Sudah dua
hari ini saya meliput acara waria. Bukan
sembaran acara sih. Tapi lomba olahraga waria. Saya jelas tertarik. Bagaimana
mereka bermain sportif ya? Apakah masih macak (berdandan). Pake rok mini atau pakaian ala pria? Itu yang ada
di benak saya.
Maka begitu
teman menginformasikan acara ini, saya “hayuk” saja. Seru pasti. Begitu kami
tiba di lokasi Ndalem Notoprajan, saya kaget. Para waria sudah berdandan ala
pakaian Jawa. Oh…rupanya mereka membuka
acara dengan tarian golek. Lemah gemulai
lho. Salut saya.
Tujuannya,
kata Sheila, ketua panitia pelaksana, para waria juga ingin turut melestarikan
budaya Jawa, tempat mereka berpijak.
Rasa nasionalisme para waria ini juga terlihat dengan mengawali acara dengan
menyanyikan lagu Indonesia Raya. “Ah…semoga Indonesia tetap menaungi para
waria,” saya membatin.
Perlombaan
yang saya tunggu-tunggu bersama teman-teman wartawan adalah lomba tarik
tambang. Karena saya belum pernah
melihat waria lomba tarik tambang, maka
saya sabar menanti mesti acara baru
mulai pukul 14.00.
Begitu
peliut ditiup, kegaduhan supoter pun terdengar.
“Satu, dua, tiga, mulai,” teriak seorang juri. Komunitas Sorogenen
Praliman berlaga melawan Komunitas BI. Belum lagi dua menit, komunitas Sorogenen yang kemayu dan berdandan menor
habis, dilibas oleh lawannya. Tamara,
misalnya, terpelanting dan terjerembab
menubruk tanah. Lantaran fotografer di dekat
acara, maka Tamara menubruk Suryo
Wibowo, fotografer Tempo dengan posisi di
atas Suryo. Sontak penonton tertawa terbahak-bahak.
Tapi baru
dua komunitas berlaga, tak berapa lama, mendung mulai pekat dan hujan mengguyur di lapangan Ndalem Notoprajan dengan derasnya. Masyarakat yang menonton pun mulai
mencari tempat berteduh. Tapi
tidak demikian dengan para waria yang berlaga. “Kalau nggak hadir di WO,” teriak Sita Ratri Ketua Ikatan Waria Yogyakarta
yang mengenakan jilbab. Alhasil komunitas yang memenangkan pertandingan
harus mengikuti final dengan basah kuyup. Meski kemayu, begitu mereka
lomba tarik tambang, kemampuan mereka
begitu maksimal. Waria tak berlengan,
terlihat otot “laki-lakinya” keluar karena mengerahkan segala kemampuan dan
tenaga.
Lantaran
terkena air hujan, bedak-bedak berpelepotan, rambut wig palsu
terlihat acak-acakan. Tapi semua
penonton dan waria bergembira. Termasuk kami para wartawan. Terhibur dengan perlombaan yang disuguhkan.
Menurut
Ratri, pekan olahraga waria Yogyakarta
baru digelar pertama kalinya di DIY. Ada sekitar 220 dengan 10 komunitas yang ikut pertandingan olahraga ini. Pertandingan olahraga merupakan
salah satu bentuk kesoliditasan antar
waria di Yogyakarta. Tujuan lainnya, mereka ingin mengurangi stigma masyarakat
yang menilai para waria jadi bahan lelucon dan identik dengan pelacuran.
Saya paham
mengapa mereka menganggap waria sebagai lelucon itu sebuah stigma. Apa yang mesti ditertawakan? Sejak dua hari saya bersama mereka, ada perubahan besar
dalam diri saya. Jika semula saya berpikir mengapa ya mereka begitu? Siapa yang
salah? Kali ini batin saya lebih datar. Tidak ada penilaian. Tidak pula
berpikir dan punya persepsi macam-macam. Saya melihat mereka waria ya waria.
Suka berdandan, suka menor. Ya sudahlah. Itulah mereka.
Yogyakarta,
6 Maret 2012.
Pukul 17.48
biarin ya kalau jenisnya waria... yang penting tidak menyakiti dan merugikan sesama.. hehehe
BalasHapusWaria hanyalah sebatas identitas seksual jati diri mereka, suka atau tdk suka.. mau atau tdk mau, mereka juga turut berusaha meramaikan dinamika kehidupan di dunia ini sedari dulu, dg ikut pula berpartisipasi melakukan kewajiban mereka sbg warga negara,.. Mengenai stigma lelucon yg kerap ditujukan atau diobyekkan thd kaum waria itu hnyalah identik dari sebagian waria sja yg senang berpenampilan nyentrik, menor, dan glamour, sm halnya kaum punk yg sering berpenampilan nyentrik dg dandanan potongan rambuk mohawk, tindikan banyak di wajah, juga tatto2 yg menghiasi sekujur tubuhnya....
BalasHapusepisode dan anonim@ benar sekali. Mereka ada di sekililing kita dan biarkan saja ada, tanpa perlu menilai.
BalasHapus