Senin, 12 Desember 2011

Mengapa Tjapoenk?

Tjapoenk, jika dilafalkan dengan ejaan baru akan berbunyi capung. Ya, ini adalah binatang capung yang terbang seperti kupu-kupu. Waktu  kecil, saya kerap berburu capung.  Warna warni capung sungguh  memikat hati saya. Tak hanya warnanya saja. memburu capung itu sendiri sudah menimbulkan sensasi tersendiri. Mengendap-endap, berjingkat-jingkat, dan terus berkonsentrasi  tinggat tinggi untuk menangkap capung. Dan ketika capung hinggap di atas dahan pohon atau bunga, belum tentu saya langsung happpp...menangkapnya. Capung yang punya ketajaman mengendus sesuatu yang bergerak di sekitarnya kerap merepotkan saya. Kalau saya beruntung hanya beberapa menit saja bisa menangkapnya. Tapi jika tak beruntung, setengah harian mengejar, saya kerap kecewa  harus pulang dengan tangan kosong.


Jika tertangkap yihaaa....muka saya yang meruam merah karena berlarian kesana kemari di tengah terik matahari akan bersinar-sinar. Menangkap sebuah capung pada akhirnya serupa orang mendapat lotere. Bahagianya. Setelah mereka tertangkap, biasanya saya akan memasukkan ke toples dan menutupinya dengan kain mori. Ini agar si capung masih menikmati udara dari kain yang bolong-bolong halus itu. Setelah beberapa hari, biasanya si capung akan "meninggal' karena tidak pernah ada makanan untuknya. Jelas saya tidak tahu, makanan capung kecuali sari-sari bunga yang dia hisap. Ada kalanya saya merasa kasian dengan si capung.  Hanya beberapa jam saya tangkap, saya akan melepaskan capung ke alam bebas. . (Saya tahu perbuatan ini jahat untuk si capung, kelak di kemudian hari saat saya mulai remaja.



Itu kenangan masa kecil saya dengan capung. Setelah beranjak remaja, saya baru  tahu bahwa capung hanya akan terbang di daerah yang bebas polusi. Makin daerah itu masih perawan dan belum terkontaminasi  polusi udara, maka  capung akan mudah ditemukan. Dan ini memang terbukti. Pernahkah kalian melihat capung di tengah kota yang udaranya tercemari polusi kendaraan?


Sejak  20 tahun terakhir, saya lebih banyak menghabiskan waktu di kota-kota besar. Capung-pun tinggal menjadi kenangan indah masa kecil saya. Tapi pilihan hidup capung yang hanya mau terbang di tempat perawan,  tak  mau terkontaminasi udara cemar, sama dengan nafas blog yang saya ciptakan. Menjaga kemurnian, dan tak ingin cemar menjadi filosofi  penulisan blog ini.  "Tjapoenk" dengan ejaan lama ini saya pikir bisa jadi branding yang cukup enak di kuping dan memudahkan orang melafalkannya.

Sama seperti warna warni capung yang memikat hati saya, semoga "Tjapoenk" memberi warna bagi pembaca di mana pun  berada.


Salam hangat

-BR-





 

3 komentar:

  1. Ketika membaca analogi "tjapoenk" ini yang teringat adalah Suku "Baduy (dalam)" dengan penjagaan "nature" nya...

    Kapan aku bisa kesana yaa... Moga 2012 bisa ya mBakkk...
    Sebelum Baduy dalam berubah total menjadi Baduy luar.. :( (hiks, semoga tak benar2 terjadi)

    BalasHapus
  2. waah rugi kamu ndak kesana. Pmadangannya bagus, masih belum tersentuh dunia luar. dan banyak kinnjeng yang jelas :)

    ayo murah lho naik kereta aja ke Rangkas bitung njuk naik angkot. ndak jauh kok.

    BalasHapus
  3. Okey ku bakal kesono wiss...
    mau siapin segalanya sik, ya stamina ya modalnya...

    BalasHapus