dokumentasi internet |
Beberapa minggu terakhir, saya sungguh mengalami hal yang ganjil. Ini soal chatting. Sebuah pesan masuk cuma satu kata saja. Somse. Saya cuma melihatnya. Maksudnya apa, tujuannya apa. Tidak jelas. Saya biarkan. Kali lain, dia menyapa saya lagi "somse". Saya biarkan. Tapi saya jadi bertanya-tanya, maksudnya apa ya? Saya pun menjawab,"Apa yang mesti disombongkan?" Dia menjawab auk ah gelap. Hihihi. Saya cuma membatin,"oh mungkin dia minta diperhatikan."
Tentu saya mengenal yang bersangkutan. Kami pernah bertemu dalam rentang waktu cukup lama dan kemudian komunikasi lewat dunia maya saja. Ngakunya sih sungguh mencintai saya. Tapi tindakannya rasanya tidak. Lagi pula kenapa saya mesti percaya ya? Kalau ngobrol dengan saya, agama melulu yang diomongin. Bahwa dia sudah mempelajari semua kitab, bahwa cuma Muslim yang cuma bisa masuk surga. Bahwa Yesus itu bukan Tuhan. Tuhan kan nggak beranak pinak. Saya sungguh mengagumi pengetahuannya. Dia cerdas dan punya banyak wawasan. Tapi saya juga bilang itu semua tidak saya butuhkan. Jadi tidak perlu repot-repot memberikan ceramah pada saya.
Kalau iseng saya lagi kumat. Saya bilang begini. "Biarkan Tuhan saya tiga, lima, sepuluh, emang kenapa? Kamu terganggu? Hehehe. Kali lain ada seorang Kristen juga ngaku suka pada saya. Tapi dia juga minta harus pindah agama. "Lho sesama Yesus kenapa harus pindah-pindahan," tanya saya. "Nggak, karena tempatmu menyembah Bunda Maria. Itu musrik." Hehehe. Kanan kena kiri kena deh. Agama yang saya anut ini banyak banget kurangnya ya, sampai orang repot-repot harus terus memelototi kekurangannya dan perlu menyampaikan pada saya. Baik juga sih. Tapi itu juga tidak saya butuhkan.
Ngomong-ngomong, sejak bangku kuliah, saya sering dicekoki yang begini terus. Nggak tahu kenapa? Apa muka saya terlihat perlu dicerahkan sehingga orang harus repot-repot untuk "menyelamatkan" saya ya? Hihihi. Nasib bener deh punya muka kayak gini. Kalian pernah mengalami begitu?
Kembali ke soal chatting. Ada juga teman yang ngajak chatting. Sopan sih. Apa kabar? Saya biasanya jawab agak panjang. Tapi saya tunggu lama kok nggak ada balasan. Oh ya sudah. Kali lain dia menyapa saya lagi ,"Apa kabar? Saya cuma diam saja. Karena memang terlewatkan. Masih di waktu lain, dia menyapa lagi, Apa kabar? Saya jawab "Baik." Ndak ada komen lagi. Kali ini saya membatin. "Oh...mungkin memang tipikalnya begitu."
Tapi selain keganjilan-keganjilan di atas, saya juga punya dua sahabat yang kalau mereka chating bisa bikin saya ngakak berat. Teman saya ini dari Makassar menyapa dengan simbol :). Saya menyapa hai apa kabar mas. Bla bla. Eh ilang tak berbekas. Saya protes. Dia jawab begini. "Sori Rit. Seperti biasanya, sebelum offline temen2ku tak jawil. Setelah itu tak tinggal mlayu :)." Asem banget nggak sih. Tapi saya ngakak.
Chatting juga datang dari sahabat saya lainnya, dari Surabaya. Dia punya kekhasan menyapa saya "Bernada berirama." Hiihihi. Suka saya. Saya pun menjawab "Hai, bung apa kabar? Tahu nggak jawaban dia apa? "Kon nyopo koyo karo konco sing ra kenal ae. Payah." (Kamu kaya menyapa sama orang tidak kenal saja-terjemahannya begitu) Kaget saya. Beberapa detik kemudian, saya membalas chatting dia. "Hei, cuk, yak opo kabarmu?" Dia menjawab "Hahhaha. Nah gitu dong." Jadi teman-teman, sapaan cuk (dancuk) itu buat wong wetan (Timur) itu mengindikasikan dua hubungan pertemanan yang amat dekat. Maklumlah, saya kini tinggal di Jogja, kota yang ya begitulah. Halus, mesti ngerti unggah ungguh. Tapi punya teman dari berbagai daerah itu menyenangkan, lho. Juga dengan segala keanehan dan keganjilannya. Ya sudah...memperkaya hidup.
Yogyakarta, 9 Maret 2012
Pukul 6.47
hehehehehehe, ku suka paragraph tenteng jawa timur.........ok dach.......
BalasHapussippp dahhhh. tengkyu
BalasHapus