Rabu, 29 Februari 2012

Marah

Saya baca email kawan ini. Dia menyebut "koresponden benalu yang bagusnya di buang ke laut aja". Apa pasal? Melalui persepsi dia, koresponden yang benar-benar di zona nyaman, tak berani memperjuangkan  perjuangan dengan lebih  tegas, kecuali untuk dirinya sendiri karena  ternyata merangkap kerja di sejumlah media sekaligus.

Reaksi batin saya marah. Marah dengan kengawuran pikirannya.  Kalau saat ini dia di depan muka saya dan ada asbak di depan mata saya, akan saya lempar asbak ini ke muka dia. Tapi bisa jadi hanya berhenti di pikiran saja, saya  tak akan melakukannya. Sedetik kemudian  saya sadar. Reaksi batin ini kembali bergejolak. Muntab luar biasa. Saya siap mengetikkan email dan memaki-maki dia. Tapi kembali saya sadar dengan kemarahan itu. Saya sadari kemarahan itu dan tinggal bersama rasa itu. Perlu beberapa menit. Rasa marah itupun  reda. Netral kembali.

Saya memutuskan hanya menulis di blog, wilayah paling private menulis keseharian saya. Mungkin orang  harus terus menerus menerapi dirinya dengan cara menulis terus menerus untuk menjaga "kewarasan" dan kesadaran dirinya. Agar apa yang  dia ucapkan, perlu disadari lagi dan lagi. Menjadi orang sadar itu pilihan. Terimakasih kawan sudah membuat saya marah dan kemarahan ini bisa saya sadari dengan cepat. Dan lenyap tak berbekas.

Yogyakarta, 29 Maret 2012 yang cuma 4 tahun sekali.

8.43 PM

Selasa, 28 Februari 2012

Gadis Jeruk

 "Seperti yang sudah kamu ketahui, aku sudah berhadapan dengan fakta bahwa aku akan pergi  jauh dari semua ini, dari matahari dan bulan, dan  semua yang ada, dan terutama dari kamu dan ibumu. Itulah kebenaran dan itu menyakitkan."


Petikan  awal surat ini diterima  Georg Roed, berusia 15 tahun yang  kaget ketika mendapat "surat wasiat"dari ayahnya, Jan Olav,  yang sudah 11 tahun meninggalkan dirinya.  Surat ditemukan oleh nenek yang mendapati  pesan wasiat dari sang anak, agar tak membuang kereta dorong berwarna merah.   Kereta dorong itu tak pernah dikutak-katik hingga sang nenek menemukan  selipan surat untuk George.


Ingatan Georg tentang ayahnya pendek, karena dia baru berusia 3,5 tahun. Maka ketika di dalam surat sang ayah menceritakan kereta dorong dan kenangan mereka berdua mengitari Danau Sognsvann, atau kunjungan akhir pekan ke pondok kayu, Georg  tak mampu mengingatnya. Satu-satunya ingatan tentang sang ayah adalah pada sebuah malam saat ayahnya  mengggendong Georg dan membawanya keluar memandang bintang-bintang di langit, bulan, dan menjelaskan semesta pada sang putra. Inilah malam perpisahan ayah dan anak yang tak bisa ditolak siapapun, ketika maut menjemput. Pada bagian ini, siap-siap saja mengambil tisu karena lelehan air mata yang tak terbendung ya?


Jan Olav memutuskan mengirim surat itu karena merasa harus berbicara tentang  alam semesta, teori dentuman besar, dan paling penting menanyakan  sebuah  pertanyaan penting  yang mesti dijawab oleh  Georg tentang kehidupan, mengapa Georg harus ada di planet bumi, dan apakah sang putra menyesal telah dilahirkan melalui "penciptaan" orangtuanya.  Rasa tanggungjawabnya yang besar sebagai ayah yang "menciptakan"  Georg membuatnya harus "menerima" kematin yang mau tidak mau harus diterimanya. Padahal dia merasa belum siap untuk menerima kematian itu karena ada banyak hal yang belum bisa dibicarakan dengan Georg kecil. "Aku menangis bukan hanya karena aku tahu akan segera meninggalkan kamu dan Gadis Jeruk. Aku menangis karena kamu begitu muda. Aku menangis karena kita berdua  tidak bisa bicara selayaknya."


Jan Olav tahu, Georg kecil tak mungkin bisa menangkap pembicaraan orang dewasa semacam ini. "Aku bertanya: apa yang akan kamu pilih seandainya punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih   hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi dari semua itu, tak pernah kembali lagi? atau apakah kamu berkata tidak, terima kasih."


"Jawabanmu terhadap pertanyaan  yang kuajukan ini sangat penting bagiku karena  aku secara langsung bertanggungjawab atas keberadaanmu. Kamu tak kan pernah ada di dunia ini  jika aku menolak sejak awal.... Aku harus jujur  kepadamu, Georg. Kukatakan bahwa  aku mungkin akan menjawab 'tidak" terhadap  tawaran untuk sekilas "mengenal dunia" tur keliling  di dalam  dongeng besar. Kuakui  itu. Dan jika kamu berpikir sama seperti aku, aku merasa bersalah atas rangkaian peristiwa yang ikut kugulirkan." "Berjanjilah padaku untuk mengambil waktu memikirkan ini dengan hati-hati sebelum kamu memberikan jawaban.


Bagi Jan Olav, manusia tinggal dalam sebuah dongeng besar yang tak di mengerti oleh siapapun. "Kita menari, bermain, bercengkerama, dan tertawa di dalam asul usulnya  yang tak bisa kita mengerti. Kamu tidak tahu kapan  akan dilahirkan, tidak juga  berapa lama kamu akan hidup, tapi itu takkan  lebih dari beberapa tahun.Yang kamu ketahui hanyalah bahwa  jika kamu memilih untuk  hadir pada tempat tertentu di dunia ini, kamu  juga harus meninggalkannya suatu hari dan pergi meninggalkan segalanya. Atau kau menolak  untuk ikut  dalam permainan ini  karena kamu tak menyukai peraturannya.


Beberapa tahun lalu ketika  membaca buku ini, saya sempat terhenyak. Alangkah beruntungnya si anak yang mendapat pengetahuan mendasar tentang kehidupan ini dari ayah. Dan paling penting si anak mendapat kehormatan dari sang ayah untuk menjawab  soal  apa yang akan kamu pilih seandainya punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih   hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi dari semua itu, tak pernah kembali lagi? atau apakah kamu berkata tidak, terima kasih."


Saya harus mengakui orangtua tidak pernah membicarakan hal-hal mendasar dalam hidup, misalnya soal penciptaan awal diri kita ke dunia. Yang terpahami dalam benak saya adalah bahwa aku hidup karena memang lahir dari ayah dan ibu, dan aku  merasa berutang budi pada mereka karena sudah melahirkan aku. Merekalah yang berjasa menghadirkan aku ke dunia. Tapi mereka tidak pernah menanyakan pada saya, apakah  merasa menyesal dilahirkan ke dunia.


Hubungan orang tua dan anak yang menjadi  pandangan umum dalam lingkungan sekitar saya bukan hubungan timbal balik, semacam Jan Olav dan puteranya, tetapi hubungan orang tua dan anak yang menitikberatkan pada penempatan orang tua sebagai di atas segala-galanya. Nak, berterimakasihlah karena kau sudah kulahirkan, kurawat, dan kucukupi segala sesuatunya menjadi hal yang umum. Sementara, jarang sekali saya mendengar ada orang tua di lingkungan saya yang menyampaikan. "Nak, apakah kau menyesal sudah kulahirkan ke dunia ini? Berpikirlah dan jawablah dengan hati-hati."


Pengarang buku ini Joostein Gaarder, pengarang Dunia Sophie yang membuat filsafat momok bagi setiap manusia tetapi mampu  menerjemahkannya dengan bahasa nan sederhana, begitu pula dalam buku ini. Pada Gadis Jeruk dia  mampu mengenalkan  ilmu sains, teori dentuman besar, dan konsep "Tuhan" yang lebih membumi dengan bahasa  populer. Bahasanya mudah dipahami dan asyik. Juga kita sedikit  dibuat "tertipu" dengan judul Gadis Jeruk yang telah  membawa persepsi awal "Ah bacaan ringan banget." Kita tak pernah menduga bahwa ada hal "berat" lewat bahasa sederhana yang ingin diceritakan Gaarder mengenai Teleskop Ruang Angkasa Hubble, misalnya, juga teori dentuman besar. Tuhan hampir jarang di sebut di sini, kecuali dia mengakui ada "kekuatan lebih" dari semua yang ada.


Lewat sang anak, Gaarder bertutur tentang itu. Semenjak malam itu, aku jadi tahu bahwa bintang-bintang  tidak bisa dipercaya. Bintang-bintang tidak bisa menyelamatkan kita dari apapun. Suatu hari kita akan meninggalkan bintang-bintang  di langit dan pergi jauh.  Ketika aku dan ayah melayang menembus angkasa bersama-sama, dan Ayah tiba-tiba menangis, kusadari bahwa  tidak ada satu apapun  di dunia ini yang bisa dijadikan sandaran. (Dengan demikian "Tuhan" pun tak bisa menolong meski kita menolak untuk dicerabut dari kehidupan, kan? Faktanya  kita masih punya anak kecil yang memerlukan kita juga tak bisa kita tawar ketika seseorang tercerabut dari kehidupan). 


(bersambung dulu ah)

Minggu, 26 Februari 2012

Absen Nge-blog


Ah...janji saya menulis gadis jeruk belum terlaksana. Pertama berkabung untuk teman yang meninggal Jumat. Pula, sejak kemarin saya menemani kakak saya yang dari Dili tiba di Yogyakarta. Buat saya, tak menulis blog sehari, seperti pacar  lupa memberi kecupan sehari :(


Tapi masih ada hari esok, bukan? Besok kakak saya sudah kembali ke Dili. Jadi malam ini biarkan saya rehat setelah seharian bepergian. Good night my dear friend, my sweet friend, and my best friend. Friends -nya buanyak banget.

Yogyakarta, 26 Februari 2012

21.33

Jumat, 24 Februari 2012

Ketemu "Gadis Jeruk"

Sudah rindu aku ke toko buku. Kayaknya sudah berbulan-bulan lalu. Toko buku selalu membuatku bergairah. Jelas saja. Jendela dunia terbuka lebar disana. Mau menjelajah kemana saja, tinggal pilih. Tapi ya itu tadi, belanja sering tak terukur. Kalap dan tak memedulikan isi kantong :(

Pernah lho, awal-awal baru kerja, gajian masih terima tiga hari lagi. Karena kalap membeli buku, uang yang tersisa tinggal Rp 50.000. Hidup di Jakarta pula. Manyun. Biar kocek pas saat gajian, maka aku memutar otak. Kalau malah hari tak makan. itung-itung sekalian diet. Selama tiga hari itu pula, tiap receh yang  kukeluarkan, perlu mikir lama. Tapi meski dalam keterbatasan, kok ya ndak menyesal ya dengan kondisi begitu?


Teringat kejadian itu, aku tersenyum-senyum sendiri.  Konyol juga. Sendirian, kususuri lorong toko buku paling murah di Jogja. Dua buku lama kubeli. Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang sudah difilmkan, dan Robohnya Surau Kami karya AA Navis. Dua buku ini mengingatkan pada guru SMP-ku yang kerap menyebut dua tokoh ini. Aku ambil. Berjalan lagi. Mataku jatuh kepada Madre karangan  Dewi Lestari . Aku juga sudah pernah membeli buku ini. Setelah membaca, kuberikan kepada seseorang yang sudah berlalu. Ah, semoga dia masih menyimpan dan sesekali membacanya.  Karena perlu mengkoleksinya, maka kubeli lagi.


Selanjutnya Toto Chan yang sudah jadi besar masuk dalam kantong. Kisah anak Jepang ini sungguh menginspirasiku. Kayaknya orang tua wajib punya buku ini deh. Bisa menjadi salah satu cerita  sebelum tidur.  Lalu Ajahn Brahm, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Juga pernah kubeli dan kuberikan ke orang lain. Tapi entah siapa dia. Ini buku meditatif tapi dengan bahasa populer. Layak menjadi referensi bagi para meditator.


Ketika merasa cukup dan hendak ke kasir, tiba-tiba mataku menangkap  judul buku "Gadis Jeruk". Hah...aku tertegun. Apa aku salah ya? Buku ini kucari sudah bertahun-tahun, tapi tidak pernah kutemukan. Covernya yang dulu berwarna orange "nyeter". Tapi buku GAdis Jeruk yang kutemukan ini warnanya agak suram. Beda banget dengan buku pertama.


Gadis jeruk salah satu buku favoritku. Buku ini karangan Jostein Gaarder penulis best seller Dunia Sophie. Percaya tidak. Aku membeli Gedis Jeruk mungkin sekitar  15-an buku. Buku kuberikan sebagai hadiah untuk  sahabat, orang yang kutaksir (hehehe), sampai aku sendiri tak punya koleksinya. Ironi, kan? Tapi begitulah. Bertahun-tahun selalu bertanya ke toko buku, tetapi jawabannya selalu habis. Syukurlah kakak saya punya koleksinya. Jadi kalau rindu aku baca.

Begitu memastikan ini buku daur ulang Gadis Jeruk yang dulu , tanpa ba bi bu langsung kuambil. Lega, rasanya. Seperti menemukan orang yang kita cintai, meninggalkan kita begitu lama, dan tahu-tahu mak bedunduk dia sudah ada di hadapan kita. Hehehe.  Apa menariknya buku ini? Besok ya aku ceritakan. Kata si gadis jeruk. "Dalam  hidup, kita kadang-kadang  perlu untuk sedikit merindu." (halaman 144). Semoga ada yang merindui ceritaku besok.

Oh ya...sebelum kututup cerita ini. Aku akan menuliskan pernyataan Kompas di cover depan. "Buku yang pantas dijadikan bacaan keluarga maupun hadiah ulang tahun." Tentu saja aku setuju pendapatnya. Tapi pesan saya. Jangan lupa memberi kado tetapi lupa  menyimpan untuk diri sendiri, biar tidak kecewa. Dan percaya tidak, buku ini kutemukan  menginjak tahun ke-5. Ah jangan-jangan aku akan menemukan  seseorang yang tak terduga dalam waktu dekat. Halah....

Yogyakarta,  24 Februari 2012

Pukul 21.41

Rabu, 22 Februari 2012

Tukang Parkir

Jalan-jalanlah ke semua sudut di Yogyakarta. Gang mencit (cuma gang kecil) sekalipun, sudah ada yang menongkrongi tukang parkir.  Modalnya pakai jaket orange dan sempritan. Mereka beroperasi dan ini yang menjengkelkan, tanpa tiket parkir. Modalnya marah-marah. Nggakcuma di gang-gang mencit. Ini yang lebih aneh lagi, orang mengambil duit anjungan tunai mandiri (ATM)  yang sembari kita ambil duit cuma butuh waktu tak sampai  5 menit  dan bisa memelototi kendaraan kita tanpa perlu dijaga, juga dipajaki, istilah kawan saya. Ada seorang mahasiswa bercerita,  dia mencek kiriman uang ke ATM. Uang belum terkirim, dia "dipajaki"Rp 1000 pula.



Yuk, baca kelanjutannya di http://mengoceh.blogspot.com/

Rabu Abu

meluber sampai ke luar....wow
Siang tadi tepat matahari di atas kepala, aku ke Kotabaru, mengikuti misa Rabu Abu. Tapi aku terlambat. Hiksss. Begitu masuk ke pintu gerbang, alamakjan...itu gereja sudah jadi  lautan manusia. Meluber sampai luar gerbang.  Aku bengong. Gila. Apa mereka kayak aku? Yang hanya hadir di gereja pada saat-saat momen tertentu? Terus terang sejak kemarin sampai hari ini kakak dan teman-temanku memberitahukan. "Ini hari Rabu Abu. Jangan lupa ke gereja ya." Kalau kakak, cuma menginformasikan saja."Mau kasih tahu aja kalau besok Rabu Abu. Kalau ndak mau ke gereja juga ndak papa."


Oh ya, Rabu Abu dalam agama Katolik sebagai penanda masa puasa yang akan berlangsung  selama 40 hari. Rabu abu juga penanda pertobatan umat  dimulai sebelum menyambut Masa Paskah itu sendiri. Rabu abu ditandai dengan pemberian abu kepada umat, mengingatkan manusia berasal  dari tanah kembali ke tanah. Selama masa Prapaskah ini, umat berusia  di atas 14 tahun sampai 60 tahun berpantang dan berpuasa. Puasa umat Katolik tidak sama dengan saudara Muslim yang mulai dari subuh sampai jam 6 sore atau Magrib. Umat  Katolik tetap boleh makan kenyang hanya satu kali  Nah berpantangnya itu yang agak susah. Pantang yang mesi dijalani mana yang paling disukai. Kalau sukanya merokok ya pantang merokok. Kalau sukanya daging ya berpantang daging.


