Minggu, 20 Mei 2012

Tentang Film Korea


foto ist Ratih Pratiwi Anwar
Tahun lalu saya mewawancarai  Ratih Pratiwi Anwar, Peneliti Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada dan kepala divisi riset dan pengembangan  Pusat  Studi Korea UGM. Menarik bahwa Korea begitu seriusnya menggarap industri film sampai menjadi kiblat beberapa negara-negara tetangganya.

Tak cuma industri filmnya saja yang berkembang, tetapi juga industri fashion, elektronik dll. Yang menarik, klinik-klinik kecantikan ala Korea kini bertebaran di Thailand. Lebih lengkapnya simak wawancara berikut ini. Sebagian wawancara sudah pernah dimuat di Koran mingguan Tempo.



1.      Sejak kapan persisnya demam Korea melanda Indonesia? Melalui film
atau musik?

Tepatnya tidak bisa bisa dipastikan. Tetapi demam itu secara bertahap.
 Pada tahun 2003 ketika saya menuliskan tetntang tulisan  “menengok
sinetron di negeri Ginseng. Waktu itu sinterton Korea hanya sedikit
ditonton padahal  film Korea layak ditonton. Jadi inti tulisan dalam
blog saya pada waktu itu mengapa tidak menonton?

Fenomena ‘demam Korea’ ini terjadi sejak beberapa sinetron Korea yang
ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta mampu menghibur dan menarik
perhatian pemirsa dari berbagai usia dan kalangan. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa Indonesia tak luput dilanda gelombang budaya pop
Korea atau terkenal sebagai hallyu wave.

Istilah hallyu muncul pertama kali di Cina untuk menyebut ekspansi
budaya pop Korea Selatan ke Asia yang terjadi sejak akhir dekade
1990an. Bahkan di Cina ada istilah hahanzu untuk menjuluki mereka yang
‘tergila-gila’ pada film, sinetron, musik pop dan selebriti Korea.
Setelah sukses di Cina, Jepang, Taiwan, Singapura dan Vietnam pada
awal 2000-an, budaya pop Korea tersebut kini telah menyebar dan makin
populer di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.  Indonesia
negara yang agak belakangan karena lokasinya tak sedekat Jepang, China
dan lain-lain.


Di Indonesia, selain dari maraknya penayangan sinetron dan film Korea
di televisi, hallyu banyak ditemukan di gerai-gerai VCD dan DVD.  Jika
industri film Korea mulai bangkit lagi sejak tahun 1999, sinetron
Korea yang di negeri asalnya lazim disebut mini series baru melejit
tahun 2002. Awalnya, sebuah sinetron melodrama ‘Winter Sonata’ yang
diproduksi bersama oleh Korea dan Jepang mendapat sambutan luar biasa
oleh pemirsa di kedua negara. Sinetron ini juga telah ditayangkan di
Indonesia tahun 2002 lalu, tapi pemirsa Indonesia baru benar-benar
terpikat oleh beberapa sinetron Korea yang ditayangkan di layar gelas
tahun 2005, di antaranya ‘Memories of Bali’ dan ‘Full House’ yang
bahkan ditayangkan ulang.





2. Apa yang membuat budaya dan gaya hidup Korea diminati
(karakteristik mode rambut, pakaian, makanan, (musik dan film:
benarkah cuma tampak tampan dan cantik? Kualitas musiknya)? Apa
bedanya dengan Jepang dan Mandarin?


Sinetron Korea memang layak ditengok karena dari perkembangannya ada
beberapa hal yang dapat ditarik manfaatnya. Mengapa sinema elektronik
Korea bisa booming dan diterima secara luas di negara-negara Asia?
Sinetron yang kebanyakan diproduksi oleh stasiun radio dan televisi di
Seoul tersebut mempunyai kualitas di atas rata-rata. Jalinan ceritanya
dan dialog-dialognya berhasil menyentuh emosi pemirsa (baik pria
maupun wanita) dari berbagai lapisan usia. Didukung oleh sinematografi
yang sempurna, soundtrack yang romantis, pemilihan pemain-pemain
(casting) yang pas, akting aktor dan artisnya yang terkesan sangat
alami, serta dengan latar belakang suasana keindahan musim dan
pemandangan alam di Korea menjadikannya tontonan yang manis di mata
maupun di hati.


Bandingkan dengan Indonesia. Artisnya juga tidak kalah cantik bukan?
Tetapi kualitas acting mereka lebih baik.  Sinetron Korea juga
memiliki keunggulan komparatif yang menjadikannya unik dibandingkan
sinetron-sinetron produksi negara-negara Asia Timur lainnya. Jika
sinetron Taiwan dan Jepang terkesan berorientasi untuk generasi muda,
Jepang bahkan  lebih condong ke Barat untuk pembuatan filmnya,
sementara  sinetron Hongkong  hampir dibumbui darah dan kekerasan,
maka sinetron Korea lebih mengangkat nilai-nilai hidup orang Asia,
dengan cerita yang sederhana dan mempunyai kemiripan dengan kisah
hidup pemirsanya sehari-hari.  Bahkan film Korea mampu memadukan
cerita gangster berpadu dengan komedi.  Indonesia, misalnya, kalau
mengangkat film action hanya melulu action, tidak berpadu dengan
komedi. Pendek kata genre film Korea itu beragam.  Nilai tradisonalnya
ada, budaya, dan kearifan lokalnya juga masuk.


3. Benarkah Hallyu merupakan strategi pemerintah Korea untuk
menyebarkan kebudayaan Korea di seluruh dunia? Apa saja yang dilakukan
pemerintah?


Benar. Dan memang Korea sudah mulai menyebar ke seluruh dunia. Sebagai
contoh, di China sayabaca artikel, ada klinik kecantikan yang bisa
mengubah wajah mereka  mirip  orang Korea. China sampai mendatangkan
ahli kecantikan asal Korea untuk  ini.  Waktu saya ke Thailand juga
ada klinik kecantikan  yang menjanjikan seseorang bisa  mirip dengan
pujaan hatinya di Korea.

Pemerintah  Korea tampaknya sengaja melakukan penyebaran kebudayaan
melalui film-film mereka.  Dan ini memang alat diplomasi secara
efektif tidak harus melalui  perang, tetapi diplomasi melalui budaya.
Inilah yang patut menjadi referensi  Indonesia.


Film Korea sendiri baru benar-benar diterima oleh warganya sekitar
tahun 2000  ketika  film SHIRI menjadi box office di negaranya. Inilah
yang menjadi tonggak kebangkitan film Korea di negaranya. Film asing
yang semulai merajai  bisokop di Korea  bergeser. Orang Korea menonton
film  mereka sendiri. Bisa dibilang  film ini bisa membangkitkan
nasionalisme  warga Korea. Inilah yang perlu dilakukan Indonesia.


Berapa lama Korea menyiapkan ini hingga akhirnya film mereka diterima
di seluruh dunia? Dan seberapa serius mereka menyiapkan ini?


Sejak tahun 1973. Memang butuh proses panjang. Sekitar 27 tahun. Tapi
apa yang dicapai dari keseriusan mereka dalam menggarap  film itu tak
hanya menyebarkan kebudayaan Korea saja, tetapi dari film itu mereka
mengenalkan produk-produk Korea ke pasar-pasar luar. Misalnya dalam
film, selalu memperlihatkan produk buatan mereka Hyundai, hanphone LG,
Samsung dll. Ini pasar ekonomi yang strategis bagi pemerintah Korea
untuk mengenalkan produk-produk mereka ke dunia luar. Dan strategi itu
berhasil. Perusahaan multinasional ikut terlibat  aktif dengan
produser film dan pekerja film. Nah, inilah yang seharusnya dilakukan
oleh perusahaan terlibat dalam film-film di Indonesia.


Sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah Korea, maka Indonesia juga
perlu mendorong iklim yang baik bagi kalangan insane perfileman.


Bukankah pekerja  film semisal, Garin Nugroho, Mira Lesmana, Riri Reza
sudah mulai mengangkat film Inodnesia yang berkualitas baik?

Ya memang, terutama cerita yang membangkitkan nasionalisme sudah
banyak digarap oleh para sineas Indonesia.


Tapi apakah nasionalisme saja sudah cukup? Bukankah selain mengangkat
tema nasionalisme, lebih dari itu, film Korea mampu membuat warga
belahan dunia lain melirik produk-produk mereka yang artinya
menumbuhkan perekonomian  Korea itu sendiri? Apakah tidak sebaiknya
film menjadi  pintu masuk bagi Indonesia untuk menarik  negara lain
menggunakan produk Indonesia, seperti yang dilakukan Korea?


Itu sebabnya  pemerintah harus  aktif mendukung para pekerja  film
ini. Nasionalisme memang sudah bagus, tetapi jika melalui film bisa
menggairahkan perekonomian di Indonesia, kenapa tidak dilakukan?
Contoh pemerintah Korea akan sangat giat  memperkenalkan  film mereka
melalui pekan-pekan film Korea di universitas-universitas. UGM sendiri
pernah melakukan itu dan disponsori oleh pemerintah Korea.

Kedua, mereka mendorong gairah film Korea itu melalui   lomba menulis
scenario. Artinya  pemerintah Korea serius mencari  penulis scenario
yang baik untuk menghasilkan   cerita yang menarik.

Dan ini yang paling bagus, pemerintah  Korea mendirikan 40 institusi
film, ada departemen  statistic film yang mempublikasikan  film-film
merek melalui satu tahun annual report, membuat studio-studio film.
Jadi pemerintah Korea memang sangat serius menggarap perfilmen mereka.


Korea memerlukan waktu sekitar 27 tahun sehingga filmnya sekarang
mendunia. Belum ada kata terlambat untuk Indonesia. Seorang pengamat
mungkin bisa memangkaslamanya prose situ misalnya menjadi 15 tahun.
Jadi Indonesia harus memulainya dari sekarang.

 Benarkah banyak kemudahan (subsidi) yang diberikan kepada seniman dan
budayawan untuk itu? Berapa anggarannya?


Kalau soal anggaran persisnya saya tahu. Tapi yang jelas, seperti yang
saya ceritakan tadi, pemerintah Korea sangat mendukung  perfilman di
negaranya.


 Peran swasta dalam penyebaran budaya dan gaya hidup Korea?


Ada melalui produk multinasional seperti Hyundai, LG, Samsung yang
berproduksi. Perusahaan  swasta mendapat iklan dari produk-produk itu,
sementara pekerja film bisa mendapat dana utuk pembuatan karya film
itu sendiri.


 Apa yang bisa dipelajari dan diakomodasi Indonesia dari strategi Demam Korea?

Tak ada salahnya jika pemerintah Indonesia dan produsen sinetron
belajar dari Korea dalam hal mengangkat citra negara di luar negeri
dengan memajukan sinetron nasional. Sebab lewat kemajuan dan ekspansi
sinetron dan produk budaya lainnya (dengan kualitas yang bagus
tentunya), Korea Selatan mampu mengangkat image positif mereka yang
sebelumnya tidak begitu dikenal di tingkat regional dan internasional.
Departemen Luar Negeri Korea sangat giat mempromosikan produk budaya
pop Korea di tingkat internasional karena menyadari film dan sinetron
dapat berfungsi sebagai alat diplomasi. Nyatanya hallyu berperan besar
memperbaiki hubungan dengan Vietnam yang retak akibat keterlibatan
Korea Selatan di Perang Vietnam serta membantu mendekatkan masyarakat
Jepang dan Korea yang negaranya sampai saat ini masih saling
berkonflik tentang skeejarah perang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar