Rabu, 08 Agustus 2012

Lurik

Sudah tujuh tahun ini saya berkutat dengan lurik. Rajin membeli bahan lurik dan memakainya untuk baju, dompet, tas dan lain-lain. Belakangan lantaran banyak teman yang tertarik,  saya memproduksi dalam jumlah banyak dan menjualnya.

Lurik jaman dulu jelas berbeda dengan lurik sekarang. Dulu pakem warnanya itu-itu saja. Suram,  muram dan menunjukkan kelas bagi abdi dalem yang memakainya. Lain abdi dalem,  lain anak raja atau raja yang mengenakannya. Corak dan warna memiliki  arti yang berbeda. Misalnya, lurik gerimis warna hitam, biasanya dikenakan raja ketika tengah berduka.

Lurik warna biru dikenakan para abdi dalem untuk kelas tertentu. Tapi lurik sekarang warnanya ngejreng nyeter dan lebih meriah. Jaman rupanya membuat pengrajin lurik bertoleransi dengan perubahan jaman. Orang muda bagaimanapun   menjadi pasar yang perlu dilirik pada era sekarang.

Pada tahun 70-an lurik pernah berjaya.  Pengrajin bergairah karena permintaan pasar meningkat. Tercatat di kawasan Krapyak ada 80-an pengrajin lurik tenun yang menggantungkan mata pencaharian mereka dari tenun benang buatan tangan manusia ini. Industrialisasi sekitar tahun 1980 memukul pasar lurik.Mesin pengganti tenaga manusia lebih laku karena murah harganya.



Di kawasan Krapyak itu, dari 80-an pengrajin, tinggal satu yang bisnis lurik-nya masih berdetak. Itupun membayar pengrajinnya dengan ongkos yang sangat murah. Saya sampai tercekat ketika si pengrajin mengaku cumamendapat gaji Rp  488.000 sekitar lima tahun lalu. Waduh. Kok tega ya pemiliknya?Cerita punya cerita, lurik tenun ini mampu bertahan lantaran satu sekolah yakni SMA Tarakanita dan keraton Yogyakarta memesan di sini. Wah, saya jadi berpikir, kalau beberapa sekolah saja memesan lurik di sini, tentu bukan tak mungkin jika akan ada pabrik tenun yang memulai usahanya kembali.

Syukurlah sekitar tiga tahun ini, pengrajin lurik mulai berdetak. Meski mereka menjual dengan harga sangat mahal. Saya memilih menjual tak terlalu mahal, agar ada multiple efeknya. Makin laris, makin ada permintaan. Dengan demikian, pengusaha lurik yang dulu ambruk bisa membuka kembali pabriknya. Apakah mungkin ya? Nah kalau kalian mau lurik tenun ini menjadi aset bangsa. Yuk, membeli lurik.


Yogyakarta, tulisan lama tapi belum diposting.

Sekitar sebulan lalu.


5 komentar:

  1. y ampun 488 ewu klu..

    heheh, dadi kelingan sik arep gawe tas lurik :D

    BalasHapus
  2. muncul juga postingan barunya hehehe. kemarin pergi ke luar kota ya?

    bedcovernya keren!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo...iya nih. Akhir2 ini seting banyak ke luar kota. Ayooo pesan lurik

      Hapus
  3. Iya, mau pesen, kalo ada tempat kosmetik gitu....
    Aku waktu itu ngirim email ke alamat gmailmu tapi belum dibalas?? hehehe

    BalasHapus