Minggu, 15 Januari 2012

Burung, Langit, dan Pagi




Berpekan setelah meditasi, saya punya kebiasaan bangun subuh. Jamnya sama. Pukul 3.45. Setelah bangun, reflek saya mengintip jam di telepon. Diam. Bengong sebentar. Pas pukul 04.00 saya pejamkan mata,  berdoa dan berlanjut ke  meditasi. Selesai pukul 4.30 hingga 05.00. Tergantung lamanya meditasi.


Bisa jadi saya selalu memilih tempat tinggal yang selalu menghadap langit. Dari beranda kamar saya pemandangan awan terbuka terlihat jelas dengan mata telanjang. Biasanya,  setelah meditasi kelar, lambat laun  hari mulai terang tanah. Langit bisa cerah, bisa pula  muram. Saya suka memandangi langit  dengan perubahannya yang begitu cepat. Ini mengingatkan pada saya bahwa kehidupan ini juga berubah dengan cepat. Perubahannya bisa membuat mata kita terbelalak, mengangumi keindahannya atau kecewa dan sedih ketika awan yang dilihat tak sesuai harapan. Begitu pula hidup. Ada sedih, kecewa, kesal, gembira. Tapi satu hal yang saya simpulkan dari semua ini tidak ada kesedihan atau kebahagiaan yang permanen. Jadi kenapa harus repot dengan semua itu?


Di langit kamar kos saya, ada du burung yang selalu terbang beriring. Burung yang sama, pada jam yang sama. Saya kurang begitu mengenal perburungan. Tetapi mata saya menangkap satu burung membawa alang-alang atau semacam itulah untuk membuat susuh (duh bahasa Indonesianya apa ya. Oh ya sarang burung)  Kaki si burung mencengkeram helaian alang-alang, satu burung ada di depannya seperti mengawal. Hihihi lucu juga ya. Kayaknya gini deh. Pasangannya membawakan bahan rumah untuk mereka, satu pasangan lain menjaganya. Begitu nggak ya?


burung terbang di atas langit hongkong foto by ariyanti puspodew

Oh ya...yang saya amati dari burung-burung ini pada saat latihan meditasi adalah mereka punya jam tidur dan jam bangun lho. Sekitar pukul 18.15, burung berhenti berkicau sama sekali. Malam senyap. Hebat, burung-burung ini bener-bener patuh dengan alam semeseta. Mereka seperti punya ketepan jiwa. 12 jam tak henti berkicau, maka saya harus berhenti bicara 12 jam. Kok 12 jam? Nah, saya baru menyadari, kicauan burung pertama di pagi hari. Ayo tebak pukul berapa? Yap...antara pukul 05.15-05.20. Jadi kicauan burung sebenarnya bisa menjadi penanda waktu manusia lho.


Kicauannya pun  tak langsung ramai. Lirih dulu, satu burung lain berkicau menyambut pendek. Nah, baru pukul 06.00 dunia mereka sudah ramai. Saut-sautan mereka makin panjang. Dan dunia burung pun berdetak....itulah mereka yang memenuhi indera kita.

langit di atas Vihara Mendut, Magelang


Itulah sebabnya saya selalu suka pagi. Ketika bensin di tubuh kita penuh. ketika batere di tubuh kita masih full. Di saat itulah saya merasa bisa memaksimalkan kesadaran. Dan ketika pikiran digunakan pada siang hingga malam harinya, tetap terasa segar. Pagi buat saya menentukan aktivitas saya selanjutnya. Kalau saya mengawalinya dengan marah-marah, grusa grusu...wah...biasanya waktu selanjutnya agak tersendat-sendat :(


Karena kos, hidup saya tentu terbatas pada ruangan 3,5 meter kali 5 meter. Sempit sekali. Tetapi saya tak membiarkan tubuh ini hanya sebatas 3,5 kali 5 meter. Saya juga tak membiarkan mata dan telinga saya hanya terbatas pada benda 21 inci: televisi. Membatasi ruang gerak hanya pada benda 21 inci dan  ruangan 3,5 kali  meter bisa membuat  seseorang kehilangan gairah hidupnya.


Pagi di Riverside, Pakem. Dessy dan Dalin's cottage.


Maka, dapur, taman mini yang saya miliki menjadi obyek saya lainnya. Karena itulah, pagi buat saya selalu menggairahkan. Bagaimana dengan Anda?


Yogyakarta, 16 Januari 07.00

3 komentar: