Rabu, 14 Desember 2011

Sensasiku

Masihkah Kalian Punya  Sensasi Yang Belum Terwujud?

Saya punya. Mungkin buat orang lain bukan sensasi,  tetapi buat saya ‘iya’.  Memang sih  sensasi saya  norak. Tapi namanya juga angan-angan,  nggak ada salahnya kan? Siapa tahu mewujud .   Pertanyaan itu diajukan oleh salah satu kawan ketika kami “nyangkruk “ bertahun lalu. Sembari menyeruput coklat, minuman kegemaran saya, kami menghabiskan  cerita sensasi ini sampai berbusa-busa.

Tadi malam,  obrolan sensasi  juga terjadi kala saya dan seorang kawan menyeruput coklat. Kali ini saya yang memulainya. Tak jelas bagaimana awalnya, tahu-tahu  obrolan sensasi menghangat.  Terbersitlah ide menuliskannya dlam note.  Nggak penting, mungkin.

Tapi akhir-akhir ini saya  mesti banyak menulis guna  menciptakan atmosfir menulis setelah saya padamkan selama empat bulan.  Apa alasannya, tidak penting untuk diceritakan. Terlebih kawan saya menagih tulisan  ini pagi tadi. Wah saya memang perlu diingatkan, biar nggak “nggambleh”. Jadi mari kita bahas sensasi  impian saya.

“Saya ingin berciuman dengan  orang yang saya cintai  di lift yang angka lantainya lebih dari 25,” kata saya kepada dia.  Saya berhenti sejenak,  menyeruput cuklat  bertabur keju di depan saya. Hemmm nikmatnya.  Mata teman saya terbeliak. “Hah? Nggak biasa ini?,” katanya.  “Ya namanya juga sensasi, pasti  agak anehlah,”  jawab saya buru-buru.  “Sensasinya dimana?,” tanyanya lagi. “Berciuman di lift yang punya  lantai di atas angka 25 itu butuh waktu agak lama, lho?. Setidaknya 10 menit bolak balik. Belum lagi kalau di tiap lantai ada yang tiba-tiba masuk. Nah deg-degannya itu yang  pasti bikin sensasi tersendiri. Antara menikmati ciuman itu sendiri dan harus berkonsentrasi jika “ting …ting” tanda ada orang masuk. Gugup pastilah, apalagi kalau ketahuan orang.

Teman saya manggut-manggut.  Ekspresinya  sulit saya ceritakan.  Tapi kurang lebih “Wong aneh tenan ki koncoku.” hihihihi. Memandanginya, saya cuma  cengar cengir dan mengulum senyum.

Cerita tentang gugup itu sendiri, bukan perkara sederhana untuk saya.  Gugup , buat saya adalah sensasi  yang  menggetarkan.  Coba kalian ingat, kapan terakhir kali gugup.  Gugup yang saya ceritakan bukan  karena ketahuan korupsi lho. Dalam konteks ini,  gugup yang sedang saya bincangkan  ketika kita sedang bersuka-suka dengan  teman,  pacaran  baru tetapi masih malu-malu, ketemu temen baru, atau ya gugup karena tidak ada  alasan. (aih kalau ini nggak mungkin).  Pendek kata, getaran  kegugupan itu sendiri,  sensasinya juga tak terjemahkan.  Bikin gagu, jantung berdegup lebih kencang,  ngomong salah-salah, atau bertindak juga jadi kacau. Nah, begitulah.  “Bikin hidup lebih hidup,” kata  sebuah iklan.

Nah, dalam kitannya  mewujudkan sensasi  itu, percaya tidak, saya pernah sampai mengamati dengan detil,  gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Karena  dulu saya tinggal di Jakarta,   apalagi kerap melakukan tugas jurnalistik, saya  jadi tahu  gedung-gedung mana saja yang memiliki lantai di atas  25 tingkat. Jam berapa  kantor itu padat pengunjung, jam berapa sela. Benar-benar niat ya?

Tapi  seperti  cerita bersambung, kisah  impian sensasi ini belum berakhir.  Bisa ditebak bukan?  Saya belum pernah melakukannya, meski  saya  punya pacar dalam beberapa masa.  Ehem.

