Gadis Jeruk tak lain nama Veronika, ibu yang melahirkan Georg. Harus kuakui Gaarder berhasil membuat pembacanya seolah-olah masuk dalam kisah cinta sejati dua anak manusia yang demikian dramatis. Mengalir, bergelombang, indah, dan romantis. Saking terlarutnya, sampai-sampai sempat berpikir, "Apakah mungkin dalam hidup yang sekali ini saja, aku merasakan cinta sejati?" Bukan menemukan cinta karena kebiasaan, memang seharusnya begitulah adanya.
Dialog-dialog yang dibangun dan metafor-metafor yang digunakan Gaarder juga tidak bisa dilewatkan begitu saja. Indah dan kaya.
Aku akan memberikan satu contohnya.
+ Dalam hidup kita perlu sedikit merindu."
- Dan berapa lamakah itu?
+ Mungkin sedikit lama. Enam bulan.
- Mengapa begitu lama?
+ Karena selama itulah kamu mesti menunggu.
- Aku bisa menunggu hingga hatiku berdarah lantaran duka.
Gombal banget nggak sih? Tapi ketika menjadi rentetan dialog yang utuh hemmm boleh juga.
Lalu, metafor-metafor yang dibuat Gaarder bertebaran di sepanjang buku dengan tebal 253 halaman itu. Dia misalnya menyebut Gadis Jeruk kecil yang menjelma menjadi Gadis Jeruk cantik dengan metamorfosis kepompong ke kupu-kupu. "Bagaimana aku bisa mengenali seekor ulat kecil setelah dia berubah menjadi kupu-kupu?
Atau metafor lainnya. "Dia bercahaya seperti pohon jeruk di Plaza de la Alianza ketika kami cepat-cepat sepakat bahwa kami bisa tinggal di Adamstuen pada awal Januari." Atau Gaarder menceritakan kisah "penciptaan" Georg dengan bahasa yang mudah dipahami tetapi tidak porno buat anak seusia Georg. "Aku baringkan dia di tempat tidur dan memuaskannya di sana. (halaman 195). Juga ketika dia menyampaikan kematian dengan matafor matahari. Matahari sedang menutup matanya sekarang, dan tak lama lagi aku pun demikian."
Pada Georg sang putera yang begitu dicintainya, Gaarder dengan detil menceritakan kisah pertemuannya dengan Gadis Jeruk, bagaimana mereka saling jatuh cinta, hingga masuk dalam lembaga pernikahan. Gaarder jelas sadar, kisah cinta sejatinya menjadi bagian yang paling penting untuk diceritakan karena kisah ini menjadi benang merah atas "penciptaan" Georg. Lebih dari itu, sebagai pelaku dongeng kehidupan, memilih pasangan merupakan kebebasan mutlaknya sebagai manusia. Ini satu-satunya kesempatan yang dia miliki sebagai orang yang menjalani dongeng kehidupan, berbeda dengan kelahiran dan kematian yang tak mungkin dia pilih dengan kesadaran mutlak. Dalam dongeng kehidupan, dia harus mematuhi "peraturan" yang ditetapkan oleh si pemilik dongeng kehidupan. Kapan dilahirkan dan dari siapa kita berasal tak bisa memilih, demikian pula ketika ajal menjemput, kita tak bisa memilihnya.
Maka, ketika si kecil Georg bertanya kepada sang ayah untuk siapa dia menulis surat ini? Sang ayah menyatakan "Untuk temanku yang sangat baik." Untuk ibu?" tanya Georg. "Ibu adalah cinta sejati, itu sama sekali berbeda."Gaarder membedakan dengan sangat tegas hubungan ayah dan anak dengan tokoh Gadis Jeruk yang adalah cinta sejati.
Dan berapa lama kebahagiaan antara keduanya berlangsung? Tak lama. Begitu diagnosa penyakit mematikan itu menghampiri Jan Olav, kisah cinta sejati itu pun berubah. Persetubuhan dengan kesedihan pun di mulai. Keduanya seolah-olah mengatakan, "Selamat datang perpisahan." Begitulah keduanya menyadari kenyataan pahit itu. Dalam rentang sisa waktu itu, mereka punya peraturan baru. Tanpa banyak bicara, hanya diam. Justru dalam diam itulah mereka belajar memahami banyak hal. Kata-kata kadang-kadang memang tak diperlukan bagi orang yang sudah melewati batas hidup. "Pada beberapa kesempatan , kami duduk bersama sepanjang malam. Kami tidak banyak bicara. Kami hanya duduk bersama. Kami membuat secangkir teh. Kami makan sepotong roti dan keju. Seperti itulah keadaan pada saat ini, Georg. Itulah peraturan baru. Kami bisa duduk selama berjam-jam hanya saling berpegangan tangan."
Pada bagian ini, terus terang mata saya deras mengalir. Saya merasakan kepedihan hebat kedua pasangan yang tahu akan dipisahkan ruang dan waktu. Ketika seseorang tak bisa mengelak takdir itu, maka cuma satu yang bisa membebaskan diri, lebur bersama kepedihan itu sendiri. Menyadarinya. Aku jadi teringat ucapan Buddha. Hidup adalah penderitaan. Dengan demikian cinta juga sumber penderitaaan. Sulit untuk dipahami, kecuali kita mencoba masuk ke dalamnya. Akua juga makin yakin bahwa sedih dan gembira itu juga sumber penderitaan. Jadi ketika melekati keduanya, maka batin kita tak akan pernah bebas.
Apakah Gaarder terjebak dalam "kemelekatan" itu? Jawabanku tidak. Ini bisa dilihat dalam cerita baru Veronika, yang menambatkan hidupnya kepada sang cinta baru. Cinta yang sedemikian hebat itu pun tergantikan oleh Joergen. Veronika tak melekati "penderitaan" itu. Jika dia berlama-lama masuk dalam romantisme, maka dia akan "hancur" dengan cinta sejatinya. Aku juga makin yakin bahwa cinta, seberapapun kuatnya memudar dengan cepat. Sejak dulu saya tak pernah percaya dengan cinta mendalam dalam rentang waktu lama.
Panjang banget ya bercerita tentang kisah gadis jeruk ini. Jujur saja. Ada semacam yah...sebuah keinginan terdalam...suatu saat mampukah saya membuat buku yang dimensinya demikian luas, seperti buku Gadis Jeruk ini? Tentu, buku yang bisa mendunia :)
Tapi ceritaku belum selesai lho. Menarik bahwa buku ini juga menceritakan tentang ketakutan seseorang menghadapi kematian. Kepada sang anak, Jan Olav menuturkannya. "Kukatakan salah satu hal yang cepat menular yang kuketahui adalah tawa. Namun penderitaan pun bisa menular. Berbeda halnya dengan ketakutan.Takut tidak bsa dikomunikasikan semudah tawa atau kesedihan, dan itu baik. Takut hampir merupakan sesuatu yang sangat menyendiri. Aku takut Georg. Aku takut dilempar ke luar dari dunia ini."(202).
Meski begitu, Gaarder mencoba menghadapi kematian dari "dongeng kehidupan" itu dengan cara berdamai atas dirinya sendiri. Kemelekatannya terhadap sang anak itu, dia tuntaskan dengan menulis surat. Sebuah surat, dimana sang ayah mengkomunikasikan segala kekhawatirannya itu bukan untuk mendikte atau memaksakan pendapat. Surat yang demikian panjang itu sebenarnya berujung pada sebuah pertanyaan. "Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi dari semua itu, tak pernah kembali? Atau kamu berkata tidak, terimakasih?
Apa jawaban sang anak? Melalui jawaban sang anak ini, bisa jadi Gaarder tanpa harus menggurui mengatakan pada pembacanya. Sekali kamu diberi kesempatan hidup, sadarilah menit per menit yang kamu rasakan. Hidup ini singkat. Tak masalah soal waktu lama atau tidak. Sadari dan pergunakanlah semua yang ada. Cecaplah alam semesta ini dengan segala misteri hidupnya.
Beginilah jawaban si Georg yang kini telah berusia 15 tahun. Terimakasih untuk surat yang Ayah kirim kepadaku. Kedatangan surat ini merupakan kejutan, aku senang sekaligus susah dibuatnya. Tapi kini akhirnya aku sudah membuat keputusan yang sulit itu. Aku yakin betul aku akan memilih untuk hidup di bumi ini meskipun hanya untuk "waktu yang singkat". Jadi sekarang, setidaknya, Ayah bisa melupakan semua kekhawatiran ini. Ayah bisa "beristirahat dengan tenang", seperti kata orang. Terima kasih sudah mengejar di Gadis Jeruk itu !
Tambahan dari si Georg yang menurutku tepat. "Tanyai ayah dan ibumu bagaimana mereka saling bertemu. Barangkali ada kisah menarik untuk mereka ceritakan. Lebih baik tanyai mereka berdua karena cerita mereka mungkin tidak akan persis sama."
Selesai.
PS: Direkomendasikan untuk dibaca. Boleh pinjam ke tempat saya. Tapi, maaf sudah tidak kasih hadiah lagi, kecuali ulang tahun :)
yogyakarta, Serangan Oemum 1 Maret 2012
Pukul 7.51 PM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar