"Tulang banyak berbicara dalam dunia
antropolog". Itu hasil perbincangan saya dengan Guru besar antropologi
ragawi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Profesor Josef Glinka SVD. Saya
menemuinya pada sebuah pagi di Hotel Hyatt Yogyakarta. Dia tengah memasang
alat penetralisir pada rumah dua orang seniman yang memiliki persilangan air di
rumah mereka. Di bagian lain saya akan bercerita khusus tentang ini.
Sayangnya, ilmu antropologi rupanya tak begitu
diminati oleh orang Indonesia. Padahal, kata Pater Glinka, saya biasanya
menyapa begitu, sungguh berguna bagi Indonesia yang mempunyai suka beragam,
peninggalan jaman purba. "Antropologi untuk
mengenal masa lampau Indonesia. ilmu itu patriotis. Karena itu
bukan hanya sekedar tulang belulang. Tapi tulang belulang bisa
bicara," ujarnya. Tak semua ilmu antropologi bicara manusia lampau atau
purba. Antropogi forensik yang lebih khusus dari ilmu
antropologi bahkan berguna untuk pengungkapan kasus-kasus kriminal. Misalnya,
pada suatu hari kepolisian menemukan kerangka
kepala utuh di sebuah parit di Kota Surabaya. Mereka kesulitan menemukan
identifikasi tengkorak tersebut.
Doktor antropolog forensik dari UNAIR, anak buah Pof Glinka, Doktor Toetik
Koesbardiati diminta membantu polisi memecahkan ini. Dialah satu dari doktor
antropolgi forensik berdiploma internasional yang dimiliki Indonesia. “Bayangkan baru ada
doktor antropologi forensik berdiploma internasional di Indonesia,” ujarnya. Satu doktor
forensik lainnya sudah bergelar profesor dari Universitas Gadjah Mada yakni
Prof Etty Indriati. Beruntung saya juga pernah mewawancai Prof Etty. Muda,
cantik, dan lebih dikenal di dunia internasional. Kiprah pendidikannya lebih banyak malang
melintang di universitas terkemuka di luar negeri.
Dari hasil menguji itu, Toetik memperkirakan jasad itu orang asing, tapi untuk meyakinkan temuan ini dia datang kepada
sang guru. “’Kamu lupa. Ambil bolpoin, masukkan ke hidung. Kalau ada
halanganya, maka dia ras asing, kalau
tidak ada maka dari sini,” kata Pater Glinka. Ternyata benar. Keranga itu berasal dari Arab. Dari catatan polisi empat tahun
sebelumnya, ada laporan kehilangan warga Arab. Hemmmm…keren.
Antropologi ragawi dimana Pater Glinka paling "jago" di bidangnya
merupakan ilmu yang memelajari macam-macam manusia khususnya ras
manusia, suku, berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Cabang ilmunya antara lain
antropologi forensik. Antropologi ragawi menjadi salah satu ilmu dasar
antropologi forensik. Dengan kemampuan antropologi ragawi yang baik maka
seorang antropolog forensik akan membantu penerapan antropologi forensik
di lapangan. Forensik antropologi
terutama untuk menentukan identitas jasad berdasar bukti yang tersedia, yaitu
menentukan jenis kelamin, perkiraan usia, bentuk tubuh, dan pertalian ras.
Nah, jatuhnya korban Shukoi di Gunung Salak jelas
memerlukan antropolog forensik. Memang antropolog forensik tidak tunggal
bekerja. Bersama ilmu kedokteran mereka bahu membahu mengidentifikasi jenasah
yang hancur lebur. “Tidak ada satupun
kerangka kepala yang utuh,” kata anak
buah Pater Glinka lainnya, Rusyad Adi Suriyanto. “Jasad hangus, hancur, dan
terbuai, tidak ada yang utuh.” Satu-satunya pengidentifikasian jenasah
melalui tes DNA. Hasilnya baru dua minggu
paling cepat. Ratusan dosen, polisi, dokter terlibat dalam pengidentifikasian ini
mengingat jenasah yang tercerai berai.
Mengingat begitu bermanfaatnya ilmu ini, maka
seharusnya putera puteri terbaik Indonesia tergerak hatinya untuk menekuni
bidang ini. Nah, data yang diungkapkan Pater Glinka sungguh mengejutkan saya. Ini ketika saya menanyakan idealnya jumlah doktor dan professor di Indonesia. Beliau
menjawab. “Negara Polandia yang besarnya
se-Pulau Jawa, memiliki 120
profesor antropolog. Sementara Indonesia hanya punya 10-20 antropolog dan hanya dua profesor.” Dua professor antropolog itu adalah Prof Glinka dan Prof Etty.” Satu profesor lainnya yakni Teuku Jacob sudah meninggal dunia.
Sedikitnya minat mereka ke antropologi karena masa
depannya kurang menjanjikan. “Duitnya sedikit dan lapangan kerjanya kurang,”
kata pastor berusia 80 tahun ini. Padahal begitu banyak fosil yang tersebar di seluruh
Indonesia. Penemuan fosil yang didominasi di Jawa ini besar kemungkinan karena
banyak ahli di Pulau Jawa. Dia yakin sekali
fosl, peninggalan purbakala yang
menjawab tentang awal kehidupan manusia di Indonesia masih berserakan di
seluruh wilayah Indonesia. Tentu, Indonesia memerlukan ahli. Kalau tidak
penemuan-penemuan yang ada banyak di bawa ke luar negeri dan kita tinggal gigit
jari, deh.
Semoga saja, kalau ada teman-teman yang membaca blog
ini dan dia belum memutuskan mengambil
jurusan apa, terpanggil di bidang ini. Saya sendiri selama beberapa jam ngobrol serasa mendapat pelajaran 2 SKS. Sangat menarik. Kenapa saya ndak mengambil jurusan ini ya?
Yogyakarta, 15 Mei 2012