Tahun ini, seharusnya saya menonton kembang api di Singapura. Ada partner perjalanan ke sana dan saya hooh-hooh saja. Eh menjelang pemesanan tiket dia membatalkan karena masuk kerja. (duuuh nggak mutu banget sih tuh kantor...) Saya akhirnya menurunkan standar, menonton kembang api di Bundaran HI saja.
Menjelang sore, kepala kok berdenyut-denyut dan badan panas. Pastilah karena urusan kepindahan. Belum lagi malam menjelang saya sudah blek sek...bobo dengan suksesnya. Tahu-tahu bangun sudah tahun 2014. Ya sudahlah. Jadi, sebagai pelipur lara saya buka tulisan ini. Kejadian ini terjadi di Singapura tahun 2002. Perjalanan nekat tapi asyik. Seperti inilah ceritanya.
Masihkah Kalian Punya Sensasi Yang Belum Terwujud?
Saya punya. Mungkin buat orang lain bukan sensasi, tetapi buat saya ‘iya’. Memang sih sensasi saya norak. Tapi namanya juga angan-angan, nggak ada salahnya kan? Siapa tahu mewujud . Pertanyaan itu diajukan oleh salah satu kawan ketika kami “nyangkruk “ bertahun lalu. Sembari menyeruput coklat, minuman kegemaran saya, kami menghabiskan cerita sensasi ini sampai berbusa-busa.
Tadi malam, obrolan sensasi juga terjadi kala saya dan seorang kawan menyeruput coklat. Kali ini saya yang memulainya. Tak jelas bagaimana awalnya, tahu-tahu obrolan sensasi menghangat. Terbersitlah ide menuliskannya dlam note. Nggak penting, mungkin.
Tapi akhir-akhir ini saya mesti banyak menulis guna menciptakan atmosfir menulis setelah saya padamkan selama empat bulan. Apa alasannya, tidak penting untuk diceritakan. Terlebih kawan saya menagih tulisan ini pagi tadi. Wah saya memang perlu diingatkan, biar nggak “nggambleh”. Jadi mari kita bahas sensasi impian saya.
“Saya ingin berciuman dengan orang yang saya cintai di lift yang angka lantainya lebih dari 25,” kata saya kepada dia. Saya berhenti sejenak, menyeruput cuklat bertabur keju di depan saya. Hemmm nikmatnya. Mata teman saya terbeliak. “Hah? Nggak biasa ini?,” katanya. “Ya namanya juga sensasi, pasti agak anehlah,” jawab saya buru-buru. “Sensasinya dimana?,” tanyanya lagi. “Berciuman di lift yang punya lantai di atas angka 25 itu butuh waktu agak lama, lho?. Setidaknya 10 menit bolak balik. Belum lagi kalau di tiap lantai ada yang tiba-tiba masuk. Nah deg-degannya itu yang pasti bikin sensasi tersendiri. Antara menikmati ciuman itu sendiri dan harus berkonsentrasi jika “ting …ting” tanda ada orang masuk. Gugup pastilah, apalagi kalau ketahuan orang.
Teman saya manggut-manggut. Ekspresinya sulit saya ceritakan. Tapi kurang lebih “Wong aneh tenan ki koncoku.” hihihihi. Memandanginya, saya cuma cengar cengir dan mengulum senyum.
Cerita tentang gugup itu sendiri, bukan perkara sederhana untuk saya. Gugup , buat saya adalah sensasi yang menggetarkan. Coba kalian ingat, kapan terakhir kali gugup. Gugup yang saya ceritakan bukan karena ketahuan korupsi lho. Dalam konteks ini, gugup yang sedang saya bincangkan ketika kita sedang bersuka-suka dengan teman, pacaran baru tetapi masih malu-malu, ketemu temen baru, atau ya gugup karena tidak ada alasan. (aih kalau ini nggak mungkin). Pendek kata, getaran kegugupan itu sendiri, sensasinya juga tak terjemahkan. Bikin gagu, jantung berdegup lebih kencang, ngomong salah-salah, atau bertindak juga jadi kacau. Nah, begitulah. “Bikin hidup lebih hidup,” kata sebuah iklan.
Nah, dalam kitannya mewujudkan sensasi itu, percaya tidak, saya pernah sampai mengamati dengan detil, gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Karena dulu saya tinggal di Jakarta, apalagi kerap melakukan tugas jurnalistik, saya jadi tahu gedung-gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Jam berapa kantor itu padat pengunjung, jam berapa sela. Benar-benar niat ya?
Tapi seperti cerita bersambung, kisah impian sensasi ini belum berakhir. Bisa ditebak bukan? Saya belum pernah melakukannya, meski saya punya pacar dalam beberapa masa. Ehem.
Sensasi kedua yang ingin saya lakukan adalah bersama yang tercinta menyaksikan kembang api di Singapura. Lalu apa sensasinya? Ini sebenarnya kisah yang sempat saya simpan rapat. Alasannya, sederhana, takut orang punya pikiran yang tidak-tidak. Tapi sudah saya buang persepsi itu karena tidak ada yang perlu ditakutkan.
Kejadiannya tahun 2002. Saya melancong ala backpacker dengan dua sahabat saya Zara dan Siska. Pada waktu itu, saya hanya memberikan budgjet Rp 3 juta dlam perjalanan ke ke tiga negara Singapura, Malaysia, dan Thailand. Selama dua minggu perjalanan itu, keuangan sudah menipis di Thailand. Dua sahabat saya memutuskan naik pesawat dari Thailand ke Indonesia. Saya ngotot tinggal. Alasannya sederhana. Saya ingin membuktikan Rp 3 juta itu bisa nggak sih keliling ke tiga negara?
Saya naik perjalanan darat dari Thailand ke Singapura sendirian. Hehehe cukup heroiklah. Satu malam di bus, bener-bener garing. Dari Singapura perjalanan mestinya berlanjut ke Batam menuju Jakarta dengan pesawat.
Dasar naluri petualangan saya, duit tak sampai Rp 500.000 masih ngotot tinggal semalam di Singapura. Ya…hari itu tanggal 31 Desember, saya menginjakkan kaki kembali di Singapura. Biar agak keren (norak betul) saya pingin bertahun baru di Singapura. Aih…rasanya waktu itu agak keren juga ya kalau pas lagi nongkrong sama teman-teman, ditanya,” Tahun baru kemana?” Lalu saya jawab “Singapura.” Yeksss… ingat itu saya jadi malu. Norak norak. Saya pingin mauk ke got kalau ingat kenorakan itu. hiiii.
Jadi begitulah. Saya memutuskan, biar badai topan melanda, saya harus bertahun baru di Singapura. Pesta kembang api-lah yang menjadi magnitnya. Ini karena saya dengar, pesta kembang api di Singapura keren banget. Kembang api seperti nafas hidup saya. Saya suka sekali. Kesenangannya sulit dilukiskan.
Nah, Inilah awal cerita sensasi itu. Di stasiun MRT Jurong (saya agak lupa) saya melihat bule yang lagi bengong. Tampangnya kelihatan baik. Saya menyapanya. Dia bilang mau cari motel. Keinginan kami sama. Dasar sok tahu, saya bilang, saya punya referensi hotel yang biayanya murah antara lain daerah Tanjung Katong. Ketika kami telepon, hotel penuh semua. Saya memang konyol, malam tahun baru di negeri yang menjadi tujuan wisata, belum pesan hotel. Waduh…saya mulai panic.
Atas rekomendasi dari warga Singapur, kami diminta ke Little India. Di kawasan itu, menurut cerita mereka, ada banyak pilihan hotel yang harganya miring. Dan tibalah kami di hotel, ketika petang menjelang. Begitu tiba di hotel, astaganaga. Saya hampir pingsan. Mahal amat. Jelek amat. Nggak ada pendingin, puanasnya minta ampun, kumuh. Yang bikin saya melotot, kok bisa ya kawasan kayak gini bisa jadi jualan wisatanya Singapura. Halah. Indonesia jauh-jauh lebih asyik dan menarik deh. Saya sudah mau balik badan, cabut dari tempat itu. Tetapi Tobias, nama turis Jerman itu, melarang saya. Dia bilang, “Kan cuma untuk tidur sebentar saja. It’s oke-lah,” katanya.
![]() |
coba tebak gambar apa hayooo |
Tobias sendiri juga terlihat kaget dengan tarif untuk hotel sejelek itu. Lantaran si backpacker ini sudah menghabiskan uangnya sebesar Rp 120 juta untuk keliling dunia, maka kondisi keuangannya juga sudah menipis. Singapura adalah tujuan terakhirnya ke Asia. Selanjutnya dia akan mengunjungi Australia dan kembali ke Jerman. Dengan duit yang makin cekak, dia mengatakan harus mengirit perjalanan.
Tak terduga, yang bikin saya melotot, dia berujar pada pemilik hotel. “Boleh nggak saya menginap di atap hotel ini.” Saya terbeliak. Hah edan. Backpacker ya backpacker sih, tapi saya ndak seedan itu, menginap di atas atap. Hiii. Tapi saya diam saja. Jelas saja si pemilik hotel tak memperbolehkan. Tobias garuk-garuk kepala. Hemmm…sedetik kemudian, dia bilang pada saya. “Hemmm…kamu keberatan tidak kalau kita share sewa kamar? Mata saya melotot. Mungkin dia menangkap kecemasan saya. Dia bilang, “Kamu akan baik-baik saja, kita hanya sharing biaya kamar.” Sedetik saya berpikir. Tapi jujur, matanya terlihat baik, dan bukan tipe yang aneh-aneh.
Wadeuww….saya tolah toleh…Gugup….nah gugup memang sensasi yang asyik,kan? Si Tobias bilang, dia akan tidur di lantai kalau memang tempat tidurnya hanya satu, meskipun harga kamar dibagi dua. Hihihihi… Akhirnya saya mengangguk setuju. Ternyata, tempat tidur kami bersusun kayak jaman tanksi perang. Bahannya bukan kayu, tetapi dari besi. Kalau kejedot kepala, lumayan juga tuh. Dan saya bener-benr kejedut malam itu. Tobias mengambil tempat tidur di atas, saya di bawah. Saya yakin aman, karena untuk naik dan turun ke tempat tidur agak susah.
Rupanya Tobias juga ingin menyaksikan pesta kembang api. Begitu tiba di hotel, dia mencari informasi ke Orchard Road. Saya memilih di hotel, mandi, dan istirahat. Tobias datang 2,5 jam kemudian. Rupanya, dia jalan kaki dari Little India. (pantesan lama banget sampai hotel). Lokasi pesta kembang api itu di pinggir laut, Marina Bay. Katanya yang paling ramai dan terbesar pada perayaan Tahun Baru. Dari little India, Tobias mengajak saya jalan kaki. Katanya dekat. Tapi ternyata 1,5 jam perjalanan. Gempor kaki saya. Alamakjan. Jalan sama bule memang doyannya pake kaki.
Dalam hati saya, jangan sampai pulang jalan kaki lagi. Saya bilang ke dia. “Naik taksi deh, saya bayar nggak papa pulangnya.” Tobias cuma tertawa kecil. Dan begitu sampai, lautan manusia sudah memenuhi kawasan Marina Bay. Untung kami tak terlewat gara-gara jalan kaki itu. Seperti yang saya tebak, hampir sebagian besar orang berpasangan. Duduk di pinggir laut, angin cukup kencang bikin saya agak masuk angin. Saking asyiknya ngobrol, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Dan ledakan api nan indah itu tibalah….wowww…saya bahkan masih mengingat keindahannya hingga sekarang.
Pesta kembang api yang agak bikin bibir saya menganga adalah pesta kembang api di halaman mall Lippo Karawaci tiap akhir pekan beberapa puluh tahun silam. Tapi alamakjan, kembang api Singapura benar-benar istimewa. Kembang api itu diluncurkan dari tengah laut. Langit bersih…dan siiiiiiiuttttttt duaaarrrr. Bulat bertingkat, ada yang seperti kerucut, ada yang seperti ekor naga. Saya seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru. Wow…wow…indah sekali. Seolah-olah sayalah yang menikmatinya sendirian. Saya bahkan lupa ada Tobias di sebelah saya.
Saya benar-benar terhipnotis dengan pesta kembang api itu. Tiba-tiba Tobias berteriak pada saya. “Ini sangat cantik, di negara saya saja, saya belum pernah menyaksikan yang seindah ini,” katanya. Dalam hati saya mengatakan. “Wah syukur deh berarti aku nggak terlalu udik, mengagumi pesta kembang api ini. Dia yang dari negara maju saja terkagum-kagum hihi.” Tobias tak henti-hentinya memotret ke langit bertaburan kembang api.
Setengah jam diluncurkan…dan inilah saat menjelang detik pergantian tahun. “10,9, 8, 7,6,5,4,3,2,1,” teriak massa. Dan kembang api itu meluncur dari tengah laut seperti rentetan mesiu jaman perang. Bersaut-sautan. Ledakan-ledakan api yang membentuk api indah begitu membius saya. Tempik sorak dari lautan manusia terdengar. Happy new year…. Langit Marina Bay terang benderang oleh api yang bermacam-macam bentuknya.
Dan ketika dongakan leher kami terlepas dari langit, segera kami tersadar dengan pemadangan di sekeliling kami. Kami berdua terkurung di antara pasangan-pasangan yang saling berlumatan bibir. Hanya beberapa inci dari tempat kami berdiri. Clap clup clap clup, bercipokan menyambut tahun baru. Mereka mengepung kami dari depan, tengah, belakang. Saya dan Tobias sama-sama getir. Kami berdua sama-sama jengah. Tetapi juga nggak bisa apa-apa. Saya misuh-misuh dalam hati. “Jangkrik, kelamutan kabeh.” Tempat sudah benar, suasana mendukung, malam kian melankolis, tetapi orang di sebelah saya, bukan kekasih, hanya orang asing. Ah, sedih betul, kawan.
Saking gugupnya Tobias dengan pemandangan di sekitar, dia mengulurkan tangannya ke saya. Tapi lebih mirip kayak teletabbies itu lho, yang suka bilang “Berpelukan.” Nah, seperti itulah. Dan saya menyambut pelukan itu. “Bernada, happy new year,” katanya. Matanya yang baik hati itu terlihat tulus. Lalu dia mencium pipi saya. Hihihihi..Tahun baru dengan orang asing, dengan kepungan pasangan berciuman sungguh tak enak, kawan.
Sambil memandang langit dimana kembang api masih muncrat dengan indahnya, saya berucap dalam hati. “Suatu saat saya akan ke sini, menikmati kembang api, di malam tahun baru, berlumatan, jika perlu sampai pagi dengan orang yang tercinta.” Jadi begitulah…sensasi yang saya impikan itu.
Dan hem… bisa ditebak yang kedua kalinya. Impian itu belum terwujud. Sudah beberapa kali mengunjungi Singapura, tetapi tidak tahun baru, juga tidak dengan pacar. Aih….
Ending:
Tapi meski itu pengalaman manis dan getir, setidaknya ada beberapa hal berharga yang bisa saya bagikan. Satu, laki-laki dan perempuan dalam satu kamar, tidak selalu harus “begituan” kata anak muda jaman sekarang. Kedua, tiada taksi, tiada bus malam, apalagi ojeklah yauw (dalam hati saya bersyukur tinggal di Indonesia punya tukang ojek. Sumpah). Malam itu, meski kegembiraan saya begitu berwarna seperti kembang api dan kegetirannya seperti menelan pil pahit, saya tak punya pilihan lain untuk jalan kaki. Hem…1,5 jam. Lengkap sudah malam pergantian tahun itu. Ketiga, percaya tidak, meski kami melewatkan malam tahun bersama, kami sama-sama tak meninggalkan alamat email, nomer telepon, atau apapun itu. Bahkan nama belakang keluarganya saja saya tak tahu sampai sekarang. Jam 3 pagi kami sampai hotel, pukul 05.00 saya mengendap-endap keluar dari hotel. Sebelumnya kami sudah berpamitan. Tobias masih mengantuk. Matanya keriyip-keriyip. Tapi dia masih turun dari tempat tidur, memeluk saya. “Goodbye,” katanya. Saya juga menjawab pendek.”Goodbye.”
Seru juga blogwalking ke mari, seru-seru kesemsem, soal keinginan bertahun baru ke luar negeri. Eh, ane juga punya pengalaman nih tahun baru kemarin. Yuk blogwalking...
BalasHapusPetasan
terimaksih ya Fredy. saya sudah membacanya
BalasHapus