Sensasi  kedua yang ingin saya lakukan adalah bersama yang tercinta  menyaksikan kembang api di Singapura.  Lalu apa sensasinya? Ini sebenarnya kisah yang  sempat saya  simpan rapat. Alasannya, sederhana, takut orang punya pikiran yang tidak-tidak. Tapi  sudah  saya buang persepsi itu karena  tidak ada yang perlu ditakutkan.

Kejadiannya tahun 2002. Saya melancong  ala backpacker dengan dua sahabat saya Zara dan Siska.  Pada waktu itu, saya hanya  memberikan budgjet Rp 3 juta dlam perjalanan ke ke tiga negara  Singapura, Malaysia, dan Thailand.  Selama  dua minggu perjalanan itu,   keuangan sudah menipis di Thailand.  Dua sahabat saya memutuskan naik   pesawat dari Thailand ke Indonesia. Saya ngotot tinggal. Alasannya sederhana. Saya ingin membuktikan  Rp 3 juta itu bisa nggak sih keliling ke tiga negara?

Saya naik perjalanan darat dari Thailand ke Singapura sendirian. Hehehe cukup heroiklah. Satu malam di bus, bener-bener  garing.  Dari Singapura perjalanan mestinya berlanjut ke  Batam menuju  Jakarta  dengan  pesawat.

Dasar  naluri petualangan saya, duit  tak sampai  Rp 500.000 masih ngotot tinggal semalam  di Singapura. Ya…hari itu tanggal 31 Desember,  saya  menginjakkan kaki  kembali di Singapura.   Biar agak keren (norak  betul) saya pingin  bertahun baru di Singapura. Aih…rasanya  waktu  itu agak keren juga ya kalau pas lagi nongkrong  sama teman-teman, ditanya,” Tahun baru kemana?”  Lalu saya jawab “Singapura.” Yeksss… ingat itu saya jadi malu. Norak norak. Saya pingin mauk ke got  kalau ingat kenorakan  itu.  hiiii.

Jadi begitulah. Saya memutuskan, biar badai topan melanda, saya harus bertahun baru di  Singapura. Pesta kembang api-lah yang menjadi magnitnya.   Ini karena saya dengar, pesta kembang api di Singapura keren banget.  Kembang api seperti nafas hidup saya. Saya suka sekali.  Kesenangannya sulit dilukiskan.

Nah, Inilah awal cerita sensasi  itu.  Di stasiun MRT  Jurong (saya agak lupa) saya melihat bule yang lagi  bengong.  Tampangnya kelihatan baik. Saya menyapanya.  Dia bilang mau cari motel.  Keinginan kami sama.  Dasar sok tahu, saya bilang, saya punya referensi hotel yang biayanya murah antara lain daerah Tanjung Katong.  Ketika kami telepon, hotel penuh semua.  Saya memang  konyol, malam tahun baru di negeri yang menjadi tujuan wisata, belum pesan hotel. Waduh…saya mulai panic. 

Atas rekomendasi dari warga Singapur, kami diminta ke Little India. Di kawasan itu, menurut cerita mereka, ada banyak  pilihan hotel yang harganya miring. Dan tibalah kami  di hotel, ketika petang menjelang.  Begitu tiba di hotel, astaganaga. Saya hampir pingsan.   Mahal amat. Jelek amat.   Nggak ada  pendingin, puanasnya minta ampun, kumuh. Yang bikin saya melotot, kok bisa ya kawasan   kayak gini bisa jadi jualan  wisatanya Singapura. Halah. Indonesia jauh-jauh lebih asyik dan menarik deh.  Saya sudah mau balik badan, cabut dari tempat itu. Tetapi Tobias, nama turis Jerman itu, melarang saya. Dia bilang, “Kan cuma untuk tidur sebentar saja.  It’s oke-lah,” katanya.

Dan yaelah astaganaga. Harga kamarnya waktu itu   35 $ dengan kurs  Rp 5500. Sial, sial, sial. Bener-bener negara seiprit yang nggak yeye banget soal kemahalannya.  Sebagai perbandingan, saya menginap di Thailand dan Malaysia dengan tarif  Rp 125.000 hotel sudah AC dan dapat makan pagi.  Di Hotel Khaosan Road, kami lebih gila lagi, nginep Cuma Rp 20.00 semalam, tetapi jauh lebih manusia ketimbang kamar yang saya masuki di Singapur. Nggondok buanget.

Tobias sendiri juga terlihat  kaget dengan tarif  untuk hotel sejelek itu. Lantaran si backpacker ini  sudah menghabiskan uangnya  sebesar Rp 120 juta untuk keliling dunia, maka kondisi keuangannya juga sudah menipis.  Singapura adalah tujuan terakhirnya ke Asia. Selanjutnya dia akan mengunjungi Australia dan kembali ke Jerman.  Dengan duit yang makin cekak,  dia mengatakan  harus mengirit perjalanan.

Tak terduga, yang bikin saya melotot, dia berujar pada pemilik hotel. “Boleh nggak saya menginap di atap hotel ini.”  Saya terbeliak. Hah edan. Backpacker ya backpacker sih,  tapi saya ndak seedan itu, menginap di atas atap. Hiii.   Tapi saya diam saja.  Jelas saja si pemilik hotel tak memperbolehkan.  Tobias garuk-garuk kepala. Hemmm…sedetik kemudian,  dia bilang pada saya. “Hemmm…kamu keberatan tidak kalau kita share sewa kamar?  Mata saya melotot. Mungkin dia menangkap kecemasan saya. Dia bilang, “Kamu akan baik-baik saja,  kita hanya  sharing biaya kamar.” Sedetik saya berpikir. Tapi jujur, matanya terlihat  baik,  dan bukan tipe yang aneh-aneh.

Wadeuww….saya tolah toleh…Gugup….nah gugup memang sensasi  yang  asyik,kan? Si Tobias bilang, dia akan tidur di lantai kalau memang  tempat tidurnya hanya satu, meskipun harga kamar dibagi dua.  Hihihihi… Akhirnya saya mengangguk  setuju. Ternyata, tempat tidur kami  bersusun kayak jaman tanksi perang.  Bahannya bukan kayu, tetapi dari besi. Kalau kejedot kepala, lumayan juga tuh.  Dan saya bener-benr kejedut malam itu. Tobias mengambil tempat tidur  di atas, saya di bawah. Saya yakin aman, karena  untuk naik dan turun ke tempat tidur agak susah.

Rupanya  Tobias juga ingin menyaksikan pesta kembang api. Begitu tiba di hotel, dia  mencari informasi ke Orchard Road.  Saya memilih di hotel, mandi, dan istirahat. Tobias datang  2,5 jam kemudian.  Rupanya, dia jalan kaki dari Little India. (pantesan lama banget sampai hotel). Lokasi pesta kembang api itu di pinggir laut, Marina Bay.  Katanya  yang paling ramai dan  terbesar pada perayaan Tahun Baru.  Dari little India,  Tobias mengajak saya jalan kaki.  Katanya dekat. Tapi ternyata  1,5  jam  perjalanan. Gempor kaki saya. Alamakjan.  Jalan sama bule memang  doyannya pake kaki.

Dalam hati saya, jangan sampai  pulang jalan kaki lagi. Saya bilang ke dia. “Naik taksi deh, saya bayar nggak papa pulangnya.”  Tobias cuma  tertawa kecil. Dan begitu  sampai, lautan manusia sudah memenuhi kawasan Marina Bay. Untung kami tak terlewat gara-gara jalan kaki itu. Seperti yang  saya tebak, hampir sebagian besar orang berpasangan.  Duduk  di pinggir laut, angin cukup kencang bikin saya agak masuk angin. Saking asyiknya ngobrol, tak terasa jam sudah  menunjukkan  pukul 23.30. Dan ledakan api nan indah itu tibalah….wowww…saya bahkan masih mengingat keindahannya  hingga  sekarang.

Pesta kembang api   yang agak bikin  bibir saya menganga  adalah pesta kembang api  di halaman mall  Lippo Karawaci  tiap akhir pekan beberapa puluh tahun silam.  Tapi alamakjan, kembang api Singapura  benar-benar istimewa.  Kembang api itu  diluncurkan dari tengah laut. Langit  bersih…dan siiiiiiiuttttttt  duaaarrrr. Bulat bertingkat, ada yang  seperti kerucut,  ada yang seperti ekor naga.  Saya seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru. Wow…wow…indah sekali.  Seolah-olah sayalah yang menikmatinya sendirian.  Saya bahkan lupa  ada Tobias  di sebelah saya.  

Saya benar-benar terhipnotis dengan pesta kembang api itu.  Tiba-tiba Tobias berteriak pada saya. “Ini sangat cantik, di negara saya saja, saya belum pernah menyaksikan yang seindah ini,” katanya.  Dalam hati saya mengatakan. “Wah syukur deh berarti aku nggak terlalu udik,  mengagumi  pesta kembang api ini. Dia yang dari negara  maju saja terkagum-kagum  hihi.”  Tobias tak henti-hentinya memotret  ke langit bertaburan kembang api.

Setengah jam diluncurkan…dan inilah saat menjelang detik pergantian  tahun. “10,9, 8, 7,6,5,4,3,2,1,” teriak massa.  Dan kembang api itu meluncur dari tengah laut seperti rentetan  mesiu jaman perang.  Bersaut-sautan.  Ledakan-ledakan api yang membentuk api indah  begitu membius saya.  Tempik sorak  dari lautan manusia terdengar. Happy new year…. Langit Marina Bay terang benderang oleh api yang bermacam-macam bentuknya.

Dan ketika dongakan leher kami terlepas dari langit, segera kami tersadar dengan pemadangan  di sekeliling kami.   Kami berdua   terkurung di antara pasangan-pasangan yang saling berlumatan bibir. Hanya beberapa inci dari tempat kami berdiri.  Clap clup clap clup, bercipokan menyambut tahun baru. Mereka mengepung kami dari depan, tengah, belakang.  Saya dan Tobias sama-sama  getir.  Kami berdua  sama-sama  jengah. Tetapi juga nggak bisa apa-apa.  Saya misuh-misuh dalam hati.  “Jangkrik, kelamutan kabeh.”  Tempat sudah benar,  suasana mendukung,  malam  kian melankolis, tetapi  orang di sebelah saya, bukan kekasih,  hanya orang asing. Ah, sedih betul, kawan.

 Saking gugupnya Tobias dengan pemandangan di sekitar, dia mengulurkan tangannya ke saya. Tapi lebih mirip kayak teletabbies itu lho, yang suka bilang “Berpelukan.” Nah, seperti itulah.  Dan saya menyambut pelukan itu.  “Bernada, happy new year,” katanya.  Matanya yang baik hati itu terlihat tulus. Lalu dia mencium pipi saya. Hihihihi..Tahun baru dengan orang asing,  dengan kepungan  pasangan  berciuman sungguh tak enak, kawan. 

 Sambil memandang langit  dimana kembang api  masih muncrat dengan indahnya,  saya berucap dalam hati. “Suatu saat saya akan ke sini,  menikmati kembang api, di malam tahun baru, berlumatan, jika perlu sampai pagi dengan orang yang tercinta.” Jadi begitulah…sensasi yang saya impikan itu.

Dan hem… bisa ditebak yang kedua kalinya.  Impian sensasi itu belum terwujud.  Sudah  beberapa kali  mengunjungi  Singapura, tetapi tidak  tahun baru, juga tidak dengan pacar. Aih….

Ending:

Tapi meski itu pengalaman manis dan getir,  setidaknya ada  beberapa hal berharga  yang bisa  saya bagikan.  Satu, laki-laki  dan perempuan dalam satu kamar, tidak  selalu harus “begituan” kata anak muda jaman sekarang.  Kedua, tiada taksi, tiada bus malam, apalagi ojeklah yauw (dalam hati saya bersyukur  tinggal di  Indonesia punya tukang ojek. Sumpah).  Malam itu, meski kegembiraan saya begitu berwarna seperti kembang api dan  kegetirannya  seperti menelan pil pahit, saya tak punya pilihan lain untuk jalan kaki. Hem…1,5  jam.  Lengkap sudah malam pergantian tahun itu.    Ketiga, percaya tidak,  meski kami melewatkan malam tahun bersama, kami sama-sama  tak meninggalkan alamat   email, nomer telepon, atau apapun itu.  Bahkan nama belakang keluarganya saja saya tak tahu sampai sekarang.  Jam 3 pagi kami  sampai hotel,  pukul 05.00 saya  mengendap-endap keluar dari hotel. Sebelumnya kami sudah berpamitan.  Tobias masih mengantuk. Matanya keriyip-keriyip. Tapi dia masih  turun dari tempat tidur, memeluk saya. “Goodbye,” katanya.  Saya juga menjawab pendek.”Goodbye.”


Yogyakarta, 17 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar