Rabu, 28 Maret 2012

Menolak Korupsi Ala Anak SMP

Saya sedang mengunjungi keponakan. Dia tinggal di komplek Halim Perdanakusuma. Jarak rumahnya dengan hanggar pesawat yang biasanya digunakan ketika Presiden berkunjung ke luar Jakarta hanya berapa ratus meter saja. Saking dekatnya, kalau pesawat Hercules akan mengudara, suara gelegarnya terdengar sampai rumah. Memekakkan telinga. Ramai betul. Pertama kali berkunjung, saya kaget luar biasa. Mengira ada kebakaran, atau kekacauan massa hehehe. Eh ternyata suara Hercules. Tapi kalau jet atau pesawat Presiden yang mengudara, suara mesinnya tak begitu. Halus...dan jessss...tak berisik seperti hercules. Ada rupa ada harga, kawan :)


Meski diselingi suara yang memekakkan, berada di komplek perumahan ini, serasa masuk ke pedesaan. Komplek maha luas itu dikelilingi pohon-pohon rindang. Di salah satu komplek itu, sebuah pesawat nangkring. Kadang-kadang saya berjalan kaki dan memotret pesawat mungil itu. Menyusuri komplek perumahannya, kita seperti dihempaskan ke lorong waktu, berpuluh tahun silam. Rumah-rumah dengan pintu-pintunya yang tinggi khas bangunan jaman Belanda, langit-langitnya yang tinggi hingga masuk ke dalam rumah, rasanya adem mesti ruangan tak memakai pendingin ruangan. Sesuai dengan warna identitas institusinya, maka warna rumah semua komplek bernuansa kembar. Dominasi warna biru laut yang menentramkan. Suasananya komplek nan sepi ini, membuat saya selalu melupakan tengah berada di rimba metropolitan yang ramai, dikelilingi gedung berbeton, dan pencakar langit. Tentu, saya menyukai suasana menentramkan seperti ini.


Keponakan saya ini, Dita namanya. Keren, manis, dan rada gendut kayak saya hihihi. Celotehnya tentang banyak hal, kadang-kadang membuat kening saya mengerenyit. "Apa ketika seusia dia, saya seperti itu ya," saya membatin. Saya selalu beranggapan, perjumpaan saya dengan banyak orang, seperti kita berada di depan cermin. Orang-orang yang kita temui itu sebenarnya cermin atau bayangan kita, jika kita menyadarainya. Tidak semua karakter tentu saja. Tetapi ada mozaik-mozaik kepribadian kita bisa kita temukan dalam diri orang lain itu. Menjadi anak kecil, orang tua, bahkan orang gila sekalipun. Itu menurut saya lho. Berbeda dengan saya juga ndak papa.


Dita baru kelas 3 SMP. Tubuh bongsornya menyamarkan dia masih anak seragam putih biru hehehe. Sore itu, hujan turun di beranda belakang rumahnya. "Tante, makan empek-empek yuk," katanya. Saya baru bangun tidur setelah seharian melakukan perjalanan jauh. "Yuk." kata saya. Berteman teh, empek-empek itu kami santap berdua. Tiba-tiba dia bertanya pada saya. "Tante wartawan dari media (dia menyebutkan insttusi saya) ya? "Iya, sayang? Kenapa?" tanya saya.


Berceritalah dia pada saya yang membuat sore saya begitu hidup. "Waktu itu, sekolah kami PKL ke sebuah kelurahan. Kami akan belajar di kantor kelurahan tentang banyak hal, membuat KTP, dan lain-lain. Nah ketika akan masuk ruangan, kami diminta absen oleh seorang petugas. Katanya untuk konsumsi bagi teman-teman yang PKL. Si bapak itu minta aku tandatangan banyak-banyak untuk konsumsi. Terus aku bilang. Hak saya kan cuma satu kotak, kalau tandatangan banyak berarti ini namanya korupsi, Pak. Saya nggak mau." Saya menyela, "Waktu kamu bilang korupsi, bapaknya marah nggak? "Bapaknya cuma diam, Tante," katanya. Saya tanya lagi, "Kok kamu tahu itu korupsi?" Dia menjawab dengan tangkas. "Iya dong. Aku kan makan satu kotak, kalau nulisnya lebih dari satu kotak, terus uangnya kan jadi banyak. Pakai duitnya siapa hayo. Korupsi kan? Satu kotak memang cuma Rp 10.000, tapi kalau aku tandatangan 10 kali, berarti jumlahnya Rp 100.000. Kan aku cuma ambil satu kotak, jadi korupsinya Rp 90.000."


Mendengar penjelasannya, saya takjub. Wow...dia masih anak SMP. Bisa menjelaskan dengan gamblang mana korupsi, maka yang bukan. Usai PKL, anak-anak di minta bercerita oleh guru. Ini masih menurut cerita Dita, keponakan saya. Mereka kemudian menyusun laporan. menceritakan kejadian demi kejadian dengan runtut. TApi kepolosan anak-anak ini berbuntut panjang. Ini lantaran cerita soal tandatangan konsumsi itu dikirimkan ke surat pembaca. "Surat pembaca masuk ke dua media, Tante. Tapi punya temenku yang masuk, bukan aku," kata dia sembari menyebut koran nasional yang bukan tempat saya bernaung.


Saya makin bergairah dengan ceritanya. saya pun bertanya lebih lanjut. "Teman yang nulis ke surat pembaca nggak papa tuh. Nggak diapa-apain sama sekolah?" tanya saya. "Dia ditelpon sama asisten Walikota apa gitu. Hari itu juga. Orangnya bilang begini. Ini bener kamu yang nulis ke surat pembaca?" Temenku bilang iya, Pak. "Terus ...terus gimana," tanya saya lantaran kian penasaran ending ceritanya. Tentu saya khawatir anak itu diapa-apakan. "Si asisten itu bilang, terimakasih ya surat pembacanya." Wah...terus terang saya kaget.


Antara percaya nggak percaya. Anak SMP? Bikin surat pembaca? Tentang korupsi kecil-kecilan? Saya seperti tertampar. Malu sekali. Sejujurnya, saya kerap mengalami ini. Tentu saya juga menolak untuk tandatangan seperti dia. Bedanya, saya dan keponakan saya ini, masih sungkan untuk bilang. "Anda korupsi ya, nyuruh saya tandatangan?" Kadang-kadang anak kecil yang polos, tak punya kepentingan, justru paling mudah mengutarakan suara hatinya. Maka, jika anak kecil menyampaikan sesuatu pada kita, maka diamlah, renungkan, saya yakin itu benar. Karena batin mereka polos, jujur. Pulang dari sana, ada semacam harapan baru. Andaikan generasi-generasi sekarang sudah diajarkan untuk jujur, bisa membedakan mana korupsi, mana yang bukan, saya punya harapan negeri gemah ripah loh jinawi ini akan sejahtera. Semoga pemimpin korup yang sekarang ini masih mengelilingi kita, tergerus oleh jaman, dan digantikan oleh jiwa-jiwa bersih. Semoga akan ada banyak Dita-dita lain di negeri ini yang terus mengingatkan pada orang dewasa. "Anda korupsi lho, saya tidak mau."

Jakarta, 28 Maret 2012
Pukul 13.56

6 komentar:

  1. hebat y temennya dita, nulis ke surat pembaca..
    moga banyak generasi muda seperti mereka klu

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya...cepupu :) smg byk di contoh

      Hapus
  2. Kejujuran bagi orang dewasa (17+) untuk menjadi keutamaan perlu ditambahi dengan keberanian. pertimbangan reputasi dan perhitungan ekonomis sering membuat kejujuran hanya sebuah gumam di dalam benak.
    jujur+keberanian = integritas. ketik REPUTasi menjadi utama, maka integritas sering tertinggal dibelakang. sedangkan kalau integritas diutamakan maka kejujuran menjadi perintis jalan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mo dik, itu sebabnya dalam kaitannya ini, kita orang dewasa justru perlu belajar keberanian pada anak-anak. agr tak hanya sekedar gumam di benak. hanya sayangnya keberanian ini hanya dimiliki segelitir orang :(

      Hapus
  3. T.O.P B.G.T...............
    suatu mental yang telah terdidik dari kecil harus tetap di pupuk dan di pertahankan.....semoga sang orang tua bisa mengarahkan nya dangan baik.....

    BalasHapus