
Pengamatan ini berangkat dari kegelisahan partai-partai yang mengeluhkan tentang massa yang sulit dikumpulkan mereka. "Kalau tidak ada gizinya, mereka tidak mau berangkat," kata seorang anggota partai pada saya waktu itu. Kala itu, setahun sebelum pemilihan Presiden dan wakil rakyat. Tentu, gizi yang di maksud dia uang saku, uang operasional untuk ikut menyemarakkan acara-acara partai seperti kampanye, sosialisasi.
Pada kesempatan lain saya mengobrol dengan seorang penggerak massa yang punya massa sungguh luar biasa. Dari ceritanya pada saya, dan sungguh saya bisa membuktikan di lapangan, dia sanggup membawa massa hingga puluhan ribu orang. Tentu, tidak gratisan. Perlu ratusan juta untuk mendatangkan mereka. Bener, kata orang jaman sekarang. "Ndak ada fulus, semua nggak jalan."
Jogja pernah menjadi lautan massa karena peranan dia. Saya tahu partai dan siapa yang memakai, tetapi nggak etislah kalau saya sebutkan disini.
Kembali ke soal pengamatan tadi, film, musik, dan sepakbola sungguh masih punya magnit bagi anak-anak muda jaman sekarang. Anak muda era dunia virtual, digital, jejaring sosial. Ibaratnya, teknologi adalah Tuhan baru bagi anak-anak muda. Tak mengherankan, film-film Indonesia dibanjiri penonton. Juga film-film luar negeri. Film, termasuk FTV di televisi kenapa disukai? Karena di film orang terlihat begitu sempurna. Sungguh berbeda dengan dunia nyata. Mereka butuh hiburan. Yang melihat semua yang ada di dalamnya cantik, ganteng, kaya raya, sempurna. Mirip dunia jejaring sosial, virtual yang semuanya tak nyata. Suka tidak suka orang membutuhkan impian, ilusi untuk menenangkan permasalahan hidup. Dari film mereka butuh tokoh panutan, ideal, yang harapannya bisa ditemukan dalam dunia nyata.
Seperti film, musik pun demikian. Semua musik di televisi tak pernah sepi penonton (Yayaya...meski saya tahu ada sebagian besar penonton bayaran). Ratingnya terus bertahan. Buktinya, sudah bertahun-tahun acara musik tak pernah hilang dari acara televisi. Kontes musik, roadshow, hampir tiket habis terjual. Jarang ada yang merugi. Pendek kata, entah mereka membayar, atau gretongan (baca gratis) tetap saja dibanjiri pengunjung. Pada musik, seseorang membutuhkan pelepasan, jingkrak sana jingkrak sini. Mereka juga ketemu sang idola yang aduhai indah nian. Seksi, cantik, ganteng, wangi.
Hemmm...sepakbola....Siapa yang tak tahu massa bola. Massanya fanatik dan rela melakukan apa saja demi bola. SPSI sampai ribut berkepanjangan jelas bukan tanpa alasan. Memperebutkan "tahta" bukan hanya sekedar fulus, tetapi lebih dari itu ada "sesuatu" yang direbut dari massa fanatik bola. Bisa mengarahkan ke politik dan bercabang kemana-mana :)
Saya tak akan terlalu menyoroti musik dan sepakbola. Sengaja film yang akan saya bahas karena ada beberapa hal yang cukup menggelitik saya. Industri film di Indonesia mulai bergairah di awali dengan film Ada Apa dengan Cinta besutan Sutradara Mira Lesmana dan Riri Reza. Meledaknya film untuk anak muda bergaya populer itu membuktikan pasar Indonesia ternyata lumayan menjanjikan. Lantas, muncullah film-film bermutu Indonesia yang kerap menang di kancah internasional. Keplok untuk Indonesia.
Sekitar lima tahun lalu, muncullah film Denias besutan sutradara Johni de Rantau dan diproduseri Arie Sihasale. Arie Sihasale-lah yang membuka keran film berbau nasionalime, patriotisme di era sekarang hingga muncullah film Garuda di Dadaku dan film-film berbau nasional lainnya. Menarik bahwa ada pihak yang sadar "merekrut" anak-anak muda di era sekarang melalui pendekatan film. Ini pilihan yang tak mungkin dihindari lantaran anak-anak muda jaman sekarang tak mudah dicekoki nilai nasionalisme, patriotisme, ke-Indonesia-an melalui pelajaran di sekolah. Masuk melalui film tentulah sangat mudah. Contoh, dalam film Denias, ada tokoh tentara, Kopasus yang diperankan Arie sangat jauh dari kesan sangar. Penggambaran TNI yang dalam sehari-hari kita kenal orang yang sangat disiplin, tegas, galak, digambarkan begitu humanis.
Maka, jangan heran jika setelah ini film-film Indonesia akan dibanjiri tema-tema seperti yang telah dijelaskan di atas. Jaman berubah. Teknologi berubah. Manusianya pun berubah. Tak ada salahnya kita meniru Korea yang sukses membangun industri film dalam kurun 27 tahun. Dari film, Korea berkibar dan menjadi kiblat dalam dunia fashion. Industri otomotif dan teknologi yang nyaris tenggelam oleh kejayaan Jepang kini mulai di lirik oleh negara-negara lain. Begitu pula klinik kecantikan yang kiblatnya ke Korea. Denyut perekonomian negeri Gingseng itu pun bergerak. Mereka memulainya dari film. Indonesia punya pasar besar. Jumlah penduduk besar. Mengapa kita tak memulai dari film untuk mensejahterakan rakyatnya? Juga musik yang belakangan ini mulai digarap serius oleh Korea.
Yogyakarta, 19 Mei 2012
03.27 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar