Jumat, 18 Mei 2012

Irshad Manji

Seorang teman, dia dosen sekaligus feminis bercerita pada saya. Empat tahun lalu, dia ada dalam diskusi bersama Manji di Pesantren Krapyak. Sebelumnya Mandji sudah ke UGM. Tidak ada ribut-ribut kala itu. Pula tiada FPI. Semua baik-baik saja, mengutip judul lagu Duo Ratu.
Tak ada yang berubah dengan ide dasar yang ditawarkan Manji. "Soal lesbian, soal beriman tanpa rasa takut, sudah dia sampaikan," kata kandidat doktor teman saya ini. Waktu itu kedatangan Mandji promosi untuk bukunya "Beriman Tanpa Takut" yang merupakan buku pertamanya. "Kenapa empat tahun kemudian, bisa seribut ini ya," bertanya-tanya teman ini.

Seperti kita ketahui, FPI membubarkan diskusi di Salihara. Rektor UGM menolak diskusi meskipun empat tahun sebelumnya menerima Mandji. Diskusi bahkan berakhir ricuh di LKiS. Peserta diskusi dan asisten Mandji luka-luka karena diserang kelompok yang menamakan MMI.  Diduga MMI dan organisasi Islam lain yang membubarkan acara diskusi buku ini. Penolakan utama mereka, Irshad yang seorang lesbian dinilai memberikan pengaruh buruk untuk Indonesia. Baca juga http://www.tempo.co/read/news/2012/05/04/064401803/Alasan-FPI-Protes-Diskusi-Buku-Salihara

Sebagai mayoritas Muslim terbesar di dunia, kita semua kaget.Seolah-olah wajah Islam begitu keras. Padahal dia tak mewakili sebagian besar masyarakat Muslim. Apa iya itu suara mayoritas Muslim di Indonesia yang lekat dengan kekerasan? Saya tidak yakin.

Saya mencoba menarik benang merah dari peristiwa empat tahun lalu dan sekarang. Pada awal kedatangannya ke Indonesia, perempuan keturunan India-Mesir ini  memberikan puja puji. Bahkan  puja puji dia sampaikan dalam buku, Allah, Liberty, and Love. Di awal kedatangannya, Manji menyampaikan bahwa Indonesia adalah contoh negara yang toleransinya bagus dan cocok untuk Indonesia yang multikultural.

Tapi menarik juga bahwa setelah mengalami serangan bertubi-tubi itu, akhirnya dia memberikan rilisnya bahwa toleransi di Indonesia sudah berubah. Ada premis major dan kesimpulannya begitu mudah dilakukan. Karena memang kenyataannya demikian. Kekerasan dan penyerangan terhadapnya terjadi.  Lihat dan baca pernyataan Manji pasca kedatangannya 4 tahun lalu ke Indonesia.
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/10/063402916/Irshad-Manji-Mereka-Pengecut dan http://www.tempo.co/read/news/2012/05/10/063402908/Irshad-Manji-Toleransi-di-Indonesia-Sudah-Berubah
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/10/058402855/Irshad-Manji-Syok-Islam-Tak-Seperti-Ini-

Apakah kejadian ini memang sudah "terencana" sejak empat tahun lalu. Bisa Manji menjadi bagiannya, atau dia sekedar alat. Begitu juga FPI, MMI ataupun siapapun organisasi itu. Siapa "bermain" di sini. Saya tak ingin membesarkan kekerasan FPI itu sendiri atau lesbianisme-nya. Jelas saya tidak pernah menyetujui kekerasan.  Justru ada yang lebih besar dari sekedar isu lesbianisme dan kekerasan FPI, menyangkut Indonesia. Mosok sih, seorang Mandji bisa sedemikian hebatnya?

Sepertinya sentimen agama atau yang berbau "miring' tentang lesbianisme, gay dicekoki oleh "sesuatu" yang saya cuma bisa menduga-duga untuk membuat masyarakat Indonesia menghabiskan energi untuk ini. Ketidakstabilan negara terus berlangsung. Cap buruk  Indonesia sebagai negara yang menyuburkan radikalisme akan mendunia. Iklim investasi akan buruk akibat radikalisme dll.

Sudah jamak saya mendengar celetukan ini. "Pantesan negara kita ini nggak maju-maju karena cuma ribut soal agama melulu." "Lihat negara-negara maju yang sekuler dan kebanyakan orangnya tak beragama seperti Jepang, rakyatnya sejahtera, lebih maju, lebih berabad, dan cukup bersih dari korupsi. Mereka benar-benar memisahkan agama dalam  sendi kehidupan mereka."

Indonesia adalah pasar besar karena penduduknya besar. Negara-negara maju jelas punya kepentingan besar agar Indonesia terus "menyusu" pada mereka. Berpikir sejahtera, menjadi negara mandiri, sudah barang tentu tidak akan disukai oleh mereka yang berkepentingan dengan Indonesia. Tapi masalahnya masyarakatnya sendiri lebih suka "ribut" atau gampang tersentil dengan persoalan agama yang selalu disikapi dengan sensitif. Bahkan membuang waktu. Kaum inteletual, para terpelajar masih saja sibuk "jualan" surga adalah monopoli agama tertentu, haram atau halal mengucapkan ucapan selamat bagi umat lain yang merayakan  hari keagamaan masih laris manis dan diyakini betul oleh pemeluknya, melarang tempat beribadah bagian dari cara mereka untuk menekan agar  agama lain tak berkembang secara kuantitas. Begitu saja terus berlangsung selama bertahun-tahun di negeri ini.

Ironisnya, persoalan kesejahteraan, kemiskinan yang membelit, dan korupsi yang menyangkut akar masalah di Indonesia justru terabaikan. Semua saling tunjuk jari, menyalahkan orang lain. Padahal semua bisa di mulai dari sendiri. Dengan cara sederhana, atau terorganisir. Tapi bagi sebagian orang diam itu emas. Nah, kalau sudah begitu, apakah rela negeri yang kita cintai ini, Indonesia terus-terusan terpuruk.Globalisme sudah di depan mata. Jangan-jangan ketika globalisme sudah terjadi di depan mata kita, masyarakatnya tidak siap, maka cuma jadi penonton di negerinya sendiri. Maukah kita terus-terusan begini?

Sebagai referensi lihat pula tulisan Ade Armando, pengamat media tentang kekerasan agama yang berlangsung belakangan ini.

http://adearmando.wordpress.com/2012/05/16/waisak-manji-lady-gaga-dan-ancaman-muslim-brutal/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar