Info Buku
Buku : “The Children
of War”
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Juni 2013
Tim Penyusun: Nina Pane, Stella
Warouw, Bernarda Triwara Rurit
Pernahkah membayangkan orangtua kita saling membunuh karena
perbedaan ideologi, saling bermusuhan karena situasi politik? Sejarah kelam Republik
ini telah menggoreskan luka begitu dalam bagi orang-orang yang terlibat. Sebut
saja, tragedi 30 September 1965, pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta,
Gerakan Aceh Merdeka, dan lain-lain. Perasaan terhina, dendam, benci, takut,
menjadi pergumulan setiap pribadi. Beberapa orang di antaranya mengalami trauma
psikologis. Pertanyaan pun berseliweran di kepala. Pihak yang orangtuanya
dibunuh penasaran bagaimana caranya dibunuh? Oleh siapa? Sementara pihak yang
tertuduh menjadi pembunuh juga penasaran, benarkah orangtuanya menjadi otak pembunuhan
itu?
Judul buku ini diilhami
dari sebutan terhadap anak-anak korban Perang Dunia I & II secara universal
yaitu the Children of War. Buku “The Children of War” merupakan buku
pertama yang menceritakan bersatunya anak-anak korban perang dari orangtua
mereka yang berbeda ideologi di Indonesia. Di antara mereka adalah putra-putri
Pahlawan Revolusi, putra-putri tokoh PKI dan PSI, putra-putri para tokoh
pemberontak seperti Kartosuwiryo dan Daud Beureuh.
Kisah-kisah yang mengharu biru di dalam buku ini dibuka oleh
pertemuan perdana Nani Sutojo puteri Mayjen TNI (anumerta) Sutojo Siswomihardjo
dan Sugiarto putera “Jenderal Merah” Brigjen Supardjo. Anak dua jenderal yang
mula-mula canggung ketika bertemu inilah yang membuka jalan bagi terwujudnya perdamaian.
Tentu tidak mudah mempertemukan mereka. Melalui para tokoh dari organisasi
Pemuda Panca Marga (PPM), dua orang tak
saling mengenal ini bertemu dan berbicara tentang keresahan mereka mengenai
dendam, luka lama, dan semangat menyuarakan kata damai. (halaman 3)
Maka sekitar tahun 2000 dilakukan “gerilya perdamaian” dengan
menghubungi anak-anak yang masih ”dikuasai” perasaan dendam dan mudah dibakar
emosinya, agar mau duduk bersama dengan anak-anak dari pihak yang
”berseberangan”. Tidak mudah mengajak pihak-pihak yang “berseberangan” untuk
mau duduk bersama dan berdialog. Ada yang hingga beberapa kali diundang baru
bersedia datang, ada yang masih terus menolak. Namun dengan kesabaran dan
itikad untuk bersama- sama ”menghapus luka lama” dan saling ”menghilangkan
dendam”, mereka yang sudah mau duduk bersama dan berdialog bersepakat untuk
membentuk wadah yang dinamakan “Forum Silaturahmi Anak Bangsa” (FSAB) dengan
motto “Berhenti Mewariskan Konflik, Tidak Membuat Konflik Baru”. Gerakan moral
ini diawali dari panggilan jiwa anak-anak Pejuang yang gundah gulana bahwa
bangsa Indonesia berada dalam bahaya perpecahan bila masih berada dalam
”tawanan” konflik masa lalu, yang menjadi seperti api dalam sekam yang setiap
saat mudah terbakar.
Buku ini sayang untuk dilewatkan karena cerita-cerita terserak
dari para putera-puteri tokoh yang saling berseberangan ini menjadi bagian
sejarah bangsa Indonesia. Banyak kisah yang ada di dalam buku ini tak akan
dijumpai dalam buku-buku lain maupun liputan media. Sebut saja kisah mantan
Kepala Staf Teritorial Mabes TNI Letjen (Purn) Agus Widjojo. Dalam subjudul “Agus Widjojo dan Kisah Sepatu
Lars”, Agus Widjojo menceritakan
peristiwa malam “penjemputan” sang ayah di Jalan Sumenep 17. Dari penuturannya,
kita akan dibuat terharu ketika seorang remaja berusia 17 “dipaksa” menghadapi masa depan tanpa sang
ayah, setelah sebelumnya pada usia 5 tahun, Agus Widjojo sudah ditinggal oleh
ibu kandungnya. (halaman 59) atau kisah Svetlana Nyoto, puteri Nyoto yang
memilih tak memiliki sahabat agar jati dirinya tak terungkap. (halaman 126).
Tentu saja FSAB bukanlah akhir. Rekonsiliasi yang bisa
menggulirkan gerakan nasional negeri ini belumlah mencapai kata final. FSAB
sebagai institusi tengah bergerak menuju muara itu, meskipun jalan berliku akan
dialami sama seperti ketika FSAB dibentuk. Rekonsiliasi tidak dapat diwujudkan
hanya melalui tuntutan kepada pihak lain, karena rekonsiliasi sebenarnya
diawali dengan pembukaan diri sendiri. Tanpa kemauan dan kemampuan tersebut tak
akan ada proses penyembuhan, sebagai syarat menuju rekonsiliasi. Apabila
sebuah proses rekonsiliasi dilakukan secara benar dan objektif, diyakini bahwa
pelajaran yang dapat dipetik bukanlah berpihak pada satu pihak tertentu untuk
mengatakan pihak yang mana yang benar dan pihak yang mana yang salah, tetapi
pelajaran tersebut diharapkan akan mengungkapkan sisi kelemahan dari kehidupan
kebangsaan yang memungkinkan kesalahan dilakukan oleh berbagai pihak yang
membuka jalan bagi terjadinya konflik.
Lao Tzu, ahli filsafat terpopuler dari China mengatakan
jika seseorang ingin berada dalam batin yang damai, maka dia hidup di saat ini.
Sebaliknya, jika dia terus memelihara kesedihan, dia hidup di masa
lalu. Apa yang dikatakan Lao telah menembus batin anak-anak korban konflik ini.
FSAB inilah perwujudannya.
Wah.. ngeri kali bukunya... mengharu biru pasti isinya ya..
BalasHapushemmmmm....mungkin. Beli dong hane hahaha. aku ndak punya malahan. sudah diminta temen media
BalasHapus