Kamis, 04 Juli 2013

Buku The Children of War

Info Buku

Buku              : “The Children of War”
Penerbit          :  Penerbit Buku Kompas, Juni 2013
Tim Penyusun:  Nina Pane, Stella Warouw, Bernarda Triwara Rurit


Pernahkah membayangkan orangtua kita saling membunuh karena perbedaan ideologi, saling bermusuhan karena situasi politik? Sejarah kelam Republik ini telah menggoreskan luka begitu dalam bagi orang-orang yang terlibat. Sebut saja, tragedi 30 September 1965, pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta, Gerakan Aceh Merdeka, dan lain-lain. Perasaan terhina, dendam, benci, takut, menjadi pergumulan setiap pribadi. Beberapa orang di antaranya mengalami trauma psikologis. Pertanyaan pun berseliweran di kepala. Pihak yang orangtuanya dibunuh penasaran bagaimana caranya dibunuh? Oleh siapa? Sementara pihak yang tertuduh menjadi pembunuh juga penasaran, benarkah orangtuanya menjadi otak pembunuhan itu?


Judul buku ini  diilhami dari sebutan terhadap anak-anak korban Perang Dunia I & II secara universal yaitu  the Children of War.  Buku “The Children of War” merupakan buku pertama yang menceritakan bersatunya anak-anak korban perang dari orangtua mereka yang berbeda ideologi di Indonesia. Di antara mereka adalah putra-putri Pahlawan Revolusi, putra-putri tokoh PKI dan PSI, putra-putri para tokoh pemberontak seperti Kartosuwiryo dan Daud Beureuh.

Kisah-kisah yang mengharu biru di dalam buku ini dibuka oleh pertemuan perdana Nani Sutojo puteri Mayjen TNI (anumerta) Sutojo Siswomihardjo dan Sugiarto putera “Jenderal Merah” Brigjen Supardjo. Anak dua jenderal yang mula-mula canggung ketika bertemu inilah yang membuka jalan bagi terwujudnya perdamaian. Tentu tidak mudah mempertemukan mereka. Melalui para tokoh dari organisasi Pemuda Panca Marga (PPM),  dua orang tak saling mengenal ini bertemu dan berbicara tentang keresahan mereka mengenai dendam, luka lama, dan semangat menyuarakan kata damai. (halaman 3)

Maka sekitar tahun 2000 dilakukan “gerilya perdamaian” dengan menghubungi anak-anak yang masih ”dikuasai” perasaan dendam dan mudah dibakar emosinya, agar mau duduk bersama dengan anak-anak dari pihak yang ”berseberangan”. Tidak mudah mengajak pihak-pihak yang “berseberangan” untuk mau duduk bersama dan berdialog. Ada yang hingga beberapa kali diundang baru bersedia datang, ada yang masih terus menolak. Namun dengan kesabaran dan itikad untuk bersama- sama ”menghapus luka lama” dan saling ”menghilangkan dendam”, mereka yang sudah mau duduk bersama dan berdialog bersepakat untuk membentuk wadah yang dinamakan “Forum Silaturahmi Anak Bangsa” (FSAB) dengan motto “Berhenti Mewariskan Konflik, Tidak Membuat Konflik Baru”. Gerakan moral ini diawali dari panggilan jiwa anak-anak Pejuang yang gundah gulana bahwa bangsa Indonesia berada dalam bahaya perpecahan bila masih berada dalam ”tawanan” konflik masa lalu, yang menjadi seperti api dalam sekam yang setiap saat mudah terbakar.

Buku ini sayang untuk dilewatkan karena cerita-cerita terserak dari para putera-puteri tokoh yang saling berseberangan ini menjadi bagian sejarah bangsa Indonesia. Banyak kisah yang ada di dalam buku ini tak akan dijumpai dalam buku-buku lain maupun liputan media. Sebut saja kisah mantan Kepala Staf Teritorial Mabes TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo.  Dalam subjudul “Agus Widjojo dan Kisah Sepatu Lars”,  Agus Widjojo menceritakan peristiwa malam “penjemputan” sang ayah di Jalan Sumenep 17. Dari penuturannya, kita akan dibuat terharu ketika seorang remaja berusia 17  “dipaksa” menghadapi masa depan tanpa sang ayah, setelah sebelumnya pada usia 5 tahun, Agus Widjojo sudah ditinggal oleh ibu kandungnya. (halaman 59) atau kisah Svetlana Nyoto, puteri Nyoto yang memilih tak memiliki sahabat agar jati dirinya tak terungkap. (halaman 126).


Tentu saja FSAB bukanlah akhir. Rekonsiliasi yang bisa menggulirkan gerakan nasional negeri ini belumlah mencapai kata final. FSAB sebagai institusi tengah bergerak menuju muara itu, meskipun jalan berliku akan dialami sama seperti ketika FSAB dibentuk. Rekonsiliasi tidak dapat diwujudkan hanya melalui tuntutan kepada pihak lain, karena rekonsiliasi sebenarnya diawali dengan pembukaan diri sendiri. Tanpa kemauan dan kemampuan tersebut tak akan ada proses penyembuhan, sebagai syarat menuju rekonsiliasi.  Apabila sebuah proses rekonsiliasi dilakukan secara benar dan objektif, diyakini bahwa pelajaran yang dapat dipetik bukanlah berpihak pada satu pihak tertentu untuk mengatakan pihak yang mana yang benar dan pihak yang mana yang salah, tetapi pelajaran tersebut diharapkan akan mengungkapkan sisi kelemahan dari kehidupan kebangsaan yang memungkinkan kesalahan dilakukan oleh berbagai pihak yang membuka jalan bagi terjadinya konflik.

Lao Tzu,  ahli filsafat terpopuler dari China mengatakan jika seseorang ingin berada dalam batin yang damai, maka dia hidup di saat ini. Sebaliknya, jika dia terus memelihara kesedihan, dia  hidup di  masa lalu. Apa yang dikatakan Lao telah menembus batin anak-anak korban konflik ini. FSAB inilah perwujudannya.

2 komentar:

  1. Wah.. ngeri kali bukunya... mengharu biru pasti isinya ya..

    BalasHapus
  2. hemmmmm....mungkin. Beli dong hane hahaha. aku ndak punya malahan. sudah diminta temen media

    BalasHapus