Jumat, 22 Juni 2012

Permainan Egrang


Beberapa pekan lalu saya ke Surabaya. Ke kampus almamater saya Universitas Airlangga, saya hadir untuk peringatan hari ulang tahun  guru besar Antropologi Ragawi Universitas Airlangga Prof. Josef Glinka yang ke-80. Dalam rangkaian acara itu, ada kegiatan yang menarik perhatian saya. 

Mahasiswa antropologi UNAIR bikin pameran dolanan anak. Acaranya sederhana banget sebenarnya. Mereka menyediakan  dakon, ketapel, bola bekel, dan egrang. Setiap anak yang datang dipersilahkan bermain pada meja yang tersedia. 


Perhatian saya tertuju pada permainan egrang. Lamunan saya melayang puluhan tahun silam. Percaya nggak? Saya bisa  main egrang lho waktu kecil. Tapi alamakjan susahnya. Latihannya beberapa hari. Pake jatuh jatuh...lecet-lecet, tapi begitu bisa...woowww...serasa di surga (kayak pernah liat surga ajah). Permainan ini membutuhkan keberanian yang besar. Saya sebenarnya penasaran pingin menjajal. Masih bisa nggak ya? Tapi saya batalkan keinginan untuk mencoba. Badan gendut, takut nggak seimbang. Jatuh. Wah bisa berabe. 


Permainan egrang memang mengutamakan keseimbangan. Berbahan  tongkat bambu, egrang atau tongkat bisa digunakan seseorang untuk berdiri di atas tanah. Kalau sudah naik dan berjalan, berasa di atas angin. Waktu saya kecil, pada hari kemerdeaan kerap diadakan lomba egrang. Mereka yang paling cepat di garis finish itulah pemenangnya. 

Lomba ini paling seru mendatangkan penonton. Ini karena tak semua punya nyali main egrang. Betapa mereka tahu sulitnya menjajal permainan ini. Sama seperti hari ini, ketika saya hadir di kampus tercinta dan menyaksikan anak-anak mahasiswa berinisiatif memperkenalkan permainan tradisional yang sudah hampir ditinggalkan, rasanya terharu. Meski jaman sudah demikian modern...anak-anak muda ini masih tergerak melanggengkan permainan tradisional. 


Bagaimanapun permainan tradisional masih memiliki sisi pertemanan yang tinggi. Bandingkan dengan permainan modern seperti play station atau game dimana orang hanya berkutat di depan  layar komputer. Tak perlu teman, tak perlu komunitas. Sendiri saja. Jangan heran kalau anak-anak edisi abad 21 menjadi sosok yang apatis dengan lingkungannya. Ini lantaran permainan yang ditawarkan kepada mereka memungkinkan anak-anak bermain  sendiri. Tak perlu teman bukan?  Egois bener ya? 

Permainan tradisional apapun selalu  membutuhkan teman. Coba sebut, permainan tradisional yang tak memerlukan teman? Tak ada. Semua pasti ada lawan main. Kalaupun ada yoyo yang bisa dimainkan sendiri,  tetapi yoyo tidak akan seru tanpa lawan. Sebab siapa yang paling jauh melemparkan yoyo tanpa bikin benang bunded, dia-lah pemenangnya. 


Nah, mengingat permainan tradisional ini bermanfaat bagi anak-anak generasi mendatang. Yuk, kita tularkan lagi mulai sekarang? :)




Yogyakarta 22 Juni 2012

Pukul 06.37 PM 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar