Selasa, 06 Maret 2012

Waria

Sudah dua hari ini saya meliput acara  waria. Bukan sembaran acara sih. Tapi lomba olahraga waria. Saya jelas tertarik. Bagaimana mereka bermain  sportif  ya? Apakah masih macak (berdandan). Pake  rok mini atau pakaian ala pria? Itu yang ada di benak saya.

Maka begitu teman menginformasikan acara ini, saya “hayuk” saja. Seru pasti. Begitu kami tiba di lokasi Ndalem Notoprajan, saya kaget. Para waria sudah berdandan ala pakaian Jawa.  Oh…rupanya mereka membuka acara dengan tarian  golek. Lemah gemulai lho. Salut saya.

Tujuannya, kata Sheila, ketua panitia pelaksana, para waria juga ingin turut melestarikan budaya  Jawa, tempat mereka berpijak. Rasa nasionalisme para waria ini juga terlihat dengan mengawali acara dengan menyanyikan lagu Indonesia  Raya.  “Ah…semoga Indonesia tetap menaungi para waria,” saya membatin.

Perlombaan yang saya tunggu-tunggu bersama teman-teman wartawan adalah lomba tarik tambang.  Karena saya belum pernah melihat waria  lomba tarik tambang, maka saya sabar menanti mesti acara baru  mulai pukul  14.00.
  
Begitu peliut ditiup, kegaduhan supoter pun terdengar.  “Satu, dua, tiga, mulai,” teriak seorang juri. Komunitas Sorogenen Praliman berlaga melawan Komunitas BI.  Belum lagi dua menit, komunitas  Sorogenen yang kemayu dan berdandan menor habis, dilibas oleh lawannya.  Tamara, misalnya,  terpelanting dan terjerembab menubruk tanah.  Lantaran fotografer  di dekat  acara, maka Tamara  menubruk Suryo Wibowo, fotografer Tempo dengan posisi  di atas Suryo.  Sontak  penonton tertawa terbahak-bahak.

Tapi baru dua komunitas berlaga, tak berapa lama, mendung mulai pekat dan   hujan mengguyur di lapangan Ndalem Notoprajan dengan derasnya.  Masyarakat yang menonton pun mulai mencari  tempat berteduh.    Tapi tidak demikian dengan para waria yang berlaga. “Kalau nggak hadir di WO,” teriak  Sita Ratri Ketua Ikatan Waria Yogyakarta yang mengenakan jilbab.  Alhasil komunitas yang memenangkan  pertandingan  harus mengikuti final dengan basah kuyup. Meski kemayu, begitu mereka lomba tarik tambang, kemampuan  mereka begitu maksimal.  Waria tak berlengan, terlihat otot “laki-lakinya” keluar karena mengerahkan segala kemampuan dan tenaga.

Lantaran terkena air hujan, bedak-bedak berpelepotan, rambut  wig palsu  terlihat acak-acakan. Tapi semua  penonton dan waria  bergembira.  Termasuk kami para wartawan.  Terhibur dengan perlombaan yang disuguhkan.

Menurut Ratri,  pekan olahraga waria Yogyakarta baru digelar pertama kalinya di DIY. Ada sekitar 220 dengan  10 komunitas yang ikut pertandingan  olahraga ini. Pertandingan olahraga merupakan salah satu bentuk  kesoliditasan antar waria di Yogyakarta. Tujuan lainnya, mereka ingin mengurangi stigma masyarakat yang menilai para waria jadi bahan lelucon dan identik dengan pelacuran.

Saya paham mengapa  mereka menganggap  waria sebagai lelucon itu sebuah  stigma. Apa yang mesti  ditertawakan? Sejak dua hari saya  bersama mereka, ada perubahan besar dalam  diri saya. Jika semula saya  berpikir mengapa ya mereka begitu? Siapa yang salah? Kali ini batin saya lebih datar. Tidak ada penilaian. Tidak pula berpikir dan punya persepsi macam-macam. Saya melihat mereka waria ya waria. Suka berdandan, suka menor. Ya sudahlah. Itulah mereka. 

Yogyakarta, 6 Maret 2012.

Pukul 17.48


3 komentar:

  1. biarin ya kalau jenisnya waria... yang penting tidak menyakiti dan merugikan sesama.. hehehe

    BalasHapus
  2. Waria hanyalah sebatas identitas seksual jati diri mereka, suka atau tdk suka.. mau atau tdk mau, mereka juga turut berusaha meramaikan dinamika kehidupan di dunia ini sedari dulu, dg ikut pula berpartisipasi melakukan kewajiban mereka sbg warga negara,.. Mengenai stigma lelucon yg kerap ditujukan atau diobyekkan thd kaum waria itu hnyalah identik dari sebagian waria sja yg senang berpenampilan nyentrik, menor, dan glamour, sm halnya kaum punk yg sering berpenampilan nyentrik dg dandanan potongan rambuk mohawk, tindikan banyak di wajah, juga tatto2 yg menghiasi sekujur tubuhnya....

    BalasHapus
  3. episode dan anonim@ benar sekali. Mereka ada di sekililing kita dan biarkan saja ada, tanpa perlu menilai.

    BalasHapus