Rabu, 28 Maret 2012

Menolak Korupsi Ala Anak SMP

Saya sedang mengunjungi keponakan. Dia tinggal di komplek Halim Perdanakusuma. Jarak rumahnya dengan hanggar pesawat yang biasanya digunakan ketika Presiden berkunjung ke luar Jakarta hanya berapa ratus meter saja. Saking dekatnya, kalau pesawat Hercules akan mengudara, suara gelegarnya terdengar sampai rumah. Memekakkan telinga. Ramai betul. Pertama kali berkunjung, saya kaget luar biasa. Mengira ada kebakaran, atau kekacauan massa hehehe. Eh ternyata suara Hercules. Tapi kalau jet atau pesawat Presiden yang mengudara, suara mesinnya tak begitu. Halus...dan jessss...tak berisik seperti hercules. Ada rupa ada harga, kawan :)


Meski diselingi suara yang memekakkan, berada di komplek perumahan ini, serasa masuk ke pedesaan. Komplek maha luas itu dikelilingi pohon-pohon rindang. Di salah satu komplek itu, sebuah pesawat nangkring. Kadang-kadang saya berjalan kaki dan memotret pesawat mungil itu. Menyusuri komplek perumahannya, kita seperti dihempaskan ke lorong waktu, berpuluh tahun silam. Rumah-rumah dengan pintu-pintunya yang tinggi khas bangunan jaman Belanda, langit-langitnya yang tinggi hingga masuk ke dalam rumah, rasanya adem mesti ruangan tak memakai pendingin ruangan. Sesuai dengan warna identitas institusinya, maka warna rumah semua komplek bernuansa kembar. Dominasi warna biru laut yang menentramkan. Suasananya komplek nan sepi ini, membuat saya selalu melupakan tengah berada di rimba metropolitan yang ramai, dikelilingi gedung berbeton, dan pencakar langit. Tentu, saya menyukai suasana menentramkan seperti ini.


Keponakan saya ini, Dita namanya. Keren, manis, dan rada gendut kayak saya hihihi. Celotehnya tentang banyak hal, kadang-kadang membuat kening saya mengerenyit. "Apa ketika seusia dia, saya seperti itu ya," saya membatin. Saya selalu beranggapan, perjumpaan saya dengan banyak orang, seperti kita berada di depan cermin. Orang-orang yang kita temui itu sebenarnya cermin atau bayangan kita, jika kita menyadarainya. Tidak semua karakter tentu saja. Tetapi ada mozaik-mozaik kepribadian kita bisa kita temukan dalam diri orang lain itu. Menjadi anak kecil, orang tua, bahkan orang gila sekalipun. Itu menurut saya lho. Berbeda dengan saya juga ndak papa.


Dita baru kelas 3 SMP. Tubuh bongsornya menyamarkan dia masih anak seragam putih biru hehehe. Sore itu, hujan turun di beranda belakang rumahnya. "Tante, makan empek-empek yuk," katanya. Saya baru bangun tidur setelah seharian melakukan perjalanan jauh. "Yuk." kata saya. Berteman teh, empek-empek itu kami santap berdua. Tiba-tiba dia bertanya pada saya. "Tante wartawan dari media (dia menyebutkan insttusi saya) ya? "Iya, sayang? Kenapa?" tanya saya.


Berceritalah dia pada saya yang membuat sore saya begitu hidup. "Waktu itu, sekolah kami PKL ke sebuah kelurahan. Kami akan belajar di kantor kelurahan tentang banyak hal, membuat KTP, dan lain-lain. Nah ketika akan masuk ruangan, kami diminta absen oleh seorang petugas. Katanya untuk konsumsi bagi teman-teman yang PKL. Si bapak itu minta aku tandatangan banyak-banyak untuk konsumsi. Terus aku bilang. Hak saya kan cuma satu kotak, kalau tandatangan banyak berarti ini namanya korupsi, Pak. Saya nggak mau." Saya menyela, "Waktu kamu bilang korupsi, bapaknya marah nggak? "Bapaknya cuma diam, Tante," katanya. Saya tanya lagi, "Kok kamu tahu itu korupsi?" Dia menjawab dengan tangkas. "Iya dong. Aku kan makan satu kotak, kalau nulisnya lebih dari satu kotak, terus uangnya kan jadi banyak. Pakai duitnya siapa hayo. Korupsi kan? Satu kotak memang cuma Rp 10.000, tapi kalau aku tandatangan 10 kali, berarti jumlahnya Rp 100.000. Kan aku cuma ambil satu kotak, jadi korupsinya Rp 90.000."


Mendengar penjelasannya, saya takjub. Wow...dia masih anak SMP. Bisa menjelaskan dengan gamblang mana korupsi, maka yang bukan. Usai PKL, anak-anak di minta bercerita oleh guru. Ini masih menurut cerita Dita, keponakan saya. Mereka kemudian menyusun laporan. menceritakan kejadian demi kejadian dengan runtut. TApi kepolosan anak-anak ini berbuntut panjang. Ini lantaran cerita soal tandatangan konsumsi itu dikirimkan ke surat pembaca. "Surat pembaca masuk ke dua media, Tante. Tapi punya temenku yang masuk, bukan aku," kata dia sembari menyebut koran nasional yang bukan tempat saya bernaung.


Saya makin bergairah dengan ceritanya. saya pun bertanya lebih lanjut. "Teman yang nulis ke surat pembaca nggak papa tuh. Nggak diapa-apain sama sekolah?" tanya saya. "Dia ditelpon sama asisten Walikota apa gitu. Hari itu juga. Orangnya bilang begini. Ini bener kamu yang nulis ke surat pembaca?" Temenku bilang iya, Pak. "Terus ...terus gimana," tanya saya lantaran kian penasaran ending ceritanya. Tentu saya khawatir anak itu diapa-apakan. "Si asisten itu bilang, terimakasih ya surat pembacanya." Wah...terus terang saya kaget.


Antara percaya nggak percaya. Anak SMP? Bikin surat pembaca? Tentang korupsi kecil-kecilan? Saya seperti tertampar. Malu sekali. Sejujurnya, saya kerap mengalami ini. Tentu saya juga menolak untuk tandatangan seperti dia. Bedanya, saya dan keponakan saya ini, masih sungkan untuk bilang. "Anda korupsi ya, nyuruh saya tandatangan?" Kadang-kadang anak kecil yang polos, tak punya kepentingan, justru paling mudah mengutarakan suara hatinya. Maka, jika anak kecil menyampaikan sesuatu pada kita, maka diamlah, renungkan, saya yakin itu benar. Karena batin mereka polos, jujur. Pulang dari sana, ada semacam harapan baru. Andaikan generasi-generasi sekarang sudah diajarkan untuk jujur, bisa membedakan mana korupsi, mana yang bukan, saya punya harapan negeri gemah ripah loh jinawi ini akan sejahtera. Semoga pemimpin korup yang sekarang ini masih mengelilingi kita, tergerus oleh jaman, dan digantikan oleh jiwa-jiwa bersih. Semoga akan ada banyak Dita-dita lain di negeri ini yang terus mengingatkan pada orang dewasa. "Anda korupsi lho, saya tidak mau."

Jakarta, 28 Maret 2012
Pukul 13.56

Jumat, 23 Maret 2012

Bencana

Sudah beberapa hari ini cuaca di Yogyakarta ekstrim. Mendung beberapa menit, hujan besar, angin kencang, terang lagi. Berlanjut awan menggumpal, angin kencang, hujan deras. Begitu terus. Malahan beberapa hari lalu bumi bergoyang ketika saya bersiap berangkat kerja.


Saya kira kepala saya migrain, tapi kok ranjang bergoyang makin kencang ya. Mesti tahu ini gempa saya cuma tertegun dan membatin. "Oh..gempa." Tidak ada rasa panik, rasa takut. Sikap saya setenang air :) Berbeda sekali ketika bertahun-tahun lalu. Dada berdegup kencang, panik, langsung menghambur keluar ditambah mulut komat kamit berdoa. Perasaan yang sama saya rasakan ketika suatu malam saya mendengar benda-benda beterbangan. Saya kira ada orang bertengkar. Suara angin menderu-deru. Padahal malam itu saya mengenakan earphone karena mendengarkan musik.


Saya keluar kamar. Awan putih tebal berarak, pohon-pohon meliuk-liuk, benda-benda terbanting-banting memperdengarkan bunyi braakkk .... braakkk karena terkena angin. Tapi saya juga heran, perasaan saya juga tenang. Sempat kaget sebentar dengan alam semesta yang berubah "liar", saya kembali masuk kamar sembari berbisik. "Alam semesta, bersahabatlah dengan kami. Janganlah lama-lama mengirimkan angin kencangmu." Entah kenapa malam itu saya tidak bobok gasik. Biasanya jam 21.00 saya sudah molor. Kalau sudah bobok, ibaratnya rumah saya digorong sampai barang habis, bisa nggak kebangun. Hiks. Tapi saya juga heran pada jam-jam tertentu terbangun begitu saja. Lalu terlelap lagi.


 Hari itu, saya baru tahu kalau terjaga hingga tengah malam karena ada angin kencang yang akan datang. Angin kencang itu membuat tiang listrik di dekat tempat tinggal saya melengkung. Selama dua hari berturut-turut listrik di kos mati seharian. Lumayan dahsyat. Toh, semua juga akhirnya berlalu. Angin kencang, gempa, atau bencana lainnya.


Memang sih, untuk menangkap tanda-tanda alam memerlukan latihan. Setiap pagi begitu bangun, saya menyapa alam semesta. Saya selalu menganggap mereka bagian dari diri saya. Lalu diam. Hening beberapa saat. Itu yang terjadi selama dua tahun ini. Ada perasaan tidak enak dengan kejadian yang saya amati belakangan ini. Tapi saya terus berharap dengan "persahabatan" saya dengan alam semesta ini, kalaupun ada bencana, masih terukur. Tapi kalau yang terjadi di luar pemahaman manusia ya sudah. Bencana adalah bencana. Alam semesta punya hukum sendiri.


Menyadari bahwa negara kepulauan kita ini berada dalam ring of fire, maka sudah selayaknyalah kita "sadar bencana" Apalagi saya tinggal di Jogjakarta yang pernah mengalami gempa hebat pada 2006 lalu. Karena itu, persiapan kecil sejak dini mesti kita siapkan. Bukan karena mengharap ada bencana. Tapi "sadar bencana."

Sejak bertahun lalu, terbersit ide sederhana, membuat "tas siap bencana". Tas ini sengaja saya siapkan, jika terjadi apa-apa dadakan, tinggal "menyaut" tas, dan siap evakuasi. Apa isi tas itu? Persediaan tiga hari ke depan. Mulai dari pembalut (penting banget untuk perempuan), peralatan mandi, baju tiga potong plus cd dan bh-nya. Juga senter dan lilin. Saya juga membawa crackers, makanan pengganjal perut. Tiap beberapa bulan sekali, saya ganti. Jangan lupa pula kotak medis seperti obat pusing, panas, tolak angin, dan kalau ada madu di botol kecil. Madu memiliki energi yang cukup besar untuk tubuh.


Tapi sudah beberapa tahun ini gara-gara keseringan pindah kos, saya alpha menyiapkan "tas siap bencana." Nah, mumpung malam ini ingat, di sela-sela menulis blog ini saya buru-buru packing deh. Kenapa saya repot-repot melakukannya? Bagi saya, meminimalisir merepotkan orang lain bagian dari tanggung jawab kita dalam hidup. Jadi, mau ikut menyiapkan "tas sadar bencana"?

Yogyakarta, 23 Maret 2012

 Pukul 7.42 PM

Selasa, 20 Maret 2012

Kagok




Sudah lebih dari sepekan saya tak menulis blog ini. Percaya nggak? Saya kagok. Dari kemarin-kemarin kepikiran, mau nulis apa? Nggak muncul-muncul juga idenya. Heran. Saya makin yakin menulis itu soal kebiasaan. Kalau tidak dilatih dan tidak dibiasakan seperti pisau akan tumpul.

Sahabat-sahabat sudah bertanya-tanya kapan menulis blog? Ada yang sudah mengusulkan tema pula. Hehe. Senang juga. Tapi maaf sahabat tersayang, benar-benar kagok. Mengawalinya rada susah. Tapi saya yakin besok juga akan lancar. Apalagi belanjaan tema saya buanyak banget.

Jangan-jangan karena kebanyakan tema itulah, maka yang sudah ada di kepala jadi menguap. Mengingat saya punya pengalaman kagok, kalau boleh berbagi, bagi teman-teman yang ingin belajar menulis, jangan hawatir untuk memulai. Kalau masih kagok seperti yang saya lalui, itu biasa-biasa saja. Semuanya juga akan terlewati. Menulis itu cuma kebiasaan mengasah. Jadi, yuk menulis.


Yogyakarta, 20 Maret 2012

Pukul 10.17 PM


Senin, 12 Maret 2012

Menggerakkan Sesuatu

Pagi tadi saat  duduk di beranda kamar,  saya memikirkan hal yang mungkin buat teman klise banget. "Apa yang sudah kuberikan untuk Indonesia?". Mungkin orang bisa muntah dengan pertanyaan ini. Tapi jujur baru pagi ini saya kepikiran lagi setelah bertahun-tahun lalu pernah mempertanyakan ini.

Terus terang pikiran ini berangkat dari rencana kenaikan   bahan bakar minyak (BBM) yang rencananya dilakukan bulan April. Saya agak ngeri dengan dampak  rencana kenaikan ini. Meski saya harus akui, BBM kita termasuk paling murah di dunia. Timor Leste yang lebih miskin dari kita saja harga premiumnya sekitar Rp 10.000-an perliternya. Lha kita Rp 4500. Wow. Murah banget. Dan konsumsi terbesarnya untuk orang-orang kaya yang punya mobil lebih dari satu. Jadi, apa kita ini sudah benar memberikan subsidi pada  orang kaya?

Sebagai warga Negara ini, tentu saya merasa terpanggil, apa yang bisa saya berikan untuk Indonesia ya? Tapi mulai dari mana? Saat diri ini tak sadar, monyet dalam pikiran ini meloncat-loncat,  gemas dengan persoalan negara yang tak jauh-jauh dari  korupsi, permainan hukum negeri yang memalukan dll. Perkara hukum lebih mirip opera sabun. Masyarakat disuguhi "tontonan" seolah-olah perkara hukum dan korupsi itu panggung hiburan. Apakah ini hanya by desain saja atau memang  ada sesuatu yang lain, cuma sutradaranya yang tahu. Setelah itu sadar. Diam. Tak bisa berbuat apa-apa lagi.

Saya jadi gemas dengan diri ini. Mulai dari mana? Saya pernah membaca...duh lupa siapa yang ngomong. Kejahatan akan merajalela ketika orang baik diam saja. Bisa jadi saya juga  diam seperti yang lain. Mencari selamat. Menyerahkan segala sesuatu pada pimpinan atau orang-orang tertentu. Tapi mosok sih, kita hidup sekali ini tak bisa memberi sesuatu yang berarti?

Menggerakkan sesuatu, itu  yang saya pikirkan pagi tadi. Tapi untuk sebuah perubahan yang berarti. Saya sudah kepikiran beberapa hal. Sedang menjalankannya, dan sedang merencanakan. Mungkin itu sebuah awal. Yang jelas saya tidak mau hidup saya terkurung di ruangan  3x4 kamar saja. Atau hanya memandangi layar 21 inci pagi, siang, malam. Layar yang tidak bisa kita ajak berdiskusi. Kita hanya menerima informasi apapun yang masuk,  tetapi tak pernah mampu mencernanya dengan dalam. Tak bisa memprotes. Berapa lama pikiran kita diaduk-aduk oleh semua ini. Jadi kapan diam dan melakukan sesuatu? 

Karena alasan menggerakkan sesuatu inilah, kemugkinan saya off untuk beberapa hari untuk menulis blog. Jika memang saya memiliki waktu yang  cukup, mungkin saya akan datang di blog ini. Sebagai langkah awal, yuk kita bergerak. Jangan hanya puas di sebuah kamar berukuran  3x4 saja atau memandangi layar 21 inci saja. Karena hidup yang disadari ada kini dan sekarang ini. :) sekali lagi yuk bergerak.


Yogyakarta, 12 Maret 2012


Pukul  18.12






Sabtu, 10 Maret 2012

Sayur asem

Mestinya Sabtu pagi tadi saya memasak tom yam. Tapi karena ke salon, dan penasaran dengan ratus (spa vagina) saya akhirnya "hooh" saja ketika teman mengajak saya.

Bukan berarti pekan ini saya belum memasak. Justri tiap jam 06.30 saya memasak menu tanpa daging. oseng-oseng kacang jamur kuping dan sayur asem pilihan saya pekan ini.

Untuk resep oseng-oseng kali lain saja ya saya tulis. Saya sedang demen dengan sayur asem. Tapi juga deg-degan  memasaknya. Beberapa kali saya memasak, hiyaaaa...rasanya seperti uyuh jaran (kencing kuda) Saya tentu belum pernah minum kencing kuda....Ihh...jorok. Tapi kiasan untuk menyatakan masakan rasanya tawar ndak enak itu ya seperti itu kayak uyuh jaran.


Berkali-kali saya coba dan berkali-kali pula rasanya ampun-ampunan. Yek...nggak enak. Nah, di Yogyakarta ini, sayur asem yang cuma pas di lidah saya  hanya ada di restoran Lombok Ijo. Duh...enaknya. Meski saya tahu ada MSG-nya. Cuma, saya punya masalah dengan pencernaan. Sejak dua tahun terakhir, perut saya menolak cabe. Bahkan satu biji pun. Kalau sudah kena, saya sampai tidak bisa berjalan lho. Sungguh mengenaskan.

Tapi dasar kapok-kapok lombok, kata orang Jawa, saya masih beberapa kali iseng makan sayur asem di Lombok Ijo. Hingga terakhir karena begitu parahnya, saya sudah benar-benar no way untuk menyantap sayur asem ini. Ya sudahlah. Melet-melet pingin tetap saya tahan.

Tapi saya juga bertekad harus bisa bikin sayur asem kalau rasa kangen sudah sampai ke ubun-ubun. Ibu dan orang yang saya temui bercerita, seseorang belum bisa dikatakan mahir memasak kalau belum bisa bikin sayur asem yang maknyus. Kalau sudah bisa, maka dia lolos jadi tukang masak. Weleh. Masak sih. Sampai saya membuktikan sendiri  frustasi dan trauma memasak sayur asem.

Jadi ketika dua hari lalu saya memutuskan memasak sayur asem, sebenarnya jantung ini dag dig dug.  Oh ya waktu saya di restoran Lombok Ijo saya mencoba merasai semua bumbu yang saya rasakan. Dan inilah perbumbuan sayur asem ala "feeling" saya.


Bahan:

Kemiri 5 buah, bawang putih  3, bawang merah 5, laos bulat tipis tiga, asem, tomat, garam,gula jawa dan gula pasir,dan terasi. Untuk terasi saya pakai merk Fina kiriman teman lawas yang sudah berlalu :) kalau yang suka cabe tinggalkan tambahkan cabe.

Isi sayur asem : kacang tanah, daun so, kacang panjang, jagung manis., jipang.  Boleh menambahkan melinjo dan sayur nangka muda. Sesuai selera.

Semua bumbu ditumbuk dan digongso. Setelah wangi, masukkan air dan semua sayur mulai dari jagung. Udah kelar. Lalu dimana sulitnya. Inilah bedanya memasak sayur asem dan lain-lain yang pernah saya praktekkan. Kombinasi  garam, gula jawa, gula pasir, terasi, dan asem ini memang harus imbang. Bagaimana kuncinya, ya cuma bisa pakai feeling. Tapi ini mungkin tidak berlaku buat teman-teman yang menggunakan penyedap rasa. Saya anti penyedap rasa. Semua masakan yang saya buat, tak satupun menggunakan penyedap rasa.

Nah, dimana sebenarnya kunci enaknya. Saya menduga terasi yang saya tambahkan itu  yang membuat sayur asem saya akhirnya lolos tidak mirip rasa "uyuh jaran" lagi hehehhe. Duh
 senangnya. Saya sampai berteriak-teriak. Lega. Keponakan, penghuni di kos, dan teman saya yang  kebetulan datang mencicipi sayur asem itu. Mereka bilang "Enak." Hihihi. Semoga  jujur benar-benar enak seperti yang saya rasakan.

Mau mencoba  sayur asem? Kalaupun Anda gagal dan mirip "uyuh jaran" paling tidak saya pernah jadi teman kalian. :)


Selamat mencoba


Yogyakarta, 10 Maret 2012

Pukul 7.03 PM






Jagung Keju

Sore ini hujan turun dengan lebatnya. Sebenarnya  saya pingin "melungker" (bobok) setelah seharian bepergian. Lumayan lelah. Saya pandangi hujan dari jendela kamar saya.

Tiba-tiba saya ingat punya jagung manis di kulkas. Wah...kalau direbus enak juga ya. Jagung panas, di luar hujan. Sempurna betul. Biasanya selalu ada yang datang ke kos. Tapi karena hujan, janjian batal deh.

Saya rebus jagung. Sebenarnya enak-enak saja langsung disantap. Tapi saya pingin berbagi resep, siapa tahu ada teman-teman yang pingin.

Kalau kita jalan-jalan ke mall jagung, maka ada gerobak yang menjual jagung manis  dalam cup. Isinya  keju, jagung manis, dan susu kental yang   dijual Rp 7000. Kejunya irit, volumenya pelit. Uhhhh. Nah ini dia jagung ala saya yang pakai keju sesuka hati plus memilih volumenya juga sesuka hati.

Mudah banget cara bikinnya. Merem pun bisa...hihihi.

Cara membuat:

Pertama jagung direbus dulu. Tambahin garam biar agak gurih.  Setelah matang, jagung dipipili. Tangan agak nyonyor juga sih karena masih panas. Nah begitu selesai dipipili, ambil margarin secukupnya. Aduk sampai rata. Campurkan susu putih kental manis, pilih apa saja mereknya. aduk rata lagi. Nah setelah berasa pas, serut keju di atasnya. Boleh diaduk-aduk atau dibiarkan  tetap begitu adanya seperti dalam foto.

Udah deh kelar. Ya amplop enaknya. Mau nambah takut gendut. Hiiiii. Mana di luar hujan masih deras. Surga ini rasanya alamak....

Perhatian: buat yang ingin kurus tidak dianjurkan menyantapnya :) gendut tidak ditanggung.
Waktu membuat : 20 menit termasuk merebus jagung. 

Yogyakarta, 10 Maret 2012

Pukul 18.16

Kamis, 08 Maret 2012

Chatting dan Keganjilan

dokumentasi internet
Beberapa minggu terakhir, saya sungguh mengalami hal yang ganjil. Ini soal chatting. Sebuah pesan masuk cuma satu kata saja. Somse. Saya cuma melihatnya. Maksudnya apa, tujuannya apa. Tidak jelas. Saya biarkan. Kali lain, dia menyapa saya lagi "somse". Saya biarkan. Tapi saya jadi bertanya-tanya, maksudnya apa ya? Saya pun menjawab,"Apa yang mesti disombongkan?" Dia menjawab auk ah gelap. Hihihi. Saya cuma membatin,"oh mungkin dia minta diperhatikan." 


Tentu saya mengenal yang bersangkutan. Kami pernah bertemu dalam rentang waktu cukup lama dan kemudian komunikasi lewat dunia maya saja. Ngakunya sih sungguh mencintai saya. Tapi tindakannya rasanya tidak. Lagi pula kenapa saya mesti percaya ya? Kalau ngobrol dengan saya, agama melulu yang diomongin. Bahwa dia sudah mempelajari semua kitab, bahwa cuma Muslim yang cuma bisa masuk surga. Bahwa Yesus itu bukan Tuhan. Tuhan kan nggak beranak pinak. Saya sungguh mengagumi pengetahuannya. Dia cerdas dan punya banyak wawasan.  Tapi  saya juga bilang itu semua tidak saya butuhkan. Jadi tidak perlu repot-repot memberikan ceramah pada saya.


Kalau iseng saya lagi kumat. Saya bilang begini. "Biarkan Tuhan saya tiga, lima, sepuluh, emang kenapa? Kamu terganggu? Hehehe. Kali lain ada seorang Kristen juga ngaku suka pada saya. Tapi dia juga minta harus pindah agama. "Lho sesama Yesus kenapa harus pindah-pindahan," tanya saya. "Nggak, karena tempatmu menyembah Bunda Maria. Itu musrik." Hehehe. Kanan kena kiri kena deh. Agama yang saya anut ini banyak banget kurangnya ya, sampai orang repot-repot harus terus memelototi kekurangannya dan perlu menyampaikan pada saya. Baik juga sih. Tapi itu juga tidak saya butuhkan.


Ngomong-ngomong, sejak bangku kuliah, saya sering dicekoki yang begini terus. Nggak tahu kenapa? Apa muka saya terlihat perlu dicerahkan sehingga orang harus repot-repot untuk "menyelamatkan" saya ya? Hihihi. Nasib bener deh punya muka kayak gini. Kalian pernah mengalami begitu?


Kembali ke soal chatting. Ada juga teman yang  ngajak chatting. Sopan sih. Apa kabar? Saya biasanya jawab agak panjang. Tapi saya tunggu lama  kok nggak ada balasan. Oh ya sudah. Kali lain dia menyapa saya lagi ,"Apa kabar? Saya cuma diam saja. Karena memang terlewatkan. Masih di waktu lain, dia menyapa lagi, Apa kabar? Saya jawab "Baik." Ndak ada komen lagi. Kali ini saya membatin. "Oh...mungkin memang tipikalnya begitu." 


Tapi selain keganjilan-keganjilan di atas, saya juga punya dua sahabat yang kalau mereka chating bisa bikin saya ngakak berat. Teman saya ini dari Makassar menyapa dengan simbol  :). Saya menyapa hai apa kabar mas. Bla bla. Eh ilang tak berbekas. Saya protes. Dia jawab begini. "Sori Rit. Seperti biasanya, sebelum offline temen2ku tak jawil. Setelah itu tak tinggal mlayu :)." Asem banget nggak sih. Tapi saya ngakak.


Chatting juga datang dari sahabat saya lainnya, dari Surabaya. Dia punya kekhasan menyapa saya "Bernada berirama." Hiihihi. Suka saya. Saya pun menjawab "Hai, bung apa kabar? Tahu nggak jawaban dia apa? "Kon nyopo koyo karo konco sing ra kenal ae. Payah." (Kamu kaya menyapa sama orang tidak kenal saja-terjemahannya begitu) Kaget saya. Beberapa detik kemudian, saya membalas chatting dia. "Hei, cuk, yak opo kabarmu?" Dia menjawab "Hahhaha. Nah gitu dong." Jadi teman-teman, sapaan cuk (dancuk) itu buat wong wetan (Timur) itu mengindikasikan dua hubungan pertemanan yang amat dekat. Maklumlah, saya kini tinggal di  Jogja, kota yang ya begitulah. Halus, mesti ngerti unggah ungguh. Tapi punya teman dari berbagai daerah itu menyenangkan, lho. Juga dengan segala keanehan dan keganjilannya. Ya sudah...memperkaya hidup. 


Yogyakarta, 9 Maret 2012

Pukul 6.47





Selasa, 06 Maret 2012

Vegetarian

Saya punya teman. Adi namanya. Dia seorang vegetarian dan tak kenal lelah mengajak orang punya gaya hidup vegetarian. Saya sungguh salut dibuatnya. Saat kami berchating di jejaring sosial, dia memberi masukan di blog ini.  Kapan tema vegetarian dibuat?


Duh. Saya bukan tidak suka hidup dengan menyantap sayur saja. Sungguh. Kalau saya ikut retret meditasi 10 hari, kami semua hanya menyantap makan dua kali (terakhir pukul 11.30) dan menu lauk pauknya  cuma dari tempe ke tahu. Sayur kacang, pecel, sawi, kecambah dll. Tidak ada hari tanpa santapan daging. Saya baik-baik saja tuh. Senang malahan. Tidak juga rindu daging atau ayam, bebek, bahkan udang sekalipun.

Bahkan hal yang mengikat saya untuk  rutin datang retret meditasi tiga bulanan tak lain tak bukan ya karena merinduan menu yang  tiada menu perdagingan itu. Setiap kali selesai retret, maka setiap kali pula niat saya untuk menghentikan menyantap perdagingan. Saya merasakan sendiri betapa bebas dari daging itu membuat punggung saya yang kerap pegal lebih ringan, wajah saya lebih terlihat bersinar, dan badan terasa lebih enteng.

Tapi yah begitulah, ketika masuk "pasar bebas" yang menyajikan begitu banyak pilihan, kok ya sulit mempraktekkan ya? Sebagai contoh, ketika bertandang ke rumah teman atau ke acara liputan, apa yang tersaji didepan mata biasanya  menu-menu perdagingan. Mau menolak kok ya hati merasa tak enak. Eh tapi kayaknya lebih seringnya kebablasan ding hihihi. Lupa dan terlewat begitu saja.

Saya pernah memasak sendiri setiap hari dengan menu tanpa daging. Tapi ya itu tadi ketika ada keadaan dimana saya tidak bisa memasak, maka jajan jadi solusinya. Nah, repotnya kebanyakan warung kok ya selalu menyuguhkan menu perdagingan itu. (ahhh..saya pasti membela diri dan cari alasan hihihi). Tapi okelah...saya mungkin memang belum bisa full menjadi vegetarian. Ya sudah disadari saja. Suatu saat saya pasti bisa permanen.

Kembali ke teman saya Adi tadi, dalam perbincangannya itu, dia menyampaikan pikiran-pikirannya kenapa dia menjadi  seorang vegetarian. Begini katanya. "Pada akhirnya aku sampai pada permenungan, bahwa aku harus meletakkan semua yg kupikirkan terlepas dari agama, faham, ideologi, dsb.  dan aku sampai pada tahap bahwa aku tdak bisa menyantap soto, bakso, sate, seafood. Dalam daging, ikan, dan olahannya itu  karena aku memang tidak bisa menyantapnya, juga  tidak menemukan apa yang enak dari itu. Bagiku itu setumpuk bangkai yang dibumbui sedemikian rupa."

Begitu dia menyebut bangkai, kok saya jadi mulek-mulek ya. Dia melanjutkan. "Ketika
menyantap daging  pikiranku mengembara ke hewan-hewan itu. Aku menyayangi makluk Tuhan yang  bernama "hewan" dan karena itu, aku tidak bisa memakan apa yang aku sayangi. Aku dulu sering memandangi sajian daging di piring, lalu meng"korelasikan dengan hewan tsb saat hidup. 
 Maaf, aku tidak tega, tidak sampai hati, ,menumpuk binatang2 itu di dalam perutku."

Selain alasan menyayangi binatang, Adi juga mengatakan alasan kesehatan, lingkungan hidup menjadi pertimbangannya menjadi seorang vegetarian. Dia seperti terteror dengan akibat yang ditimbulkan dari mengonsumsi daging.  "Ada yang keracunan gule kambing di Gunung Kidul, udang,  sapi  glonggongan, ikan kena logam berat, bakso ada  boraks, usus ada formalinnya."

Waduh ...mendengar dia memberikan sederet fakta dan data itu, saya kok jadi tambah mulek-mulek ya. Tapi apakah ini berpengaruh besar dalam pikiran saya? Kita lihat nanti. Kalau teman-teman bagaimana?


Yogyakarta, pagi yang hening, pukul 07.27


7 Maret 2012.

Penutup Malam

Saya bukan Mario Teguh. Tapi sebagai penutup malam, bolehlah saya mengutip kata-kata seorang teman yang bisa kita renungkan juga lho.
Wajar kalau seseorang hidup sederhana karena dia memang tidak punya. Mengagumkan kalau  seseorang bisa bermewah-mewah tapi memilih untuk sederhana.  Mencurigakan kalau seseorang hanya punya cukup untuk hidup sederhana tapi bisa bermewah-mewah.
 
Selamat bobok ya, kawan-kawan semua.  

Yogyakarta, 6 Maret 2012
Pukul  20.17. Belum waktunya tidur ya? :)
 

Waria

Sudah dua hari ini saya meliput acara  waria. Bukan sembaran acara sih. Tapi lomba olahraga waria. Saya jelas tertarik. Bagaimana mereka bermain  sportif  ya? Apakah masih macak (berdandan). Pake  rok mini atau pakaian ala pria? Itu yang ada di benak saya.

Maka begitu teman menginformasikan acara ini, saya “hayuk” saja. Seru pasti. Begitu kami tiba di lokasi Ndalem Notoprajan, saya kaget. Para waria sudah berdandan ala pakaian Jawa.  Oh…rupanya mereka membuka acara dengan tarian  golek. Lemah gemulai lho. Salut saya.

Tujuannya, kata Sheila, ketua panitia pelaksana, para waria juga ingin turut melestarikan budaya  Jawa, tempat mereka berpijak. Rasa nasionalisme para waria ini juga terlihat dengan mengawali acara dengan menyanyikan lagu Indonesia  Raya.  “Ah…semoga Indonesia tetap menaungi para waria,” saya membatin.

Perlombaan yang saya tunggu-tunggu bersama teman-teman wartawan adalah lomba tarik tambang.  Karena saya belum pernah melihat waria  lomba tarik tambang, maka saya sabar menanti mesti acara baru  mulai pukul  14.00.
  
Begitu peliut ditiup, kegaduhan supoter pun terdengar.  “Satu, dua, tiga, mulai,” teriak seorang juri. Komunitas Sorogenen Praliman berlaga melawan Komunitas BI.  Belum lagi dua menit, komunitas  Sorogenen yang kemayu dan berdandan menor habis, dilibas oleh lawannya.  Tamara, misalnya,  terpelanting dan terjerembab menubruk tanah.  Lantaran fotografer  di dekat  acara, maka Tamara  menubruk Suryo Wibowo, fotografer Tempo dengan posisi  di atas Suryo.  Sontak  penonton tertawa terbahak-bahak.

Tapi baru dua komunitas berlaga, tak berapa lama, mendung mulai pekat dan   hujan mengguyur di lapangan Ndalem Notoprajan dengan derasnya.  Masyarakat yang menonton pun mulai mencari  tempat berteduh.    Tapi tidak demikian dengan para waria yang berlaga. “Kalau nggak hadir di WO,” teriak  Sita Ratri Ketua Ikatan Waria Yogyakarta yang mengenakan jilbab.  Alhasil komunitas yang memenangkan  pertandingan  harus mengikuti final dengan basah kuyup. Meski kemayu, begitu mereka lomba tarik tambang, kemampuan  mereka begitu maksimal.  Waria tak berlengan, terlihat otot “laki-lakinya” keluar karena mengerahkan segala kemampuan dan tenaga.

Lantaran terkena air hujan, bedak-bedak berpelepotan, rambut  wig palsu  terlihat acak-acakan. Tapi semua  penonton dan waria  bergembira.  Termasuk kami para wartawan.  Terhibur dengan perlombaan yang disuguhkan.

Menurut Ratri,  pekan olahraga waria Yogyakarta baru digelar pertama kalinya di DIY. Ada sekitar 220 dengan  10 komunitas yang ikut pertandingan  olahraga ini. Pertandingan olahraga merupakan salah satu bentuk  kesoliditasan antar waria di Yogyakarta. Tujuan lainnya, mereka ingin mengurangi stigma masyarakat yang menilai para waria jadi bahan lelucon dan identik dengan pelacuran.

Saya paham mengapa  mereka menganggap  waria sebagai lelucon itu sebuah  stigma. Apa yang mesti  ditertawakan? Sejak dua hari saya  bersama mereka, ada perubahan besar dalam  diri saya. Jika semula saya  berpikir mengapa ya mereka begitu? Siapa yang salah? Kali ini batin saya lebih datar. Tidak ada penilaian. Tidak pula berpikir dan punya persepsi macam-macam. Saya melihat mereka waria ya waria. Suka berdandan, suka menor. Ya sudahlah. Itulah mereka. 

Yogyakarta, 6 Maret 2012.

Pukul 17.48


Senin, 05 Maret 2012

Persepsi

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta, persepsi diartikan sebagai:
  • Tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu
  • Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.
Secara etimologis, persepsi berasal   dari bahasa Latin percipere, menerima; perception, pengumpulan, penerimaan, pandangan pengertian.


Dengan demikian persepsi adalah suatu proses yang muncul lewat panca indera, baik indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium, kemudian terus-menerus berproses sehingga mencapai sebuah kesimpulan yang berhubungan erat dengan informasi yang diterima dan belum sampai kepada kenyataan yang sebenarnya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi.


Persepsi yang salah dan  tidak tepat sering "membunuh" seseorang. Orang yang terjebak pada ini akan sibuk memikirkan orang lain. Saking sibuknya sampai melupakan dirinya sendiri. "Aku dan pikiranku." Hanya dengan menyadarinya dari saat ke saat akan membuat seseorang bebas.

Yogyakarta, 5 Maret 2012

Pukul  18.13

Minggu, 04 Maret 2012

Belanja


Saya  punya kakak. Sukanya belanja. Kalau belanja, dia baru berhenti jika tangannya  sudah tak lagi bisa menenteng barang atau  mall sudah tutup. Kebalikan dari saya, jalan sejam aja sudah gempor. Malas. Kalau beli barang saya ndak lama mikirnya. Tapi oke-oke aja barang yang saya beli.

Awal-awal, saya masih bisa menemani selama empat jam. Tapi saya akhirnya menyerah. Dengan terus terang saya bilang kalau saya tidak bisa menemani. Awalnya kami sering bertengkar karena menurut dia saya suka memburu-buru waktu belanja dia. Hingga saya harus mengatakan rasa keberatan  menemaninya berbelanja  yang tak mengenal waktu. Kaki lecet-lecet, badan rasanya pegal banget.


Sebenarnya di sisi lain saya sebenarnya memahami kenapa dia berlama-lama belanja. Karena tinggal di Dili, maka barang kebutuhan rumah tangga di beli setiap setahun sekali. Sementara harga jauh lebih murah. Tapi saya mengamati cara dia berbelanja. Kalau memilih barang, lamaaaaa banget.  Kalau memilih baju mungkin masih masuk akal kalau berlama-lama. Tapi milih shampo yang ukurannya  sama, bisa mengobrak abrik rak. Dipegangi satu-satu, dipilih-pilih. Saya pernah mengitung di rak shampo saja dia membutuhkan waktu sampai   10 menit. Pantesan. Maksud saya mbok ya, jenis  kayak gitu, mengambil waktu 5 detik saja sudah cukup.

Alhasil ketika  pulang liburan,  dia membawa bawaan lima koper segede bagong dan tujuh tentangan. Ya amplop. Porter yang membawa troli barang sampai tak kelihatan tubuhnya. Hihihi. Tapi mau bagaimana lagi, dia suka melakukannya. Saya cuma membatin, waktu liburannya cuma sibuk dengan belanjaan. Liburannya sendiri dengan anak-anak jadi kerap terabaikan. Belanja oh belanja.


Yogyakarta, 4 Maret 2012

Pukul 15.41



Sabtu, 03 Maret 2012

Capcay

Akhir pekan waktu saya memasak. Pekan ini saya ketagihan masak capcay. Dalam sepekan dua kali  memasak  capcay. Ketika masak  yang pertama,  saya bagikan kepada seisi rumah.  Ndelalah sejak pindah kos, saya dapat penghuni yang semua orangnya baik. Pemiliknya baik, penjaga kosnya juga baik. Beruntung sekali saya.


Nah, penjaga kos tempat saya tinggal ini satu keluarga. Ibu dan dua anaknya. Mereka sudah saya anggap sebagai bagian dari keluarga. Kalau  mereka masak kesukaan saya, daun singkong dan sayur mbayung (ada yang tahu nggak nih, ini daunnya kacang panjang) mereka menawari saya. Dan itu cukup sering dilakukan. Hehe. Karena memasak di akhir pekan, maka gantian mereka yang mendapat kehormatan mencicipi masakan saya.

Beberapa hari lalu, saya serius bikin capcay. Bahan sayurnya pepak. Daun kol, sawi putih, sawi hijau, jagung manis, dan wortel (capcay konon artinya 10 sayuran. Lima jenis sayur saja sudah segambreng isinya). Isi lauk cap cay cumi-cumi, udang, bakso, telur, dan sosis. Eduan. Seperti yang sudah saya ceritakan, saya punya kelemahan menakar volume masakan. Hahaha. Meski banyaknya jenis sayur dan  isi capcay, tapi saya sudah merasa cuma sedikit memasukkan ke dalam wajan. Begitu sudah masuk semua, saya kaget. Alamakjan.  Saya seperti masak untuk orang satu kelurahan. Saking penuhnya, isinya hampir termuntah keluar, Hihihi. Malu saya.

Saya sendiri cuma  mengambil satu mangkuk kecil untuk saya santap. setengah mangkuk untuk makan sore. Sisanya, satu wajan saya berikan untuk seisi rumah. Saya memang sudah niat sejak awal.

Nah, kemarin, karena beberapa bahan masih ada, dan saya sendiri keranjingan capcay, saya memasak ulang capcay. Ditambah ada teman yang datang ingin mencicipi capcay bikinan saya. Jadilah saya memasak  lagi. Tapi lebih terukur. Hasilnya tidak membludak seperti sebelumnya.Hihihi.

Memasak capcay itu guampang banget. Karena saya menyederhanakannya sedemikian rupa.

Cara membuat:

Bahan bawang merah (7), bawang putih (9 siung), dan satu bawang bombay. Entah dari siapa saya mendapat  rahasia ini. "Kalau kamu memasak, bahan bumbunya ambil angka ganjil, jangan  genap." Misalnya 5,7,9 dan seterusnya.  Kok ya entah kebetulan entah tidak, saya pernah mencoba mencomot bumbu dengan angka genap kok ya ndak enak ya masakan itu. Ah mungkin kebetulan saja kali ya.

Selanjutnya, merica, sedikit pala, garam,dan gula. Bumbu merica dan garam ditumbuk sampai halus. Upayakan merica yang utuh ya jangan yang sudah jadi. Beda lho rasanya. Untuk bumbu bawang putih, bawang merah cukup digeprek saja. Tidak usah lembut-lembut. Bawang bombay diiris-iris kecil-kecil. Oh ya ada yang menambahkan tomat dan daun bawang ke capcay. Tapi saya tidak memilih keduanya. Kurang maknyus rasanya.

Semua sayur dipotong kecil-kecil. Demikian juga cumi, udang, bakso, dan sosis. Untuk isi lauknya, silahkan pilih sesuka hati. Karena saya belajar tak menyantap ayam dan daging, maka saya tidak pakai keduanya.

Bumbu kemudian  digongso. Setelah agak harum, masukkan  udang. Udang inilah sebagai kaldu masakan. Lalu masukkan cumi. Setengah matang, masukkan air, dan tambahkan telur. Untuk menghindari amis, jangan buru-buru di orak-arik. Menjelang setengah mateng, barulah pecahkan telur kuning.

Lalu berturut-turut masukkan wortel dari yang paling lama matengnya,  batang daun sawi, jagung manis,  daun kol, sawi hijau, dan sawi putih. Kalau sudah merasa cukup rasanya, langsung angkat.

Saya sengaja tidak menggunakan  tepung maizena karena air jagung manis dan telur sudah membuat capcay  terlihat agak rekat. Selamat mencoba ya.




Yogyakarta, 4 Maret 2012


Pukul 06.00

Tukar Resep dan Kepiting

Beberapa hari lalu dinda angkatku datang ke kos. Saya minta dia menyantap capcay bikinan saya. Masih ada satu mangkok. Komentarnya. "Enak yunda. Aku mau bikin ah," ujarnya. "Bumbunya apa?" tanya dinda. Saya sebutkan bumbu dan cara memasaknya, dinda  mencatat.

Keesokan paginya, saya menerima  foto capcay mirip yang telah dia buat. "Wah resepnya yunda enak. Aku sampai tanduk bola bali (maksudnya aku nambah terus," katanya. "Saya buru-buru bilang," Hayo, jangan lupa porsi suami lho ya." Saya lalu bilang ke dia. Bukan resep yang bikin enak. Semua bumbu capcay kan begitu-begitu saja. "Kuncinya masakan apapun kalau ada udangnya pasti enak dinda," kata saya. Dia menyahut pendek. "Hooh."

Pagi tadi, seorang sahabat dari Surabaya chating dengan saya. "Aku pingin bikin kepiting asem manis." "Opo bumbune?" tanya dia. Sahabat saya ini senang memasak. Agak kaget saya. Dia dulu aktifis kampus, rambutnya gondrong, macho puolll. Jelas ini ndak ada hubungannya dengan masak memasak sih. Mosok urusan masak memasak aja mesti stereotip. Hihihi.

Saya lanjutkan ya obrolan kami tadi. Saya bilang padanya. "Belum pernah masak jadi benar-benar nggak tahu?," kata saya. Saya bilang akan bikin kepiting kalau sudah punya pasangan aja. (nggak ada hubungannya  kali.) Tapi kadang-kadang saya memang suka nyeleneh kok dan memang tidak ada penjelasannya. Tapi sejujurnya soal makan kepiting itu, saya punya cerita yang suka bikin saya senyum-senyum sendiri.

Sebelumnya jangan protes ya. Jangan tanya kebenarannya. Namanya juga cerita. Seorang teman bercerita pada saya. "Kalau kamu tahu seksual seseorang, lihat cara dia makan kepiting." "Lho kenapa, apa hubungannya," kata dia. Teman saya ini  kemudian "nggambleh" "Makan kepiting itu membutuhkan kesabaran. Tak semudah makan bebek atau ayam. Kita harus membuka cangkang satu demi satu. Memecahnya. Mencecap daging yang tersembul di antara cangkang. Tidak semua orang sabar menyantapnya. Nah, dari makan kepiting itulah  akan ketahuan, apakah dia pelaku seks yang buru-buru, nggak sabaran, atau pengertian dengan pasangan." Saya melongo. Weleh. Saya geleng-gelengkan kepala. Tidak percaya. Teman saya melanjutkan. "Itu sudah terbukti dari orang yang pernah kutemui," kata dia. Hahaha...Saya ngakak. "Berarti kamu ngeseks ama berapa orang hayooo....?".

Tapi meski saya ragu-ragu dengan cerita ini, kok ya cerita teman saya cukup berpengaruh. Tiap kali ada orang makan kepiting, saya memandangi cara makannya sampai tuntas. Ajaib memang. Setiap orang tidak pernah sama cara menyantapnya. Saya  tersenyum-senyum sendiri. Senyum-senyum rahasia yang cuma saya sendiri yang tahu. Eit...tapi jangan mengira saya membayangkan  "ngeseksnya" lho. Saya teringat pembicaraan saya dan teman ini.

Nah, hari ini bisa jadi saya  sudah memberikan pengaruh yang sama kepada pembaca blog ini. Kalian senyum-senyum seperti saya ketika melihat orang menyantap kepiting. Wakakakakak.

Tapi ngomong-ngomong saya kok nggambleh kemana-mana ya? Saya kan tadi menceritakan teman yang menanyakan resep. Nah, karena masak kepiting saya tak bisa, maka saya memberikan alternatif bikin tom yum. "Masakan opo kuwi," tanya dia. Maksudnya itu makanan apa? "Saya jawab itu masakan Thailand, tapi sehat dan enak." Inilah masakan andalan saya. Saya punya mimpi punya restoran tom yum Jowo :)


Nah, lewat chating (duh, terima kasih ya teknologi, kau memudahkan komunikasi kami) saya memberikan resep plus cara memasaknya. Usai memeroleh resep, dia akan segera mengabari saya jika sudah praktek. Duh, akhir pekan ini menyenangkan sekali. Senang rasanya berbagi dengan teman-teman. Meski saya bukan koki, hobi masak memasak saya ada manfaatnya juga. Yippppiii...


Yogyakarta, 3 Maret 2012

Pukul 17.06

 

Jumat, 02 Maret 2012

Wartawan

persiapan 
aih ada si baju batik.


Tiga hari lalu seorang teman mengabarkan melalui Blakberry Messenger. Ada kawan yang bocor pelipisnya karena terkena lemparan saat sidang di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Pangkal soalnya, Front Pembela Islam (FPI) Yogyakarta dengan Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta melakukan aksi lempar batu  usai sidang dengan agenda pemeriksaan. Lemparan batu itu mengenai pelipis Nuryanto yang akrab disapa Ndimun. 


Sehari setelah liputan itu, mereka berdemo, protes atas insiden itu. Karena masih  wartawan dan terpanggil, saya pun datang. Kejadian seperti ini  memang sudah  resiko pekerjaan wartawan. Ketika terjun di dalamnya, tentu saya  tahu resikonya. Tapi bukan berarti saya pingin terkena lemparan atau menjadi korban kekerasan lho. Dalam segala hal kami tetap mengedepankan kehati-hatian. Tapi jika toh itu tetap terjadi, mau bagaimana lagi?


Yogyakarta, 3 Maret 2012

Pukul  8.15




Hujan Sejak Subuh

hujan di depan beranda kamar
 Seperti biasa aku bangun subuh. Langit masih gelap. Tapi kudengar di luar hujan. Aku diam. Hening beberapa saaat. Melebur bersama bunyi-bunyian yang terdengar. Satu jam berlalu. Kubuka mataku. Aku mulai menulis. Aku membaca postingan Titik Hening. Selalu ada hal baru yang kudapatkan disana.


Di luar, langit mulai terang tanah.  Hujan masih belum berhenti. Pletikannya  menentramkan jiwa. Kubuka korden jendela kamar.  Diam. Aku melihat hujan dari jendela
 kamarku. Semoga tak ada peristiwa apapun, longsor, banjir, atau banjir lahar dingin. Kalaupun dia ada, toh  tak terjadi setiap hari. Alam semesta sudah punya hukumnya tersendiri. Terimakasih alam semesta untuk hujan sejak subuh tadi.



Yogyakarta, 3 Maret 2012

Pukul 6.33

Kamis, 01 Maret 2012

Kisah Gadis Jeruk

Setelah menceritakan tentang misteri kehidupan, alam semesta, dan dongeng kehidupan, aku  akan menceritakan Gadis Jeruk, tokoh sentral dalam buku itu yang juga dipakai  oleh pengarangnya menjadi  judul buku.


Gadis Jeruk tak lain nama Veronika, ibu yang melahirkan Georg. Harus kuakui Gaarder berhasil membuat pembacanya seolah-olah masuk dalam kisah  cinta sejati dua anak manusia  yang demikian dramatis. Mengalir, bergelombang, indah, dan romantis. Saking terlarutnya,  sampai-sampai sempat berpikir, "Apakah mungkin dalam hidup yang sekali ini saja, aku merasakan cinta sejati?" Bukan menemukan cinta karena kebiasaan, memang seharusnya begitulah adanya. 


Dialog-dialog yang dibangun dan  metafor-metafor yang digunakan Gaarder juga tidak bisa dilewatkan begitu saja. Indah dan kaya.

Aku akan memberikan  satu contohnya.

+ Dalam hidup kita perlu sedikit merindu."
- Dan berapa lamakah itu?
+ Mungkin  sedikit lama. Enam bulan.
- Mengapa begitu lama?
 + Karena selama itulah kamu mesti  menunggu.
- Aku bisa menunggu hingga  hatiku berdarah lantaran duka.


Gombal banget nggak sih? Tapi ketika menjadi  rentetan dialog yang utuh hemmm boleh juga.
Lalu, metafor-metafor yang dibuat Gaarder bertebaran di sepanjang  buku dengan tebal  253 halaman itu. Dia misalnya menyebut Gadis Jeruk kecil yang menjelma menjadi Gadis Jeruk cantik dengan metamorfosis kepompong ke kupu-kupu. "Bagaimana aku bisa  mengenali seekor ulat kecil  setelah dia berubah menjadi kupu-kupu?


Atau metafor lainnya. "Dia bercahaya seperti pohon jeruk di Plaza de la Alianza ketika kami cepat-cepat sepakat bahwa  kami bisa tinggal di Adamstuen pada awal Januari."  Atau Gaarder menceritakan kisah "penciptaan" Georg dengan bahasa yang mudah dipahami tetapi tidak porno buat anak seusia Georg. "Aku baringkan dia di tempat tidur dan memuaskannya di sana. (halaman 195). Juga ketika dia menyampaikan kematian dengan matafor matahari. Matahari sedang menutup matanya sekarang, dan tak lama lagi aku pun demikian."


Pada Georg sang putera yang begitu dicintainya, Gaarder dengan detil menceritakan kisah  pertemuannya dengan Gadis Jeruk, bagaimana mereka saling jatuh cinta, hingga masuk dalam lembaga pernikahan. Gaarder jelas sadar, kisah cinta sejatinya menjadi bagian yang paling penting untuk diceritakan karena kisah ini menjadi  benang merah atas "penciptaan" Georg. Lebih dari itu, sebagai pelaku dongeng kehidupan, memilih pasangan merupakan kebebasan  mutlaknya sebagai manusia. Ini satu-satunya kesempatan yang dia miliki sebagai  orang yang menjalani dongeng kehidupan, berbeda  dengan kelahiran dan kematian  yang tak mungkin dia pilih dengan kesadaran mutlak. Dalam dongeng kehidupan, dia harus mematuhi  "peraturan" yang ditetapkan oleh si pemilik dongeng kehidupan. Kapan  dilahirkan dan dari siapa kita berasal tak bisa memilih, demikian pula ketika ajal menjemput, kita tak bisa memilihnya.


Maka, ketika si kecil Georg bertanya kepada sang ayah untuk  siapa dia menulis surat ini? Sang ayah menyatakan "Untuk temanku yang sangat baik." Untuk ibu?" tanya Georg. "Ibu adalah cinta sejati, itu sama sekali berbeda."Gaarder membedakan dengan sangat tegas hubungan ayah dan anak dengan  tokoh Gadis Jeruk yang adalah cinta sejati.


Dan berapa lama kebahagiaan antara keduanya berlangsung? Tak lama. Begitu diagnosa penyakit mematikan itu menghampiri  Jan Olav,  kisah cinta sejati itu pun berubah. Persetubuhan dengan kesedihan pun di mulai. Keduanya seolah-olah mengatakan,  "Selamat datang perpisahan." Begitulah keduanya menyadari kenyataan pahit itu. Dalam rentang sisa waktu itu, mereka  punya peraturan baru. Tanpa banyak bicara, hanya diam. Justru dalam diam itulah mereka belajar memahami  banyak hal. Kata-kata kadang-kadang memang tak diperlukan bagi orang yang sudah melewati batas hidup. "Pada beberapa kesempatan , kami duduk  bersama sepanjang malam. Kami tidak banyak bicara. Kami hanya  duduk bersama. Kami membuat secangkir teh. Kami makan sepotong  roti dan keju. Seperti itulah keadaan pada saat ini, Georg. Itulah peraturan baru. Kami bisa duduk selama berjam-jam hanya saling  berpegangan tangan."


Pada bagian ini, terus terang mata saya deras mengalir. Saya merasakan kepedihan hebat kedua pasangan yang tahu akan dipisahkan ruang dan waktu. Ketika seseorang tak bisa mengelak takdir itu, maka cuma satu yang bisa membebaskan diri, lebur bersama kepedihan itu sendiri. Menyadarinya. Aku jadi teringat ucapan Buddha. Hidup adalah  penderitaan. Dengan demikian cinta juga sumber penderitaaan. Sulit untuk dipahami, kecuali kita mencoba masuk ke dalamnya. Akua juga makin yakin bahwa sedih dan gembira itu juga sumber penderitaan. Jadi ketika melekati keduanya, maka batin kita tak akan  pernah bebas.


Apakah Gaarder terjebak dalam  "kemelekatan" itu? Jawabanku tidak. Ini bisa dilihat dalam  cerita baru Veronika, yang menambatkan hidupnya kepada sang cinta baru. Cinta yang sedemikian hebat itu pun tergantikan oleh  Joergen. Veronika tak melekati "penderitaan" itu. Jika dia berlama-lama masuk dalam romantisme, maka dia akan "hancur" dengan cinta sejatinya. Aku juga makin yakin bahwa cinta, seberapapun kuatnya memudar dengan cepat. Sejak dulu saya tak pernah percaya dengan cinta mendalam dalam rentang waktu lama.


Panjang banget ya  bercerita tentang kisah gadis jeruk ini. Jujur saja. Ada semacam yah...sebuah keinginan terdalam...suatu saat mampukah saya membuat buku yang dimensinya demikian luas,  seperti buku Gadis Jeruk ini? Tentu, buku yang bisa mendunia  :)


Tapi ceritaku  belum selesai lho. Menarik bahwa buku ini juga menceritakan tentang ketakutan seseorang menghadapi kematian. Kepada sang anak, Jan Olav menuturkannya. "Kukatakan salah satu hal yang cepat menular yang kuketahui adalah tawa. Namun penderitaan pun bisa menular.  Berbeda halnya dengan ketakutan.Takut tidak bsa dikomunikasikan semudah tawa atau kesedihan, dan itu baik. Takut hampir merupakan sesuatu yang sangat menyendiri. Aku takut Georg. Aku takut dilempar ke luar dari dunia ini."(202). 


Meski begitu, Gaarder mencoba menghadapi kematian dari "dongeng kehidupan" itu dengan cara  berdamai atas dirinya sendiri. Kemelekatannya terhadap sang anak itu, dia tuntaskan dengan menulis surat. Sebuah surat, dimana sang ayah mengkomunikasikan segala kekhawatirannya itu bukan untuk mendikte atau memaksakan pendapat. Surat yang demikian panjang itu sebenarnya berujung pada sebuah pertanyaan. "Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih  hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi dari semua itu, tak pernah kembali? Atau kamu berkata tidak, terimakasih?


Apa jawaban sang anak? Melalui jawaban sang anak ini, bisa jadi Gaarder tanpa harus menggurui  mengatakan pada pembacanya. Sekali kamu diberi kesempatan hidup, sadarilah menit per menit yang kamu rasakan. Hidup ini singkat. Tak masalah soal waktu lama atau tidak. Sadari dan pergunakanlah semua yang ada. Cecaplah alam semesta ini dengan segala misteri hidupnya.


Beginilah jawaban si Georg yang kini  telah berusia 15 tahun. Terimakasih untuk surat yang Ayah kirim kepadaku. Kedatangan surat ini  merupakan kejutan, aku senang sekaligus susah dibuatnya. Tapi kini akhirnya aku sudah membuat keputusan yang sulit itu. Aku yakin betul aku akan memilih untuk hidup di bumi ini meskipun hanya untuk  "waktu yang singkat". Jadi sekarang, setidaknya, Ayah bisa melupakan  semua kekhawatiran  ini. Ayah bisa "beristirahat dengan tenang", seperti kata orang. Terima kasih sudah mengejar di Gadis Jeruk itu !


Tambahan dari si Georg yang menurutku tepat. "Tanyai ayah dan ibumu bagaimana mereka saling bertemu. Barangkali ada kisah  menarik  untuk mereka ceritakan. Lebih baik tanyai  mereka berdua  karena cerita mereka mungkin  tidak akan persis sama."


Selesai.


PS:  Direkomendasikan untuk dibaca. Boleh pinjam ke tempat saya. Tapi, maaf sudah tidak kasih hadiah lagi, kecuali ulang tahun :)

yogyakarta,  Serangan Oemum 1 Maret 2012

Pukul  7.51 PM.