Kamis, 19 September 2013

Dul (bagian 1)

Seorang menghubungi saya melalui WA. "Mau ikut nggak, nengok Dul? Entah mengapa saya tertarik ikut. Padahal saya tidak ada rencana untuk mengadakan dialog ini, karena usulan tema soal Dul ditolak. Alasannya sudah basi. Tapi entah insting saya mengatakan kunjungan ini akan berguna.

Nama lengkap sebenarnya Abdul Qodir Djaelani. Dul,  13 tahun,  panggilan akrab anak pasangan Ahmad Dhani dan Maia Estiyanti, musikus Indonesia menjadi pemberitaan utama di media nasional.  Bukan karena mereka artis, kecuali infotainment yang memang menjadikan artis sebagai komoditas berita. Berita menghebohkan itu karena  anak sekecil itu, menyetir kendaraan di tengah malam, habis mengantarkan sang pacar dan menabrak dua mobil berpenumpang penuh. 6 orang tewas seketika, satu orang menyusul.

Publik marah. Bagaimana mungkin  orang tua  membiarkan sang anak mengendarai mobil sedini itu. Terlebih mobil yang dikendarai senilai hampir miliaran rupiah. Bergelimang harta tapi "salah asuh" begitu bunyi berita yang saya baca.

Saya tiba di RS Pondok Indah menjelang malam. Dul, dirawat di Ruang ICCU. Waktu saya datang, tangan sang pacar tak lepas menggenggam kekasihnya yang tiga tahun lebih muda. Dul jebolan kelas 2 SMP sementara sang kekasih sudah kelas 1 SMA. Dul  masih kesakitan. Beberapa kali minta suntikan penahan rasa sakit. Ibunya, Maia masih terlihat berduka. Matanya sembab. Mengenakan baju hitam-hitam, mewakili perasaannya yang masih berduka. Tanpa polesan make up apapun wajahnya tetap cantik. Senyuman nyaris hilang dari wajahnya. Sementara sang ayah Dhani, nyaris tak memperlihatkan rasa duka. Bicaranya ceplas ceplos,  tak merasa susah. Biasa saja.

Banyak tamu yang datang. Silih berganti.  Artis, aktor, termasuk Rhoma Irama, cang calon Presiden. Ehem, menjenguk Dul. Tiap kali ada yang datang ekpresinya kebingungan. Ahmad Dhani bolak balik mengantar jemput tamu, setelah itu konferensi pers. Salah satu tamu istimewa yang datang malam itu  adalah keluarga korban meninggal. Seorang perempuan tua memeluk Maia. Menangis. Seseorang entah siapa membawa kamera video, merekam seluruh kejadian. Saya merekam meski tanpa alat apapun.

Saya menyaksikan peristiwa itu. Saya heran. Benar-benar heran. Tidak ada penilaian. Tidak ada haru, tidak ada kejengkelan. Sebuah peristiwa hanyalah peristiwa. Itu saja.


20 September 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar