Kamis, 05 April 2012

Kesenjangan

Bagaimana kita tahu bahwa dunia ini tidak adil jika kita membatasi ruang kita hanya di satu wilayah, satu ruangan? Bagaimana kita tahu soal pemerataan jika tak pernah mengecap pengalaman dari hulu hingga ke hilir. Kesimpulan ini bisa jadi terlalu dangkal. Tapi rasa-rasanya saya memercayai hal ini. Seseorang yang tidak pernah punya pengalaman, hanya hidup dalam tempurung, cuma bisa meraba-raba akan satu hal. Akibatnya, ketika dia diberi kesempatan memimpin, pandangan hidupnya pun cuma sebatas katak dalam tempurung.

Kalau kesimpuan saya ini salah, setidaknya saya masih bisa memercayai kesenjangan apapun, entah itu pendidikan, sosial tidak terjadi di bumi pertiwi ini. Tapi berpuluh tahun Indonesia merdeka, kesenjangan itu begitu telanjang di depan mata.  Salah satu contoh kesenjangan itu, pendistribusian bahan  bakar minyak entah itu solar, minyak tanah, sampai bensin.

Karena saya suka jalan-jalan ke berbagai daerah di Indonesia, maka banyak realita yang saya temukan di lapangan. Tapi sudah berpuluh tahun berlalu, kok keadaan begini-begini saja. Mangkel, tapi juga nggak bisa ngapa-ngapain.


Di Pulau Jawa, entah kenapa harga premium atau solar di tingkat eceran tak pernah lebih dari Rp 5500. Masuk ke pelosok-pelosok sekalipun kisarannya hanya di angka itu. Tapi begitu saya memasuki Kupang, Nusa Tenggara Timur, Atambua, OKU Timur, OKI di Sumatera Selatan, Kalimantan,   harga bensin yang di banderol Pertamina Rp 4500, jatuh ke penjual eceran hingga Rp 9000. Di Papua dan Kupang harga bahkan bisa lebih dari Rp 10.000.


Makin tak jelas kepastian pemerintah mengulur waktu  kenaikan BBM seperti drama anggota dewan (yang terhormat?) beberapa hari lalu, maka penjualan minyak di daerah pinggiran kian melambung tak karu-karuan. Miris hati saya. Tapi, ini dia yang bikin saya heran. Kok orang-orang tidak ada yang mengeluhkan itu. Semua dijalani biasa-biasa saja, tiada gejolak, tanpa mengeluh. Sampai bingung saya dengan kondisi masyarakatnya. Kok bisa ya? Apakah mereka cuma pasrah dengan keadaan? Apatis, atau demikian bodohnya. Terus terang saya tak berani menyimpulkan ini.


Kalaupun ada demo yang merata di tanah air, itu karena kenaikan BBM-nya. Kenapa bukan soal kesenjangannya yang diributkan? Apakah pemerintah menjamin jika harga BBM naik, pendistribusian bisa merata di daerah? Itu yang mestinya  dipersoalkan. Bayangkan saja, dengan harga Rp 4500 perliter, pulau-pulau pinggiran sudah terbiasa dengaan harga bensin di atas Rp 10.000. Lha kalau naik lagi, kira-kira berapa kenaikan itu di Papua, Aceh, Sulawesi, Sumatera yang jauh dari pusat ibu kota?

Angka sulapan harga BBM itu, bukan karena masyarakat mencari untung banyak. Dari yang saya temui di lapangan, harga bensin itu sudah dinaikkan di pom bensin. Jika harga banderol Rp 4500, masyarakat pengecer membeli dengan harga Rp 6700 (ini khusus yang saya temukan di Sumatera Selatan). Nah, perjalanan dari pom menuju ke daerah pelosok dengan jalanan yang berlumpur tentu membutuhkan  tenaga dan biaya, maka muncullah angka Rp 9000 atau lebih. Jadi siapa yang brengsek? Ya pemilik pom bensin itu. Tapi heran saya kok ya melenggang kangkung aja mereka. Pom bensin tetap beroperasi, saku si pemilik bensin kian gemuk, sementara masyarakatnya cuek bebek. Nah lho. Itu cuma satu contoh saja lho, agar tulisan ini  tak berpanjang-panjang

Saya cuma menduga jangan-jangan para pemimpin, para anggota dewan yang duduk di kursi empuk, tidak pernah  kemana-mana. Kalaupun kemana-mana menghabiskan uang dinas luar kota, cuma nongkrong di hotel, hearing atau malahan asyik belanja belanji. Pantas saja jika kacamata yang mereka gunakan seperti kacamata kuda atau mirip katak dalam tempurung.  Akibatnya,  mereka tak pernah tahu  realitas  di seluruh pelosok negeri. Atau saya yang sok tahu menuduh mereka yang iya-iya hehehhe.


Jika saya salah, kita semua mestinya bisa membuktikan bahwa kesenjangan itu, ketidakmerataan itu dari waktu ke waktu kian berkurang. Nggak seperti yang saya temukan selama ini. Berpuluh-puluh tahun keadaan tetap sama.

Mencintai Indonesia itu jangan mengira akan menemukan banyak kebahagiaan. Kian kita menembus ke dalamnya...kian sesak dada kita menyaksikan ketidakadilan, kesenjangan. Kalau sudah begitu, saya cuma bisa membatin. Saya salah satu orang yang ikut bertanggungjawab ketika  terjadi begini. "Jadi apa sumbangsihmu," kata batin terdalam saya.  Pikiran dan aku menjawab. "Minimal menulis blog". Entah berapa orang yang membaca. Atau jangan-jangan malah tidak dibaca, karena cuek bebek dengan keadaan. Saya pernah membaca, tapi lupa siapa yang menulis. Tulisan ini kerap mampir dan cukup mengobarkan semangat saya.  "Kejahatan akan merajalela ketika orang baik diam saja." Tapi kalau sudah mentok. Padam lagi. Frustasi. Jadi menurut kalian bagaimana? Atau saya yang terlalu lebay?


Sumatera Selatan, 5 April 2012

11.24 PM

1 komentar:

  1. mulai dari mana ya, sumbangsihnnya? hehehe... ya. mulai dr menulis, itu kalau kau..

    BalasHapus