Selasa, 29 Oktober 2013

Lelaki dan Aku

Untuk lelaki yang telah memberiku senyuman manis di sore yang basah, terima kasih
Untuk lelaki yang telah memberiku sebongkah harapan, salam manisku
Untuk lelaki yang pernah ingkar, tak apa, bukankah cuma matahari yang paling setia pada janjinya?



Kemanggisan, 29 Oktober 2013


Menuju Layar Lebar

Buku The Children of War yang dibuat dengan tim akan merambah ke layar lebar.  Gagasan memvisualkan buku ini sebenarnya sudah saya lontarkan kepada  pendiri FSAB, Jenderal Agus Widjojo  setahun lalu, sebelum pembuatan buku rampung. Idenya sederhana, narasumbernya  dari tangan pertama, pelaku sejarah tragedi 1965, peristiwa Mei 1998, DI/TII, kenapa tidak membuat film? Kaya cerita, kaya percikan sejarah,  dan langsung dari tangan pertama, tentunya akan dahsyat hasilnya. 

Daripada dilirik oleh sutradara lain, alangkah lebih baiknya jika forum ini sendiri yang menghasilkan film. Lantaran tenggelam dalam pembuatan bukunya sendiri yang berliku, saya sempat melupakannya. Hingga, pada suatu hari saya bertemu Bu Nani Sutojo. Pada Bu Nani, saya menceritakan keresahan saya, bahwa kisah rekonsiliasi anak-anak yang orangtuanya berkonflik ini tidak boleh berhenti di buku saja. Membaca,  menurut saya belum menjadi kebiasaan buat warga negara kita. Masyarakat lebih dominan "nyantol" dengan sesuatu yang divisualkan.

Seperti yang saya ceritakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, massa di negeri ini hanya menoleh pada tiga hal ini : bola, musik, dan film. Ini berdasarkan pengamatan saya dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, memfilmkan buku ini merupakan langkah tepat agar roh rekonsiliasi Forum Silaturahmi Anak Bangsa menyebar ke  seluruh nusantara. 

Bu Nani antusias menyambutnya. Dosen Universitas Atmajaya ini kurang lebih punya pendapat senada dengan saya. Jadi gayung bersambut. Apalagi, kata Bu Nani, tragedi 1965 pada 2015 mendatang berusia 50 tahun. Momen yang pas.


Nah, bedah buku The Children of War persis dilaksanakan pada 28 Oktober 2013 di Gramedia. Ini momen yang tepat. Bu Nina, Bu Nani, dan Mbak Ayu, saya ajak bicara mengenai rencana memfilmkan buku ini. Jawaban keempatnya pada gelombang yang sama. Setuju difilmkan. Saya lega. Ini baru langkah awal. Kami tim kecil, tim pejuang yang akan mewujudkan The Children of War. Semoga. Yaaaay....menuju layar lebar. Itu impian saya....Alam semesta, semoga berpihak pada kami semua. Untuk negeri tercinta.


Palmerah, ketika hujan

29 Oktober 2013

Rabu, 16 Oktober 2013

Makna Biasa-Biasa Saja

Waktu saya jadi reporter, paling sebal kalau dengar komentar orang yang saya wawancarai menjawab begini. "Biasa-biasa saja." Pertanyaann yang saya tujukan kepada mereka kira-kira begini. "Apakah adik (kakak/bapak/ibu)  merasa bahagia ketika memenangkan perlombaan ini? Begitu si nara sumber menjawab kata-kata biasa-biasa saja, biasanya saya langsung cemberut. Duh....rasanya pingin saya kruwes bibirnya. Kayak nggak ada jawaban lain saja. Kasar bener saya ya?   Tapi cuma omelan di pikiran, kok. Nggak serius he...he...he.

Waktu berlalu. Keadaan sudah berubah. Ketika belakangan ini saya mendengar Jokowi, Gubernur DKI Jakarta sering menjawab kata-kata yang dulu saya benci;  biasa-biasa saja- saya sekarang justru tersenyum. Kalau saya ada di sana, pasti pertanyaan saya selanjutnya kepada nara sumber adalah apa makna pernyataan Anda yang biasa-biasa saja itu?

Sudut pandang tentang makna biasa-biasa saja itu, berubah. Terutama sejak saya mengenal bahwa bahagia dan sedih itu sama saja. Berasal dari pikiran. Bahagia dan sedih, sama-sama sumber penderitaan. Biasa-biasa saja, jika direnungkan lebih mendalam mengandung arti semua hal tak perlu lebih tak perlu kurang. Melihat sebagaimana adanya. Jadi ...ya biasa-biasa saja. Coba kalau kita merenungkannya lebih dalam, yang biasa-biasa saja itu membuat batin kita akan terbebaskan. 

Tapi  dalam hidup kita akan mengalami letupan kegembiraan, kesedihan. Dia datang silih berganti. Letupan kebahagiaan kadang-kadang sering membuat kita merasa euforia. Tapi berapa lama letupan kebahagiaan itu bertahan? Tak lama bukan? Sama halnya dengan kesedihan, rasa frustasi, dan rasa kecewa yang datang silih berganti. Tak pernah menetap lama. Jadi, jika demikian mengapa kita harus melekati kebahagiaan dan kesedihan itu begitu dalam? Dia datang silih berganti. Jadi ya....mengutip kata Jokowi dan narasumber saya dulu. Biasa....biasa saja. :)


Kemanggisan, 16 Oktober 2013


Senin, 07 Oktober 2013

Berenang di Kedalaman 3,8 Meter

Ini pengalaman baru saya. Berenang di kedalaman 3,8 meter. Selama ini saya cuma berenang di apartemen yang saya tinggali. Dalamnya paling-paling cuma 1,2 meter. Hihi cetek banget ya? TApi cethek-cethek begitu saya bisa bisa mahir berenang di tempat ini lho. Belajar sendiri tanpa bantuan guru renang. Di sini pula saya memraktekkan gaya bebas dan gaya punggung. Cuma satu gaya yang belum saya lakukan gaya kupu-kupu. Jujur, saya merasa cukup bisa menguasai tiga gaya saja bebas, punggung, dan katak.

Ngomong-ngomong soal pengalaman baru ini, begini ceritanya. Ibu angkat kami anak-anak UNAIR, mengajak saya menginap di Hotel Borobudur. Ajakan itu saya terima dengan senang hati. Sembari ngobrol bisa berenang dan berendam. Beliau dokter rehabilitasi medis. Pas banget dengan kondisi tubuh saya yang tengah sakit punggung dan syaraf kejepit.

Renang dan berendam adalah obat paling mujarab untuk sakit saya. Maka berenanglah saya di tempat ini. Kolam renangnya luas dan kedalamannya bervariasi. Mula-mula saya cuma berani menyentuh di kedalaman 1,4 meter. Lalu bergeser ke 1,6 m. Tapi di angka 2,4 meter saya memilih melipir. Hiiii. Seram. Balik lagi di 1,6 m.

Datanglah Dokter Cicil. "Ayo ke yang dalam," katanya. "Saya belum berani, dok," jawab saya. "Mosok kalah ama anak 3 tahun," katanya. Saya terperanjat. Astaga! Benar! Mata saya menatap nanar pada anak kecil di sebelah saya. Ya, ampun. Memalukan. Tapi ditantang begitu, justru muncul keberanian saya. Di kedalaman 3,8 meter, saya pun byuuuuuuur. Berenang di kedalaman  3,8 meter. Woow. Mana pernah saya membayangkannya. Saya bisa. Tidak sulit. Semuanya cuma butuh keberanian. Seperti saat saya memutuskan pindah bekerja. Memilih pekerjaan yang saya sukai dan saya cintai. Memilih meninggalkan teman demi kebaikan bersama. Semua butuh keberanian.

Ah dunia saya makin berwarna. Dan yang terpenting....hidup ini belajar terus menerus. Setuju nggak?



Palmerah, 7 Oktober 2013