Senin, 13 Februari 2012

Perjalanan 20 Menit

cupcakes valentine kiriman Ariyanti Puspodewi
Sabtu,(10/1) lalu  saya pingin liputan.Acaranya mungkin  remeh temeh untuk orang lain, tapi bagi saya nggak. Open house pendaftaran  sekolah  SD dan SMP Tumbuh Yogyakarta. Ada pentas seni yang bukan pentas seni sembarangan. Siswa berkebutuhan khusus berkolaborasi dengan siswa non berkebutuhan khusus. Wah, seperti apa ya?


Sekolah ini unik konsepnya. Sekolah museum karena berada di dalam kompleks Jogja Nasional Museum. Pemrakarsa sekolah ini menganggap seni, budaya, dan kreatifitas  bagian dari proses belajar mengajar. Tujuannya menyiapkan pribadi yang peka akan perubahan. Apa lagi uniknya? Siswa berkebutuhan khusus seperti retardasi mental, autis, melakukan kegiatan belajar mengajar bersama dalam satu kelas. Kok bisa? Lain kali saya akan bercerita tentang sekolah ini.


Saya justru ingin menceritakan perjalanan saya dari rumah ke sekolah itu. Karena lokasinya cukup jauh, saya ingin menyadari perjalanan ini. Biasanya lebih dari radius 5 kilometer saya malas bepergian. Tapi kali ini tidak. Saya mengendarai motor pelan, saya memperhatikan motor yang ada di depan saya. Toko dan  lapak di  kanan dan kiri jalan.  Serobotan kendaraan  dari kanan dan kiri, justru bikin saya tersenyum sendiri. O...begitu itu ya..kalau saya berkendaraan terburu-buru itu. Mirip orang kesetanan. Saya kerap melakukannya :)


Ketika berhenti di lampu merah, angka menunjukkan angka 2, orang-orang di belakang saya merangsek maju. Angka 2 berarti dua detik lagi lampu berwarna hijau, tanda jalan. Lagi-lagi ada orang dari belakang tak sabaran merangsek ke depan, mendahului antrian di depannya. Saya tetap tertawa. Oh begitu itu to...kalau ada orang tak sabaran. Saya tersenyum karena saya juga pernah melakukannya. Hihihi.Dari sisi sebelah lainnya,  saya mendengar tin...tin...tin...orang memencet klakson. Tak sabar ingin segera melaju, sementara ada banyak kendaraan yang antri di depannya. Memangnya, memasukkan  gigi tidak butuh waktu, atau memberi kesempatan orang di depannya untuk jalan lebih dulu tidak butuh waktu? Huh...Saya rada nggondok.Tapi terus sadar, saya nggondok. Berpikir lagi,  memencet klakson itu sungguh-sungguh  mengganggu orang lain dan bikin orang lain jengkel. :)


Kembali saya melanjutkan perjalanan. Dengan kecepatan 30 km per jam, saya kembali melaju. Saya melihat udara cerah. Langit  cumulus indah nian siang itu. Bahagia. Saya menyadari kebahagiaan yang meletup ini. Belum tuntas menikmati awan, saya melihat  kulit jeruk, sampah plastik di buang di tengah jalan. Pastilah orang tak mengenal iba membuang sampah di sini. Mereka tidak tahu ada tukang sapu yang mesti bersusah payah membersihkannya jika ada sampah berceceran. Apakah saya tidk pernah buang sampah di jalan? Terus terang, kalau itu sampah organik, saya  memang membuang sampah di ruang terbuka misalnya kulit jeruk, buah apel. Buat saya sesuatu yang dari alam mesti kembali ke alam. Biar menyuburkan tanah, itu alasannya. Tapi bukan berarti saya buang ditengah-tengah jalan protokol. Biasanya saya menunggu melewati  pekarangan kosong atau lahan terbuka.


Sampailah saya di pemberhentian berikutnya. Di depan saya sudah ada mobil dan motor.  Saya melihat sekeliling. Tiba-tiba busssss...asap rokok menempel di muka saya. Saya terbatuk. uhuk ...uhuk... Nafas saya sesak. Orang di depan mengendarai motornya sembari merokok. Belum lagi kelar, busss...lagi. Ada orang merokok di sebelah saya. Buru-buru kaca helm saya tutup rapat. Tapi tak ada gunanya.  Saya terkepung asap rokok dari dua pengendara di depan dan sebelah saya. Kali ini saya misuh-misuh. Jelas dia tidak tahu karena muka tertutup helm. Saya seperti ada di ruangan sempit tak punya cahaya dan tak ada ventilasi. Saya marah. Motor saya mundurkan sedikit untuk menghindari asap itu. Orang di sebelah saya memandangi  dengan aneh. Sekian detik kesadaran saya hilang, berganti dengan  marah-marah. Beberapa detik kemudian saya menyadari kemarahan itu. Obyek di luar tidak bisa kita ubah. Jadi yang bisa saya lakukan memandangi waktu yang menyusut. 5,4,3,2,1...Hijau....Saya terbebas dari  neraka asap di perhentian lampu merah, ruang terbuka, di langit cerah yang mestinya bebas polusi asap rokok.


Tapi meski hijau berlalu,  kemarahan masih menyeret saya. Sembari mengendarai motor, saya berpikir-pikir kok bisa ya ada orang-orang tolol yang tidak mempedulikan orang lain. Apa ndak berpikir kalau percikan api bisa mengenai mata orang di belakangnya, menyebabkan orang sengsara. Apakah si plempas plempus itu tidak berpikir kalau satu saat  dia melamun karena merasa nikmat betul dengan rokoknya dan braaak....dia menabrak orang. Apa si perokok di jalan ini tahu kalau  orang lain kesal, marah, membuat orang tidak nyaman akan perbuatanya?Deegg...sadar lagi....Saya kembali menyadari naik motor. Memegang setir.


Saya tiba di lokasi  dengan  waktu 20 menit. Saya memarkir kendaraan. Menarik nafas. Berpikir lagi.  Jika seseorang melatih kesadarannya dari saat ke saat, pastilah, Afriyani tak harus membunuh 9 orang dalam sekejab. Jika dia sadar bahwa saat  memutuskan menelan obat, berarti akan menimbulkan dampak yang fatal tak hanya dirinya tetapi juga orang lain, pastilah dia tak jadi melakukan. Jika dia sadar bahwa setelah minum obat dan  tidak tidur semalamanan, maka seharusnya dia tidak menyetir mobil, tentu tak akan  ada nyawa yang melayang.


Saya teringat wejangan Bante Panyavaro, Kepala Vihara Mendut saat membuka meditasi. Begini kata Bante. Ada sebagian orang menganggap meditasi itu hanya untuk orang bermasalah. Hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri. Di satu sisi benar. Tapi meditasi juga secara langsung bermanfaat untuk orang lain. Orang  yang bermeditasi, mereka yang melatih kesadaran, hanya akan berhenti di pikiran ketika ada sesuatu yang ingin dilakukan. Misalnya  ingin korupsi.  Seorang meditator, yang telah melatih kesadarannya, hanya  akan berhenti di pikiran saja, tidak jadi melakukan.


Pikiran saya kembali berjalan.  Sempat kembali kepada si perokok yang plempas plempus di lampu merah tadi.  Semoga rokok tak membuat dia melamun dan harus menabrak orang hanya gara-gara merokok sembari mengendarai motor. Ketika kesadaran saya muncul kembali....saya tersenyum geli. Pikiran kita itu benar-benar seperti monyet. Melompat ke sana ke mari. Sadar. melompat. Sadar lagi. Melompat lagi. Tapi yang ingin saya bagikan disini adalah perjalanan 20 menit yang biasanya terasa  capek sekali, tidak saya rasakan. badan tetap segar. Dalam  20 menit perjalanan gembira, geli, marah, nggondok datang silih berganti.  Saya melangkah ringan ke tempat berlangsungnya acara. Tentu akan saya ceritakan dalam tema yang lain.



Yogyakarta, 14 Februari 2012

Ahai ini hari Valentine ya. Selamat Valentine bagi yang merayakan. Bagi yang melarang dan menganggap ini haram...saya juga tidak akan mengucapkan Valentine hehehe.

2 komentar: