Senin, 30 April 2012

Reuni

reuni teman SMA
Apa yang paling manis dari reuni? Satu memelihara kenangan. Alasan lainnya? Diri kita tahu berada di titik mana dibandingkan yang lainnya. Begitu juga mereka. Nah, kayaknya hal terakhir deh yang membuat orang sering penasaran dan datang ke reuni.

Obrolan reuni pun berkisar soal anakmu berapa, suamimu kerja dimana? Malahan ada juga lho yang sempat-sempatnya bertanya kamu sudah punya apa saja hehehe. Nanti kalau ada yang  belum menikah seperti saya (hihihi) pertanyaanya juga std. Kenapa belum menikah? Mikir apa lagi  sih? Nah di belakang saya bisa jadi obrolannya jadi begini. Kasian ya dia belum menikah? Kenapa ya dia nggak laku-laku? Hahahaha. Saya tahu kok. Kok ya want to know aja.

Nah, kalau dalam kelompok itu ada yang sudah pisahan dengan suami atau istrinya, ada juga yang tanya langsung, ada yang juga bisik-bisik di belakang. Ih ...dia sudah cerai lho. Kasian ya? Yah begitulah reuni. Bahagia diomongin, sedih juga diomongin. Mungkin  karena cuma dua hal itu pilihannya?

Ada pula motif reuni untuk menjajakan dagangan. Tentu karena yang bersangkutan pedagang. Jadi berharap teman-temannya bisa membeli dagangannya. Reuni akhirnya jadi ajang networking. Lu butuh apa gue sediakan deh. Selagi kedua belah pihak merasa diuntungkan oke-oke aja kan?

Tapi ada juga yang reuni berbuntut perselingkuhan. Karena saya dari SMA cewek semua, jadi temen-temen reuni homogen. Peluang untuk selingkuhan mana ada hehhee. Nah ngomong-ngomong reuni berbuntut selingkuh ini, saya dapatkan cerita ini dari seorang teman. Saking ruwetnya,  perselingkuhan itu kayak benang bundet. Ruwet wet wet. Cerita persisnya seperti apa, saya bahkan tidak sanggup menceritakan. Selain tidak perlu juga malah membuka peluang orang untuk berselingkuh. Hehehe.


Pengalaman saya sendiri dari ajang reuni malah bertemu beberapa orang yang semula tidak karib menjadi karib. Yah saya ambil sisi positifnya. Tapi ada juga cerita  teman saya dari ajang reuni malah membuat tak nyenyak tidur  karena si A  sudah punya ini sudah punya itu. Wah kalau ujung ceritanya begitu, berakhir sirik dan iri, sebaiknya berpikir ulang deh untuk reuni. Hehehehe.


Yogyakarta, 29 April 2012

Pukul 2.45

Minggu, 29 April 2012

Serendepity

Serendepity artinya ketidaksengajaan yang menguntungkan. Ini sebuah judul film bertahun-tahun lalu. tapi menjadi salah satu koleksi film favorit saya. Ini kisah klasik dengan genre romantis berbumbu  komedi. Cemen banget ya. Sekali-kali begitu ndak dosa kok.

Ceritanya Sarah dan Jonathan bertemu ketika mereka akan membeli sarung tangan. Sarung tangan cuma satu, tapi mereka berebut ingin mendapatkan sarung tangan yang sama. Segitu sederhananya semesta ini mempertemukan mereka. Blipppp....berpandangan. Mata ketemu mata...senyum dibalas senyum malu-malu. Ciela. Tapi konon ketika takdir  seseorang akan bersama, maka apapun rintangannya pasti juga akan bersama.  Percaya nggak kalian dengan itu? Ada pula yang berujar begini. Dalam hidup, seseorang  hanya  mencintai satu orang dalam hidupnya. Begitukah?

Meski sama-sama punya kekasih, cinta pandangan pertama membuat mereka sama-sama jatuh cinta. Pertemuan di mall itu pun berlanjut di cafe Serendepity.  Semesta seakan-akan berada di pihak mereka. Terikat erat dan tak terpisahkan.

Tapi Sarah, seorang psikolog,  selalu menganggap segala sesuatu pada alam semesta ini ada tanda-tandanya. Maka, ketika pertemuan tanpa meninggalkan nama dan alamat itu dipertemukan kembali gara-gara barang mereka tertinggal di Serendepity, Sarah sumringah. Dia menangkap tanda, "Ah dia memang milikku." Mereka pun bersiap bertukar nomer telepon. Ealah...ketika kertas sobekan akan diberikan ke Jonathan, angin kencang datang. Dan byaaarrr kertas itu terbang bersama ribuan kertas lain. Kecut hati Jonathan.  Dia  bilang, "Itu cuma kebetulan."

Sarah tidak bisa menerimanya. "Kita harus mundur, karena sudah ada tanda-tandanya." Pada secarik kertas uang 5 dolar, Jonathan di minta menuliskan nama dan nomer telepon. Uang malah dibelikan permen sembari mengatakan, "Kalau uang itu kutemukan, maka kita akan bertemu."

Dia lalu menunjukkan buku Love at the Time of Cholera. "Besok aku akan ke toko buku loak. Setiap kali kamu ke toko buku loak, carilah buku itu. Kau akan bisa menghubungi aku karena aku menuliskan alamat dan nomer teleponku." Tapi Jonathan tetaap ngotot.  Sarah memberikan alternatif terakhir. Dia mengajak Jonathan ke salah satu hotel. Berhadap-hadapan di lift, Sarah bilang. "Kalau nomer yang kita pencet sama, dan kita bertemu, maka kita bisa meneruskan pertemuan ini."

Sungguh malang, meski nomer lift yang mereka pencet sama, lift Jonathan ngadat. Bisa ditebak, pertemuan pun berakhir. Ihir... termehek-mehek deh...Tujuh tahun berlalu. Keduanya sama-sama hampir menikah. Rupanya semesta memberikan sinyal untuk keduaya bahwa mereka ditakdirkan bersama.

Jonathan menangkap tanda-tanda. Sarah ada dimana-mana. Sebagai pemain golf, pemotong rambut, dan dalam lagu yang dinyanyikan seseorang di pinggir jalan. Jonathan curhat dengan sahabatnya. "Aku harus cari dia, setidaknya sebelum menikah, apapun hasilnya, aku udah nggak penasaran lagi," kata Jonathan. Sang sahabat mangkel berat karena dia yang menjadi pendamping calon mempelai pria. "Kamu gila, ya? itu sudah bertahun-tahun lalu jek. Logikamu dimana, besok lusa kamu juga hampir menikah," kata sang sahabat. Tapi Jonathan tak bergeming. Di mulailah pencarian itu di TKP (Tempat Kejadian Perkara) toko tempat penjualan sarung tangan.

Di tempat lain...Sarah juga menangkap tanda-tanda. Mulai dari cincin pertunangan yang kekecilan sampai nama film  favorit Jonathan yang tiba-tiba dia temukan ketika hatinya sedang galau bersama sang kekasih. Menemukan tanda-tanda ini, Sarah juga curhat dengan sahabatnya. Tapi sang sahabat  menilainya tak "waras" dengan keputusannya mencari Jonathan."Kamu sudah bukan orang yang kukenal. Itu peristiwa sudah bertahun lalu. Kamu sudah obsesif," kata si sahabat.

Tapi Sarah tetap nekat. Dia terbang ke San Fransisco. Sementara,  Jonathan juga mencarisang pujaan hati hingga ke London. Jalinan film memang agak kelihatan mengada-ada. Misalnya, buku loakan yang berisi alamat Sarah justru diberikan calon istri Jonathan. Juga duit 5 dolar ditemukan Sarah di dompet sahabatnya yang tertukar. Kalau dompet tertukar, masak sih kartu identitas naik pesawat nggak diperlukan. Hehehe. (salah satu yang janggal dari film ini).

Kali ini semesta benar-benar berpihak pada mereka. Cuma caranya agak bergelombang. Ketika keduanya sudah sama-sama menyerah dengan keadaan karena nasib seolah-olah tak mempertemukan mereka, toengggg...bertemulah mereka di salah satu TKP. Pertemuan romantis, tanpa kata-kata. Cuma mata yang bicara. Cieeeeee....Saya menggarisbawahi. Kalau kamu yakin mencintai seseorang, ya kejarlah. Kalau sudah lelah, ya berhentilah.  Alam semesta ini akan berbondong-bondong berada di pihakmu, ketika memang tadirnya sudah begitu. Ehhh...benar nggak ya?

Dalam hidup saya tak pernah melakukan apa yang dilakukan Jonathan dan Sarah. Jadi melihat  film itu, yang jadi favorit saya kemudian, jangan-jangan saya merasa ada bagian diri saya yang tersembunyi seolah-olah merasa terwakili keduanya. Hihihihi. Karena saya nggak bisa melakukan apa yang  dilakukan keduanya.:( Saya tak pernah "mengejar" pria dalam hidup ini. Kalau mau pergi ya silahkan pergi. Kalau mau datang ya silahkan datang. Kalau saya masih tertarik ya saya terima, kalau sudah ada orang lain ya ...sudah, kita berakhir saja. Sederhana sekali, kan?

Seperti sekarang ini, ada seseorang yang cukup rutin  menyapa saya melalui BBM. Tapi aduh kok ya dia sudah milik orang lain ya? Seperti kata buku Muhamad Pengeja Hujan. Cinta bisa tersimpan dalam hati, tetapi tidak bisa maju lagi. Jadi, ya sudah. Saya mungkin memerlukan Jonathan lain dalam hidup saya. Dieeee...curcol euy...Kayak anak ABG yang sedang mencari cinta saja.


Yogyakarta, 29 April 2012

Pukul 6.43

Sabtu, 28 April 2012

Rumah Nyeni Ine Febriyanti (bagian II)

joglo di tengah-tengah
Mengapa topik Rumah menarik hati saya? Ini setelah  mengunjungi rumah sahabat saya, Ine Febriyanti. Seperti yang pernah saya ceritakan, selalu ada yang dibawa pulang jika  berkunjung ke rumah saudara atau sahabat. Begitu mengunjungi rumahnya yang asri, teduh, dan hijau, saya menyadari bahwa rumah merupakan beranda jiwa bagi pemiliknya.


Berlokasi di Jagakarsa, Jakarta Selatan, kawasan ini paling "manusiawi" ketimbang kawasan Jakarta lainnya.Tidak usah saya ceritakan mengapa saya sampai harus menyebut  soal manusiawi atau bukan. Sebagian sudut  Jakarta  sesak, macet, sibuk, nyaris tak pernah "tidur". Meski saya pernah menetap di Jakarta tujuh tahun lalu, adaptasi tubuh  ini rupanya  tak mudah. Hari pertama, gempor tubuh ini  berjibaku dengan kemacetan.  Dikepung kemacetan setiap hari, berkawan akrab dengan polusi udara, bisa dibayangkan, jika rumah tak diciptakan seasri mungkin, tinggal di Jakarta pastilah seperti tinggal di neraka. 


meniti tali, bermain sepanjang hari
Maka, ketika ke sekian kalinya berada di rumah Ine bersama tiga anaknya itu, sungguh menyediakan kedamaian, rindang, tidak sumpek lantaran sang pemilik rumah "patuh" menyediakan lahan terbuka 30 persen dari total luas tanah. Pemerintah Jakarta Selatan mensyaratkan, bangunan yang dibangun harus menyediakan sekurang-kurangnya 30 persen dari seluruh luas lahan tanah.


Sama seperti rumah  Tante Nelly  yang menyediakan lahan terbuka, begitu pula rumah Ine. Lahan kosong inilah yang dijadikan tempat bermain putera puterinya,  Fa, zyein, dan amanina bermain ayunan, meniti tali. Joglo yang luas dan rumah adat mini juga menjadi tempat pilihan lain bermain sang buah hati.  Selain menyediakan lahan bermain, Ine  juga menanami pohon kayu putih, cemara,  dan tanaman pengusir nyamuk yang memberi manfaat bagi seluruh penghuninya.


Rumah bagi Ine, mewakili rasa seni dalam diri dan sang suami. Sebagian  besar rumah itu dipersembahkan sang suami, Yudi Datau yang mengelana ke seluruh penjuru Nusantara. Di seluruh Nusantara inilah dia menemukan jendela, kusen, lantai ala jaman Belanda dan dipindah ke rumah   idaman mereka berdua. Jadilah joglo, rumah lampung, paviliun ala rumah Belanda yang shampir keseluruhannya  berbau nusantara dan ratusan tahun usianya. Tak cuma menawarkan rindang dan asri, rumah ini juga memberi oase  seni bagi keluarga dan tamu-tamu yang mengunjungi rumahnya.


Saya sendiri paling senang menikmati  pagi dan senja dengan secangkir teh bersama di beranda pavilun. Dari sudut ini semua pandangan menembus semua sudut rumah.  Kami bercerita tentang impian-impian, saling bertukar pikiran tentang meditasi, karya-karya mesti pekerjaan yang kami geluti sungguh berbeda.  Kami nyaris tak ingin membuang waktu untuk hal-hal yang tak perlu, bergosip, misalnya.






nge-teh bersama, momen  paling indah di sini
Angin sepoi-sepoi, burung berkicau, pohon  rambutan dan terong belanda yang rindang membuat rumah begitu teduh, kadang-kadang membawa kami berdua membisu. Tak berkata apa-apa hanya menikmati kedamaian di sekeliling kami. Aih...indah sekali rasanya, kawan.


Kami berdua dipertemukan, mungkin salah satunya karena sama-sama penikmat kehidupan. Dari rumah yang punya roh inilah, kami selalu berharap, selalu lahir karya-karya yang tidak hanya bermanfaat untuk kami, tetapi juga semua makhluk di bumi. Terakhir, dari kunjungan ini pula, saya berjanji pada diri sendiri, jika membangun rumah, secukupnya saja. Memberi kesempatan bumi ini untuk bernafas lega, tak ada salahnya di mulai dari dalam diri.


Tangerang, 29 Januari 2012

Pukul 21.05


Jumat, 27 April 2012

Dress Code

 Sebelum saya mengisahkan cerita ini, sungguh saya tak bermaksud merendahkan satu suku tertentu. Mau tak mau cerita ini memang akan menyambung dan menceritakan  beberapa suku di Indonesia. Tentu saja ini tak berlaku umum lho. Sekali lagi ini hanya soal pengamatan sekilas saya dan teman-teman.

Begini ceritanya. Beberapa minggu lalu, saya diundang ke salah satu acara seminar Wanita Wirausaha di Surabaya. Seperti kebanyakan  acara pada umumnya, maka para tamu undangan diberi dress code. Eh...saya kelupaan menanyakan ke panitia dress code. Jadilah saya mengenakan pakaian hijau.

Tanya sana sini, saya mendapat jawaban dari panitia,  dress code acara hari itu  baju warna biru. "Duh celaka," kata saya berbisik. "Lho  kenapa?," tanya dia. "Ini kan Surabaya, pasti besok akan banyak warna hijau bertebaran." "Ah, masa sih," kata temen saya ini. "Ya, bisa jadi saya salah. Lihat saja besok," kata saya.

Paginya, benar saja. Beberapa panitia cekikikan begitu melihat saya. "Hihihi bener yang kamu bilang." Separuh ijo-separuh biru," kata dia terkikik geli.  "Kok kamu bisa tahu sih," kata teman saya lainnya. Saya jelaskan, sudah jadi rahasia umum Surabaya yang berhimpitan dengan wilayah Madura, yang konon sulit sekali membedakan warna hijau dan biru. Tanyakan saja rambu-rambu lalu lintas kepada mereka. Jawabannya pasti merah-kuning-biru hihihihi.

Saya benar-benar nggak ngecap. Sumpah mampus tragedi biru-ijo ini saya alami dengan seorang Madura yang kebetulan sopir taksi di Jakarta. Ketika kami ngobrol, logat Maduranya sebenarnya sudah luntur lantaran dia sudah puluhan tahun tinggal di  ibukota. Cuma sesekali saja, ada lafal dia yang Madura banget. Tapi saya belum begitu yakin. Sampai, ketika melewati lampu merah, dia memberikan klu yang membuat saya tersenyum-senyum simpul. "Setelah lampu biru ini, belok kanan atau kiri, Bu," katanya.


Dasar saya iseng, tetap bertanya jualah pada si bapak. "Pak sampean dari Madura ya?" tanya saya. Si sopir taksi buru-buru menjawab. "Kok sampeyan tahu? Logat saya apa kelihatan medok," tanyanya. "Nggak...cuma sedikit kok ketara, cuma saya lama di Surabaya," kata saya. Saya menahan tawa sebenarnya.  Mau bilang, "Soalnya orang Madura kan biasanya nyebut hijau jadi biru, yang biru disebut hijau. Tuh buktinya bapak bilang tadi lampu biru." Duh tapi kok nggak tega ya. Hahahaha.


Rupanya kisah saya ini  tidak tunggal. Salah satu sahabat saya menceritakan kejadian tragedi biro -ijo di kampung halamannya, Lumajang. Suatu hari ibunya memesan kursi sofa warna biru. Kebetulan pesan pada langganannya orang Madura. Sang ibu memesan warna biru lantaran cat rumah dan korden di rumahnya warna biru. Jadi biar senada, kursi sofa haruslah biru. Tanpa babibu lagi, sang ibu hooh hooh saja ketika pesan lewat telepon. Dua minggu kemudian pesanan datang dan bisa ditebak deng deng sofa warna ijo boookkkk. Hahahahaha. Mau bagaimana lagi?


Kembali lagi ke acara seminar tadi, saya pikir-pikir mosok yang salah jurusan ijo-biru cuma teman-teman Madura sih. Saya kok nggak yakin. Pasti ini stereotip saja. Pas saya lagi mengerenyit, teman saya, kebetulan dia Batak datang tergopoh-gopoh. Mata saya dan temen terbeliak. Lho kok ijo? Padahal malam sebelumnya dia sudah diberitahu dress code warna biru. Rasa penasaran pun menghinggapi. "Mbak, kok nggak pakai warna biru, kan kemarin sudah dibilangin warna biru," tanya saya. Dia menjawab tanpa beban. "Inikan warna biru toska," katanya polos. Hahahhahaa. Saya tertawa terbahak-bahak. Tapi nggak berani jujur menjelaskan ini.

Saya kian yakin kebingungan warna hijau-biru bukan milik teman-teman Madura saja. Suami teman saya, yang  orang Jawa,  sampai saat ini tidak bisa membedakan warna hijau dan biru. Hihihihi. Omong-omong, jangan-jangan kalian juga bingung membedakan warna hijau dan biru. Hayo ngaku...



Yogyakarta, 27 April 2012.

08:20






Kamis, 26 April 2012

Beranda


Sejak kecil saya suka sekali beranda. Apalagi kala hujan. Bisa berjam-jam termenung. Pikiran saya mengelana. Punya mimpi ini dan itu. Mungkin karena seorang pemimpi. Dari beranda inilah semuanya berawal. Ketika kecil, misalnya, saya pingin naik helikopter. Bukan pesawat terbang, dimana seseorang cuma perlu beli tiket dan wing lalu terbang. Tidak demikian kalau naik helikopter.

Kamu harus bekerja di kawasan pertambangan lepas pantai, seorang pejabat di pemerintahan, atau punya uang yang buanyaak untuk bisa menyewa. Tapi anak kecil seperti saya mana tahu bedanya. Pokoknya pingin naik helikopter. Titik.

Dari beranda ini pula saya mencintai Indonesia yang begitu luas. "Saya pingin keliling Indonesia, lalu keliling dunia." Saya ingat senang pelajaran geografi dan sejarah ketika SMP. Ada satu lembar gambar peta Indonesia dan dunia. Daerah yang menjadi ketertarikan saya,  saya bolongi pakai jarum pentul. Bisa jadi alam semesta menjawab mimpi-mimpi saya. Berpuluh tahun kemudian keinginan masa kecil dari beranda ini sudah terwujud. Jangan-jangan karena mimpi saya yang begitu sederhana ya? Tapi sungguh saya bersyukur untuk mimpi kecil yang telah mewujud itu. 


Berpuluh tahun kemudian, saya pulang. Di beranda ini pula saya bisikkan impian saya. Tentu saja mimpi  yang berbeda dari impian masa kecil. Di beranda ini, saya  menambahi kegiatan pagi  dengan kebiasaan baru. Duduk diam...hening. Saya sadari suara burung, saya sadari energi di sekitar beranda. Sesekali saya buka mata. Saya lihat pohon coklat, bunga,  daun palem,dan capung yang beterbangan :) Ah beranda rumah ini pasti belum terkena polusi karena capung terbang dengan bebasnya.  Diam lagi. Hening.

Kesukaan pada beranda ini, saya tularkan   kepada keponakan saya yang masih kecil. Apalagi ketika hujan. Saya panggil mereka. Saya ajak mereka  duduk bersama saya memandangi hujan. Tanpa kata-kata. Cuma memandanginya saja hingga hujan reda.  Saya beruntung, rumah kami memiliki beranda. Meski sederhana, tapi dia menyediakan keteduhan, kesunyian. Terimakasih alam semesta...


Yogykarta, 27 April 2012.
Pukul 07.33

pohon coklat di samping beranda

Rabu, 25 April 2012

Memaafkan


Pernahkah teman-teman  masuk ke dalam batin Anda yang paling dalam? Lalu berdialog dengannya dan tiba-tiba  merasakan asing dengan diri anda. Seakan-anak teman-teman  tidak tahu siapa diri Anda yang sesungguhnya. Pada saat itu terjadi, itulah  kebenaran yang sangat menyakitkan tentang diri Anda.
Semua ini terjadi pada saya kemarin. Tiba-tiba saja ada perasaan tidak nyaman dalam diri saya ketika siang menjelang. Saya lantas diam. Memejamkan mata. Tiba-tiba tubuh saya panas, keringat bercucuran. Dan layar itu datang bergerak dengan cepat. Orang-orang di masa lalu, yang pernah saya sayangi, saya cintai.

Dalam dunia sehari-hari mereka saya anggap orang yang sudah berlalu. Saya menganggap sudah tidak ada lagi ganjalan, sudah tidak ada lagi yang perlu dituntaskan. Tapi ternyata di dalam batin saya yang terdalam, ada sesuatu yang belum beres. Masih ada hal yang terluka tetapi mencoba saya tutupi bahwa saya ataupun dia baik-baik saja. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Beberapa menit dalam situasi yang menyakitkan itu,  saya cuma perlu membuat pengakuan yang paling jujur. "Ya, saya tidak baik-baik saja." Tak lama kemudian, saya  meminta maaf dan memaafkan apa yang sudah saya  lakukan kepada orang yang hadir dalam "layar" itu. Selama proses berlangsung, tubuh ini seperti dikoyak-koyak, kepala seperti ditarik ke atas. Sakit luar biasa. Yang paling tidak nyaman adalah tubuh ini panas mendidih dan keringat bercucuran. Saya menyadari rasa tidak nyaman itu. Lamaaaaa sekali rasanya. Sampai akhirnya berhenti sendiri.


Begitu selesai, lega rasanya. Kalau di luar hiruk pikuk, maka di dalam batin pun demikian. Itulah yang terjadi. Buat saya...ini seperti melepas topeng dalam diri. Mengapa kita harus "telanjang"? Karena membawa topeng kemana-mana itu melelahkan. Semoga kalian pun demikian.


Yogyakarta hujan,

26 April 2012




Minggu, 22 April 2012

Flu Pancaroba

Mestinya pepatah  "Sedia Payung Sebelum Hujan" itu sebuah peringatan yang mujarab buat kita. Tapi kesadaran kita seringkali melemah. Seperti yang terjadi pada saya. Sudah bertahun-tahun, terkena flu di bulan April, bulan istimewa karena saya dilahirkan di bulan ini, nyatanya saya tidak aware juga. Pada bulan ini pergantian musim penghujan ke musim kemarau akan terjadi, maka kerap dinamakan musim pancaroba. Menurut dokter yang saya wawancarai, pada musim pancaroba, penyakit ada dimana-mana. Terutama batuk dan flu. Isi status jejaring sosial pun banyak yang mengeluhkan soal penyakit mereka. Saking banyaknya status, ada teman yang menulis begini. "Banyak bener yang ngeluh sakit kepala, galau,stres, sakit perut, anak sakit, suami nggak sehat. Ini fesbuk atau puskesmas ya?"  Saya malah ngakak baca status ini.


Saya sebenarnya paling jarang kena flu. Maka, saya benar-benar heran pada teman yang setahun bisa berkali-kali terkena flu. Tapi untuk  flu pancaroba ini, tubuh saya ambruk juga. Apalagi, sebelum sadar,  saya justru  tidak  minum vitamin, makan sayur kurang, pasokan buah di tubuh juga minim. Ketambahan lagi,  sebulan terakhir ini saya melakukan perjalanan jauh. Rutenya Jogja-Jakarta-Palembang-OKU Timur-Palembang-Jakarta-Medan-Jakarta-Jogja-Surabaya-Madura-Jogja. Yang harus menjadi evaluasi saya adalah usia bertambah, tetapi tidak dibarengi dengan olahraga, sementara fisik juga melemah. Jelas berbeda dengan berpuluh tahun lalu ketika saya mahasiswa.


Puncaknya, ketika saya menyeberang ke Madura, angin laut yang lembab dan udara panas membuat fisik saya drop. Alhasil, ketika saya sudah mendarat di Jogja dan  sudah bersiap memulai aktifitas menulis dan liputan pada Senin pekan lalu, rontoklah tubuh ini. Benar-benar ambruk tak berdaya. Bedrest. Tidak cuma pilek dan batuk  saja, tetapi juga disertai kepala pusing dan panas tinggi. Sebenarnya dokter sudah memberikan  obat antibiotik, tapi saya bertahan. di hari ke enam. Sudah tidak tahan. Badan terus merosot, makan juga sudah mulai males. Ini lebih berbahaya. Maka kemarin, saya meminum antibiotik pemberian ibu kos yang kebetulan suami dan puteranya dokter.


Hasilnya...sekarang ini saya sudah bisa membuat satu blog. Meskipun...pakai uhuk uhuk...Tapi lumayanlah nih hidung sudah nggak mampet kayak got mampet. xixixi.

Kamis, 05 April 2012

Kesenjangan

Bagaimana kita tahu bahwa dunia ini tidak adil jika kita membatasi ruang kita hanya di satu wilayah, satu ruangan? Bagaimana kita tahu soal pemerataan jika tak pernah mengecap pengalaman dari hulu hingga ke hilir. Kesimpulan ini bisa jadi terlalu dangkal. Tapi rasa-rasanya saya memercayai hal ini. Seseorang yang tidak pernah punya pengalaman, hanya hidup dalam tempurung, cuma bisa meraba-raba akan satu hal. Akibatnya, ketika dia diberi kesempatan memimpin, pandangan hidupnya pun cuma sebatas katak dalam tempurung.

Kalau kesimpuan saya ini salah, setidaknya saya masih bisa memercayai kesenjangan apapun, entah itu pendidikan, sosial tidak terjadi di bumi pertiwi ini. Tapi berpuluh tahun Indonesia merdeka, kesenjangan itu begitu telanjang di depan mata.  Salah satu contoh kesenjangan itu, pendistribusian bahan  bakar minyak entah itu solar, minyak tanah, sampai bensin.

Karena saya suka jalan-jalan ke berbagai daerah di Indonesia, maka banyak realita yang saya temukan di lapangan. Tapi sudah berpuluh tahun berlalu, kok keadaan begini-begini saja. Mangkel, tapi juga nggak bisa ngapa-ngapain.


Di Pulau Jawa, entah kenapa harga premium atau solar di tingkat eceran tak pernah lebih dari Rp 5500. Masuk ke pelosok-pelosok sekalipun kisarannya hanya di angka itu. Tapi begitu saya memasuki Kupang, Nusa Tenggara Timur, Atambua, OKU Timur, OKI di Sumatera Selatan, Kalimantan,   harga bensin yang di banderol Pertamina Rp 4500, jatuh ke penjual eceran hingga Rp 9000. Di Papua dan Kupang harga bahkan bisa lebih dari Rp 10.000.


Makin tak jelas kepastian pemerintah mengulur waktu  kenaikan BBM seperti drama anggota dewan (yang terhormat?) beberapa hari lalu, maka penjualan minyak di daerah pinggiran kian melambung tak karu-karuan. Miris hati saya. Tapi, ini dia yang bikin saya heran. Kok orang-orang tidak ada yang mengeluhkan itu. Semua dijalani biasa-biasa saja, tiada gejolak, tanpa mengeluh. Sampai bingung saya dengan kondisi masyarakatnya. Kok bisa ya? Apakah mereka cuma pasrah dengan keadaan? Apatis, atau demikian bodohnya. Terus terang saya tak berani menyimpulkan ini.


Kalaupun ada demo yang merata di tanah air, itu karena kenaikan BBM-nya. Kenapa bukan soal kesenjangannya yang diributkan? Apakah pemerintah menjamin jika harga BBM naik, pendistribusian bisa merata di daerah? Itu yang mestinya  dipersoalkan. Bayangkan saja, dengan harga Rp 4500 perliter, pulau-pulau pinggiran sudah terbiasa dengaan harga bensin di atas Rp 10.000. Lha kalau naik lagi, kira-kira berapa kenaikan itu di Papua, Aceh, Sulawesi, Sumatera yang jauh dari pusat ibu kota?

Angka sulapan harga BBM itu, bukan karena masyarakat mencari untung banyak. Dari yang saya temui di lapangan, harga bensin itu sudah dinaikkan di pom bensin. Jika harga banderol Rp 4500, masyarakat pengecer membeli dengan harga Rp 6700 (ini khusus yang saya temukan di Sumatera Selatan). Nah, perjalanan dari pom menuju ke daerah pelosok dengan jalanan yang berlumpur tentu membutuhkan  tenaga dan biaya, maka muncullah angka Rp 9000 atau lebih. Jadi siapa yang brengsek? Ya pemilik pom bensin itu. Tapi heran saya kok ya melenggang kangkung aja mereka. Pom bensin tetap beroperasi, saku si pemilik bensin kian gemuk, sementara masyarakatnya cuek bebek. Nah lho. Itu cuma satu contoh saja lho, agar tulisan ini  tak berpanjang-panjang

Saya cuma menduga jangan-jangan para pemimpin, para anggota dewan yang duduk di kursi empuk, tidak pernah  kemana-mana. Kalaupun kemana-mana menghabiskan uang dinas luar kota, cuma nongkrong di hotel, hearing atau malahan asyik belanja belanji. Pantas saja jika kacamata yang mereka gunakan seperti kacamata kuda atau mirip katak dalam tempurung.  Akibatnya,  mereka tak pernah tahu  realitas  di seluruh pelosok negeri. Atau saya yang sok tahu menuduh mereka yang iya-iya hehehhe.


Jika saya salah, kita semua mestinya bisa membuktikan bahwa kesenjangan itu, ketidakmerataan itu dari waktu ke waktu kian berkurang. Nggak seperti yang saya temukan selama ini. Berpuluh-puluh tahun keadaan tetap sama.

Mencintai Indonesia itu jangan mengira akan menemukan banyak kebahagiaan. Kian kita menembus ke dalamnya...kian sesak dada kita menyaksikan ketidakadilan, kesenjangan. Kalau sudah begitu, saya cuma bisa membatin. Saya salah satu orang yang ikut bertanggungjawab ketika  terjadi begini. "Jadi apa sumbangsihmu," kata batin terdalam saya.  Pikiran dan aku menjawab. "Minimal menulis blog". Entah berapa orang yang membaca. Atau jangan-jangan malah tidak dibaca, karena cuek bebek dengan keadaan. Saya pernah membaca, tapi lupa siapa yang menulis. Tulisan ini kerap mampir dan cukup mengobarkan semangat saya.  "Kejahatan akan merajalela ketika orang baik diam saja." Tapi kalau sudah mentok. Padam lagi. Frustasi. Jadi menurut kalian bagaimana? Atau saya yang terlalu lebay?


Sumatera Selatan, 5 April 2012

11.24 PM

Selasa, 03 April 2012

Batin Yang Bebas Memiliki Kerendahan Hati

Pernahkah anda menyelami masalah ketergantungan psikologis? Jika anda menyelaminya sangat dalam, anda akan mendapati bahwa kebanyakan dari kita sangat kesepian. Kebanyakan dari kita memiliki batin yang begitu dangkal dan kosong. Kebanyakan dari kita tidak tahu apa arti cinta. Maka, dari rasa kesepian itu, kita melekat kepada sesuatu, melekat kepada keluarga, kita bergantung padanya. Lalu apabila istri atau suami berpaling dari kita, kita cemburu. cemburu bukanlah cinta, tetapi cinta di dalam keluarga yang diakui masyarakat dijadikan terhotmat. Itu adalah bentuk pertahanan lain, bentuk lain pelarian dari diri kita sendiri. 


Demikianlah setiap bentuk perlawaanan menghasilkan ketergantungan. Dan batin yang bergantung tidak pernah bebas.


Anda harus bebas, karena anda akan melihat bahwa batin yang bebas memiliki esensi kerendahan hati. Batin seperti itu yang bebas dan oleh karena itu memiliki kerendahan hati, dapat belajar-bukan batin yang menolak. Belajar adalah sesuatu yang luar biasa. Belajar, bukan menimbun pengetahuan. Menimbun pengetahuan adalah hal yang lain sekali. Yang kita sebut pengetahuan adalah relatif mudah, oleh karena hal itu adalah gerakan dari yang diketahui menuju yang diketahui. Tetapi belajar adalah gerakan dari yang diketahui menuju yang tak diketahui-anda hanya belajar secara itu bukan?*

*Mutiara kehidupan- J. Krishnamurti

Seperti Sebatang Pohon di Tengah Hutan

Tanpa batin yang diam, kebaikan yang sesungguhnya tidak akan mekar dan kejahatan terus tumbuh seperti pohon berduri. Sebaliknya, batin yang diam memungkinkan energy kejahatan terpatahkan dan kebaikan yang sesungguhnya menjadi mekar. Kapankah batin harus sungguh-sungguh diam?

Ketika muncul dorongan atau tekanan dalam batin,
 
Berupa nafsu keinginan untuk dipuaskan,

Janganlah bertindak apa-apa.

Diam, janganlah bicara,

Seperti sebatang pohon di tengah hutan.



Ketika muncul dorongan atau tekanan dalam batin,

Berupa api kebencian untuk dilampiaskan,

Janganlah bertindak apa-apa.

Diam, janganlah bicara,

Seperti sebatang pohon di tengah hutan.



Ketika muncul dorongan untuk mencari pujian,

Atau keinginan untuk mencela, merendahkan atau merugikan orang lain

Atau keinginan untuk menggunakan kata-kata kasar, mencari-cari perkara untuk berkelahi,

Diam, janganlah bicara,

Seperti sebatang pohon di tengah hutan.



Ketika batin menjadi kacau atau liar karena kepentingan diri,

Atau dipenuhi kesombongan dan keangkuhan,

Atau dipenuhi rasa rendah diri, cemburu, dan iri hati,

Ketika ada keinginan untuk mengorek-orek kesalahan orang lain yang tersembunyi,

Atau keinginan untuk mengungkit pertikaian lama atau berkata dusta,

Pada saat itu, haruslah diam,

Seperti sebatang pohon di tengah hutan.


Lihatlah sebatang pohon di tengah hutan. Ia tetap diam tak bergeming meski diterpa angin sepoi-sepoi di malam hari atau di pagi dini hari. Ia tetap diam tak bergeming meski digoncang angin badai berhari-hari. Ia tetap diam tak bergeming meski diguyur hujan atau dibakar panas setiap hari. Batin yang diam seperti sebatang pohon di tengah hutan adalah batin yang tidak terprovokasi oleh nafsu keinginan, kebencian, dan kepentingan diri.
Mematahkan Kejahatan, Memupuk Kebaikan oleh J. Sudrijanta