Aku sendiri punya pantangan yang tak lazim  tahun-tahun sebelumnya. Selama 40 hari  pantang membuka facebook, makan bebek goreng (wooaaa berat nian), dan minum coffemix. Kenapa? Karena sungguh sulit mengendalikan itu.  Ya amplop awal-awal puasa aku hampir sakau ketika berpantang ketiganya. Menahan diri dari sesuatu yang  kita sukai itu berat. Tapi toh, bisa juga tuh.


Tahun ini semua hal tak terlalu dominan untukku. Sama  facebook dan gadge apapun biasa, makan daging juga sudah nyaris nggak pernah, apalagi bebek. Karenanya, aku memutuskan tidak berpantang. Sebagai penggantinya, aku berpuasa ala saudara Muslim. (Eh sebenarnya puasa ditempat kita ndak boleh diomong-omongkan lho, tapi saya nulisnya  gimana, dong?). Hari pertama ini tadi  ndak terlalu ngoyo, cukup sampai pukul 14.00...Hihi lumayan.


Kembali ke soal melubernya gereja tadi. Sungguh, aku kaget. Apa karena terlalu lama tidak ke gereja ya? Karena  datang terlambat, jelas aku tidak mendapat bangku. akibatnya, mengawali  puasa ini, kesabaranku benar-benar diuji. Sepanjang misa, selama sejam-an lebih, aku berdiri. Tapi, latihan  melatih kesadaran itu, ya di sini tempatnya. Berdiri atau duduk sudah tidak masalah lagi buatku. Aku mengikuti liturgi gereja dengan tenang. Padahal  muka  sudah berpeluh keringat dan kaki  cukup pegal menopang badan yang subur ini :). Inilah kehadiran pertamaku di gereja  yang batin ini sungguh  berbeda ketimbang  sebelum-sebelumnya. Dulu ke  gereja hanya karena kebiasaan, ke gereja ada pamrih meminta-minta sesuatu. Ngantuk-ngantuk dilakoni karena merasa ke gereja itu kewajiban, atau yang paling konyol karena kalau tak ke gereja merasa berdosa. Walah....:)


Ada sudut pandang yang berbeda ketika aku hadir di sini.  Oh ya, sepanjang  misa berlangsung dengan penuh kesadaran, aku tidak memohon-mohon sesuatu, minta ini dan itu. Cuma, di akhir misa hampir  tuntas, aku cuma berdoa, semoga  mampu menyelesaikan puasa dan pantang selama 40 hari ini sebagai ungkapan syukur karena nafas ini  belum berhenti.  Buat umat yang merayakan Rabu Abu, selamat berpuasa dan berziarah ke dalam  batin. Semoga kebenaran sejati ditemukan dalam tiap pribadi.


Yogyakarta, 22 Februari 2012

Pukul  15.13

Selasa, 21 Februari 2012

Para Pencari Keheningan (bagian 2)

Mengenal Meditasi Tanpa Obyek

Tanggal 17-19 pekan lalu, saya mengikuti retret meditasi tanpa obyek (MTO) yang dibimbing Romo Sudrijanta Johanes. Ada sekitar 25 peserta dari Jakarta, Cirebon, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta.  Berlokasi di Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, kami masuk dalam keheningan. Jika sebelumnya saya mengikuti  retret dengan rohaniwan Budha, maka kini pembimbing berlatar belakang Katolik. Meski demikian, semua agama apapun bisa mengikuti meditasi ini.


Apa itu Meditasi Tanpa Obyek?

Meditasi tanpa obyek adalah meditasi tanpa tujuan apapun selain sadar dari saat ke saat. Tidak ada  teknik atau metode untuk mencapai tujuan  tersebut. Tidak membutuhkan kehadiran guru, dan tidak membawa   resiko atau bahaya apapun.

Jika dalam meditasi obyek maish dipengaruhi  doktrin, kepercayaan, atau konsep-konsep teologis, filosofis, atau metafisika yang dibatinkan dalam diri si pemeditasi, maka meditasi tanpa obyek bebas dari doktrin, bebas dari kepercayaan, bebas dari konsep-konsep.


Maka tak jarang, banyak peserta meditasi yang kebingungan ketika pembimbing rohani menjawab pertanyaan yang menurut mereka "menyimpang" dari  doktrin yang sudah mereka yakini sebelumnya. Contoh dialog dalam meditasi.


Romo Sudri: Yesus itu menderita nggak?
Peserta : Iya.

Romo Sudri : Kalau Yesus menderita apa dia bisa mencinta? Orang yang menderita tidak akan bisa mencinta. Secara fisik dia memang menderita. Tapi dia tidak menderita karena sudah menjadi Kristus yang bebas.

Peserta: Jadi kalau  Yesus itu memanggul salib untuk dosa-dosa kita itu bagaimana?
Romo Sudri: Itu konsep.

Sebagian  peserta bengong.


Dalam meditasi dengan obyek seperti kata-kata, mantra-mantra, pernafasan, mengumpulkan dan memiliki pengalaman  merupakan hal yang amat penting.  Dalam meditasi tanpa obyek  tidak ada yang lebih penting  daripada kemampuan  melihat ke dalam kejernihan batin. Nah, untuk melihat dalam kejernihan, pengalaman, pengetahuan, kepercayaan seringkali menjadi latar penyaring dalam melihat yang justru menjadi perintang utama. Terang atau kejernihan  melihat segala sesuatu membuat batin terbebaskan dari apa saja yang dilihat. Batin yang bebas dari keterkondisian adalah batin yang hening, murni, suci, religius, dan batin yang  hening, mampu melihat kebenaran sejati. (buku Titik Hening, karangan Sudrijanta Johanes)


Jadi apa yang kita lakukan selama meditasi itu. Menyadari gerak batin itu sendiri hingga berhenti seluruhnya. Dalam kesadaran pikiran selalu ada obyek dan subyek. Dalam keelingan, subyek atau si aku yang sadar  tidak ada. Yang ada hanya obyek-obyek. Karena si subyek atau aku tidak ada maka obyek tidak lagi di sebut obyek tetapi cukup  disebut apa adanya. Tantangan dalam meditasi hanyalah pikiran dan aku, bukan dari luar.



Tentu masih banyak hal yang belum terjelaskan di sini. Maka jika ada yang tertarik mendalami meditasi tanpa obyek  yang sama dengan meditasi mengenal diri dikembangkan oleh Hudoyo Hupudio, silahkan mengunjungi  http://meditativestate.wordpress.com/ dan

Meditasi Tanpa Obyek (Galery Foto)

gunung penanggungan, backgorund lokasi meditasi  


sitting meditation
ada durian...oh...sadari keinginan yang menggoda itu :)

 

sitting meditation

pohon dengan buah gandulannya 


   

Memelihara Kenangan

Siapa yang tak suka memelihara kenangan? Apalagi kalau kenangannya indah. Kalau bisa ndak pingin dilepaskan. Terus dilekati.Kalau bisa jangan dilupakan.  Itu kalau orang mau terus menderita dengan kenangan indah? Bingung? Jangan dong. Kalau masih bingung pegangan  :) Memelihara kenangan, sekalipun itu indah tetap masa lalu. sudah tidak bisa diulang. Alih-alih cukup menyadarinya saja ketika kenangan itu muncul. Mengingat-ingatnya atau memelihara kenangan semacam itu hanya membawa penderitaan baru.


Saya mengupamakan orang yang memelihara kenangan itu dengan seseorang memelihara pot tanaman. Pot diisi air, menjaga bunga atau tanaman tetap segar. Jika air sudah terlihat keruh, maka diganti. Tanaman makin segar, hiasan meja pun kian menawan.Tanaman kesayangan dilekati  sampai bikin  lupa waktu.


Suatu saat karena terlewat sibuk, tanaman mati.  Terpaksa dibuang karena sudah tak memberi keindahan lagi. Seseorang jadi  sedih. Bunga yang semula membuat seseorang merasa nikmat,segar, damai, dan nyaman berubah menyedihkan. Kita gelo (kecewa) Mengapa tanaman harus mati, mengapa aku kelewat sibuk. Tanaman segar yang semula membuat seseorang bahagia, akhirnya membawa kesedihan. Nah, pada akhirnya sesutu yang membahagiakan itu juga awal dari penderitaan, kan?


Yogyakarta, 21 Februari 2012

13.14

Sabtu, 18 Februari 2012

Pohon Tumbang di Gedung Agung

pohon ratusan tahun dan tumbang
cepat tanggap

mejeng dulu ah


Sore itu, kira-kira setahun lalu, saya mewawancarai GBPH Prabukusumo, mantan Ketua DPD Partai Demokrat DIY. Di tengah-tengah acara berlangsung hujan turun dengan  lebatnya. Angin menderu. Kencang sekali. Tiba-tiba  praak. Beberapa detik kemudian lampu padam. . Saya berteriak. "Apa itu?"


