Ketika menyebut kematian, spontan saya teringat beberapa peristiwa. Jatuhnya pesawat Mandala di Medan, Afriyani, pengemudi Xenia yang melindas 9 orang meninggal, dan tabrakan beruntun di Puncak yang menewaskan 14 orang. Kematian datang tak terduga itu semua orang tahu. Di alkitab sendiri mengatakan. Kematian itu datang seperti pencuri di malam hari. Pendek kata, tak ada yang tahu waktunya kapan dengan cara apa.
Kematian tidak bisa kita pilih, kecuali memutuskan sendiri lewat bunuh diri. Ada segelintir orang yang memutuskan bunuh diri karena dengan sadar memilih cara kematiannya. Ernest Hemingway, sang peraih Nobel, contohnya. Kebebasan memilih keliru bagi sebagian besar orang, tetapi tidak buat yang menjalankannya. Lantas, jika merujuk kasus kematian mendadak karena kelalaian manusia seperti yang dilakukan Afriyani dan sopir bus, apakah kematian itu adil bagi para korban?
Dulu, waktu saya kecil, sering dinasihati orang tua begini. "Hati-hati di jalan, nduk, biar nggak celaka. Jangan minger." Hati-hati nduk, waspada. Ingat kanan dan kiri." Bertahun-tahun itu menjadi pegangan. Tapi ketika sudah dewasa, saya menyaksikan sendiri, betapa kehati-hatian pun tak menjamin kita bebas dari kematian. Kita berhati-hati, tetapi bagaimana jika orang lain tidak? Siapa yang mengira bahwa anak-anak yang berada di trotoar, baru beberapa menit sebelumnya masih main bola, tiba-tiba harus meregang nyawa ketika Afriyani yang baru saja "menguntal' ekstasi melaju dengan kencangnya dan menabrak mereka?
Atau siapakah yang mengira, saat seseorang tengah pasif di rumah, tidak melakukan aktivitas apapun di luar rumah, tiba-tiba kematian menjemputnya ketika sebuah pesawat Mandala berisi ribuan durian jatuh dan menimpa rumah si korban? Demikian pula karyawan tukang bakso dan pengunjung yang tengah menyantap bakso harus meregang nyawa karena serudukan bus Kurnia Bhakti di Puncak?
Salah satu alasan saya menyukai awan adalah menyaksikan perubahannya yang begitu cepat. Dalam sekian detik dia begitu cerah, menit berikutnya mendung dan tak berapa lama hujan. Memandang awan, memberi kesadaran pada saya bahwa nasib kematian kita bisa seperti itu. Tak terduga.
awan dari kereta perjalanan jogja-jakarta ketika badai matahari |
Suatu siang, teman saya, Ayu, mengobrol di BBM. "Ya ampun, puanasnya. Eduan tenan." Dia tak sengaja tertidur. Pukul 15.00, dia terbangun dan mendapati jemurannya sudah basah kuyuk,kerja sehari sia-sia. "Gila ya, kita tuh ndak pernah menduga bahwa sejam lalu, puanasnya setengah mati, dan tiba-tiba hujan diserta angin kencang." Menyaksikan peristiwa kecil-kecil yang ada di depan mata, kami berdua sama-sama sepakat, kematian yang tak terduga itu seperti kita melihat tanda-tanda alam di sekitar kita. Tak terduga. Penutupnya. "Berbuat kebaikan, kini dan sekarang ini, memang cuma itu yang bisa kita lakukan." Kelak, ketika kematian menjemput kita, bagaimana pun caranya, yang tak mampu kita pilih, maka diri ini sudah siap.
Sebagai referensi artikel berjudul Hidup dan Mati dalam sekejab buku : Revolusi batin adalah revolusi sosial by J. Sudrijanta, S.J mungkin bisa menjadi referensi kita semua. Selamat hari Minggu.
Yogyakarta, 11 Februari 2012
Pukul 13.30.
yup... buku itu itu belum kelar aku baca. kadang ku ulang-ulang..
BalasHapusterimakasih sudah memposting di blogmu ya hane.
Hapus