilewatkan karena cerita-cerita terserak dari para putera-puteri tokoh yang saling berseberangan ini menjadi bagian sejarah bangsa Indonesia. Banyak kisah yang ada di dalam buku ini tak akan dijumpai dalam buku-buku lain maupun liputan media. Sebut saja kisah mantan Kepala Staf Teritorial Mabes TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo.  Dalam subjudul “Agus Widjojo dan Kisah Sepatu Lars”,  Agus Widjojo menceritakan peristiwa malam “penjemputan” sang ayah di Jalan Sumenep 17. Dari penuturannya, kita akan dibuat terharu ketika seorang remaja berusia 17  “dipaksa” menghadapi masa depan tanpa sang ayah, setelah sebelumnya pada usia 5 tahun, Agus Widjojo sudah ditinggal oleh ibu kandungnya. (halaman 59) atau kisah Svetlana Nyoto, puteri Nyoto yang memilih tak memiliki sahabat agar jati dirinya tak terungkap. (halaman 126).


Tentu saja FSAB bukanlah akhir. Rekonsiliasi yang bisa menggulirkan gerakan nasional negeri ini belumlah mencapai kata final. FSAB sebagai institusi tengah bergerak menuju muara itu, meskipun jalan berliku akan dialami sama seperti ketika FSAB dibentuk. Rekonsiliasi tidak dapat diwujudkan hanya melalui tuntutan kepada pihak lain, karena rekonsiliasi sebenarnya diawali dengan pembukaan diri sendiri. Tanpa kemauan dan kemampuan tersebut tak akan ada proses penyembuhan, sebagai syarat menuju rekonsiliasi.  Apabila sebuah proses rekonsiliasi dilakukan secara benar dan objektif, diyakini bahwa pelajaran yang dapat dipetik bukanlah berpihak pada satu pihak tertentu untuk mengatakan pihak yang mana yang benar dan pihak yang mana yang salah, tetapi pelajaran tersebut diharapkan akan mengungkapkan sisi kelemahan dari kehidupan kebangsaan yang memungkinkan kesalahan dilakukan oleh berbagai pihak yang membuka jalan bagi terjadinya konflik.

Lao Tzu,  ahli filsafat terpopuler dari China mengatakan jika seseorang ingin berada dalam batin yang damai, maka dia hidup di saat ini. Sebaliknya, jika dia terus memelihara kesedihan, dia  hidup di  masa lalu. Apa yang dikatakan Lao telah menembus batin anak-anak korban konflik ini. FSAB inilah perwujudannya.

Jumat, 14 Juni 2013

Berbenah Ruangan Itu Menyenangkan

Sudah dua bulan ini saya tinggal di apartemen. Sejak menempatinya, hobi baru saya berbenah-benah. Lumayan berkeringat dan menyenangkan. Saya merasakan keasyikan ketika memutar pernak pernik ini, membeli ini itu, mengubah tata letak ruangan sampai merasa puas. Heemmmm....ini seperti kita melukis. Mengambil tema apa dan menambah ini itu ketika gambar terasa tidak sreg. Rasanya menyenangkan.  Badan bugar dan puas bisa menikmati hasil penataan kita.

Karena tempat tinggal saya kecil cuma 33 meter persegi tentu tidak terlalu sulit membenahi rumah. Cuma saking kecilnya juga kadang-kadang bingung meletakkan penataan di sana sini. Hiiiii...Jeratan batman-nya karena merasa kecil, seringkali saya meletakkan barang di sana sini. Lama kelamaan kok jadi berantakan. So...biar selalu terlihat rapi, saya punya jurus ampuh agar rumah terlihat rapi.

1. Jangan sekali-sekali meletakkan suatu barang di tempat tidak semestinya. Secara psikologis kita akan menumpuk satu demi satu. Lambat laun menggunung  dan enggan membenahinya lagi
2. Mulailah merapikan ruangan dari satu tempat saja. Fokuskan berbenah di sana. Begitu satu tempat sudah rapi bergeser ke lokasi lain. Pasti deh lambat laun akan rapi di segala sudut
3. Belilah barang yang fungsional saja. JAngan sekali-kali beli barang yang nggak perlu. \

Segitu dulu aja ah.


Palmerah, 14 Juni 2013








Kamis, 13 Juni 2013

Menghibur Diri

Pagi tadi bangun tidur, kepala saya berat sekali. Saya harus menenangkan diri. Diam. Hening. Cukup lama. Mungkin sekitar sejam. Lalu saya tertidur lagi. Karena bangun sebelumnya jam 16.00. Ketika mata saya terbuka lagi, pagi sudah mulai terang tanah. 5.30. Saya mulai meditasi untuk kedua kalinya dan untuk waktu yang lama. Saya tengah menghibur diri.

Kemarin hari yang berat. Dua nara sumber yang dipastikan datang, membatalkan karena kunjungan kerja. Yap. Saya harus kecewa empat kali dengan anggota DPR. Paling parah Rachel Maryam, dari Partai Gerindra itu membatalkan datang hanya sejam sebelum acara di mulai. Sumpah serapah saya pada waktu itu. Sampai-sampai saya berdoa semoga dia tidak pernah terpilih lagi jadi wakil rakyat.

Satu nara sumber Bima Arya juga orang partai membatalkan  empat jam sebelumnya. Padahal keberadaan dia sebagai nara sumber utama. Dia tak hadir maka taping berbiaya ratusan juta rupiah batal. Saya tak kehilangan akal. Saya SMS ke dia, kalau dia tak hadir atau mencarikan pengganti, maka saya dipecat dari tempat saya bekerja dan syuting berbiaya ratusan juta rupiah jadi tanggung jawab saya. Entah manjur entah tidak, dia akhirnya meminta kolehnya Viva Yoga untuk hadir. Ahhh  thanks Mas Yoga. Anda menyelamatkan acara saya.

Saya menyumpah-nyumpah kesekian  kalinya. Orang-orang itu tidak punyakah etika? Jika mereka memang tidak bisa mengapa tidak menolak sejak awal? Lalu kemarin, puncak dari kekesalan saya terhadap wakil rakyat itu. Dua narasumber tidak bisa karena kunjungan kerja. Itu memang hak mereka. Tapi juga jangan salahkan saya kalau sumpah serapah dan kutukan-kutukan keluar dari mulut saya yang jahat.

Dan saya tumbang. Kepala saya berdenyut-denyut, leher saya mengeras dan punggung saya seperti terbakar. Sempat terlintas jangan-jangan saya bisa stroke karena kemarahan saya yang meledak. Saya buru-buru cari tukang pijit. Dikerik dan diurut. Luar  biasa hasil kerikan itu. Hitam. Sampai-sampai bibi tukang pijat berdecak beberapa kali.  Kepala, leher saya  nyut-nyutan semua.

Wowww kemarahan itu teman, percayalah energi yang begitu buruk untuk diri kita sendiri. Bukan orang lain yang merasakan. Kita sendiri. Kalau saya boleh mengatakan  neraka itu seperti apa,  saya rasa inilah neraka yang sebenarnya. Bukan di awang-awang. Dia hadir dalam keseharian kita ketika  batin kita terseret terhadap suatu masalah.

Dua jam setelah meditasi melalui dua tahap, merasakan batin yang terseret, merasakan frustasi, saya mulai mengamati kegagalan saya, kemarahan saya, menyalahkan orang lain, dan batin yang terus berseliweran. Naik turun naik turun. Menyadarinya. Tidak mulus. Sampai akhirnya mereda pelan. Berkecamuk lagi. Saya hanya mengamatinya. Setelah itu, berangsur-angsur nyut-nyut di kepala saya mereda. Demikian pula, leher. Punggung saya yang rasanya terbakar juga berangsur hilang.

Tiba di kantor saya berdandam. Memandangi muka saya. Saya perlu rileks. Saya perlu menghibur diri. Dan saya pun menulis blog. Tentu, masalah di depan saya belum tuntas. Begitu saya mengakhiri tulisan ini. Saya akan memburu nara sumber lagi. Tentu dengan sudut pandang yang berbeda. Ah ... benar. Menulis adalah terapi jiwa. Percayalah...kalian perlu mencobanya.


Palmerah, 14 Juni 2013


Senin, 03 Juni 2013

Kepercayaan


Apakah jadinya ketika kalian bersahabat bersama-sama sekian puluh tahun. Hampir 20 tahun. Dan mendapati kenyataan bahwa sahabat Anda tak mempercayai Anda? Sementara kalian begitu memercayai dia begitu dalam?

Saya mengalaminya. Dan tersadar pada sebuah pagi. Saya sempat terpana. Sakit iya. Tapi akhirnya saya legowo. Ya sudah. Dan detik itu juga saya putuskan berbalik arah. Saya tak akan menoleh lagi padanya. Saya hanya menganggapnya teman biasa. Tak ada yang istimewa. Saya sudah tidak kecewa lagi.  Saya merasa lebih bebas sekarang. Pada akhirnya semua teman sama saja. Tidak ada yang lebih, tidak ada yang kurang. Semua sama. Feel free like a bird hehehe :)


Jakarta, Palmerah, 3 Juni 2013


Rabu, 29 Mei 2013

Sendiri Jadi Produser

Baru menginjak tiga bulan di kantor ini, saya ditinggal teman kompak satu tim saya.Ocha. Semula saya tidak percaya sampai saya benar-benar ditinggal Ocha pada sebuah pagi. Nyungsep rasanya. 

Saya bengong. Sebagai produser baru yang masih awan dengan teknis dunia pertelevisian saya benar-benar kalang kabut. Gimana ngurus lighting,  gimana ngurus keuangan, dan tetek bengek lainnya.

Kalaupun ada kemampuan saya yang nyambung dengan pekerjaan saya sebelumnya adalah membuat  naskah. Juga menentukan tema, membuat segmen. Saya tak kerepotan. Tapi produser di sebuah televisi harus mengerti semua hal.

Untunglah saya sudah belajar kesadaran di meditasi. Tinggal mempraktekkan saja. Jadi seberapapun pahitnya, seberapapun keadaan tak berpihak pada kita.Hadapi saja. Baiklah. Saya belum bisa menjamin saya mampu. Karena belum terjadi. Alih-alih, saya hadapi keadaan yang ada di depan mata. Kini, di sini, saat ini.


Palmerah Selatan, 27 Mei 2013

Selasa, 07 Mei 2013

Di Kantin Pagi Tadi

Pagi tadi saya makan di kantin. Menunya soto ayam dengan sate ati dua tusuk. Tumben-tumben saya makan berat. Biasanya saya tak terlalu  peduli dengan sekitar saya. Saya banyak menggunakan  makan sebagai eating meditation. Tapi ndilalah, ini hari memang agak istimewa. Saya menganggapnya sebagai blessing in disguise.


Ada dua kelompok mbak-mbak di sebelah dan depan meja saya.


Pembicaraan 1.

A : Kamu makan apa?
B : Makan pecel aja.
A : Kok cuma pecel?
B : Kan aku Senin -Jumat nggak makan daging. Hanya akhir pekan tok makan daging.


Saya : menatap nanar soto ayam di depan saya. Pikiran mulai merespon. Udah tuwir kok masih makan perdagingan tanpa merasa bersalah sih. Mbok dicontoh mbak-mbak itu. Sudah sehat, badan kurus pula. Belum lagi usai batin ini  berdialog. Satu mbak-mbak menyusul. Badannya kurus kayak batang lidi.  Dia datang bersama piring yang  cuma berisi  sayur jamur seupil dan satu potong tempe.
Perasaan saya sih, dia terbeliak melihat menu soto ayam yang saya pilih  di pagi hari. Inilah pembicaraan mereka.


C: Diet ya. Kok makan cuma  segitu doang.
D: Biasanya malahan sayur doang. Atau buah doang.


Saya : Glek...tamparan ke dua di pagi hari.


Besok saya tes kesehatan untuk asuransi. Semoga saja saya lolos dan dinyatakan menjadi anggota asuransi. Saya baru sadar mengabaikan kesehatan.

Rating

Sudah dua kali gajian saya berada di tempat baru  ini. Makin lama makin enjoy. Yah saya menikmatinya. Pengalaman baru. Merasakan kegagapan di sana sini karena masih anak "anyar". Tapi seberapapun asingnya, selama kita melebur bersama ketidaktahuan itu, semuanya akan terasa ringan.


Jujur, saya senang belajar hal baru. Kata-kata  seperti bump up, long shot, pitching, VT, framless, lampu...yang bikin saya bengong, apa itu ya...lama-lama jadi teman akrab. Belajar di dunia televisi benar-benar saya rasakan sebagai sebuah pekerjaan teamwork. Tidak seperti di dunia cetak yang lebih simple koordinasinya, di dunia televisi ya ampun ...banyak banget person yang berhubungan dengan divisi  saya.

Sejauh ini saya baru bisa belajar "memahami"  pembuatan segmen, tema, kejar nara sumber. Tok....til. mengurus biaya produksi nol, editing nol. Ngomong-ngomong saya hampir mau pingsan ketika mengetahui  job desk saya kelak juga sampai ngurus makanan berapa kotak untuk nara sumber, para pekerja teknis, tamu  dll. Melongolah saya. Ribet banget ya? Tapi baiklah, saya menghibur diri, memang begitulah dunia televisi. Sungguh dunia yang berbeda. Jadi, terima saja.


Hemmm...setelah urusan teknis...momok di dunia televisi yang juga kini menghinggapi saya adalah rating. Oh ...no. Sebagai program baru, tentu acara kita belum dilirik. Dan deg-deg-an-lah saya dari minggu ke minggu setelah saya mendengar beberapa teman berkelompok menyaksikan acara mereka masuk dalam top 20 acara milik televisi kami. Pecah telor itu terjadi pada episode ke-3. Kami mendapati ucapan selamat karena masuk top 20. Saking nggak pede-nya. Host dan teman produser saya, Denta dan Ocha bilang begini. "Jangan-jangan top 20 dari 21 acara hahhaha."


Minggu berikutnya, kami tak mendapat kabar apapun. Jadi bisa dibayangkan, episode ke-4 nilai kami jeblok pastinya. Baiklah. Performa harus diperbaiki. Dan pengambilan tema itu, akhirnya jatuh pada santet dan zinah. Saya mengusulkan tema itu karena akan ada 230 juta rakyat Indonesia yang bertumpu pada perumusan  RUU KUHP. Santet dan zinah  juga tema merakyat. JAdi saya yakin akan banyak yang merasa pingin tahu tentang dua tema itu.  Pemilihan nara sumber  kami pertimbangkan masak-masak, agar lebih berbobot. Dan berbagilah kami dengan dua tema. Taping pertama dengan episode sekaligus. Woowww...agak sibuk memang.

Sejak segmen pertama hingga akhir, dialog berlangsung seru. Dengan kekurangan satu nara sumber yang terlewat karena miss koordinasi, akhirnya acara sukses. Kami bahkan sudah tidak mengingat acara itu lagi. KAmi sudah disibukkan dengan taping tema selanjutnya. Hingga pagi-pagi sekali, Ocha menunjukkan ucapan selamat dari para "bos-bos". Acara kami mendapat rating 1 setara acara Kick Andi, dan di Kompas TV mendapat peringkat 1 dari top 20. Woooowwwww. DAri nomor buncit jadi nomer 20.

"Oh begini ya momok  rating itu," kata saya dalam hati. Ada benarnya. Karena saya sendiri merasakan ada perasaan melambung ketika mendapat berita gembira itu, meski cuma sebentar. Setelah itu biasa lagi. Saya cuma berujar, performa harus diperbaiki lebih baik lagi. Itu saja.


Jakarta, 7 Mei 2013.

Rabu, 20 Februari 2013

Hijrah

Beberapa bulan lalu, saya tidak pernah membayangkan akan keluar dari Jogja, kota adem ayem, menyenangkan, dan segala sesuatunya serba tidak terburu-buru. Apalagi kepikiran pindah kerja. Jauh dari bayangan saya. Pindah kerja dan pindah kota sesuatu yang juauh banget tempatnya.


Sampai suatu hari di bulan November merupakan titik balik hidup saya. Tak terencana, berlangsung cepat dan terjadi  begitu saja. Awalnya, seorang teman,  mengajak saya bergabung ke sebuah stasiun televisi. Saya cuma manggut-manggut saja, tetapi juga nggak segera mengirimkan CV, misalnya. Selang beberapa hari seorang teman juga menanyakan pada saya apakah berniat pindah  ke Jakarta. Tak berselang beberapa lama, seseorang juga menawarkan pada saya untuk bekerja pada sebuah lembaga pengkajian dan penelitian.


Karena ajakan itu bertubi-tubi, saya diam sejenak dan memikirkan apa di balik semua ajakan itu. Saya menarik benang merah atas peristiwa demi peristiwa sebulan sebelumnya. Kesimpulan saya. alam semesta memberikan sinyal dan saya diajak untuk merespon sinyal-sinyal itu.


Saya mulai dari tempat bekerja saya yang sebelumnya. Sudah  10 tahun saya bekerja di sana. Saya sangat mencintai tempat itu sampai berdarah-barat, ibaratnya. (lebaynya). Tak pernah terpikir buat saya untuk hijrah ke tempat lain. Tapi ada kesadaran dalam diri saya yang berlangsung cepat. Tiba-tiba saya menanyakan pada diri saya, jangan-jangan saya terlalu melekat pada tempat ini. Kalau saya demikian melekatnya dengan tempat ini kenapa saya tak mencoba melepas kemelekatan ini?


Kedua, soal kota yang akan saya tinggali. Saya beralasan Jakarta tidak akan pernah saya rambah karena macet, ruwet, bikin sumpek, dan lain-lain. Jelas ini sesuatu yang tidak menyenangkan untuk saya. Padahal orang yang batinnya bebas tidak lagi membedakan mana yang menyenangkan, mana yang tidak. Semua sama. Justru, melatih kesabaran itu harus diuji di tempat yang tidak menyenangkan. Jakarta, tentu tempat yang tepat untuk itu.


Akhirnya saya memilih merespon sinyal alam semesta. Saya yakin, berpindah kantor dan berpindah kota adalah keputusan yang tepat untuk hidup saya. Sebuah langkah berat, tetapi saya memilih berada di sana, untuk melihat ke dalam batin saya lebih jauh. Bagaimana reaksi batin saya ketika berada di tempat yang baru, dunia yang masih begitu asing untuk saya. Juga kota yang pernah membuat saya trauma.


Semula saya bekerja di  Lembaga Pengkajian dan Penelitian yang dibidani oleh seorang Jenderal Reformis. Terus terang saya ingin belajar soal Leadership di sana. Lembaga itu kelak akan mencetak kader-kader muda Indonesia dan membuat Leadership Center. Sungguh menarik buat saya. Baru lima hari saya di sana, stasiun televisi menyatakan saya diterima. Saya bimbang. Pasalnya, kantor lama tetap memberikan kesempatan pada saya untuk tetap berkarya, mengingat posisi saya bukan karyawan tetap. Pada saat yang lain, sebuah tawaran dari teman yang sangat baik juga mampir dengan posisi yang menantang untuk saya. Semua tempat baik, semua posisi sungguh menantang.


Pada akhirnya saya memilih di Kompas TV, stasiun televisi yang masih berusia dua tahun dengan berbagai pertimbangan yang matang. Lembaga itupun saya tinggalkan dengan berat hati. Rekor saya bekerja begitu singkat, lima hari. Tempo, media yang sudah membesarkan saya akan terus ada dalam jiwa saya. Militansinya, idealismenya. Sejarah menurut saya adalah peristiwa yang kita buat pada hari ini. Saya telah memiliki sejarah bersama Tempo selama 10 tahun. Saya tumbuh bersamanya. Membentuk karakter jurnalistik saya. Orang-orang yang begitu saya hormati dan cintai Mas GM, Bang Amarzan, Mas Toriq, Mas BHM. Suasana kekeluargaan yang dibangun teman-teman dalam keseharian sungguh membawa nafas tersendiri. Di antara deadline yang ketat, di antara wajah-wajah kusut, keceriaan dan kekonyolan mewarnai. Tempo buat saya adalah keluarga kedua saya. Mbak Ninil, Bagja, Sunu, Mas AZ, Mas Daru, Rina,  dan masih banyak teman-teman Tempo, tempat saya berkeluh kesah.


KompasTV, Tempo atau lembaga, bagi saya tempat yang memberikan keleluasaaan kepada siapapun  untuk berkarya bagi kemaslahatan orang banyak. Untuk publik, demi republik, maka kini saya serahkan jiwa dan raga saya sekarang ini di Kompas TV. Saya percaya, di sini pun saya akan melebur bersamanya. Dengan batin yang bebas.


Jakarta, 20 Februari 2013.

Kamis, 14 Februari 2013

Hot Chocolate, Donat, dan Nicholas Saputra

Sudah tujuh tahun lalu sejak saya meninggalkan ruangan kerja dan memiliki kantor yang sesungguhnya. Kalaupun dulu saya memiliki kantor, maka lebih kerap "ngider" di luar kantor. Saya banyak menghabiskan waktu mengejar  nara sumber dari satu instansi ke instansi lainnya. Mengejar topik ini, besoknya bisa berubah topik lain. Rasanya rada ganjil  ketika saya menyadari bahwa tujuh tahun kemudian saya berada di ruangan ini, memiliki ruang kerja, bertemu dengan banyak orang, televisi yang terpampang non stop di belakang punggung saya. Heeemmm. Mestinya saya terganggu ketika saya berada di suasana yang benar-benar berbeda. Perbedaan yang mencolok, misalnya, dalam keseharian, saya tak penah menonton televisi barang seiprit pun dalam beberapa tahun terakhir.
Tapi untunglah beberapa obyek yang serba asing ini tak memengaruhi
saya. Saya sudah terlatih mendengarkan semua obyek yang berseliweran. Jadi, suasana seberisik apapun tak mempengaruhi saya. Barulah saya menyadari meditasi yang membiarkan semua obyek masuk itu memang benar adanya, terutama ketika masuk dalam kehidupan yang sebenarnya.

Pagi kemarin, dua hari lalu, merupakan hari pertama saya bekerja dalam arti yang sesungguhnya. (jika bekerja itu identik punya kantor dan ruang kerja). Baru meletakkan pantat ke kursi sebuah lambaian tangan mengajak saya bergabung. "Ayoo kesini, masuk aja." Dengan muka penuh tanda tanya, saya masuk ke ruangan. Wow sudah ramai. Rupanya ada hot chocolate dan donat dari starbucks untuk para kru di kantor saya. Pagi itu ada radio yang mengunjungi kantor-kantor televisi. Oh...begitu toh.

Coba bayangkan di hari pertama kerja, mendapat hot chocolate, minuman kesukaan saya plus donat obat selingan sebelum makan siang. Olalala. Nikmat betul pagi pertama di hari saya bekerja. Saya memilih berbalik ke ruang kerja saya, tentu bersama  segelas chocolate dan donat.

Saya menghadap ke salah satu ruangan, biasanya tempat para tamu yang akan mengisi acara di televisi. Tengah asyiknya mengudap donat dan hot chocolate, sesosok bening melintas di depan meja saya. O ...o. Ahai Bening, semriwing, bikin mata bling-bling. Yup. Sosok itu Nicholas Saputra, aktor film yang cukup laris di blantika perfileman Indonesia. Saya nggak ngefans banget sih sama doi. Cuma, bolehkan kalau pagi saya di hari pertama bekerja saya katakan begitu sempurna. Hot chocolate, donat, dan Nicholas Saputra. Ting ting. Sudah cukup untuk bikin saya agak bersemangat sedikit hehehe.


Jakarta, 14 Februari 2013

Rabu, 06 Februari 2013

Pindahan

Dan hari itu datanglah. Boyongan ke Jekardah, kata plesetan orang bule memplesetkan Jakarta, kota Metropolitan Indonesia. Dari kota yang nyaman, menyenangkan, nggak macet (kecuali kawasan Malioboro-lah yauw, apalagi hari libur) yakni  Yogyakarta,  saya justru "nekat" ke Jakarta. Beberapa teman sempat menggelengkan-gelengkan kepala. Nggak habis pikir dengan keputusan saya yang mendadak ini. "Udah enak-enak di Jogja kok, malah cari masalah. Nggak takut klelep, nggak sebel macet." Itu kata mereka.

Tentu saya tak mengelak. Masalah Jakarta, bukan cuma macet dan banjirnya. Harga-harga makanan yang jelas nggak masuk akal menurut ukuran kantong Jogja menjadi masalah buat saya. Sepekan lalu, saya  masih terkaget-kaget ketika seorang teman mengajak saya minum, catat; hanya minum saja,  segelas teh panas, kopi dan minum soft drink, teman saya merogeh kocek Rp 146.000. Bikin semaput. Duh, untung bukan saya yang bayar hehehe.


Di luar dua hal tadi, masalah krusial  tinggal di Jakarta adalah memelihara batin kita. Bisakah batin ini tak terpengaruh ketika masalah besar menghadang? Mampukah  memelihara kesabaran ketika menghadapi situasi tak menyenangkan? Saya sendiri belum tahu. Berapa lama saya bertahan? Seberapa kuat saya menghadapi masalah besar yang menghadang di depan mata? Toh, akhirnya saya pindahan ke Jakarta.



Jakarta, 5 Februari 2013.



Sabtu, 12 Januari 2013

Memelihara Persahabatan

Apa yang indah indah dari persahabatan? Jawaban saya:  jika kita mampu memelihara persahabatan itu ukuran kesadaran.  Sejak kecil saya punya sahabat. Seabreg-abreg jumlahnya hingga sekarang. Kata banyak teman, saya tipe orang yang mudah mendapat teman. Mungkin benar. Tapi sejujurnya sahabat saya yang mengerti "jeroan" saya luar dalam tidak lebih dari lima jari. 

Nah, belakangan saya mulai berpikir-pikir sahabat yang benar-benar dalam arti sebenarnya bagaimana sih? Dulu sekali saya sangat melekat pada teman-teman saya. Saking melekatnya, saya jadi posesif. Tentu ini tidak sehat. Melalui pasang surut persahabatan beberapa kali, saya tersadarkan satu hal: Sahabat datang dan pergi, seperti debu. Mirip kalau kita punya kekasih, suami, ayah dan ibu. Sama saja. Jadi belakangan ini saya melepaskan kelekatan itu. Lebih enak sih. Dengan siapa saja saya bersahabat, tak ada beban, tak bersekat. Sahabat datang dan pergi itu biasa.  Mereka marah pada saya atau bahkan sebaliknya, mereka juga  pergi dari kehidupan kita. Jadi tak perlu terlalu melekatinya.

