Senin, 16 Juli 2012

Panitia Meditasi

Sebulan ini saya menjadi panitia penyelenggaraan meditasi di Muntilan, Magelang. Panitianya ya cuma saya sendiri. Wong tugasnya ringan. Cuma menerima telepon dari peserta yang ingin ikut, mengirim dan menjawab SMS, mengirimkan email formulir pendaftaran kecalon peserta,  menerima kembali formulir, mencatat siapa yang akan hadir, lalu mengirimkan semua resume kepada pembimbing meditasi, Romo Sudrijanta.

Saya tidak merasa terbebani atau merasa kerepotan. Seperti orang bernafas saja. Otomatis mengirup udara lalu mengeluarkannya. Sampai H-5, peserta sudah mencapai 35. Not bad-lah, mengingat persiapan cuma sebulan kurang. Bisa jadi saya tak terlalu kerepotan lantaran sejak tiga tahun terakhir ini, saya menjadi peserta retret. Jadi sudah tahu gambarannya seperti apa.

Jujur saja, dulu saya kerap ada dalam kepanitiaan berbagai kegiatan. Seminar nasional, retret, acara tahun baru dll. Saking banyaknya saya sampai lupa.  Tapi dulu kayaknya repot banget, sampai lupa waktu, rapat sampai malam hingga dini hari. Tapi hasilnya ya begitu-begitu saja tuh. 

Pada saat bersamaan ini,  saya juga mengadakan arisan beberapa grup. Mengumpulkan dana, menghubungi teman-teman. Herannya kok juga tidak merasa terbebani. Jawabannya, saya memang suka melakukannya dan berada dalam kesadaran. Tidak merasa terbebani. Jadi enjoy saja. 


Yogyakarta, 17 Juli 2012

Pukul 10.53

Selasa, 10 Juli 2012

Jalan kaki dan belanja


kampanye jalan kaki di jogja

Setelah renang, senam, dan jogging, saya dan teman Ela mulai mengaktifkan kaki untuk aktifitas radius  1 kilometer. Kami memulai jalan kaki untuk membeli keperluan belanja. Luma yan  jauh jaraknya. Kira-kira sekilo jauhnya. Jadi pulang pergi dua kilometer. Selain berkeringat, tubuh ini rasanya segar.

Hari-hari sebelumya, kami kemana-mana naik motor. Makan yang jaraknya cuma 300 meter saja kami naik motor. Ada beberapa alasan kami menggunakan kaki. Pertama, dengan naik motor maka  kami telah menyumbang polusi udara. Kedua, boros menggunakan bahan bakar minyak. Menurut data (saya lupa sumbernya), Indonesia cuma punya cadangan minyak mentah  tinggal 23 tahun lagi. Tidak ada salahnya bukan kalau mulai melatih diri berhemat sampai akhirnya negeri ini benar-benar kehabisan cadangan minyak. Ketiga, ini yang menurut kami paling penting, alasan kesehatan. Berjalan kaki menggerakkan hampir seluruh badan. Badan rasanya segar.


Begitu jalan jauh, terasa badan ini lebih lentur. Punggung saya yang biasanya sakit, juga lumayan membaik. Kenapa nggak dari dulu-dulu saya praktekkan ya. Yang paling penting dari semuanyaadalah semoga kami berdua konsisten. Bukan hangat-hangat tai pitik hehhe.

Yogyakarta, 10 Juli 2012

Minggu, 08 Juli 2012

Puding Pepaya

Pernah lihat pepaya didalamnya ada puding?.Wah rasanya enak banget. Saya bisa bikin pudding, tapi yang dikombinasi dengan pepaya belum pernah tahu. Saya temukan puding berbalut pepaya ini di sebuah pesta rakyat Solo. Pesta rakyatnya sederhana. Di sebuah lapangan besar, pengunjung tak begitu berjubel, tapi variasi barang yang ditawarkan beraneka ragam. 

Saya memang paling doyan mendatangi pesta rakyat semacam ini. Pertama, saya rakyat biasa. Kedua, saya bisa mengetahui kreatifitas masyarakat Indonesia dalam  menciptakan ide baru dalam hal  camilan, baju-baju, batik, asesoris.  Ketiga, saya bisa menyantap makanan di sana, sembari ngobrol dengan pemiliknya. Tanya ini, tanya itu. Interaksi semacam ini sungguh mengasyikkan. Ada kekeluargaan di sana, tidak kaku.  Serasa lebih membumi.  Kami antara penjual dan pembeli bisa saling menyapa,  ngobrol ngalur ngidul tentang banyak hal. Pokoknya  asyik ciamik.


Puding pepaya itu dijual sangat murah,  Rp 1500 yang ukuran kecil. Untuk ukuran besarnya,  Rp 2500. Mengapa saya bilang murah? Karena rasa enak yang diberikan tak sebanding dengan harganya. Jadi saya bilang terlalu murah.  Pudingnya warna hijau dengan tambahan santan. Puding jadi tidak begitu enek karena dibaluti pepaya.

Begitu luar biasanya Indonesia ini. Makanan apa saja bisa ditemukan dan dijadikan macam-macam makanan yang punya nilai jual. Tapi dengan kekayaan yang dimiliki ini, kenapa negara ini masih miskin ya? Ah sudahlah...membahas negara miskin dan segala permasalahannya, malah bikin puding jadi tak enak. Mari kita bicara puding saja. :)


Selagi menjajal puding pepaya, pemilik lapak menawari saya minuman teh. "Dijamin enak mbak, tehnya  sangat lain," kata dia. Tuh kan, nongkrong itu bisa kemana-mana dapetnya. Ya ilmu, kenalan baru, dan sajian teh. Saya penasaran. Teh bukannya rasanya begitu-begitu saja. Saya pun menerima satu cangkir teh itu. Begitu saya coba. Alamakjan. Sepertinya itu teh terenak yang pernah saya cicipi  selama ini, deh. Mau tahu rahasianya? Dengan sedikit membujuk, saya minta rahasia teh enak itu. Ternyata ada empat merk teh yang di oplos menjadi satu. Nah, oplosannya apa, "Itu rahasia," kata si ibu. Oke baiklah. Minimal saya cukup tahu sebagian kecil rahasianya. Jadi akan saya praktekkan di rumah.

Entah kenapa dari dulu saya punya mimpi punya restoran sendiri. Siapa tahu ilmu yang saya peroleh hari itu  kelak ada manfaatnya.Misalnya, bisa mencipta teh dengan rasa terbaik hehehe.

Begitu  pulang ke rumah,  ada semangat baru untuk membuat karya. Kalau mereka punya ide segudang, apa ya yang bisa kubuat untuk Indonesiaku. Minimal saya melakukannya untuk siapa saja yang membaca tulisan ini. Iya kan? Hehehe



Yogyakarta, 9 Juli 2012


Puku; 11.33

   

Makanan Sela

cendol hitam di kebumen. enak banget
Kita mengenal makanan pagi, siang, dan malam. Tapi saya menambahkan makanan sela di antara tiga makanan pokok itu. Mengapa makanan sela? Karena memang dia bukan termasuk jenis menu untuk makan pagi, siang, atau malam. Makanan ini di sela-sela makanan utama kita. Berapa banyak makanan sela yang kita miliki? Saya menyebutnya antara lain bakso, gado-gado, lotek, rujak cingur, empk-empek, tahu tek, tahu campur, tahu gejrot. Belum lagi minumannya. Ada cendol, es campur, es dong-dong, es serut. Weleh buanyak banget.  




Makanan tradisional yang  Indonesia miliki  begitu beragam, enak-enak, dan sangat khas rasa dan aromanya. Belum lagi makanan utama seperti nasi goreng, sate kambing, nasi gudeg,  gule kambing, rendang. Tapi yang sungguh mengherankan, kata Profesor Glinka SVD, guru besar antropologi ragawi dari Universitas Airlangga, dengan banyaknya jenis makanan yang Indonesia  miliki dan rasanya enak-enak, ternyata  KFC dan Mc Donald masih laku. "Saya tidak tahu dan belum ketemu jawabannya," ujar Prof Glinka yang asal Polandia.



Kok saya sepakat dengan pendapat beliau. Ada apa dengan masyarakat kita ya? Termasuk saya yang masih sesekali menyantap Mc Donald.  Mc Donald rasanya begitu saja. Nggak ada yang istimewa. Coba kalau kita menyantap rendang, misalnya. Berapa banyak macam bumbu untuk masakan rendang. Konon semua bumbu yang ada di dapur kita adalah bumbu memasak rendang. Jumlahnya lebih dari 15 macam, mulai dari rempah-rempah sampai bawang merah, bawang putih, laos dan kawan-kawan. Betapa kaya rasa masakan itu. Sementara ayam goreng? Paling banter juga lima jenis  bumbunya.

nasi liwet solo kesukaan saya. masih pake pincuk makannya

Tapi kenapa Mc Donald dan KFC tak pernah sepi pengunjung? Ada yang tahu jawabannya? Kalau saya  sih menduga orang datang ke Mc Donald karena membeli image, membeli gengsi, membeli tempat. Tidak ada hubungannya dengan  rasanya yang enak. Wong makanan yang kita miliki jauh lebih enak kok. Mau sharing di sini?



Yogyakarta, 9 Juli 2012






es lilin. favorit saya waktu kecil. untung masih ada sampai sekarang



Panggung Catwalk dan Dunia Nyata Kita

Jumat pekan lalu saya menghadiri Jogja Fashion Week di JEC. Perhatian saya justru bukan di panggungnya yang gebyar gebyar, tapi aktivitas di belakang panggungnya. Apa yang dilakoni para modelnya? Bagaimana mereka berdandan? Interaksi mereka dengan sekitarnya. Kesibukan para pemakai dress, perancang busana dengan para modelnya.

Dan benar saja. Riweh banget. Apalagi menjelang pementasan berlangsung. Koreografer sibuk mengarahkan  para model, petugas bolak-balik mengabsen yang belum jua pepak jumlahnya. Si model cari-cari baju yang akan dipakai tapi belum jua ketemu  perancang busananya. Setelah ketemu, baju yang dikenakan beda dengan rencana semula. Nah, begitu musik diputar menjelang pementasan, nyaris hampir  setiap pribadi punya tegangan tinggi. "Ya gampang marah, nervous, pokoknya hectic banget," kata seorang model, Valentina Pramudita.

Lain panggung belakang, lain panggung depan. Begitu mereka berhadapan dengan penonton, langsung saja kemarahan dan keribetan itu menguap. Gantinya, wajah senyam senyum, kadang-kadang terlihat gigi dan senyum lebar mereka yang bikin mak nyesss dada ini. Pula tubuh lenggak lenggok lemah gemulai, dengan dandanan elegan plus baju yang dikenakan "wah" banget. Semua terlihat sempurna. Penonton pun bertepuk tangan untuk kesempurnaan itu.

Saya memaknai  dunia panggung dan belakang panggung itu dalam dunia keseharian kita. Dunia nyata. Betapa  kerapkali kita mengenakan  topeng kita setiap hari seperti model  catwalk di panggung. Serba sempurna, indah, nyaris tiada cacat. Padahal begitu masuk dunia nyata woooww  tak semudah dan seindah itu. Itulah dunia di belakang panggung. Dunia yang sebenarnya. Siapa yang tahu di balik perkawinan  sempurna, mobil bagus, rumah bagus, jabatan bagus, ternyata mereka tak pernah berkomunikasi satu sama lain, pisah ranjang, utang menumpuk. Siapa pula mengira di balik perkawinan yang terlihat bahagia, tampak dari luar, mereka dipusingkan kartu kredit dengan utang ratusan juta rupiah. Siapa yang tahu, di balik kesempurnaan itu, kehidupan seksual pasangan itu seperti sayur tanpa garam. Hambar dan kering. Yang satu doyan seks, pasangannya  nggak. Akhirnya "jajan" kemana-mana. Selingkuh kemana-mana.


Siapa yang tahu pula  di balik perkawinan bahagia ada kesenjangan materi antara suami dan istri yang mengganggu hubungan perkawinan mereka. Belum lagi persoalan perbedaan karakter yang sulit disatukan. Yang satu rapi, satunya sembarangan. Satunya sukanya ke mall, pasangannya suka menyepi. Satunya doyan menghamburkan uang, pasangannya begitu pintar menyimpan uang. Satunya dominan, pasangannya ngalahan. Keributan kecil akhirnya menjalar kemana-mana.

Itu dunia pernikahan. Siapa mengira bahwa seorang pejabat politik yang begitu memukau banyak publik tetapi melakukan kekerasan dalam rumah tangga dengan sang istri. Seorang perempuan atau laki-laki dengan tampilan cashing baik jabatan tinggi tetapi mengidap penyakit HIV. Siapa yang juga tahu, ketika seseorang menikah dengan pasangannya, ada hati yang menangis karena pernikahan itu terjadi karena merebut pacar, suami, atau istrinya. 


Sialnya, kita kerap membicarakan orang lain, sementara diri sendiri sebagai pelakunya. Begitu banyaknya persoalan yang menimpa diri ini, tetapi masih sibuk mengurusi orang lain. Misalnya, ada teman yang saya tahu jelas pernikahannya bermasalah, masih sempat-sempatnya dia menanyakan,"Kenapa kamu nggak menikah? Enak lho menikah itu. Punya anak.Kok nggak laku-laku" Atau saya juga tahu pernikahannya bermasalah, masih sempat-sempatnya bilang. "Tidak menikah itu bikin sakit kanker lho." Welah. Lha kalau banyak saya temukan orang menikah itu kena kanker...terus itu kategorinya apa?

Yang paling bikin saya mangap ketika ada teman juga bilang "Jadi suster saja, ketimbang nggak laku." Padahal saya juga tahu pernikahannya juga nggak bagus-bagus amat. Lagipula, pemikiran bahwa orang sendiri itu harus menjadi biarawati itu, pemikiran tolol. Memangnya, kesendirian itu harus menjadi biarawati. Memangnya biarawati itu manusia sempurna?


Meski saya tahu dunia sesungguhnya begitu ruwetnya, banyak orang  memilih pura-pura bahagia meski tahu sesungguhnya kenyataannya tidak begitu. Ada pula seseorang yang tidak tahu kalau dirinya  tidak bahagia, tetapi menganggap dirinya baik-baik saja. Itu lebih kacau lagi. Akhirnya mereka depresi.

Ketika segala sesuatunya  tak tertahankan selama bertahun-tahun ledakan pun muncul. Seseorang depresi bahkan bisa berujung kehilangan kewarasan.  Seperti para model di dunia panggung. Ketika dia  turun panggung tak menyadari bahwa panggung hanyalah panggung, maka kelak di dunia nyata dia seperti layang-layang putus. Kehilangan arah. Tapi kalau dia menyadari bahwa panggung hanyalah panggung. Begitu dia turun panggung, menjadi dirinya kembali tentu  dia tak akan kehilangan dirinya.

Dalam dunia meditasi yang saya ikuti bahagia atau sedih itu sama-sama sumber penderitaan. Orang akan bebas dari penderitaan kalau pikiran dan aku -nya lenyap. Bagaimana caranya? Ya melatih kesadaran dari saat ke saat.


Yogyakarta, 9 Juli 2012

Pukul 08.25



Rabu, 04 Juli 2012

Pinus



Pucuk pinus menjulang tinggi. Daunnya kecil-kecil lembut. Indah dipandang mata. Apalagi kalau baris berjejer. Pepohonan pinus sebenarnya ada di mana-mana. Tapi begitu melewati Kabupaten Cilacap, jejeran pinus itu sungguh memikat hati saya.



Segera saja, saya meminta sopir mobil menghentikan perjalanan kami. Bersama adek saya Kristo, kami berdua memotret pinus-pinus yang berjejer. Menikmati batangnya yang menjulur hingga leher kami terdongak ke atas. Jauh sekali. Di sela-sela pohon, langit cerah. Cantik.


Setelah puas menikmati pinusnya, tak lupa memotret diri. Sungguh narsis. Tapi ciamik, kawan memotret diri berlatar belakang pinus. Bagi saya berwisata tak harus menuju tempat-tempat hebat. Pinus-pinus yang meneduhkan ini sudah membuat perjalanan melancong juga terasa indah. Coba saja kalau tidak percaya.


Yogyakarta, 5 Juli 2012

Senin, 02 Juli 2012

Nusa Kambangan (2)

lorong karang
pantai karang bolong. tuh karena ada bolongan di ujung pulau kecil itu
wisata sebanyak ini mana cukup sejam. Jadi saya pasti akan kembali




Nusa Kambangan (1)

Nusa Kambangan, jelas saya tahu,  tempat para narapidana "dibuang" ke sini. Ada Tommy Soeharto, Bob Hasan dll. Tapi karena cuma mendengar namanya yang kesohor dan identik dengan kejahatan, maka saya sampai melupakan pertanyaan ini.  Pulau Nusa Kambangan itu kayak apa sih wilayahnya, pulaunya ada orang atau tidak, bagaimana kalau mau kesana?

Sampai Sabtu, pekan kemarin saya datang ke Cilacap. Sebenarnya tujuan utama saya menghadiri pernikahan sahabat saya Lutfi dan Yudi. Tapi seperti kata pepatah, "sekali mendayung dua pulau terlampaui" jadi mengapa saya tak mengintip Nusa Kambangan yang tersohor itu sekalian?



Tak sulit mencari Nusa Kambangan. dari Kota Cilacap cuma 6 kilometer jauhnya. Begitu tiba di sana, pemilik perahu tradisional sudah menawari kami menyeberang Nusa Kambangan. Dari daratan, Nusa Kambangan seperti perawan yang kesepian. Kalaupun ada penduduk di sekitar itu, mereka menjual makanan dan minuman air degan saja. 



Laut yang mengitari Nusa Kambangan jernih meski  berwarna agak coklatan. Jelas tak sebiru laut di sekitar Pantai Pasir Putih Lampung yang agak mirip dengan Nusa Kambangan.


Dengan waktu tempuh sekitar 15 menit dari daratan ke Nusa Kambangan,  lumayanlah perjalanan saya  menikmati air, kilang minyak, dan tentu langit. Biaya menyeberangnya nggak terlalu mahal lho. Satu orang Rp 20.000 cuma diisi saya dan teman. Kalau sama rombongan banyak biayanya Rp 15.000. Cukup ramah buat kocek-lah. 



Ketika kami mulai menyeberang pukul  17.00 saya cukup kaget bulan sudah mulai kentara. Jadi dari perahu itu, mata saya bergantian menengadah ke langit dan ke laut. Aih elok benar. Sempurna betul perjalanan singkat ini.

Begitu tiba di pulau, nyaris tak ada apa-apa. Ada goa di atas pulau itu. Tapi karena sudah menjelang Magrib saya urungkan niat. Tak sampai sejam saya berkeliling  Nusa Kambangan. Ada banyak titik yang belum terexplorasi. Meski begitu saya tetap puas. Perjalanan ke  Nusa Kambangan berjalan lancar. Saya pasti akan kembali.






Yogyakarta, 2 Juli 2012

Pukul 11.10


Lutfi Menikah

Seorang sahabat menikah. Lutfi namanya. Dia teman sekos saya kala di Jogja. Teman bobo bareng, makan bareng, main bareng, dan dongggg....dandan bareng. Rumahnya di Sidareja, sejam dari Cilacap kalau  jalanan normal. Lantaran ada perbaikan jalan, perjalanan molor jadi dua jam. Jarak Jogja-Cilacap  dengan kendaraan sendiri mencapai 5 jam. Apes memang karena di Kebumen, juga sedang perbaikan jalan. Total perjalanan yang saya tempuh tujuh jam. 

Berangkat umun-umun sekitar pukul 5.30 saya tentu bersemangat sekali. Membayangkan, seperti apa ya kalau dia menikah? Penasaran. Umur Upichan, saya biasa memanggilnya begitu, jauh di bawah saya. Meski begitu, dia juga memanggil nama saya tanpa embel-embel "mbak". Entah kenapa, saya suka betul dan merasa nyaman. Memang dia memanggil nama kesayangan saya "Yuyiiit". Dengan panggilan itu kami  merasa  setara tanpa ada diskriminasi usia. Usia tua kadang-kadang mengintimidasi saya jika berhadapan dengan mereka yang jauh lebih muda. Hehe.


Perkenalan kami yang sesungguhnya  cukup unik. Kami sama-sama satu kos meski tanpa janjian. Dia wartawan sama seperti saya tapi belum kenal satu sama lain. Dia kaget satu kos dengan saya dan sudah kadung menerima informasi bahwa saya sombong. Hihihi. Jadi selama enam bulan itu, baik saya dan dia sama-sama cuma ber-hai-hai tanpa pernah ngobrol bareng. Basa basi banget. Tapi waktu tidak pernah berdusta. Alam semesta mempertemukan kami pada buku dan film. 


Di sebuah sore, kami berpapasan di gang kos dan mengobrol-lah kami tentang sebuah buku.  Saya cukup terkejut semuda dia referensi buku dan filmnyanya banyak. Jadi nyambung deh.  Dari diskusi buku dan film ini, pertemanan kami menjalar kemana-mana. Nonton bareng,  belanja bareng, macak (dandan) bareng, sampai mendengarkan Ebiet G Ade bareng. 




Kesukaan kami juga nyaris sama. Misalnya, kami berdua sama-sama suka coklat sore-sore atau nge-teh di pagi hari berteman lagu Ebiet G Ade. Pernah lho suatu sore hujan turun rintik-rintik, lagu Ebiet mengalun, berteman  coklat, kami berdua sama-sama diaaamm. Lama sekali. Terus...ketika kami sama-sama membuka mulut nyerocos memuji syair Ebiet yang begitu dahsyat. Dan menyerempet ke soal lelaki yang tak kunjung jua kami temukan. Setelah itu kami berdua tertawa  lepas. Saya rasa, itulah momen indah pertemanan kami berdua selama hampir dua tahun kos bersama.

Karena saya suka memasak, sementara dia tidak, maka dia yang menjadi "korban" icip-icip masakan saya. Saya punya menu yang katanya dia suka. Martabak mie keju. Jadilah menu itu trademark" di kos. Itu menu makanan yang saya karang-karang sendiri. Tapi kok ya enak ya? Hihihihi.

Dari semua persamaan makanan, buku,dan film, saya mengenal pribadinya yang lucu. Mungkin begitu juga dia menilai saya. Alhasil, ketika bersama,  kami lebih banyak tertawa.  Tapi kami juga sama-sama naif, kadang-kadang. Terutama bicara soal laki-laki. Hingga saya tahu kemudian, setahun setelah berpisah, dia menjadi wartawan The Jakarta Post di Jakarta, dia tak lagi naif soal laki-laki. Dia lebih maju dari saya dalam hal laki-laki. Dia berani memilih lelaki pilihannya untuk berbagi bersama, sementara saya tidak. Saya masih menulis, dan saya masih sendiri. Tapi saya rasa,  sama menyenangkannya dengan pilihannya untuk  menikah.  


Entahlah, apakah kami kelak masih bisa traveling bareng meski dia sudah punya momongan atau suami.  Atau   masihkah kami bisa tidur bersama ngobrol sampai pagi untuk berbagi cerita tentang persahabatan. Saya sadar kemungkinan ini akan kecil lantaran dia kini punya label "milik orang lain." Cuma waktu yang bisa menjawabnya. So...Selamat menjadi bagian dari "penjara kecil" yang semoga bisa membahagiakanmu, Upichan. Bahagia melihatmu berani memilih Yudhi, sebagai bagian dari hidupmu.  




Yogyakarta, 2 Juli 2012 


Pukul 20.02





Dan kini dia sudah milik orang lain.

Minggu, 01 Juli 2012

Rencana Live In (2)

Rencana live in saya nanti tentu tak seperti yang saya lakoni di bangku kuliah dulu. Live in yang saya maksudkan adalah pergi ke suatu tempat,  kemungkinan besar  kawasan Borobudur, Magelang. Saya berencana nge-kos di sana selama sepekan. Ada tiga hal yang ingin saya kerjakan di sana. Menulis, jogging, puasa, dan meditasi :)

Semoga sepulang dari sana, tubuh lebih segara dan konsistensi menulis tetap terjaga dengan baik. Karena ini yang saya perlukan belakangan ini. Ada yang mau gabung dengan saya?


Yogyakarta, 1 Juli 2012