Jumat, 16 Oktober 2015

Pelajaran Sambal dan Keseharian Kita

Sejak bangku SMA saya sudah menderita penyakit maag akut. Kalau sudah kumat, perut melintir-lintir dan bisa dipastikan berhentilah aktifitas keseharian. Mau jalan saja susahnya minta ampun. Beberapa kali, karena maag akut itu, saya masuk rumah sakit.

Dari pengamatan  selama ini, ada kunci utama penyakit maag bisa  kambuh. Sambal. Menyantap sedikit saja sambal, maka perut ini sudah tidak bisa diajak kerjasama. Karena pengalaman berkali-kali itu, sambal sudah menjadi 'vorbiden" untuk saya. Ketika keinginan memuncak, terbayang infus menempel di tubuh dan sakitnya yang alang kepalang. Sudah agak lama, maag akut ini tidak kambuh. Ini artinya, saya disiplin dan cukup mengerem atau bisa  menahan diri untuk tidak bersentuhan dengan si sambal.

Padahal, siapa sih yang tahan tanpa makan sambal? Ini buat yang doyan sambal tentu saja.  Tentu saja ini menyiksa. Tapi bagaiamana lagi. Petaka yang telah lama itu, datang justru saat saya sedang mengikuti retret meditasi. Sebagaimana mengikuti retret, maka panitia menyediakan makanan bagi peserta.

Cuaca lumayan adem, makanan yang tersedia enak-enak. Plus selalu ada menu sambal. Sambal memang selalu membangkitkan selera. Hari pertama ketika tersaji,  saya cuma melirik saja begitu melihat keberadaannya, air liur terpilin-pilih. Beberapa kali harus menahan ludah saking "kemecer". Tapi ingat infus dan rumah sakit, hadeuh, saya cuma melihat saja.

Hari kedua, godaan mulai menggila, memenuhi isi kepala. Lauk ikan, dengan lalapan sayur yang aduhai, rasanya semaput menahan godaan. Coba nggak coba nggak? Akhirnya saya nggak tahan. Saya cocol, sak ndulit....sedikit saja.  Tiga cocolan. Waduh. Kok pedes banget ya. Saya berhenti. Lilitan itu belum terjadi. Tapi saya segera sadar. Diteruskan, bisa bablas ini. Nggak lucu juga lagi retret meditasi  saya diungsikan ke rumah sakit.

Beruntung semua tak berlanjut. Saya lolos....Horey...Hari ketiga petaka itu datang juga. Pas saat makan siang, menu yang dihidangkan masih juga lalap-lalapan beserta lauk yang menggoda plus sayur asem. Dari bentuknya saja, saya sudah tahu, rasanya maknyus. Saya dengan cepat bisa melihat sayur asem rasa "uyuh jaran" alias gak nendang dengan sayur asam yang enak. Dugaan saya tepat. Begitu menyendok pertama kali, duh nikmatnya. Mana udara dingin pula. Hari itu semua  hal seperti terasa sempurna. Semesta seperti tengah bertepuk tangan.

Tapi ... saya tercekat. Begitu sendokan pertama itu sudah melewati tenggorokan dan sayur asam pindah ke perut, muka saya pucat.  Perut saya bereaksi. Saya benar-benar menyadari perasaan tak nyaman itu. Tapi nafsu, keinginan, atau apalah itu lebih kuat memenuhi seluruh kepala. Suntikan, infus, perut melilit-lilit yang sudah-sudah,  seperti menguap begitu saja. Yang ada batin bilang. "Duh ini sayur asem enak banget, satu mangkok dihabiskan bikin puas, lega."  Saya lanjutkan sayur asem yang nikmat itu. Dua sendokan terlewati. Duh enaknya. Suapan ketiga berlalu. Dan saya sudah tak sanggup lagi meneruskannya. Perut saya melilit-lilit parah dan sakit luar biasa, seketika itu juga.  Saya segera menghubungi panitia minta obat milanta cair dan tergolek di tempat tidur. Berjam-jam saya berjibaku dengan rasa sakit seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Bedanya, saya sadari perasaan tak nyaman itu. Melebur bersama sakitnya. Memang ajaib. Sakit-sakit yang saya alami sebelumnya bisa recovery lebih cepat dari biasanya.

Lalu, muncullah insight atas peristiwa ini. Dari sambel,  sebuah pelajaran muncul secepat kilat. Saya disadarkan sesuatu.  Setiap hari, kita dihadapkan pada peristiwa-peristiwa yang seakan-akan mendatangkan kenikmatan tapi  di sisi lain juga mendatangkan  risiko-risiko.  Toh kita abai. Toh, kita menjalaninya. Kita tahu itu tidak benar, tapi tetap menikmatinya.   Kita tahu berselingkuh itu bisa menghancurkan hubungan dengan orang-orang terkasih,  kita bersedia  memilih jalan itu. Kita tahu korupsi itu merugikan orang lain, toh, kita menjalankannya. Kita tahu berutang pada teman dan tidak membayar apa yang mesti kita bayar tapi tidak dilakukan itu merugikan orang lain, tapi toh kita melakukannya.   Kita tahu mencurangi orang itu membuat hidup orang hancur, membuat kepercayaan orang terhadap kita nihil, tapi kita mau juga melakukannya.

Perselingkuhan, mencurangi orang, menipu, suap,  korupsi, memang  "seakan-akan" mendapatkan  kenikmatan, euforia, kebahagiaan, tapi semua semu. Kebahagiaan dan kenikmatan yang berujung kesengsaraan, penderitaan buat apa ya?. Memang sih, semua itu  pilihan. Kalau mau terus-terusan melilit-lilit, mengaduh-aduh  ya tiap hari aja makan sambel. Kalau mau dipenjara, kalau mau keluarga hancur ya monggo saja menjalaninya. Dari sambel dan lilitan di perut yang alang kepalang, saya belajar sesuatu yang berharga, Itu sebabnya kesadaran perlu dilatih. Agar selalu eling.


Palmerah, 16 Oktober 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar