Selasa, 13 Desember 2011

Perlukah Seseorang Mengggenggam Masa Lalu?

Apa yang Anda lakukan ketika seseorang yang Anda sayangi masih menyimpan foto-foto  perempuan yang pernah dia puja di telepon selulernya? Jawaban saya, kalau masih ada  seseorang yang masih menjalin  hubungan pada lelaki itu, tentulah dia orang yang tak waras.  Tentu saya orang yang waras. Karena itu, betapapun   menyayangi dia,  maka saya akan buru-buru angkat kaki meninggalkan dia, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.  Lebih baik asmara saya ambyar ketimbang  berlama-lama dengan orang yang hatinya mendua. Terlebih lagi, jika  pasangan kita  “tidak sadar’ bahwa  apa yang sudah dilakukannya  telah menyakiti pasangannya. Itu lebih gawat lagi.

 Memang, dibutuhkan  introspeksi  dan refleksi yang mendalam  dari seseorang untuk menyadari bahwa  kita menjadi  penyebab hancurnya sebuah hubungan.  Sayang, hanya sedikit orang yang melakukannya.  Alih-alih menyadari kesalahannya, biasanya  orang yang menghadapi hal demikian justru mengacungkan telunjuknya, menyalahkan orang lain. Nah,  orang yang tak menyadari dirinya dan enggan  berbenah diri biasanya punya mekanisme  menyerang orang lain untuk menutupi  kekurangannya.

Fokus tulisan ini sebenarnya bukan soal hubungan asmara. Tetapi lebih  pada pengalaman berbagi   tentang  masa lalu. Hubungan asmara hanyalah salah satu contoh untuk memudahkan saya  berbagi pengalaman.  Mengapa saya selama  ini survive, setidaknya  tidak pernah mengalami frustasi yang dalam,  atau paling parah mencoba bunuh diri  karena persoalan pekerjaan,  asmara, keluarga?  Jawabannya, karena  saya  tak ingin bersetubuh dengan  masa lalu.  Begitu sudah lewat, saya  cenderung menjalani  hidup ke depan, tanpa menoleh lagi ke belakang.  Rasanya  hidup begitu ringan, nyaris tanpa beban.

Saya punya teman, dia sudah bercerai, dan mati-matian ingin mencari suami  karena alasan ekonomi.  Alih-alih membangun hubungan baru, teman saya ini justru melakukan sesuatu yang menurut saya justru menghambat  relasinya dengan teman-teman prianya.  Dia masih menyimpan benda pemberian mantan suaminya  ketika masa  pacaran dulu, padahal  peristiwanya sudah lewat  20  tahun.  Bisa dipastikan hari-harinya muram, relasinya terhambat,  lantaran menggenggam masa lalu yang sebenarnya tak perlu.

Belakangan  ketika menekuni meditasi dalam dua tahun terakhir, saya baru tahu bahwa apa yang saya lakukan selama ini sudah on the track.  Mengingat-ingat masa lalu  hanyalah  menghambat seseorang  menjadi manusia tercerahkan atau menjadi  manusia bebas.  Dalam meditasi yang saya ikuti, masa lalu merupakan  sampah atau kotoran pikiran.  Ibarat hardisk, jika terus mengisinya dengan file  tanpa  pernah  dikosongkan, maka  komputer   bisa “hang”. Demikian pula masa lalu.  Jika pikiran ini terus menerus diisi masa lalu, lambat laun kemampuan berpikir kita pun  lambat laun  kacau.

Nah, bagaimana agar  tidak terjebak pada masa lalu. Prinsip kekinian, saat ini, kini, dan  di sini  diajarkan dalam meditasi. Dengan kekinian,  kita terus dilatih untuk sadar/eling. Menyadari terus menerus pikiran yang penuh masa lalu.  Tak mudah memang.  Saya pun belum sepenuhnya  terlepas dari  kotoran masa lalu. Dengan tekun berlatih  sadar setiap saat, maka niscaya, pikiran akan berhenti dengan sendirinya.  Dan setiap saat  kita  dengan ringan  akan mengucapkan  selamat tinggal pada masa lalu.

Yogyakarta, 7 November 2011

Yang terus berlatih  sadar setiap saat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar