Selasa, 14 Februari 2012

Pengkhianat

pohon di dili
Pernah ditabrak orang dari belakang? Saya kerap diseruduk kendaraan dari belakang. Saat itu saya sedang lari pagi ketika seorang  mabuk, menabrak dari belakang. Braakkkk...Suara dentumannya keras. Saya bahkan sempat teriak. "Ada bom." Sedetik kemudian saya baru sadar, itu bukan bom. Saya terpental, motor si pemabuk  menimpa saya.Enam bulan saya tidak mampu duduk bersila.


Kali lain, ketika lampu merah tengah berhenti di perempatan Slipi, Jakarta. Saya bahkan sedang mengirim gambar ke facebook melalui  Blackberry, ketika mendengar dentuman keras sekali. BB saya terpental, saya terjerembab. Posisi saya yang  di depan memang tak apa-apa. Tapi ketika saat melihat ke belakang, moncong besi itu sudah masuk ke mobil kami, mendekati tubuh kakak saya. Kaca belakang jelas pecah. Bodi belakang ringsek. Tiga mobil di depan kami terseruduk mobil. Begitulah kecelakaan  beruntun yang saya alami setahun lalu. Bahkan ketika mobil berhenti, tak melakukan aktivitas apapun.


Analogi saya tentang pengkhianatan seperti serudukan mobil atau mobil dari belakang. Lukanya lebih sakit ketimbang saat bertabrakan  kedua belah pihak sama-sama "saling' menabrak. Tentu bagi yang ditabrak dari belakang lebih sakit. Perlu waktu lama untuk menyembuhkan luka kecelakaan itu. Begitu pula pengkhianatan itu.Tapi apakah tidak bisa sembuh? Karena motto saya semua hal pasti akan berlalu, maka saya tidak pernah berlama-lama menggenggam luka. Menggenggam masa lalu itu seperti keong yang selalu membawa  rumah kemana-mana. Penuh beban. Buat apa? Toh, masa lalu tidak bisa dikembalikan.


Saya sempat punya pacar, kedua orang tua sudah berkenalan pula. Jarak jauh membuat dia berkhianat dengan perempuan lain. Hehehe. Padahal  sebelumnya dia pernah bilang  "Saya tidak akan menikah dengan siapapun kecuali kamu." Hahaha waktu itu saya ngakak. Saya jawab,"Saya tidak pernah percaya dengan omongan gombal." (catat ya buat nama muda yang mabuk asmara, namanya lidah  tak bertulang jadi ya begitu deh). Dan benar saja. Kejadian. Saya memutus dia hanya melalui telepon. Dadah...Dan tak lagi menoleh ke belakang. Belakangan ketika putus, kian terang benderang attitutenya sungguh memalukan. Upss...ndak perlu diceritakan  malah jadi bergunjing (terkekeh).


Tapi sejak itu, dia tak pernah berhenti mengajak saya kembali, bahkan menanyakan hal terakhir, masih mau menikah dengan dia atau tidak? Tidak berapa lama dia mengatakan itu, saya mendengar dia sudah menikah dengan perempuan itu, hasil perselingkuhan  dengan saya ketika kami berpacaraan. Hahahha...Saya ngakak lagi. Heran dengan kelabilannya. Tapi ya sudah, saya hormati keputusannya.


Saya kira cerita sudah usai begitu dia menikah.  Saya pun  sudah punya kekasih hati lain. Eh...ternyata dia malah lebih aktif menelpon saya. Permintaan facebook sampai sembilan kali saya tolak.  Dari  perkataan halus sampai perkataan  kasar sudah saya  upayakan agar dia tak perlu menelpon-nelpon lagi. Masa lalu ya masa lalu. Apalagi belakangan saya menyadari  bahwa saya ternyata tidak benar-benar mencintainya, jadi apa lagi yang perlu dibicarakan?  Dia bilang "Kangen ngobrol." Yiaaaaa...Saya ngakak lagi. Begitu saya membuka pintu masuk  obrolan itu, dia akan terbelit pada pengkhianatan  berulang. Kali ini  jelas yang diakhianati  istrinya, bukan? Saya pun  ikut-ikutan  mengkhianati istrinya. Hehehe. Benar, nggak? Sempat juga sih terlintas di kepalanya. Istrinya tahu tidak  ya, kalau suaminya "gatel". :)


Dari pengalaman beberapa teman, dan hasil diskusi saya dengan pemuka agama, perselingkuhan terjadi bukan dengan orang baru. "Tapi 90 persen  dengan mantan pacar," kata si pemuka agama yang  sering konsultasi denga umatnya. Lha...kalau saya tidak mau  berurusan dengan dia lagi, itu bukan karena saya masih sedih, tetapi menjaga agar pengkhianatan tak  terulang. Saya juga merasa layak menjaga jarak berteman dengan dia, lelaki yang  tak bisa memegang kata-katanya. Seseorang yang tak lagi memiliki kejujuran dalam dirinya, tak konsisten dengan ucapannya, dia sudah kehilangan segalanya.Harga dirinya. Dia memang hidup, tetapi sebenarnya dia sudah "mati". Kecuali dia mengubah hidupnya lebih baik. 


By the way, permintaan  pertemannya di facebook akhirnya saya terima lho. Hihihi. Tentu, saya berharap dia membaca tulisan ini juga. ;) Tapi kalau dia masih saja "gatel",  menurut kalian, saya apakan orang  seperti ini? 


Yogyakarta, 15 Februari 2012.

Pukul  7.56

6 komentar:

  1. Ya dicuekin saja, nanti lama lama bosen sendiri dia.. coba aja :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha wisn bertahun-tahun ra bosen-bosen je. Lha wong sekitar beberpa bulan lalu aja masih telpon kok. Ngaku nama lah si B lah.

      Hapus
  2. walah2 lucu tenan klu mosok dikiro bom, oh si dia sih terus menghubungi toh (*tampang ngegosip*)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ancen kejadiannya gitu je. Lha masih menghubungi meskipun sudah berkurang. hehhehee.

      Hapus
  3. wes wes bacalah http://mengoceh.blogspot.com/2011/12/clbk.html
    berarti aku dan para pemuka agama kui sehati yo bu? hihihihihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. tjapoenk.blogspot.com16 Februari 2012 pukul 03.06

      weeehhhh...berati kowe sejajar karo pemuka agama no...hehehhe

      Hapus