Rabu, 20 Februari 2013

Hijrah

Beberapa bulan lalu, saya tidak pernah membayangkan akan keluar dari Jogja, kota adem ayem, menyenangkan, dan segala sesuatunya serba tidak terburu-buru. Apalagi kepikiran pindah kerja. Jauh dari bayangan saya. Pindah kerja dan pindah kota sesuatu yang juauh banget tempatnya.


Sampai suatu hari di bulan November merupakan titik balik hidup saya. Tak terencana, berlangsung cepat dan terjadi  begitu saja. Awalnya, seorang teman,  mengajak saya bergabung ke sebuah stasiun televisi. Saya cuma manggut-manggut saja, tetapi juga nggak segera mengirimkan CV, misalnya. Selang beberapa hari seorang teman juga menanyakan pada saya apakah berniat pindah  ke Jakarta. Tak berselang beberapa lama, seseorang juga menawarkan pada saya untuk bekerja pada sebuah lembaga pengkajian dan penelitian.


Karena ajakan itu bertubi-tubi, saya diam sejenak dan memikirkan apa di balik semua ajakan itu. Saya menarik benang merah atas peristiwa demi peristiwa sebulan sebelumnya. Kesimpulan saya. alam semesta memberikan sinyal dan saya diajak untuk merespon sinyal-sinyal itu.


Saya mulai dari tempat bekerja saya yang sebelumnya. Sudah  10 tahun saya bekerja di sana. Saya sangat mencintai tempat itu sampai berdarah-barat, ibaratnya. (lebaynya). Tak pernah terpikir buat saya untuk hijrah ke tempat lain. Tapi ada kesadaran dalam diri saya yang berlangsung cepat. Tiba-tiba saya menanyakan pada diri saya, jangan-jangan saya terlalu melekat pada tempat ini. Kalau saya demikian melekatnya dengan tempat ini kenapa saya tak mencoba melepas kemelekatan ini?


Kedua, soal kota yang akan saya tinggali. Saya beralasan Jakarta tidak akan pernah saya rambah karena macet, ruwet, bikin sumpek, dan lain-lain. Jelas ini sesuatu yang tidak menyenangkan untuk saya. Padahal orang yang batinnya bebas tidak lagi membedakan mana yang menyenangkan, mana yang tidak. Semua sama. Justru, melatih kesabaran itu harus diuji di tempat yang tidak menyenangkan. Jakarta, tentu tempat yang tepat untuk itu.


Akhirnya saya memilih merespon sinyal alam semesta. Saya yakin, berpindah kantor dan berpindah kota adalah keputusan yang tepat untuk hidup saya. Sebuah langkah berat, tetapi saya memilih berada di sana, untuk melihat ke dalam batin saya lebih jauh. Bagaimana reaksi batin saya ketika berada di tempat yang baru, dunia yang masih begitu asing untuk saya. Juga kota yang pernah membuat saya trauma.


Semula saya bekerja di  Lembaga Pengkajian dan Penelitian yang dibidani oleh seorang Jenderal Reformis. Terus terang saya ingin belajar soal Leadership di sana. Lembaga itu kelak akan mencetak kader-kader muda Indonesia dan membuat Leadership Center. Sungguh menarik buat saya. Baru lima hari saya di sana, stasiun televisi menyatakan saya diterima. Saya bimbang. Pasalnya, kantor lama tetap memberikan kesempatan pada saya untuk tetap berkarya, mengingat posisi saya bukan karyawan tetap. Pada saat yang lain, sebuah tawaran dari teman yang sangat baik juga mampir dengan posisi yang menantang untuk saya. Semua tempat baik, semua posisi sungguh menantang.


Pada akhirnya saya memilih di Kompas TV, stasiun televisi yang masih berusia dua tahun dengan berbagai pertimbangan yang matang. Lembaga itupun saya tinggalkan dengan berat hati. Rekor saya bekerja begitu singkat, lima hari. Tempo, media yang sudah membesarkan saya akan terus ada dalam jiwa saya. Militansinya, idealismenya. Sejarah menurut saya adalah peristiwa yang kita buat pada hari ini. Saya telah memiliki sejarah bersama Tempo selama 10 tahun. Saya tumbuh bersamanya. Membentuk karakter jurnalistik saya. Orang-orang yang begitu saya hormati dan cintai Mas GM, Bang Amarzan, Mas Toriq, Mas BHM. Suasana kekeluargaan yang dibangun teman-teman dalam keseharian sungguh membawa nafas tersendiri. Di antara deadline yang ketat, di antara wajah-wajah kusut, keceriaan dan kekonyolan mewarnai. Tempo buat saya adalah keluarga kedua saya. Mbak Ninil, Bagja, Sunu, Mas AZ, Mas Daru, Rina,  dan masih banyak teman-teman Tempo, tempat saya berkeluh kesah.


KompasTV, Tempo atau lembaga, bagi saya tempat yang memberikan keleluasaaan kepada siapapun  untuk berkarya bagi kemaslahatan orang banyak. Untuk publik, demi republik, maka kini saya serahkan jiwa dan raga saya sekarang ini di Kompas TV. Saya percaya, di sini pun saya akan melebur bersamanya. Dengan batin yang bebas.


Jakarta, 20 Februari 2013.

Kamis, 14 Februari 2013

Hot Chocolate, Donat, dan Nicholas Saputra

Sudah tujuh tahun lalu sejak saya meninggalkan ruangan kerja dan memiliki kantor yang sesungguhnya. Kalaupun dulu saya memiliki kantor, maka lebih kerap "ngider" di luar kantor. Saya banyak menghabiskan waktu mengejar  nara sumber dari satu instansi ke instansi lainnya. Mengejar topik ini, besoknya bisa berubah topik lain. Rasanya rada ganjil  ketika saya menyadari bahwa tujuh tahun kemudian saya berada di ruangan ini, memiliki ruang kerja, bertemu dengan banyak orang, televisi yang terpampang non stop di belakang punggung saya. Heeemmm. Mestinya saya terganggu ketika saya berada di suasana yang benar-benar berbeda. Perbedaan yang mencolok, misalnya, dalam keseharian, saya tak penah menonton televisi barang seiprit pun dalam beberapa tahun terakhir.
Tapi untunglah beberapa obyek yang serba asing ini tak memengaruhi
saya. Saya sudah terlatih mendengarkan semua obyek yang berseliweran. Jadi, suasana seberisik apapun tak mempengaruhi saya. Barulah saya menyadari meditasi yang membiarkan semua obyek masuk itu memang benar adanya, terutama ketika masuk dalam kehidupan yang sebenarnya.

Pagi kemarin, dua hari lalu, merupakan hari pertama saya bekerja dalam arti yang sesungguhnya. (jika bekerja itu identik punya kantor dan ruang kerja). Baru meletakkan pantat ke kursi sebuah lambaian tangan mengajak saya bergabung. "Ayoo kesini, masuk aja." Dengan muka penuh tanda tanya, saya masuk ke ruangan. Wow sudah ramai. Rupanya ada hot chocolate dan donat dari starbucks untuk para kru di kantor saya. Pagi itu ada radio yang mengunjungi kantor-kantor televisi. Oh...begitu toh.

Coba bayangkan di hari pertama kerja, mendapat hot chocolate, minuman kesukaan saya plus donat obat selingan sebelum makan siang. Olalala. Nikmat betul pagi pertama di hari saya bekerja. Saya memilih berbalik ke ruang kerja saya, tentu bersama  segelas chocolate dan donat.

Saya menghadap ke salah satu ruangan, biasanya tempat para tamu yang akan mengisi acara di televisi. Tengah asyiknya mengudap donat dan hot chocolate, sesosok bening melintas di depan meja saya. O ...o. Ahai Bening, semriwing, bikin mata bling-bling. Yup. Sosok itu Nicholas Saputra, aktor film yang cukup laris di blantika perfileman Indonesia. Saya nggak ngefans banget sih sama doi. Cuma, bolehkan kalau pagi saya di hari pertama bekerja saya katakan begitu sempurna. Hot chocolate, donat, dan Nicholas Saputra. Ting ting. Sudah cukup untuk bikin saya agak bersemangat sedikit hehehe.


Jakarta, 14 Februari 2013

Rabu, 06 Februari 2013

Pindahan

Dan hari itu datanglah. Boyongan ke Jekardah, kata plesetan orang bule memplesetkan Jakarta, kota Metropolitan Indonesia. Dari kota yang nyaman, menyenangkan, nggak macet (kecuali kawasan Malioboro-lah yauw, apalagi hari libur) yakni  Yogyakarta,  saya justru "nekat" ke Jakarta. Beberapa teman sempat menggelengkan-gelengkan kepala. Nggak habis pikir dengan keputusan saya yang mendadak ini. "Udah enak-enak di Jogja kok, malah cari masalah. Nggak takut klelep, nggak sebel macet." Itu kata mereka.

Tentu saya tak mengelak. Masalah Jakarta, bukan cuma macet dan banjirnya. Harga-harga makanan yang jelas nggak masuk akal menurut ukuran kantong Jogja menjadi masalah buat saya. Sepekan lalu, saya  masih terkaget-kaget ketika seorang teman mengajak saya minum, catat; hanya minum saja,  segelas teh panas, kopi dan minum soft drink, teman saya merogeh kocek Rp 146.000. Bikin semaput. Duh, untung bukan saya yang bayar hehehe.


Di luar dua hal tadi, masalah krusial  tinggal di Jakarta adalah memelihara batin kita. Bisakah batin ini tak terpengaruh ketika masalah besar menghadang? Mampukah  memelihara kesabaran ketika menghadapi situasi tak menyenangkan? Saya sendiri belum tahu. Berapa lama saya bertahan? Seberapa kuat saya menghadapi masalah besar yang menghadang di depan mata? Toh, akhirnya saya pindahan ke Jakarta.



Jakarta, 5 Februari 2013.