Saya sadar memaafkan seseorang yang melukai kita butuh waktu sejenak. Begitu pula saya juga sadar kalau kita memelihara kemarahan kita terlalu lama pada seseorang, kita sendirilah yang akan terluka, bukan orang lain. Jadi cuma butuh proses untuk kembali seperti biasa. Jika saya ingin menghindari seseorang dalam menjalin persahabatan  itu, bukan karena saya benci atau mendendam. Tapi pada saat ini, memang  diri ingin menjauh. Itu saja. Saat alam semesta memang mempertemukan, maka sahabat juga akan kembali dekat. Itu saja. 


Yogyakarta, 13 Januari 2013

Kamis, 10 Januari 2013

Lega



Perasaan lega itu, sepeti orang mencari minuman ketika rasa haus menghinggap  di terik yang menyengat, lalu menemukan pedagang es kelapa muda. Begitu es kelapa muda diseruput ahhhhh....rasanya lega, rasa haus pun meruap. Seperti itulah perasaan saya tadi malam. Tak mudah mengatakan sesuatu yang berat kepada teman yang menjadi mitra kerja kita selama beberapa saat.

Hingga pada akhirnya mesti lidah kelu kata-kata itu keluar juga. Pamitan.

Yogyakarta 11 Januari 2013

Selasa, 08 Januari 2013

Dikejar Deadline




Dikejar deadline itu enak nggak enak. Enaknya? Mendadak cerdas, mendadak kreatif. Nggak enaknya? Adrenalin terpacu menimbulkan ketegangan. Apa yang di makan jadi hanya sekedar mengisi perut, apa yang di minum sekedar melampiaskan dahaga. Lain tidak.

Terburu-buru. Dikejar deadline, mungkin dalam sebulan mendatang yang akan menjadi sahabat karib saya. Dan lambat laun saya pasti akan terbiasa dengan keadaan yang serba terburu-buru itu. Asosial mungkin juga menjadi bagian dari saya. Penikmat kehidupan mungkin juga makin jauh. Nah itu tadi bayangan saya, persepsi saya.

Beberapa saat kemudian saya sadar. Berdialoglah diri ini. Jangan memikirkan masa depan, jangan ingat masa lalu. Beradalah pada kekinian. Artinya, bisa saja apa yang saya pikirkan, kejadiannya tidak seperti kenyataannya.

Jadi, selamat datang Jakarta. Ibunya kota-kota di Indonesia. I'm coming. Inilah yang akan saya ketahui kelak, apakah diri ini  akan sama dengan kedatangannya saya beberapa tahun lalu di Jakarta. Penuh kemarahan, terburu-buru, tidak sabaran, kemrungsung, praduga, persepsi buruk, dan sedikit trauma kecil yang menghantui. Manusia berubah, demikian pula saya. Ada baiknya sementara ini saya mengingat perkataan Budha. Melihat hanya melihat. Mendengar hanya mendengar. Dan semua hal akan baik-baik saja ketika  membiasakan diri pada persepsi murni. Yeaaay...


Salam manis dari saya awal tahun yang memikat hati saya.


Yogyakarta, 7 Januari 2012







Catatan Saya Hilang



Entah kenapa, blog yang saya tulis kemarin hilang. Aneh. Ceritanya mau merevisi tulisan yang akan sudah kadung di posting tetapi banyak kata yang terlewat. Eh malahan tulisan Memperbaharui Tahun ilang. Hiks. Aneh. Tapi ya sudahlah. Mungkin ada yang saya tidak ketahui dari aturan blogspot lantaran terlalu lama tidak menulis. Ya wis...semoga tulisan bisa di back hehehhe















Selasa, 01 Januari 2013