Selasa, 23 September 2014

Teh Poci, Bakiak, dan Gula Batu

Setiap melancong saya punya cerita lucu. Cerita kali ini tentang teh poci, bakiak, dan gula batu. Apa hubungannya? Ada.  Dalam lawatan saya ke Semarang kami menginap di hotel baru. Katanya bintang lima.  Sebagai hotel baru, tentu pihak hotel ingin memberi kesan untuk pelanggannya.

Dan kali ini memang cukup berhasil. Mereka menyediakan teh poci bersama cangkir dan tekonya yang khas itu lengkap dengan gula batunya. Belum pernah saya menginap hotel berbintang yang menyediakan teh poci bersama perangkatnya. Itu pun baru saya ketahui tahu keesokan paginya. 

Menjelang petang ketika kami tiba di hotel badan terasa penat. Agak konyol ihwal masalahnya terletak pada jadwal pesawat yang salah. Kami mengira menggunakan penerbangan Garuda pada pukul 7.55  sehingga dengan tergopoh-gopoh kami  berangkat dari rumah pukul  05.00. Belum lagi mesti bangun dan persiapan mandi dan lain-lain. Jam weker saya pasang di angka 04.00. Ternyata pesawat kami berangkat pukul 9.35. Hoaaaaa

Karena kelelahan, jadilah saya tidur dari pukul 18.30 hingga bangun jam 05.00. Teman saya rupanya belum bangun. Dia masih melingkar di kasurnya. Saya mengendap-endap. Mencuci muka dan menyelidiki sekeliling ruangan. Saya temukan teh poci lengkap dengan gula batu yang dibungkus plastik. Di sudut ruangan teronggok sandal bakiak yang kerasnya alang kepalang. 

Setelah saya mandi dan teman terbangun, saya bilang padanya tersedia teh poci. Dia mengangguk senang ketika dengan senang hati  menyeduh air panas dan membuat teh poci. Harum teh wanginya memenuhi ruangan. Segarrrrr. Melihat gula batu yang besarnya sejempol, saya berpikir bagaimana agar mengecilkan agar tak terlampau manis.  Tapi saya ingat teh poci memang diberi potongan gula batu yang besar karena  si penikmat teh akan mencampurkan air teh begitu mulai habis. Jadi otomatis gula batu akan lebur sampai kecil. 

Sembari memandangi bukit di luar dengan  aliran sungainya, teh poci saya seruput, Surga serasa di depan mata. Nikmat betul. Pagi ketika waktunya makan, saya bercerita dengan teman yang juga menginap di tempat yang sama. Dia menceritakan soal teh poci yang membuatnya terkesan. Seperti saya, malam-malam dia membuat teh poci. Tapi ada masalah. Gula batu yang besar itu tak sesuai keingiannya. Dia ingin kecil saja karena tak terlalu suka manis. Padahal biarkan saja dan otomatis dia akan lebur bersama teh yang panas. 

Teman ini berpikir," Bagaimana caranya gula batu bisa pecah." Pandangannya tertuju pada bakiak di sudut ruangan. Tak kurang akal bakiak dia gunakan sebagai pemecah gula batu. dan berhasil, Gula batu lebur. Kecil-kecil. Saya tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya dengan mimik wajah lucu. Tawa kami begitu keras karena teman sekamar saya sempat berpikiran hal yang sama. Bedanya...dia tidak mengeksekusinya. Hahahaha...


Jakarta, 23 September 2014