Rabu, 13 November 2013

Mengapa (Tidak) Menonton Film Korea?

Tulisan menarik tentang Film Korea. Ini hasil wawancara saya dengan dosen UGM. Silakan 



Ratih Pratiwi Anwar

Peneliti di Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada

Kepala Divisi Riset dan Pengembangan, Pusat Studi Korea Universitas Gadjah Mada

Sepekan Film Korea (SFK) telah terselenggara hingga lima kali di
Yogyakarta sampai tahun 2004 kemarin. Pemutaran film-film layar lebar
selama enam hari non-stop tersebut memang telah jadi hajatan rutin
Center for Korean Studies Universitas Gadjah Mada tiap tahun. Tahun
ini film-film Korea terbaru telah dipersiapkan untuk diputar di
Sepekan Film Korea 2005.

Tujuan ditayangkannya film-film negeri ginseng tersebut selain untuk
mengenalkan budaya Korea juga sekaligus untuk menyediakan kesempatan
masyarakat Indonesia mengapresiasi sinema Korea (yang juga salah satu
produk budaya Korea). Masyarakat Yogyakarta, terutama generasi
mudanya, setiap tahun selalu menyambut SFK dengan sangat antusias.
Setiap hari diputar 2 film dan satu film ditonton rata-rata 600 orang.

Apakah ini berarti sinema Korea sudah diterima di hati masyarakat Indonesia?
Setelah kesuksesan sinetron Taiwan Meteor Garden, pemirsa Indonesia
melihat bahwa serial teve dan film Asia, termasuk dari Korea Selatan,
merupakan alternatif tontonan yang menarik. Mini seri dari Korea yang
memasuki layar kaca Indonesia, seperti Winter Sonata, Endless Love,
Hotelier, atau All About Eve, ternyata juga mendapat sambutan yang
hangat. Setelah mengenal dan menyukai Tao Ming-Tze, penggemar sinetron
mulai mengenal aktor-aktor muda Korea Selatan, terutama Bae Yong-Jun
yang menjadi aktor utama dalam mini seri drama romantis dan menyentuh
hati Winter Sonata.

Nampaknya gelombang hallyu telah merambah sampai Nusantara. Namun
dibandingkan dengan Cina, Jepang dan Taiwan yang secara budaya dan
geografis dekat dengan Korea, Indonesia dan negara ASEAN lainnya
seperti Thailand, Singapura dan Vietnam memang terlambat di dekati
hallyu.

Istilah hallyu telah muncul di Cina tahun 1997 untuk menyebut
gelombang budaya pop Korea yang melanda generasi muda Cina. Dampaknya
di Cina luar biasa karena kemudian lahirlah hahanzu, yaitu fans
fanatik aktris, aktor, penyanyi dan budaya pop Korea.

Fenomena hallyu di Cina tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
penetrasi budaya yang sukses. Umumnya negara-negara industri maju yang
mampu melakukan ekspansi budaya sampai ke luar batas negara. Menurut
Prof. Yang Seung-yoon dari Hankuk University of Foreign Studies di
Seoul, ekspansi budaya terjadi dan akan berkelanjutan jika fundamental
perekonomian suatu negara sudah cukup kuat. Apakah Korea Selatan
termasuk negara kelompok ini?


Ada beberapa sebab mengapa kini budaya pop Korea Selatan mampu
menjelajah cukup luas di Asia. Pertama, Korea memang telah menjadi
negara maju sejak resmi menjadi anggota OECD tahun 1996. Kesuksesan
industrialisasinya membawa pengaruh yang besar di Asia. Cina, Vietnam
dan Indonesia adalah penerima investasi asing Korea dan pasar yang
luas bagi produk-produk industri Korea. Umumnya ekspansi budaya
mengawali atau mengikuti ekspansi ekonomi suatu negara dan menjadi
salah satu strategi perluasan pasar.

Kedua, budaya pop Korea mempunyai keunikan, yaitu meskipun memadukan
unsur Amerika dan Jepang tapi terlihat segar dengan kandungan yang
kuat aroma Korea-nya. Kemampuan mengharmoniskan nilai Timur dan Barat
ini membuat drama dan film Korea lebih disukai di Cina. Sebaliknya,
sinema Jepang tidak disukai di Cina karena dianggap terlalu ekstrem
dan kebarat-baratan. Lagu pop Korea juga sangat laris di Cina karena
berirama dinamis, tidak konvensional, dan dianggap mampu memuaskan
jiwa dan keinginan generasi muda. Di Jepang, film layar lebar Korea
disambut hangat karena menawarkan tema-tema alternatif dan mengandung
segi hiburan yang tinggi.


Ketiga, perkembangan industri budaya pop di Korea sangat pesat sepuluh
tahun terakhir ini. Tahun 1997 disebut sebagai tahun renaissance film
Korea karena ada pendekatan baru dalam membuat film, yaitu lebih
menonjolkan kreativitas, kebebasan berekspresi dan mengusung tema
individualisme yang sesuai kecenderungan masyarakat Korea sekarang.
Hasilnya muncul berbagai genre film dan lahir pula sutradara-sutradara
film independen. Pendekatan baru ini ternyata meningkatkan gairah
membuat film, termasuk film-film pendek yang didukung penayangannya
oleh bioskop-bioskop lokal.

Keempat, pertumbuhan industri film di Korea tak lepas dari peran
pemerintah. Di samping memberlakukan kuota tayang (minimal 106 hari
per tahun untuk film domestik), pemerintah Korea melakukan
revitalisasi industri film domestik sejak tahun 1973 melalui Komisi
Film Korea (KOFIC).

Kegiatan Komisi Film Korea dibagi dalam lima departemen. Departemen
Promosi menyediakan dana dan bantuan untuk film lokal. Departemen
Promosi Internasional mempromosikan film Korea di luar negeri.
Departemen Pendidikan mengelola Akademi Film Korea, Akademi Film
Animasi Korea, dan mendukung 40 institut perfilman di Korea.
Departemen R&D yang membuat penelitian, statistik film, dan publikasi.
KOFIC juga mengelola studio out-door dan in-door di Seoul Complex
Studio untuk mendongkrak mutu visual sinema Korea. Kegiatan KOFIC
lainnya yang menarik adalah lomba penulisan skenario film dua kali
setahun dan skenario film animasi sekali setahun. KOFIC menyeleksi dan
mendanai film pendek, film dokumentasi, film independen dan film
animasi.


Untuk mempromosikan film Korea di luar negeri, KOFIC membuat
terjemahan film Korea dalam berbagai bahasa seperti Perancis, Jerman,
Itali, Jepang, Cina, Rusia, dan Spanyol. KOFIC mendukung ikut sertanya
sinema Korea di festival-festival film internasional bergengsi,
disamping Korea sendiri sering menjadi tuan rumah seperti di Busan
Internasional Film Festival. Jika tahun 1999 sejumlah 80 film Korea
diikutsertakan di 73 festival film internasional, maka pada tahun 2002
jumlahnya meningkat menjadi 280 film (KOFIC, 2002).


Hasilnya tidak sia-sia karena film Korea akhirnya merebut beberapa
penghargaan internasional. Film Chihwaseoun dan Oasis memenangkan
Sutradara Terbaik pada Festival Film Internasional di Cannes dan di
Venice tahun 2002. Film animasi My Beautiful Girl, Mari mendapatkan
grand prize pada Festival Film Animasi Internasional. Bahkan film-film
terlaris tahun 2001 seperti My Sassy Girl dan My Wife is A Gangster,
menarik Hollywood dan dibeli oleh Dreamworks Pictures dan Miramax
International untuk dibuat versi Amerikanya (Cinemags, April-Mei,
2003).


Di dalam negeri film Korea juga sukses menuai box office. Statistik
film yang dirilis KOFIC memperlihatkan film lokal mampu menggeser
dominasi film impor, terutama dari Hollywood. Jika pada tahun 1991 di
Korea pangsa penonton film lokal hanya 21 persen, tahun 2001 justru
saat kuota tayang makin dikurangi melonjak jadi 50 persen. Dari 10
film terlaris di Korea, rangking satu sampai lima diduduki oleh film
Korea. Film yang menjadi box office tahun 2001 adalah Friend yang
ditonton 2,5 juta orang. Tahun 2002 kembali film lokal menendang film
Hollywood. Dari 10 film paling laris di Korea, lima di antaranya
produksi lokal. Film The Way Home yang disutradarai oleh sutradara
muda perempuan Lee Jeong-hyang menjadi box office dan ditonton lebih
dari 1,5 juta orang di Korea (belum yang di luar Korea).

Film-film terlaris tahun 2001 dan 2002 bercerita tentang realitas
sosial masyarakat Korea. Film Friend misalnya, menuturkan persahabatan
sebagai salah satu bentuk relasi sosial yang penting di Korea.
Sedangkan film The Way Home mengingatkan gejala runtuhnya loyalitas
anak pada orang tua, yang di Korea merupakan nilai sosial paling
utama. Film ini membuat banyak orang Korea merasa sangat bersalah
karena meninggalkan orang tua mereka yang jompo di kampung halaman,
sementara mereka sibuk dengan pekerjaannya di kota besar.

Bagaimana untuk lebih menikmati film Korea di Indonesia?

Suatu film bercerita tentang isu, budaya, sistem sosial tertentu yang
merefleksikan suatu masyarakat. Apresiasi tentang budaya Korea yang
mencukupi tentunya sangat bermanfaat untuk lebih memahami suatu
permasalahan yang disuguhkan lewat film.

Sebagai contoh, menonton film Korea bertema gangster seperti Guns and
Talks atau Friend (keduanya produksi tahun 2001) lebih asyik jika tahu
bahwa masyarakat Korea adalah masyarakat patriarki dengan stratifikasi
sosial yang kaku. Tema gangster yang menjadi genre sinema Korea
akhir-akhir ini muncul akibat frustasi sebagian masyarakat atas
tergerusnya nilai-nilai tradisional. Dalam film bertema gangster,
orang Korea mencoba menyusun suatu keluarga artifisial dimana
laki-laki tetap dominan dalam masyarakat (Kim Sohee, 2002).

Tetapi, tanpa tahu menahu sedikit pun seperti apa kondisi sosial
budaya di Korea, sinema Korea tetap enak diikuti. Sembari menonton
kita dapat mengetahui kehidupan, adat istiadat dan emosi orang Korea
(walau tidak seratus persen dapat mewakili). Beberapa tema film
mewakili situasi yang memang sungguh-sunguh dialami oleh rakyat Korea
Selatan. Misalnya film JSA (Joint Security Area) dan Taekukki yang
bertema konflik politik dan perang dingin antara Korea Utara dan Korea
Selatan.

Ketika menonton film Korea Selatan kadang-kadang muncul pertanyaan:
mengapa sering ada adegan menangis, baik yang dilakukan oleh aktor
maupun artis? Ternyata menangis adalah salah satu karakter orang
Korea. Menurut Lee O-Yong, mantan Menteri Kebudayaan Korea, bukan
orang Korea kalau tidak bisa menangis. Jika sedih orang Korea
menangis, jika bahagia juga menangis. Karakter ini muncul akibat
lamanya mereka hidup dalam penderitaan. Menderita karena sumber daya
alam terbatas, iklim yang keras, sering mengalami perang dan pernah
hidup dalam kediktatoran.

Apakah film dapat menjadi alat diplomasi?

Bagi pemerintah Korea Selatan, mereka menyadari betul bahwa film dapat
menjadi media untuk peningkatan pemahaman budaya antar negara dan alat
diplomasi. Menurut Prof. Yang Seung-yoon, budaya pop Korea telah
mendukung keberhasilan Korea Selatan dalam hubungan diplomasinya
dengan negara-negara di ASEAN.

Film dan musik dari negeri ginseng ini telah mengubah persepsi orang
Vietnam terhadap Korea Selatan yang menjadi sekutu Amerika Serikat
waktu perang Vietnam. Perasaan benci berubah menjadi hubungan romantis
dan sentimentil generasi muda Vietnam dengan artis dan musisi Korea.
Banyak generasi muda Vietnam kini juga menjadikan Korea Selatan
sebagai kiblat budaya pop, mode, dan standar kemakmuran.

Di Indonesia sinema maupun musik Korea belum begitu sepopuler di
Vietnam, Jepang atau Cina. Ini karena masih sedikitnya pemutaran film
Korea di televisi atau di bioskop serta sedikitnya resensi tentang
sinema dan musik Korea. Bagi orang awam juga sulit membedakan film
Korea dari film Jepang, Hongkong atau Taiwan karena aktor atau
artisnya mempunyai ciri-ciri fisik yang hampir sama.

Cara mudah untuk mengenali film Korea adalah dari tulisan judul
filmnya. Judul film dan nama aktor-aktrisnya biasanya ditulis dengan
huruf han geul (alfabet Korea) yang berbeda dengan alfabet Mandarin
dan Jepang. Bisa juga dari bahasanya (jika tanpa dubbing). Menurut
saya lebih puas jika menonton film dalam bahasa aslinya. Sebab bahasa
Korea itu sendiri merupakan salah satu keunikan film Korea.***


     Referensi:

     Kim Sohee, “A Review of Korean Cinema in 2002”, Korean
Cinema 2002, KOFIC, Seoul

     KOFIC, “The Korean Film Commission”, Korean Cinema 2002, KOFIC, Seoul.

     My Wife is A Gangster, The Most Powerful Lethal Weapon is in a
Woman!, Cinemags Edisi 46/Mei 2003

     My Sassy Girl, A Big-Hearted Boy and His Eccentric Girl Friend,
Cinemags Edisi 45 April 2003

     Kim Youn-jung, “Korean Pop Culture Craze Hayyu Sweeps through
Asia,” Korea Pictorial, Seoul

     Yang Seoung-Yoon, “Expanding Cultural Exchange with Southeast
Asia”, Korea Focus, January-February, 2000





Bencana dan Tuhan

Filipina tengah berduka. Topan Haiyan berkecepatan  275 km/jam mengoyak tujuh propinsi dan menewaskan lebih dari 10.000 penduduk. Kota Tacloban yang berpenduduk 220.000 jiwa disebut yang paling porak poranda. Sekitar lima persen penduduknya tewas karena bencana ini.


Apakah Tuhan di balik kesengsaraan ini? Buat orang yang beriman dan percaya pada Tuhan percaya absolut bahwa ini kehendak Tuhan. Tapi mereka yang memercaya alam semesta dengan segala hubungan sebab akibatnya menganggap bahwa hukum alam bekerja. Karena itu, topan Haiyan sebuah bencana yang jelas ada karena ada hubungan sebab akibatnya.

Beberapa hari lalu, saya membaca ucapan Karlina Supelli dalam pidatonya "Kebudayaan dan Kegagapan Kita", di TIM dalam wall Facebook teman. Bu Karlina menyampaikan, "Tanggung jawab adalah jalan sepi sang pemimpin. Dia bahkan tidak dapat membuang tanggung jawab pada kekuatan adidunia dan membawa-bawa Tuhan untuk menjelaskan bencana akibat kelalaian manusia.

.... Ilmu punya batas dalam berhadapan dengan misteri hidup. Tapi, sikap mudah bersembunyi dalam pernyataan saleh dan terdengar suci bisa menjadi tanda malas berpikir."


Saya tak mau dianggap sebagai orang yang malas berpikir. Maka, bencana buat saya adalah alam semesta dan hubungan sebab akibatnya yang bekerja. 



Palmerah, 13 November 2013

Rabu, 06 November 2013

Saya Menyukaimu, Tapi ...

Hai lelaki, kau bilang, "Aku menyukaimu."
Jawabku, "Tapi gimana dong, kamu sudah menikah!

Kamu sepertinya kecewa.

Lalu kubilang  : "Kita memandang  dari jauh saja ya?"
"Iya, nanti juga lama-lama hilang," ujarmu. "Datang dan pergi".

"Nah begitu dong? Jika kamu ingin tahu aku, datang saja ke sini," kataku.
"Di blog?"  katamu.
"Iya, kita bisa menangis dan tertawa di sini," ujarku.
"Aku memang mengagumi tulisanmu," katanya.

"Tulisan  menetap lebih  lama ketimbang perasaan kita,bukan?"
Kau mengangguk.



Kemanggisan, 5 Oktober

Untuk lelaki yang menyukai tulisanku, terimakasih ya?







Gengsi

Suatu hari saya ke Yogyakarta. Saya bertemu teman-teman dan menjumpai keganjilan dalam pertemuan itu. Misalnya, ada teman kantor lama bilang begini," Sekarang kerja  di mana?
Saya sampai mengernyitkan kening, heran dengan pertanyaan itu. Nggak salah nih orang. Tapi tidak cuma dia, beberapa orang yang saya temui menyatakan hal sama. Padahal saya tahu persis dia mengetahui kepindahan dan kantor tempat saya bekerja.

Tidak perlu waktu bagi saya untuk mengetahui bahwa seseorang itu  berpura-pura tidak tahu karena sesuatu alasan.  Gengsi atau mungkin malah menganggap saya tidak penting atau tidak mau mengakui bahwa seseorang lebih dari dirinya sementara seseorang masih berada di titik yang sama. Saya sendiri selalu merasa bahagia jika menemukan beberapa teman yang sukses. Malahan saya berkhayal kapan ya saya bisa punya karya seperti dia?  Mata  tajam saya mengatakan kadang-kadang orang memang sering tidak punya alasan apa-apa untuk enggan mengakui orang lain. Gengsi saja, titik.

Ada juga saya temukan beberapa teman,  enggan menghubungi temannya  karena berbagai alasan. Satu, dia  mungkin dia merasa lebih dari segalanya, kedua orangnya pasif, dan kemungkinan lain egonya begitu besar.  Saya sendiri kalau mau menghubungi orang kapan saja saya mau, lebih banyak karena alasan fungsional. Cuma, saya memang punya kelemahan, orangnya pasif. Bukan karena tidak butuh dengan orang lain atau sekedar gengsi.  Jadi jika suatu hari seseorang marah pada saya karena tidak bertegur sapa, sebenarnya saya bisa berkata sebaliknya. "Lho memangnya kamu juga pernah menghubungi saya?" Kadang-kadang orang terus-terusan menunjuk dan paling mengerikannya menuntut  orang lain, tapi tidak menyadari bahwa dia sendiri melakukan hal seperti itu. Tapi, ya begitulah ego manusia. Seperti yang kerap saya lakukan :)