"Seperti yang sudah kamu ketahui, aku sudah berhadapan dengan fakta bahwa aku akan pergi jauh dari semua ini, dari matahari dan bulan, dan semua yang ada, dan terutama dari kamu dan ibumu. Itulah kebenaran dan itu menyakitkan."
Petikan awal surat ini diterima Georg Roed, berusia 15 tahun yang kaget ketika mendapat "surat wasiat"dari ayahnya, Jan Olav, yang sudah 11 tahun meninggalkan dirinya. Surat ditemukan oleh nenek yang mendapati pesan wasiat dari sang anak, agar tak membuang kereta dorong berwarna merah. Kereta dorong itu tak pernah dikutak-katik hingga sang nenek menemukan selipan surat untuk George.
Ingatan Georg tentang ayahnya pendek, karena dia baru berusia 3,5 tahun. Maka ketika di dalam surat sang ayah menceritakan kereta dorong dan kenangan mereka berdua mengitari Danau Sognsvann, atau kunjungan akhir pekan ke pondok kayu, Georg tak mampu mengingatnya. Satu-satunya ingatan tentang sang ayah adalah pada sebuah malam saat ayahnya mengggendong Georg dan membawanya keluar memandang bintang-bintang di langit, bulan, dan menjelaskan semesta pada sang putra. Inilah malam perpisahan ayah dan anak yang tak bisa ditolak siapapun, ketika maut menjemput. Pada bagian ini, siap-siap saja mengambil tisu karena lelehan air mata yang tak terbendung ya?
Jan Olav memutuskan mengirim surat itu karena merasa harus berbicara tentang alam semesta, teori dentuman besar, dan paling penting menanyakan sebuah pertanyaan penting yang mesti dijawab oleh Georg tentang kehidupan, mengapa Georg harus ada di planet bumi, dan apakah sang putra menyesal telah dilahirkan melalui "penciptaan" orangtuanya. Rasa tanggungjawabnya yang besar sebagai ayah yang "menciptakan" Georg membuatnya harus "menerima" kematin yang mau tidak mau harus diterimanya. Padahal dia merasa belum siap untuk menerima kematian itu karena ada banyak hal yang belum bisa dibicarakan dengan Georg kecil. "Aku menangis bukan hanya karena aku tahu akan segera meninggalkan kamu dan Gadis Jeruk. Aku menangis karena kamu begitu muda. Aku menangis karena kita berdua tidak bisa bicara selayaknya."
Jan Olav tahu, Georg kecil tak mungkin bisa menangkap pembicaraan orang dewasa semacam ini. "Aku bertanya: apa yang akan kamu pilih seandainya punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi dari semua itu, tak pernah kembali lagi? atau apakah kamu berkata tidak, terima kasih."
"Jawabanmu terhadap pertanyaan yang kuajukan ini sangat penting bagiku karena aku secara langsung bertanggungjawab atas keberadaanmu. Kamu tak kan pernah ada di dunia ini jika aku menolak sejak awal.... Aku harus jujur kepadamu, Georg. Kukatakan bahwa aku mungkin akan menjawab 'tidak" terhadap tawaran untuk sekilas "mengenal dunia" tur keliling di dalam dongeng besar. Kuakui itu. Dan jika kamu berpikir sama seperti aku, aku merasa bersalah atas rangkaian peristiwa yang ikut kugulirkan." "Berjanjilah padaku untuk mengambil waktu memikirkan ini dengan hati-hati sebelum kamu memberikan jawaban.
Bagi Jan Olav, manusia tinggal dalam sebuah dongeng besar yang tak di mengerti oleh siapapun. "Kita menari, bermain, bercengkerama, dan tertawa di dalam asul usulnya yang tak bisa kita mengerti. Kamu tidak tahu kapan akan dilahirkan, tidak juga berapa lama kamu akan hidup, tapi itu takkan lebih dari beberapa tahun.Yang kamu ketahui hanyalah bahwa jika kamu memilih untuk hadir pada tempat tertentu di dunia ini, kamu juga harus meninggalkannya suatu hari dan pergi meninggalkan segalanya. Atau kau menolak untuk ikut dalam permainan ini karena kamu tak menyukai peraturannya.
Beberapa tahun lalu ketika membaca buku ini, saya sempat terhenyak. Alangkah beruntungnya si anak yang mendapat pengetahuan mendasar tentang kehidupan ini dari ayah. Dan paling penting si anak mendapat kehormatan dari sang ayah untuk menjawab soal apa yang akan kamu pilih seandainya punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi dari semua itu, tak pernah kembali lagi? atau apakah kamu berkata tidak, terima kasih."
Saya harus mengakui orangtua tidak pernah membicarakan hal-hal mendasar dalam hidup, misalnya soal penciptaan awal diri kita ke dunia. Yang terpahami dalam benak saya adalah bahwa aku hidup karena memang lahir dari ayah dan ibu, dan aku merasa berutang budi pada mereka karena sudah melahirkan aku. Merekalah yang berjasa menghadirkan aku ke dunia. Tapi mereka tidak pernah menanyakan pada saya, apakah merasa menyesal dilahirkan ke dunia.
Hubungan orang tua dan anak yang menjadi pandangan umum dalam lingkungan sekitar saya bukan hubungan timbal balik, semacam Jan Olav dan puteranya, tetapi hubungan orang tua dan anak yang menitikberatkan pada penempatan orang tua sebagai di atas segala-galanya. Nak, berterimakasihlah karena kau sudah kulahirkan, kurawat, dan kucukupi segala sesuatunya menjadi hal yang umum. Sementara, jarang sekali saya mendengar ada orang tua di lingkungan saya yang menyampaikan. "Nak, apakah kau menyesal sudah kulahirkan ke dunia ini? Berpikirlah dan jawablah dengan hati-hati."
Pengarang buku ini Joostein Gaarder, pengarang Dunia Sophie yang membuat filsafat momok bagi setiap manusia tetapi mampu menerjemahkannya dengan bahasa nan sederhana, begitu pula dalam buku ini. Pada Gadis Jeruk dia mampu mengenalkan ilmu sains, teori dentuman besar, dan konsep "Tuhan" yang lebih membumi dengan bahasa populer. Bahasanya mudah dipahami dan asyik. Juga kita sedikit dibuat "tertipu" dengan judul Gadis Jeruk yang telah membawa persepsi awal "Ah bacaan ringan banget." Kita tak pernah menduga bahwa ada hal "berat" lewat bahasa sederhana yang ingin diceritakan Gaarder mengenai Teleskop Ruang Angkasa Hubble, misalnya, juga teori dentuman besar. Tuhan hampir jarang di sebut di sini, kecuali dia mengakui ada "kekuatan lebih" dari semua yang ada.
Lewat sang anak, Gaarder bertutur tentang itu. Semenjak malam itu, aku jadi tahu bahwa bintang-bintang tidak bisa dipercaya. Bintang-bintang tidak bisa menyelamatkan kita dari apapun. Suatu hari kita akan meninggalkan bintang-bintang di langit dan pergi jauh. Ketika aku dan ayah melayang menembus angkasa bersama-sama, dan Ayah tiba-tiba menangis, kusadari bahwa tidak ada satu apapun di dunia ini yang bisa dijadikan sandaran. (Dengan demikian "Tuhan" pun tak bisa menolong meski kita menolak untuk dicerabut dari kehidupan, kan? Faktanya kita masih punya anak kecil yang memerlukan kita juga tak bisa kita tawar ketika seseorang tercerabut dari kehidupan).
(bersambung dulu ah)
oh bersambung to, + thx y klu dadi ngerti ceritane gadis jeruk..
BalasHapusyup cepupu tayang.
Hapus