Kamis, 12 Januari 2012

Natal


Natal baru saja lewat.  Bukan melewatinya di gereja, saya justru "bersemedi" di Vihara Mendut, tempat berdoa orang Budha. Tak hanya mereka yang Kristiani, bersama saya, malam Natal yang saya lalui  bersama teman Muslim, Kristen, Hindu, Budha, dan atheis. Kami bersama dalam diam.


Sudah dua tahun ini, perayaan Natal tidak saya habiskan bersama keluarga. Apakah hidup saya merasa tidak lengkap? Saya sedih? Saya merasa kosong. Tidak.  Biasa saja. Natal bagi saya sama seperti hari-hari lain. Begitu pula Lebaran, Waisyak, Idul Adha dll. Mengapa begitu?


Sebenarnya tulisan ini penting nggak penting. Tapi pada akhirnya saya perlu menuliskannya, karena teman-teman yang sama-sama mengikuti meditasi menganggap ini perlu dibagikan. Soal penting atau tidaknya, dianggap nyampah atau  tidak, monggo saja.


Saya ingin flash back berpuluh tahun silam ketika Natal, Lebaran, Paskah, Idul Adha menjadi perayaan yang begitu saya tunggu-tunggu dan  menyenangkan. Karena saya merayakan Natal, maka membeli pakaian baru, menghias gua, menata kue-kue, menyiapkan permen, dan menukar uang recehan untuk dibagikan anak-anak kecil yang berkunjung ke rumah kami sungguh menyenangkan.


Pada Misa Malam Natal, meski kadang terkantuk-kantuk karena lamanya  beribadat hingga 2,5 jam, tetap semangat hingga  peribadatan bubar. Nah ini dia puncaknya. Sejak pagi, tamu-tamu berdatangan, mengucapkan selamat Natal dan ikut bergembira bersama kami. Tidak hanya mereka yang Kristiani. Lingkungan rumah yang mayoritas Muslim juga hadir bersama kami. Menyantap kue. Setelah itu, obrolan berpindah  ke meja makan. Karena Natal tidak seperti Lebaran yang identik dengan ketupat, maka biasanya menu keluarga kami opor ayam, gule kambing, rolade, sop usus,  ayam goreng dll.


Begitulah perayaan Natal di kampung saya yang membekas. Sebaliknya pada perayaan Lebaran, gantian kami yang berkunjung ke kerabat dan  tetangga kami.  Waktu lebaran tentu buat saya yang masih anak-anak sama   menyenangkannya seperti Natal.  Ketupat yang cuma disantap setahun sekali, empek-empek, tekwan, rendang menjadi menu favorit saya. Belum lagi kue lapis legit, kue 12 jam yang alamak, rasanya tiada yang menandingi bikinan  Uwak Harun, orang Asli Sumatera.


Dasar anak jahil, saya "mencireni" (menandai) keluarga mana saja yang menyediakan empek-empek, tekwan atau rendang yang rasanya maknyus pada menu Lebarannya. Nah, sialnya, keluarga ini selalu bagian tengah atau bagian terakhir yang mesti di silaturahmi orangtua saya.


Padahal setiap kami bertamu, tentu kami harus menyantap kue yang tersedia. Dalam tradisi, tamu yang tak menyantap menu  yang disediakan pemilik rumah sebagai bentuk ketidaksopanan. Tak kurang akal, agar perut tetap kosong di tempat keluarga yang menunya saya sukai, maka saya mengambil kue satu-satu tetapi mengunyahnya lamaaaaaaa betul....Hihihihiih... Dengan begitu si pemilik rumah seolah-olah melihat saya makan terus. Pilihan saya biasanya kacang bawang atau kacang atom, benda kecil tetapi  nggak habis-habis kalau dikunyah.


Nah, begitu silaturami bergiliran sampai kepada keluarga yang menunya saya  "favoriti",  langsung hantam kromo. Menu itu saya jajali satu-satu, empek-empek, tekwan, dan rendang. Hahaha. Benar-benar ndak mengenal sopan santun. Tapi kenangan lebaran yang guyub,   begitu membekas dalam ingatan saya. Toleransi beragama pada masa itu tidak pernah diteriakkan seperti masa sekarang ini. Toleransi berlangsung alamiah, apa adanya.


Saya ajak flash back ke pertengahan tahun 1990-an. Saya terkaget-kaget ketika jangankan bersilaturahmi ke tetangga-tetangga, menerima ucapan Selamat  Natal atau Paskah saja, merupakan pemandangan langka. Tak hanya di  kalangan awamnya saja,  tetapi juga menembus teman-teman intelektual. Saya mencari jawab.  Belakangan, di salah satu Mesjid yang saya dengar melalui pengeras suara, mereka melarang untuk memberikan ucapan Natal karena haram.


Tahulah saya penyebabnya. Saya frustasi. Beberapa waktu saya mengalami pergumulan.  Apa yang salah dengan kami ya?.  Dari perbincangan itu, pelan-pelan saya mendapatkan jawab bahwa kami para Kristiani tidak layak diberi ucapan selamat karena "kafir" men-Tuhan-kan Yesus yang bagi saudara Muslim hanya Nabi Isa Almasih. Oh begitu toh, masalahnya.


Belakangan, tidak cuma soal haram dan halal soal ucapan Natal.  Dari omong-omong dengan mereka, perbincangan melebar ke surga dan neraka. Beberapa teman mengajak saya pindah agama, karena menurut mereka, hanya Muslim yang bisa masuk surga. Pada saat yang sama, teman-teman Kristen Protestan juga tak kalah kencangnya mempromosikan surga yang cuma "monopoli" mereka. "Hanya orang yang percaya pada Yesus yang bisa masuk  surga"


Waduh. Tuhan-nya siapa nih yang benar? Kalau surga hanya monopoli agama tertentu, mengapa penciptaan manusia  dengan berbagai  kulit, ras, suka, budaya terus dilakukan? Masak sih, penciptaan itu bertujuan untuk penyeragaman? Kalau begitu bodoh-bodohannya, seharusnya penciptaan semesta ini harus seragam berkulit putih saja, atau semua ras dan budaya seragam, tak ada yang berbeda? Atau jika surga itu hanya milik agama tertentu, Tuhan menciptakan neraka untuk yang lain. Berarti Tuhan nggak adil dong hehe.


Kembali lagi ke Natal yang  guyub, memperlihatkan toleransi beragama pada masa kecil, akhirnya hanya menjadi kenangan atau nostalgia semata. Kebiasaan kunjung mengunjung meski masih ada hanya didominasi oleh kerabat yang seiman saja.  Natal atau lebaran sudah tak lagi menarik untuk saya. Dalam perjalananya,  saya menyadari satu hal. Kita tak bisa mengubah obyek apapun di luar kita. Jadi  cukup menyadarinya saja. Tidak menilai apapun. Menganggap semua obyek itu sama. Tidak mudah memang.



Dalam konteks haram dan halal ini, kepada teman-teman yang merasa "terpaksa" mengucapkan Natal karena takut berdosa sementara kami  terlanjur sudah bersahabat selama bertahun-tahun, saya menyampaikan dengan terbuka. "Jika persahabatan terganggu hanya soal haram dan halal karena ucapan Natal, jangan lakukan. Biarkan persahabatan kita tak terbebani dengan urusan ucapan semata." Saya pun tak pernah menunggu lagi dengan harap-harap cemas seperti bertahun-tahun lalu.


Tak semua teman Muslim begini. Masih banyak  teman-teman  Muslim yang dengan ringan menyampaikan. "Hai...selamat Natal ya? Bahagianya sama ketika meminta teman untuk tak perlu mengucapkan Natal pada saya. Tidak ada penilaian.


Sejak mengubah sudut pandang ini, saya bertanya kembali pada batin saya yang terdalam. Merasa berdosakah kamu ketika menganggap Natal tak lagi peristiwa penting? Merasa tidak enakkah setelah melepaskan semua penilaian itu tentang segala keagamaan? Merasa bersalahkah  ketika  Natal tidak bersama keluarga?  Tidak ke gereja? Dan masih banyak hal yang saya pertanyakan, termasuk relasi dengan teman-teman yang berlebaran.  Saya merasakan batin saya tenang. Sama tenangnya ketika saya masih ke gereja, dan lain-lain. Saya percaya Tuhan sejati bisa ditemukan dalam batin yang terdalam, yang tidak ada lagi ego dalam diri kita. Dalam bahasa Meditasi, ketika pikiran berhenti, hanya kesejatian yang ada. Itulah Tuhan yang sejati.


Ah ya, ketika memutuskan menuliskan ini (semoga tidak dianggap menggurui) saya ingin mengajak siapapun yang membaca ini untuk keluar sebentar saja dari entah itu ajaran, dogma, tradisi, ritual atau apapun labelnya. Mari kita menengok ke dalam batin. Rasakan reaksi batin itu. Sederhana saja. Jika kamu percaya bahwa mengucapkan Natal itu haram atau dengan label apalah, coba sekali saja mendobraknya. Satu hari saja, dan lakukan pada satu orang saja. Ulurkan tangan pada satu teman yang ber-Natalan.  Ucapkan "Selamat Natal." Pandangi ekspresi wajahnya setelah mengucapkan itu. Setelah dia berlalu. Diam. Diam. Diam. Rasakan sebentar batin ini. Menolak, merasa berdosa, atau merasa bersalah. Perasaan yang Anda rasakan itu menentukan keputusan Anda selanjutnya. Apakah Anda tetap menganggap mengucapkan Natal sesuatu yang haram, hanya kalian yang tahu selanjutnya :)



Saat ini, bersama teman-teman yang memiliki frekwensi sama, obrolan kami lebih banyak memperbincangkan: Bagaimana ya kalau April nanti harga BBM naik menjadi Rp 8000-an? Apakah Indonesia akan kolaps? Bagaimana ya bisa mensejahterakan diri ini juga masyarakat yang kekurangan. Bagaimana ya agar masyarakat miskin bisa berobat gratis? Dan diskusi selalu ditutup, Yuk, Berkarya! Agar kita sejahtera dan kita bisa mensejahterakan orang banyak. Tanpa sekat agama. Memperbincangkan surga atau neraka yang nggak kelihatan atau  ngawang-ngawang, juga haram dan halal hanya menghabiskan energi.



Yogyakarta, 13 Januari 2012

8 komentar:

  1. itulah yg saat ini belakangan berkembang dalam pemahaman agama dibangsa ini, dan merambah dari intelektual hingga yg awam. masing2 kelompok agama mengklaim dirinya yg paling oke sementara yg lain salah dan mesti dimusnahkan. bahwa harus yakin pada yg dipegang, itu oke, tapi tidak lantas mengkafirkan yg lain. hadis nabi Muhammad melarang untuk mengkafirkan org/klp lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ridho...perrtanyaannya...kenapa yang begini ini justru berkembang pesat ya? kenapa sih energi ni kita habiskan untuk sesuatu yang duh...ngawang-ngawang banget

      kenapa nggak konsen untuk soal kesejahteraan, memberantas kemiskinan, juga korupsi yang merajalela. menurutku itu jauh lebih penting tuh.

      Hapus
  2. manteb... saya juga merenung renungkan hal ini. semoga semua mahkluk hidup berbahagia.. sabbe satta bhavantu sukhitata

    BalasHapus
  3. Hemm..
    Tulisan yang sangat membuka cakrawala...

    Surga hanya milik satu kaum saja..? Ahh, teramat sempit, lalu kenapa Nabi Muhammad menjamin surga atas pamannya (Abi Tholib) yang nyata2 non-muslim..?

    Ucapan selamat Natal kafir...? Hemm. sekali lagi #prihatin dengan cara pandang seperti ini.

    Ya, ku setuju dengan "kesejatian" manungsa iki mBak....
    Semar Badranayapun mengajarkan hal serupa, Terserah kalau inipun mau dibilang "ajaran Kejawen", Hanay saja ada yang musti dipikirkan pun di"keluarkan" dari pikiran bahwa "manungsa iku amung sakderma...!" Lalu apa yang mau disombongkan...? Lalu apa yang bisa dipakai buat tolok ukur menjelekkan pun mengkafirkan umat lain..?
    Sakderma mBak...!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gotrek, semoga ya. Ini pengalaman pahit, yang berakhir happy end. ketika aku membebaskan diri dari dogma agama dll. MEmbebaskan diri dan menjadi manusia merdeka seperti sekarang ini tak ada yang lebih membahagiakan dari situ. semoga tulisan ini dibaca banyak orang deh...hehehhehe

      Hapus
  4. dua jempol untuk tulisannya mba...terkagum2 saya membacanya.. perasaan itu juga sempat hingga ke saya..kenapa ya mreka ga mau salaman...sebegitu najis kah kita?..emm...tapi itu dulu..setelah masa berganti, semua jadi biasa saja...walau tetap memupuk harapan, bahwa suatu saat semua akan kembali lagi seperti dulu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Mbak Minda. Makanya tulisan ini dibuat. semoga mencerahkan untuk semua ya. Rindu juga masa toleransi yang begitu indah

      Hapus