Minggu, 08 Juli 2012

Panggung Catwalk dan Dunia Nyata Kita

Jumat pekan lalu saya menghadiri Jogja Fashion Week di JEC. Perhatian saya justru bukan di panggungnya yang gebyar gebyar, tapi aktivitas di belakang panggungnya. Apa yang dilakoni para modelnya? Bagaimana mereka berdandan? Interaksi mereka dengan sekitarnya. Kesibukan para pemakai dress, perancang busana dengan para modelnya.

Dan benar saja. Riweh banget. Apalagi menjelang pementasan berlangsung. Koreografer sibuk mengarahkan  para model, petugas bolak-balik mengabsen yang belum jua pepak jumlahnya. Si model cari-cari baju yang akan dipakai tapi belum jua ketemu  perancang busananya. Setelah ketemu, baju yang dikenakan beda dengan rencana semula. Nah, begitu musik diputar menjelang pementasan, nyaris hampir  setiap pribadi punya tegangan tinggi. "Ya gampang marah, nervous, pokoknya hectic banget," kata seorang model, Valentina Pramudita.

Lain panggung belakang, lain panggung depan. Begitu mereka berhadapan dengan penonton, langsung saja kemarahan dan keribetan itu menguap. Gantinya, wajah senyam senyum, kadang-kadang terlihat gigi dan senyum lebar mereka yang bikin mak nyesss dada ini. Pula tubuh lenggak lenggok lemah gemulai, dengan dandanan elegan plus baju yang dikenakan "wah" banget. Semua terlihat sempurna. Penonton pun bertepuk tangan untuk kesempurnaan itu.

Saya memaknai  dunia panggung dan belakang panggung itu dalam dunia keseharian kita. Dunia nyata. Betapa  kerapkali kita mengenakan  topeng kita setiap hari seperti model  catwalk di panggung. Serba sempurna, indah, nyaris tiada cacat. Padahal begitu masuk dunia nyata woooww  tak semudah dan seindah itu. Itulah dunia di belakang panggung. Dunia yang sebenarnya. Siapa yang tahu di balik perkawinan  sempurna, mobil bagus, rumah bagus, jabatan bagus, ternyata mereka tak pernah berkomunikasi satu sama lain, pisah ranjang, utang menumpuk. Siapa pula mengira di balik perkawinan yang terlihat bahagia, tampak dari luar, mereka dipusingkan kartu kredit dengan utang ratusan juta rupiah. Siapa yang tahu, di balik kesempurnaan itu, kehidupan seksual pasangan itu seperti sayur tanpa garam. Hambar dan kering. Yang satu doyan seks, pasangannya  nggak. Akhirnya "jajan" kemana-mana. Selingkuh kemana-mana.


Siapa yang tahu pula  di balik perkawinan bahagia ada kesenjangan materi antara suami dan istri yang mengganggu hubungan perkawinan mereka. Belum lagi persoalan perbedaan karakter yang sulit disatukan. Yang satu rapi, satunya sembarangan. Satunya sukanya ke mall, pasangannya suka menyepi. Satunya doyan menghamburkan uang, pasangannya begitu pintar menyimpan uang. Satunya dominan, pasangannya ngalahan. Keributan kecil akhirnya menjalar kemana-mana.

Itu dunia pernikahan. Siapa mengira bahwa seorang pejabat politik yang begitu memukau banyak publik tetapi melakukan kekerasan dalam rumah tangga dengan sang istri. Seorang perempuan atau laki-laki dengan tampilan cashing baik jabatan tinggi tetapi mengidap penyakit HIV. Siapa yang juga tahu, ketika seseorang menikah dengan pasangannya, ada hati yang menangis karena pernikahan itu terjadi karena merebut pacar, suami, atau istrinya. 


Sialnya, kita kerap membicarakan orang lain, sementara diri sendiri sebagai pelakunya. Begitu banyaknya persoalan yang menimpa diri ini, tetapi masih sibuk mengurusi orang lain. Misalnya, ada teman yang saya tahu jelas pernikahannya bermasalah, masih sempat-sempatnya dia menanyakan,"Kenapa kamu nggak menikah? Enak lho menikah itu. Punya anak.Kok nggak laku-laku" Atau saya juga tahu pernikahannya bermasalah, masih sempat-sempatnya bilang. "Tidak menikah itu bikin sakit kanker lho." Welah. Lha kalau banyak saya temukan orang menikah itu kena kanker...terus itu kategorinya apa?

Yang paling bikin saya mangap ketika ada teman juga bilang "Jadi suster saja, ketimbang nggak laku." Padahal saya juga tahu pernikahannya juga nggak bagus-bagus amat. Lagipula, pemikiran bahwa orang sendiri itu harus menjadi biarawati itu, pemikiran tolol. Memangnya, kesendirian itu harus menjadi biarawati. Memangnya biarawati itu manusia sempurna?


Meski saya tahu dunia sesungguhnya begitu ruwetnya, banyak orang  memilih pura-pura bahagia meski tahu sesungguhnya kenyataannya tidak begitu. Ada pula seseorang yang tidak tahu kalau dirinya  tidak bahagia, tetapi menganggap dirinya baik-baik saja. Itu lebih kacau lagi. Akhirnya mereka depresi.

Ketika segala sesuatunya  tak tertahankan selama bertahun-tahun ledakan pun muncul. Seseorang depresi bahkan bisa berujung kehilangan kewarasan.  Seperti para model di dunia panggung. Ketika dia  turun panggung tak menyadari bahwa panggung hanyalah panggung, maka kelak di dunia nyata dia seperti layang-layang putus. Kehilangan arah. Tapi kalau dia menyadari bahwa panggung hanyalah panggung. Begitu dia turun panggung, menjadi dirinya kembali tentu  dia tak akan kehilangan dirinya.

Dalam dunia meditasi yang saya ikuti bahagia atau sedih itu sama-sama sumber penderitaan. Orang akan bebas dari penderitaan kalau pikiran dan aku -nya lenyap. Bagaimana caranya? Ya melatih kesadaran dari saat ke saat.


Yogyakarta, 9 Juli 2012

Pukul 08.25



4 komentar: