Imlek di Ambarukmo Plaza tahun lalu |
Serbuan "naga" yang mengolet dengan atraktifnya di Titik Nol Kilometer menjadi puncak acara Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) VII. Bertajuk "Jogja Dragon Festival" warga Yogyakarta umpel-umpelan memadati kawasan sepanjang Jalan Malioboro, Senin,(6/2). Termasuk saya yang malam itu tergopoh-gopoh pingin menyaksikan naga terpanjang 130,6 kilometer. Lebih dari itu saya ingin menjadi bagian peleburan warga pribumi dan Tionghoa dalam pesta rakyat ini. Pastilah menyenangkan.
Serbuan naga di titik sentral Kota Yogyakarta itu, menandai malam perayaan Cap Go Meh atau tanggal 15 bulan pertama, Tahun Baru Imlek yang sekarang jatuh sebagai Tahun Naga. Menurut Wikipedia, Dialek Hokkien secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Ini berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima belas hari.
Meriah betul malam itu, kawan. Karena saya tidak mau berangkat gasik, jelas pintu masuk Malioboro sudah ditutup. Semula saya pingin menyaksikan di titik Malioboro Mall, biar bisa melihat ular naga panjangnya, teringat lagu kala saya masih anak-anak. Saya melipir ke Hotel Melia Purosani. Wah....sudah penuh juga.
Saya kemudian merapat ke jantung tempat berlangsungnya acara. Titik Nol kilometer. Parkir di kantor Pos Besar yang seperti biasa membayar karcis motor 200 persen lebih tinggi dari hari biasa, saya masih merasa beruntung mendapat tempat parkir. Terlambat sedikit saja, mungkin saya cuma gigit jari.
Di tengah-tengah titik itu, panggung cukup besar, duduk Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Saya liat teman-teman wartawan berada di area itu. Wah enak. Bisa lega. Malam ini saya penonton yang berjubel bersama puluhan ribu warga Yogyakarta. Keringetan. Leher terjulur-julur sampai pegal. Beruntung, badan saya cukup tinggi. Jadi masih bisa menyaksikan atraksi naga Hoo Hwan Wee. Naga warna warni itu meliuk-liuk, berputar-putar, melompat ke sana kemari. Wah, hebat. Berapa lama yah mereka latihan hingga tercipta harmonisasi gerakan yang begitu sedap dipandang?
Tapi di tengah berlangsungnya acara, saya merasakan ada keganjilan. Ke mana saudara-saudara warga Tionghoa yang merayakan Cap Go Meh ya? Kok, tidak tertangkap mata saya dalam radius puluhan meter? Panggung VIP? Kalaupun ada, jumlahnya puluhan saja. Panggung tak mungkin memuat ratusan tamu undangan. Mereka menjadi pemain barongsaikah? Iya, memang. Tapi berapa banyak? Oh mungkin mereka di titik lain? Tapi mosok, sih, mereka cuma terpusat di satu titik? Salah satu alasan saya tergopoh-gopoh mendatangi festival ini karena membayangkan cairnya kebersamaan warga Tionghoa dan pribumi lainnya. Pasti asyik juga ya, melebur bersama warga Tionghoa yang merayakan. Pesta rakyat ini benar-benar ada di pelupuk mata saya.
Apa daya, yang saya bayangkan berbeda dengan kenyataan. Lantas saya membatin. Perayaan semeriah ini sebenarnya untuk siapa ya? Kata-kata pembauran yang digembor-gemborkan pembawa acara itu, sungguh indah. Tapi kenyataannya? Mosok sih sudah tujuh tahun peringatan, belum kelihatan hasilnya pembauran itu. Tapi meski ada pertanyaan mengganjal, tetap saja hati ini bahagia. Saya pulang lebih awal, karena takut tak bisa bergerak. Ular naga panjangnya juga tidak bisa saya saksikan. Begitu pula pesta kembang api sebagai penutup acara.
Saya sudah puas menyaksikan replika kapal Laksamana Cheng Ho yang mengawali kirab. Juga replika Naga Laut Hai Long Wang membagi-bagikan kue-kue keranjang kepada penonton yang berdiri di tepi jalan. rakyat berebutan. Tentu karena tempat saya jauh, kue keranjang tak saya dapatkan.
Yogyakarta, Jumat, malam minggu kecil 9 Februari 2012
Pukul 19.10
Yups,
BalasHapusbanyak yang kubaca komentarnya adalah senada...
"Esensinya masih belum dapet, mana masyarakat Tionghoanya..." kata mereka
Bisa disayangkan, namun bukan berarti bisa dihilangkan, lantaran teteup itu adalah satu mementum yang tak kalah kebermanfaatannya. Bisa jadi bukan sekarang, next...
Lets see...
Benar. terus selalu berharap bahwa pembauran bukan cuma slogan...tapi benar-bener nyata.
Hapus