Tapi karena tak menengok ke luar, kami tak tahu apa yang terjadi. Dalam gelap, wawancara tetap berlangsung. Syukurlah hujan deras itu tak berlangsung lama. Saya  pun pamitan. Tiba di perempatan pos saya melihat ada pohon melintang. Baru sedikit orang. Mungkin tak sampai 5 orang. Saya wartawan pertama yang datang ditempat itu.


Tak berapa lama, petugas pertamanan berdatangan. Tak kurang dari setengah jam. Saya salut dengan cepatnya penanganan petugas Pemerintah Kota Yogyakarta. Pohon dipotong-potong karena melintang di tengah-tengah jalan. Masyarakat menonton.


Ini bukan sembarang pohon. pohon ini persis menjadi penjaga pintu masuk Gedung Agung. Konon, menurut petugas, usianya sudah ratusan tahun. Diameter pohon ini  tiga kali rangkulan orang dewasa. Yang mengherankan, pohon sebelah kiri  tidak tumbang tetap tegak dengan gagahnya.Aneh juga ya?



Orang-orang ada yang menggumam,"Akan ada apa ya? Bagi saya sih yang mencintai pohon, kehilangan pohon ini sama artinya kehilangan jiwa. Bayangkan perlu berapa puluh tahun  lagi pohon ini  bisa meneduhkan, menjadi penyeimbang polusi udara dan lain-lain.

suka sekali meski kayak tikus hihihi

Saya biasanya cuek jika ada peristiwa semacam ini. Tapi saya tidak mau ketinggalan momen. Masih  dengan jas di tubuh, karena hujan masih lumayan deras, saya minta orang yang menonton  memotret saya. Saya merasa kayak tikus. Tapi kok saya suka sekali foto ini ya?


Yogyakarta, 16 Februari 2012

Pukul 08.48 PM

Jumat, 17 Februari 2012

Napak Tilas

dok: istimewa
 Mulai hari ini hingga Minggu, saya akan mengikuti meditasi bersama Rm Sudrijanta Johanes di Prigen, Jawa Timur. Tanpa internet, laptop, telepon, dan berbicara. Ini kegiatan rutin  tiga bulan sekali sejak  dua tahun terakhir guna melatih kesadaran saya setiap saat.


Jawa Timur adalah  tempat  saya menuntaskan  studi sarjana saya. Jadi sembari meditasi, sekaligus napak tilas di wilayah Jawa Timur. Banyak kenangan  yang tertinggal. Seperti apa batin saya menanggapinya? Tapi meski saya bepergian, saya sudah menyiapkan  tulisan yang sudah saya siapkan tadi malam. Ini tulisan yang  berminggu-minggu belum saya tuntaskan. 


Jadi, selamat berakhir pekan, kawan. Semoga menyenangkan. Dari perjalanan ini saya  berharap mendapat banyak cerita yang bisa dibagikan. Untuk sahabat saya Ine Febriyanti yang besok merayakan ulang tahun, karena besok putus komunikasi, Met Ultah, buk. Terus berkarya untuk menginspirasi dunia ya.


Yogyakarta, 17 Februari.

Kamis, 16 Februari 2012

Anggrek

ungu cantik
keren ya warnanya?

siapa yang tahu namanya? 



Happy nice weekend, AJ.


Yogyakarta, 18  Februari 2012

Bohong

si artis berhidung pinokio
Sekitar tahun 2003, media tempat saya bekerja dituntut pengusaha TW karena menurunkan tulisan ada Tommy di Tenabang? Dia bilang semua yang ditulis tidak benar. Dengan percaya diri, si pengusaha mengaku  merasa tidak pernah diwawancarai wartawan yang bersangkutan.


Si wartawan menyaksikan pernyataan sang pengusaha besar di sebuah televisi swasta. "Wawancara itu bohong. Saya tidak pernah diwawancarai wartawan itu." "Saya akan melaporkan wartawan itu karena sudah bohong," begitu kata si pengusaha penuh percaya diri.


Saya jelas tahu si pengusaha bohong. Hehe....Karena saya yang mewawancarainya. Wawancara itu  dilakukan melalui telepon seluler karena  dia tengah berada di luar Pulau. Ada redaktur yang menyaksikan wawancara itu, saya merekamnya,dan nomer teleponnya benar milik yang bersangkutan. Terpenting  dari peristiwa itu ada klu klu yang jelas membuat saya  yakin karena dia mengenal saya lantaran   pernah bertemu di satu tempat.


Saya sengaja tak ingin menceritakan panjang lebar tentang peristiwa itu karena akan ada waktunya. Mari kita ke sosok  Angelina Sondakh  yang kemarin bersaksi di pengadilan.  Pembawaannya jauh dari kesan sehari-hari,  menor, bernas,  banyak omong, dan  cerdas.  Di sidang dengan terdakwa Nazaruddin itu, alamakjan, pembawaannya  tenang, suaranya melemah. Jawabannya juga sopan banget. "Tidak tahu Yang Mulia, Tidak, Yang Mulia, Tidak benar, Yang  Mulia. Begitu terus. Sampai jagad publik gemas menyaksikan kesaksiannya itu. 


Bagaimana mungkin seorang Angelina Sondakh, yang amat  update, modis, doyan banget belanja online,  anggota dewan baru punya Blackberry  akhir tahun 2010? Karena kebohongannya itu, Koran Tempo menggambarkan sosok  Angie seperti tokoh  pinokio, boneka kayu ciptaan Geppetto. Pinokio sebuah cerita fiksi yang berasal dari Italia, tapi sebagian besar rakyat Indonesia tahu kisah itu. Hidung Pinokio akan bertumbuh setiap kali dia bohong. Hihi cerdas juga ya. Beberapa tahun lalu, Tempo juga menggambarkan sosok Akbar Tanjung, politisi yang juga ketua umum Partai Golkar berhidung pinokio. Hemm...apakah bagi politisi, berbohong itu bagian dari iman ya? Kayak kamus wajib untuk bersih-bersih diri? 


Mungkin, bagi  Angie lebih baik berbohong daripada kehilangan jabatan, kekuasaan, atau kepopuleran. Mungkin pula dia tengah mengikuti skenario besar yang menjeratnya. Hanya dia dan Allah yang tahu :) Tapi sejarah punya catatan sendiri. Bukankah setiap orang mencatat sejarah bagi dirinya setiap hari. Orang lain mungkin bisa dibohongi. Tapi ada hal yang tak bisa dibohongi  oleh seseorang, yakni  dirinya sendiri. Seseorang yang membohongi dirinya, maka dia tengah mengkhianati nuraninya yang terdalam. Itu buat saya lho. Jadi, ketika akhirnya bersaksi di pengadilan, saya memilih jujur menyampaikan apa yang ada. Meski saya tahu bertolak belakang dengan keinginan sang pengusaha. "Saksi berbohong." :)


Yogyakarta, 16 Februari 2012

Pukul 18.53

Selasa, 14 Februari 2012

Pengkhianat

pohon di dili
Pernah ditabrak orang dari belakang? Saya kerap diseruduk kendaraan dari belakang. Saat itu saya sedang lari pagi ketika seorang  mabuk, menabrak dari belakang. Braakkkk...Suara dentumannya keras. Saya bahkan sempat teriak. "Ada bom." Sedetik kemudian saya baru sadar, itu bukan bom. Saya terpental, motor si pemabuk  menimpa saya.Enam bulan saya tidak mampu duduk bersila.


Kali lain, ketika lampu merah tengah berhenti di perempatan Slipi, Jakarta. Saya bahkan sedang mengirim gambar ke facebook melalui  Blackberry, ketika mendengar dentuman keras sekali. BB saya terpental, saya terjerembab. Posisi saya yang  di depan memang tak apa-apa. Tapi ketika saat melihat ke belakang, moncong besi itu sudah masuk ke mobil kami, mendekati tubuh kakak saya. Kaca belakang jelas pecah. Bodi belakang ringsek. Tiga mobil di depan kami terseruduk mobil. Begitulah kecelakaan  beruntun yang saya alami setahun lalu. Bahkan ketika mobil berhenti, tak melakukan aktivitas apapun.


Analogi saya tentang pengkhianatan seperti serudukan mobil atau mobil dari belakang. Lukanya lebih sakit ketimbang saat bertabrakan  kedua belah pihak sama-sama "saling' menabrak. Tentu bagi yang ditabrak dari belakang lebih sakit. Perlu waktu lama untuk menyembuhkan luka kecelakaan itu. Begitu pula pengkhianatan itu.Tapi apakah tidak bisa sembuh? Karena motto saya semua hal pasti akan berlalu, maka saya tidak pernah berlama-lama menggenggam luka. Menggenggam masa lalu itu seperti keong yang selalu membawa  rumah kemana-mana. Penuh beban. Buat apa? Toh, masa lalu tidak bisa dikembalikan.


Saya sempat punya pacar, kedua orang tua sudah berkenalan pula. Jarak jauh membuat dia berkhianat dengan perempuan lain. Hehehe. Padahal  sebelumnya dia pernah bilang  "Saya tidak akan menikah dengan siapapun kecuali kamu." Hahaha waktu itu saya ngakak. Saya jawab,"Saya tidak pernah percaya dengan omongan gombal." (catat ya buat nama muda yang mabuk asmara, namanya lidah  tak bertulang jadi ya begitu deh). Dan benar saja. Kejadian. Saya memutus dia hanya melalui telepon. Dadah...Dan tak lagi menoleh ke belakang. Belakangan ketika putus, kian terang benderang attitutenya sungguh memalukan. Upss...ndak perlu diceritakan  malah jadi bergunjing (terkekeh).


Tapi sejak itu, dia tak pernah berhenti mengajak saya kembali, bahkan menanyakan hal terakhir, masih mau menikah dengan dia atau tidak? Tidak berapa lama dia mengatakan itu, saya mendengar dia sudah menikah dengan perempuan itu, hasil perselingkuhan  dengan saya ketika kami berpacaraan. Hahahha...Saya ngakak lagi. Heran dengan kelabilannya. Tapi ya sudah, saya hormati keputusannya.


Saya kira cerita sudah usai begitu dia menikah.  Saya pun  sudah punya kekasih hati lain. Eh...ternyata dia malah lebih aktif menelpon saya. Permintaan facebook sampai sembilan kali saya tolak.  Dari  perkataan halus sampai perkataan  kasar sudah saya  upayakan agar dia tak perlu menelpon-nelpon lagi. Masa lalu ya masa lalu. Apalagi belakangan saya menyadari  bahwa saya ternyata tidak benar-benar mencintainya, jadi apa lagi yang perlu dibicarakan?  Dia bilang "Kangen ngobrol." Yiaaaaa...Saya ngakak lagi. Begitu saya membuka pintu masuk  obrolan itu, dia akan terbelit pada pengkhianatan  berulang. Kali ini  jelas yang diakhianati  istrinya, bukan? Saya pun  ikut-ikutan  mengkhianati istrinya. Hehehe. Benar, nggak? Sempat juga sih terlintas di kepalanya. Istrinya tahu tidak  ya, kalau suaminya "gatel". :)


Dari pengalaman beberapa teman, dan hasil diskusi saya dengan pemuka agama, perselingkuhan terjadi bukan dengan orang baru. "Tapi 90 persen  dengan mantan pacar," kata si pemuka agama yang  sering konsultasi denga umatnya. Lha...kalau saya tidak mau  berurusan dengan dia lagi, itu bukan karena saya masih sedih, tetapi menjaga agar pengkhianatan tak  terulang. Saya juga merasa layak menjaga jarak berteman dengan dia, lelaki yang  tak bisa memegang kata-katanya. Seseorang yang tak lagi memiliki kejujuran dalam dirinya, tak konsisten dengan ucapannya, dia sudah kehilangan segalanya.Harga dirinya. Dia memang hidup, tetapi sebenarnya dia sudah "mati". Kecuali dia mengubah hidupnya lebih baik. 


By the way, permintaan  pertemannya di facebook akhirnya saya terima lho. Hihihi. Tentu, saya berharap dia membaca tulisan ini juga. ;) Tapi kalau dia masih saja "gatel",  menurut kalian, saya apakan orang  seperti ini? 


Yogyakarta, 15 Februari 2012.

Pukul  7.56

Senin, 13 Februari 2012

Perjalanan 20 Menit

cupcakes valentine kiriman Ariyanti Puspodewi
Sabtu,(10/1) lalu  saya pingin liputan.Acaranya mungkin  remeh temeh untuk orang lain, tapi bagi saya nggak. Open house pendaftaran  sekolah  SD dan SMP Tumbuh Yogyakarta. Ada pentas seni yang bukan pentas seni sembarangan. Siswa berkebutuhan khusus berkolaborasi dengan siswa non berkebutuhan khusus. Wah, seperti apa ya?


Sekolah ini unik konsepnya. Sekolah museum karena berada di dalam kompleks Jogja Nasional Museum. Pemrakarsa sekolah ini menganggap seni, budaya, dan kreatifitas  bagian dari proses belajar mengajar. Tujuannya menyiapkan pribadi yang peka akan perubahan. Apa lagi uniknya? Siswa berkebutuhan khusus seperti retardasi mental, autis, melakukan kegiatan belajar mengajar bersama dalam satu kelas. Kok bisa? Lain kali saya akan bercerita tentang sekolah ini.


Saya justru ingin menceritakan perjalanan saya dari rumah ke sekolah itu. Karena lokasinya cukup jauh, saya ingin menyadari perjalanan ini. Biasanya lebih dari radius 5 kilometer saya malas bepergian. Tapi kali ini tidak. Saya mengendarai motor pelan, saya memperhatikan motor yang ada di depan saya. Toko dan  lapak di  kanan dan kiri jalan.  Serobotan kendaraan  dari kanan dan kiri, justru bikin saya tersenyum sendiri. O...begitu itu ya..kalau saya berkendaraan terburu-buru itu. Mirip orang kesetanan. Saya kerap melakukannya :)


Ketika berhenti di lampu merah, angka menunjukkan angka 2, orang-orang di belakang saya merangsek maju. Angka 2 berarti dua detik lagi lampu berwarna hijau, tanda jalan. Lagi-lagi ada orang dari belakang tak sabaran merangsek ke depan, mendahului antrian di depannya. Saya tetap tertawa. Oh begitu itu to...kalau ada orang tak sabaran. Saya tersenyum karena saya juga pernah melakukannya. Hihihi.Dari sisi sebelah lainnya,  saya mendengar tin...tin...tin...orang memencet klakson. Tak sabar ingin segera melaju, sementara ada banyak kendaraan yang antri di depannya. Memangnya, memasukkan  gigi tidak butuh waktu, atau memberi kesempatan orang di depannya untuk jalan lebih dulu tidak butuh waktu? Huh...Saya rada nggondok.Tapi terus sadar, saya nggondok. Berpikir lagi,  memencet klakson itu sungguh-sungguh  mengganggu orang lain dan bikin orang lain jengkel. :)


Kembali saya melanjutkan perjalanan. Dengan kecepatan 30 km per jam, saya kembali melaju. Saya melihat udara cerah. Langit  cumulus indah nian siang itu. Bahagia. Saya menyadari kebahagiaan yang meletup ini. Belum tuntas menikmati awan, saya melihat  kulit jeruk, sampah plastik di buang di tengah jalan. Pastilah orang tak mengenal iba membuang sampah di sini. Mereka tidak tahu ada tukang sapu yang mesti bersusah payah membersihkannya jika ada sampah berceceran. Apakah saya tidk pernah buang sampah di jalan? Terus terang, kalau itu sampah organik, saya  memang membuang sampah di ruang terbuka misalnya kulit jeruk, buah apel. Buat saya sesuatu yang dari alam mesti kembali ke alam. Biar menyuburkan tanah, itu alasannya. Tapi bukan berarti saya buang ditengah-tengah jalan protokol. Biasanya saya menunggu melewati  pekarangan kosong atau lahan terbuka.


Sampailah saya di pemberhentian berikutnya. Di depan saya sudah ada mobil dan motor.  Saya melihat sekeliling. Tiba-tiba busssss...asap rokok menempel di muka saya. Saya terbatuk. uhuk ...uhuk... Nafas saya sesak. Orang di depan mengendarai motornya sembari merokok. Belum lagi kelar, busss...lagi. Ada orang merokok di sebelah saya. Buru-buru kaca helm saya tutup rapat. Tapi tak ada gunanya.  Saya terkepung asap rokok dari dua pengendara di depan dan sebelah saya. Kali ini saya misuh-misuh. Jelas dia tidak tahu karena muka tertutup helm. Saya seperti ada di ruangan sempit tak punya cahaya dan tak ada ventilasi. Saya marah. Motor saya mundurkan sedikit untuk menghindari asap itu. Orang di sebelah saya memandangi  dengan aneh. Sekian detik kesadaran saya hilang, berganti dengan  marah-marah. Beberapa detik kemudian saya menyadari kemarahan itu. Obyek di luar tidak bisa kita ubah. Jadi yang bisa saya lakukan memandangi waktu yang menyusut. 5,4,3,2,1...Hijau....Saya terbebas dari  neraka asap di perhentian lampu merah, ruang terbuka, di langit cerah yang mestinya bebas polusi asap rokok.


Tapi meski hijau berlalu,  kemarahan masih menyeret saya. Sembari mengendarai motor, saya berpikir-pikir kok bisa ya ada orang-orang tolol yang tidak mempedulikan orang lain. Apa ndak berpikir kalau percikan api bisa mengenai mata orang di belakangnya, menyebabkan orang sengsara. Apakah si plempas plempus itu tidak berpikir kalau satu saat  dia melamun karena merasa nikmat betul dengan rokoknya dan braaak....dia menabrak orang. Apa si perokok di jalan ini tahu kalau  orang lain kesal, marah, membuat orang tidak nyaman akan perbuatanya?Deegg...sadar lagi....Saya kembali menyadari naik motor. Memegang setir.


Saya tiba di lokasi  dengan  waktu 20 menit. Saya memarkir kendaraan. Menarik nafas. Berpikir lagi.  Jika seseorang melatih kesadarannya dari saat ke saat, pastilah, Afriyani tak harus membunuh 9 orang dalam sekejab. Jika dia sadar bahwa saat  memutuskan menelan obat, berarti akan menimbulkan dampak yang fatal tak hanya dirinya tetapi juga orang lain, pastilah dia tak jadi melakukan. Jika dia sadar bahwa setelah minum obat dan  tidak tidur semalamanan, maka seharusnya dia tidak menyetir mobil, tentu tak akan  ada nyawa yang melayang.


Saya teringat wejangan Bante Panyavaro, Kepala Vihara Mendut saat membuka meditasi. Begini kata Bante. Ada sebagian orang menganggap meditasi itu hanya untuk orang bermasalah. Hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri. Di satu sisi benar. Tapi meditasi juga secara langsung bermanfaat untuk orang lain. Orang  yang bermeditasi, mereka yang melatih kesadaran, hanya akan berhenti di pikiran ketika ada sesuatu yang ingin dilakukan. Misalnya  ingin korupsi.  Seorang meditator, yang telah melatih kesadarannya, hanya  akan berhenti di pikiran saja, tidak jadi melakukan.


Pikiran saya kembali berjalan.  Sempat kembali kepada si perokok yang plempas plempus di lampu merah tadi.  Semoga rokok tak membuat dia melamun dan harus menabrak orang hanya gara-gara merokok sembari mengendarai motor. Ketika kesadaran saya muncul kembali....saya tersenyum geli. Pikiran kita itu benar-benar seperti monyet. Melompat ke sana ke mari. Sadar. melompat. Sadar lagi. Melompat lagi. Tapi yang ingin saya bagikan disini adalah perjalanan 20 menit yang biasanya terasa  capek sekali, tidak saya rasakan. badan tetap segar. Dalam  20 menit perjalanan gembira, geli, marah, nggondok datang silih berganti.  Saya melangkah ringan ke tempat berlangsungnya acara. Tentu akan saya ceritakan dalam tema yang lain.



Yogyakarta, 14 Februari 2012

Ahai ini hari Valentine ya. Selamat Valentine bagi yang merayakan. Bagi yang melarang dan menganggap ini haram...saya juga tidak akan mengucapkan Valentine hehehe.

Minggu, 12 Februari 2012

Selingkuh

Ini topik  sensitif, meski sebenarnya dekat dengan keseharian kita.  Entah dia sendiri yang jadi pelaku, sang teman yang selingkuh, atau saudara yang selingkuh. Entah dilakukan sembunyi-sembunyi atau telanjang. Entah mengakui dirinya selingkuh,  munafik mengakuinya, atau tidak sadar melakukannya. Tergantung pribadi masing-masing, sih.

Kalau Angie dan Anas Ubaningrum di iklan dengan muka  serius bilang "Katakan tidak pada korupsi,", begitu juga saya. "Katakan tidak pada perselingkuhan." Itu berpuluh tahun silam. Ketika saya masih naif. Kata buku The Secret, seseorang yang mengawali kata jangan atau tidak justru dia tengah mengerjakan sesuatu dari kebalikannya. Sebab hukum alam itu tarik menarik.  Tadinya saya nggak percaya. Tapi kok ya dalam banyak hal, harus saya akui kejadiannya benar adanya.


Maka ketika ada seorang teman bilang begini:  saya nggak setuju, apapun alasannya, mau keluarga harmonis atau tidak itu bukan alasan melegalkan CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) alias perselingkuhan, saya cuma tertawa.  Persis nasihat saya berpuluh tahun lalu kepada banyak teman. Dalam perjalanannya, saya menyadari ini,  ada suatu peristiwa yang tidak bisa dikendalikan, tidak bisa kita kontrol. Kita tidak meminta, tetapi dia hadir. Ada pula yang kita sengaja mencarinya.


Jadi, untuk sikapnya yang bilang "Tidak, pada perselingkuhan." persis seperti  Angie  yang bilang  "tidak pada korupsi, tetapi belakangan yang ngomong melakukan, saya  cuma bisa bilang, semoga saja seumur hidup, dia tidak pernah  mengalaminya. Karena saya percaya hukum alam itu mutlak kok. Ada yang di atas, ada yang di bawah. Ada hitam, ada putih. Seperti roda, hidup berputar terus.  Kita tidak pernah tahu ke depannya bagaimana, di atas atau di bawah. Jangan-jangan saja kita tidak pernah terjebak urusan ini, karena memang tidak ada lelaki atau perempuan yang datang pada kita. Atau si cewek naksir, cowoknya nggak.Si cowok naksir, perempuannya nggak. Nah, ketika dua-duanya saling  jatuh cinta, apa iya bisa lolos?  Hihihihi.


Selingkuh macem-macem motivasinya. Ini dari beberapa pengamatan saya dan kejadian yang  saya alami. (Eh ngemeng-ngemeng karena saya masih single, saya tidak pernah berselingkuh dong ;) Ada yang sekedar iseng, cuma pingin have  fun, ngeseks doang, sedang ada masalah dengan pasangannya, nostalgia jaman dulu alias CLBK -- Cinta Lama Belum Kelar, atau benar-benar terpagut panah asmara beneran.


Waktu saya  mau menulis topik ini, teman yang pernah "terperangkap" dengan  SLI bilang begini. "Tambahi ya dalam tulisan, saat melakukan  SLI, rasanya benar dan wajar karena  cinta itu datang  sendiri. Pakai bawa Tuhan segala, kenapa mempertemukan  dan menganugerahi cinta. Padahal itu semua  bisa diatasi dengan logika dan kesadaran.  Saya sudah mengalaminya." Saya tahu teman ini sampai berdarah-darah keluar dari belenggu perselingkuhan ini. Apakah akhirnya berlalu? Melalui latihan kesadaran,  sekitar enam bulan, saya menyaksikan jejak "rasa sesaat" itu pudar dan lambat laun lenyap. Kalau semula dia masih bingung jika sang tambatan hati masih menelpon, menyapanya, maka dengan cuma menyadari obyek itu, perasaan itu hilang. 


Saya termasuk orang yang tidak percaya kalau perasaan cinta seseorang itu tidak bisa hilang. Apalagi setelah Buddha bilang  cinta itu sumber penderitaan. Sangat benar. Orang yang mau terperangkap di dalamnya, karena dia bersedia memilih menderita. Cinta sejati, yang tanpa menilai, yang diperoleh dari batin yang bebas barulah yang tak mendatangkan  penderitaan. Bagi mereka yang belum pernah melatih kesadaran mungkin ini sulit dipahami. Bagaimana mungkin cinta adalah sumber penderitaan. Kan cinta mendatangkan kebahagiaan? Wah kalau topiknya sudah kesana bisa melebar kemana-mana.


Jadi kembali ke topik selingkuh saja, ya? Subuh-subuh tadi pagi, ada teman yang tengah ke luar negeri curhat. Dia  jatuh cinta dengan seorang tampan. yang begitu perhatian padanya. Jelas, dia sudah menikah dan punya anak.   "Kenapa aku gampang jatuh cinta. ya, Mbak? Saya kerap mendapat curhatan seperti ini. Nasihat saya pun standar, termasuk kepada teman-teman lain yang terjebak pada perselingkuhan. Perasaan cintanya itu ndak salah. Wong dia hinggap, mak bedunduk.  Dan panah asmara itu pun datang menghinggapi kita. Ini  kayak busur yang dilepaskan dan mencari satu obyek. Ketika obyek itu mengena, lhaaa....begitulah yang terjadi. Kan nggak mungkin satu panah bisa mengenai obyek lebih dari satu. Menancapnya kan cuma pada satu obyek saja.


Yang salah itu, kalau kita menanggapinya membabi buta. Maksudnya? Ya terseret ke dalam perasaan itu, melekatinya. Ini yang membuat orang bisa tidak jernih mengambil keputusan, tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. Saya  bertanya pada dia, sebelum dia memutuskan melanjutkan atau tidak hubungan ini. "Kalau suami mengkhianatimu, mau nggak? Dia jawab,"Nggak mau." "Ya sudah, berhenti," kata saya. . Ada juga saudara yang mengalami tergila-gila dengan mantan kekasihnya. Tai kambing rasa coklat, deh pokoknya. Diberi nasihat tidak mau ya sudah.Saya bilang, mencintai orang yang bukan pasangan, berarti siap-siap menderita. Kalau mau meneruskan menderita dan kamu mampu menjalaninya. Ya, monggo saja.


Ada pula teman lain, yang  selingkuh sampai jadi kebiasaan. Suatu kali dia tanya kepada saya, apa batasan amanmu  biar selingkuh itu ndak jadi masalah. "Jangan tidur sama pasanganmu." Bila perlu, tidak  bersentuhan fisik. " Kata dia: Yiaaaaa....mana bisa? Saya jawab," Ya sudah." Jangan mengeluh ya kalau nanti ada apa-apa. Emang kamu nggak pernah ngapa-ngapain? Saya jawab: "Sama pacar resmi saja saya nggak mau tidur, apalagi sama selingkuhan yang  ending ceritanya sukar dipastikan."  Hehehe.


Saya enggan menghakimi siapapun  teman, saudara yang sudah terbelit dengan urusan perselingkuhan. Itu kebebasan mutlak pada tiap  pribadi.  Saya pun tidak pernah akan pernah  bilang. "Jangan atau tidak", setelah beberapa tahun lalu, panah asmara saya jatuh pada seseorang. Tak terduga datangnya. Lagipula, tak selamanya hasil akhirnya  buruk. Ada misteri hidup yang sulit bisa diterima akal sehat, ketika mengalaminya.Ya sudah. Terima saja keadaan itu. Tidak melekati, tidak menolak, dan tidak menghindari. Cukup menyadarinya. Dan langkah  pun  jadi ringan.



Yogyakarta, 11 Februari 2012.

]Pukul 10.34.

Anggrek Ungu Kiriman dari Brazil


Sesaat setelah menemukan saya di blog, teman dari Brazil mengirimi saya anggrek warna ungu. Cantik sekali. Dia tahu saya suka bunga. Maka, dikirimi saya anggrek itu.  Teman saya ini suka berkebun. Katanya koleksi tanamannya ada 100. Wah. buanyak itu. Saya punya beberapa pot  tanaman, itupun hampir gundul karena  ditotoli dipatuk) ayam. :( 


Dia bilang ini sudah dekat hari Valentine dan bunga ini bisa direferensikan untuk menemani saya.  Hihihi. Saya nyaris lupa kalau tidak diingatkan. Bagi dia yang pekerja kantoran,  mengurus tanaman bisa menghilangkan stres dan kejenuhan. Saya mengangguk. Memang begitulah. Tapi ngomong-ngomong, saya ndak punya tanaman anggrek. Kalaupun saya memosting foto itu dari tanaman milik teman.


Belum punya  rumah sendiri membuat saya berpikir ulang untuk punya koleksi tanaman banyak. Angkut-angkut potnya, itu lho. So...hari Valentine nanti saya cukup memandangi anggrek, menyeruput coklat, dan menonton  VCD yang sudah saya siapkan. Saya akan memilih  tiga film kesukaan saya. Serendepity, Before Sunrise, Before Sunset, dan  AADC dong. Tapi saya paling  suka film Before Sunset di bagian akhirnya.Ketika sang juwita menyanyikan lagu, dan si lelaki memandanginya. Hanya memandang saja. Hihihi. Keren.Happy Valentine buat yang merayakannya. 


Yogyakarta, malam sebelum Valentine Day

Kayak anak SMA aja ah.

:)

Hujan, Coklat, dan Bernada

hujan, coklat, dan (B)ernada


B is brilliant, becoming, blissful, bold, beautiful. Weeew. Jingkrak.

Tema postingan ini : Hari ini boleh nyampah ya?  :)

Sabtu, 11 Februari 2012

Kematian ( bagian 1)

Ketika menyebut  kematian, spontan saya teringat beberapa peristiwa. Jatuhnya pesawat Mandala di Medan, Afriyani, pengemudi Xenia yang melindas 9 orang meninggal, dan  tabrakan beruntun di Puncak yang menewaskan  14 orang. Kematian datang tak terduga itu semua orang tahu. Di alkitab sendiri mengatakan. Kematian itu datang seperti pencuri di malam hari. Pendek kata, tak ada yang tahu waktunya kapan dengan cara apa.


Kematian tidak bisa kita pilih, kecuali memutuskan sendiri lewat bunuh diri. Ada segelintir  orang yang memutuskan  bunuh diri karena dengan sadar memilih cara kematiannya.  Ernest Hemingway, sang peraih Nobel, contohnya.  Kebebasan memilih keliru bagi sebagian besar orang, tetapi tidak buat yang menjalankannya. Lantas, jika merujuk kasus kematian mendadak  karena kelalaian manusia seperti yang  dilakukan Afriyani dan sopir bus, apakah kematian itu adil bagi para korban?


Dulu, waktu saya kecil, sering dinasihati orang tua begini. "Hati-hati di jalan, nduk, biar nggak celaka. Jangan minger." Hati-hati nduk, waspada. Ingat kanan dan kiri." Bertahun-tahun itu menjadi pegangan.  Tapi ketika sudah dewasa, saya menyaksikan  sendiri, betapa  kehati-hatian  pun tak menjamin kita bebas dari kematian. Kita berhati-hati, tetapi bagaimana jika orang lain tidak? Siapa yang mengira bahwa anak-anak yang berada di trotoar, baru beberapa menit sebelumnya masih main bola, tiba-tiba harus meregang nyawa ketika Afriyani yang baru saja "menguntal' ekstasi melaju dengan kencangnya dan menabrak mereka? 


Atau siapakah yang mengira, saat seseorang tengah pasif di rumah, tidak melakukan aktivitas apapun di luar rumah, tiba-tiba kematian menjemputnya ketika sebuah pesawat Mandala berisi  ribuan durian jatuh dan menimpa rumah si korban? Demikian pula karyawan tukang bakso dan pengunjung yang tengah menyantap bakso harus meregang nyawa karena serudukan bus Kurnia Bhakti di Puncak? 


Salah satu alasan saya menyukai awan adalah menyaksikan perubahannya yang begitu cepat. Dalam sekian detik dia begitu cerah, menit berikutnya  mendung dan tak berapa lama hujan.  Memandang awan, memberi kesadaran pada saya bahwa nasib kematian kita bisa seperti itu. Tak terduga.


awan dari kereta perjalanan jogja-jakarta ketika badai matahari
 Suatu siang, teman saya, Ayu, mengobrol di BBM. "Ya ampun, puanasnya. Eduan tenan." Dia tak sengaja tertidur. Pukul 15.00, dia terbangun dan mendapati jemurannya sudah basah kuyuk,kerja sehari sia-sia. "Gila ya, kita tuh ndak pernah menduga bahwa sejam lalu, puanasnya setengah mati, dan tiba-tiba hujan diserta angin kencang." Menyaksikan peristiwa kecil-kecil yang ada di depan mata, kami berdua sama-sama sepakat, kematian yang tak terduga itu seperti kita melihat tanda-tanda alam di sekitar kita. Tak terduga. Penutupnya. "Berbuat kebaikan, kini dan sekarang ini, memang cuma itu yang bisa kita lakukan." Kelak, ketika  kematian menjemput kita, bagaimana pun caranya,  yang tak mampu kita pilih, maka diri ini sudah siap. 


Sebagai referensi artikel berjudul Hidup dan Mati dalam sekejab buku : Revolusi batin adalah revolusi sosial by J. Sudrijanta, S.J mungkin bisa menjadi referensi kita semua. Selamat hari Minggu.



Yogyakarta, 11 Februari 2012

Pukul  13.30.

Sabu-sabu

sabu-sabu pating blasur
Pagi cerah. Saya memasak sabu-sabu. Teman saya memberikan resepnya. Dia saya undang ke rumah dan memberi instruksi, bumbu apa saja yang perlu dimasukkan, dan cara memasaknya. Ternyata gampang banget. Apalagi ada bumbu siap saji kikkoman yang dituang ke dalam mangku begitu kuah kaldunya sudah dibuat.


Kalau membayangkan namanya, kelihatan susah cara membuatnya. Eh...ternyata gampang banget. Bumbu shabu-shabu cuma bawang putih, jahe keduanya dikeprek, merica ditumbuk,  dan garam. Sudah. Direbus, tanpa digongso terlebih dulu. Ini memang menu sehat bagi orang yang diet. Untuk rasa kaldunya tinggal pilih, daging, ayam, udang. Karena saya tidak mau  daging dan ayam, saya pilih udang.


Nah, untuk sayurnya, tinggal pilih, brokoli atau sawi hijau, pokcai. Suka-suka. deh. Sayur hanya dimasukkan ketika kita mau menyantap shabu-shabu. Jadi, meski sudah dipanasi berhari-hari, sayuran yang kita santap tetap segar.


Pas saya bikin pertama, hahhaha...kok rasanya pating blasur ya. Pating blasur itu artinya ndak jelas,  ngalor ngidul. Tapi ya sudahlah. Tetap saja saya santap. Begitu  udang utuh  masuk ke mulut....hiii..tetap enak, kok.  Mau?


Yogyakarta, Minggu, 11 Februari 2012

Pukul  11.25

Ngintip Blog

Setelah jadi blogger (busyet kedengarannya kok gagah ya) saya suka intip-intip blog teman-teman. Mengintip blog itu asyik lho. Bukan untuk membanding-bandingkan tulisan sih. Tapi  lebih tertarik, cerita dia hari ini apa ya? Isi kepala beda, aktivitas berbeda, maka yang ditulis juga pasti beda. Senang sekali dengan warna warni hidup ini.


Dari intip-intip itu belanjaan kita jadi banyak. Ya belanja ilmu, wawasan, dan keunikan pribadi. Dari mengintip blog saya juga tahu bahwa ada banyak hal-hal sederhana yang sering terlewatkan karena kebiasaan. Misalnya peran ibu rumah tangga. Menjadi ibu itu buanyak banget kerjaannya.


Tapi sejauh ini blog yang saya intip masih sedikit sekali. Maklum lagi sakau dengan blog sendiri. Kayak anak kecil yang dapet mainan baru :)Tiap hari saya  semangat banget update blog. Sampai-sampai beberapa temen bilang,"Gila! Produktif banget." Saya memang tengah mempertahankan ritme menulis saya yang setahun belakangan  kacrut. Nah, begitu sudah "on" maka saya tahu tidak akan berhenti menulis. Ibarat motor yang akan dipakai pertama kali, perlu pemanasan. Hehehe. Semoga tetap konstan ya. Pekerjaan saya menulis. Kalau mati gaya, mau makan apa? :( 



Dari intip-intip blog ini, ada blog temen saya di http://episodediri.blogspot.com berjudul ibu rumah tangga yang cukup membuat saya diam sejenak. Jadi ibu rumah tangga itu ndak sesederhana yang saya  bayangkan. Perlu banyak energi. Dan kalau tak menyadari peran itu, saya pikir jadi ibu rumah tangga bisa cuma abal-abal doang.


Jadi ibu rumah tangga yang sukanya mengeluh atau menyerahkan sepenuhnya tugas kepada asisten rumah tangga. Tapi mengingat banyaknya pekerjaan itu mulai dari membangunkan anak-anak mereka, memandikan, memasak,mencuci piring, hingga melayani suami, sampai dia sendiri bekerja, saya jadi bertanya-tanya pada diri  ini,  bisa nggak ya melakoni rutinitas ini. Wowww...luar biasa jadi ibu rumah tangga.


Saya jadi inget sahabat saya Ine, pemain teater  yang kini sutradari. "Sehebat apapun perempuan, mau jadi pejabat, sutradara, aktris, di rumah dia tetap mengurus anak." Secara naluriah, anak juga akan lari ke ibunya, bukan ke bapaknya untuk urusan printil-printil seperti memakai baju, mau makan, mandi. Kalaupun ada anak-anak yang minta pertolongan ke bapaknya, jarang banget.  Saya menyaksikan sendiri kala saya berkunjung ke teman atau sanak saudara momen-momen seperti ini betapa repotnya para ibu-ibu.


Suara teriakan  di pagi hari meminta anaknya bangun, mandi, sarapan kayaknya jadi  rutinitas ibu-ibu seluruh dunia deh. Sahabat saya saking kencengnya "bengok-bengok" dengan tiga putera puterinya, dijadikan keisengan sang suami.  Konyol dan lucu juga. Suaminya merekam raungan sang istri di pagi hari. Begitu putera puteri mereka sudah berangkat sekolah, sang suami  menyodorkan hasil rekamannya ke sang istri. "Coba dengar suaramu." Teman saya keki berat, tapi juga tersipu-sipu malu.  "Weleh, suaraku tibake melengking  yo," kata sang istri tersipu-sipu malu. "Tapi kalau ndak teriak begitu, mereka bisa-bisa ndak sekolah," kata teman saya membela diri di depan suaminya.


Kisah lain diceritakan teman saya  SMA. Saya tahu, dia sangat pendiam, nyaris tak bersuara di bangku SMA. Cerita lantas bersambung ke dunia anak-anak. Dia bercerita betapa setiap pagi dia harus senam mulut teriak-teriak ke anak-anak karena mereka susah bangun, males mandi, males makan. Ada saja yang membuat para ibu harus teriak-teriak.  Sampai-sampai dia bilang, "Kamu cek aja suasana  pagi ibu-ibu di seluruh nusantara, pasti  mereka senam mulut." Hahaha. Saya ngakak.Kesimpulan saya, jangan pernah remehkan peran ibu rumah tangga ya? Peran mereka tak ada bedanya dengan para pekerja kantoran.


Kembali ke soal intip-intip blog, kemarin saya tergelak membaca postingan sepupu di http://indahnyahariku.blogspot.com yang lucunya minta ampun. Polos, lugu, dan pelupa. Yang terakhir sifat pelupanya  mirip saya haha.  Di blognya, dia bercerita ketinggalan kacamata minusnya di rumah dan harus beli kacamata tembak. Dari blog ini saya jadi thu ada kacamata minus yang dijual Rp 30.000. murah amat yak. Nggak kebayang kan? Soal bagaimana kelucuannya, silahkan baca sendiri, deh.


Dari intip-intip blog itu, cerita sederhana peristiwa  keseharian memberikan warna bagi saya. Menyadarkan kepada saya bahwa setiap manusia membawa keunikannya sendiri.  Tulisan yang tanpa bermaksud menggurui, hanya sekedar mencatat, menceritakan, mereportasekan yang dilihat dan diamati. Seru rasanya.


Yuk, ngeblog.

Yogyakarta, 10 Februari 2012

Sudah hampir tengah malam nih.

Jumat, 10 Februari 2012

Perayaan Cap Go Meh, Untuk Siapa?

Imlek di Ambarukmo Plaza tahun lalu
Serbuan "naga" yang mengolet dengan atraktifnya di Titik Nol Kilometer menjadi puncak acara Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) VII. Bertajuk  "Jogja Dragon Festival" warga Yogyakarta umpel-umpelan memadati kawasan sepanjang Jalan Malioboro, Senin,(6/2). Termasuk saya yang malam itu tergopoh-gopoh pingin menyaksikan  naga terpanjang 130,6 kilometer. Lebih dari itu saya ingin menjadi bagian peleburan warga pribumi dan Tionghoa dalam pesta rakyat ini. Pastilah menyenangkan.


Serbuan naga  di titik sentral Kota Yogyakarta itu,  menandai malam perayaan Cap Go Meh atau tanggal 15 bulan pertama, Tahun Baru Imlek  yang sekarang jatuh sebagai Tahun Naga. Menurut Wikipedia, Dialek Hokkien  secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Ini berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima belas hari.



Meriah betul malam  itu, kawan. Karena saya tidak mau berangkat gasik,  jelas pintu masuk Malioboro sudah ditutup. Semula saya pingin menyaksikan di titik Malioboro Mall, biar bisa melihat ular naga panjangnya, teringat lagu  kala saya masih anak-anak. Saya melipir ke Hotel Melia Purosani. Wah....sudah penuh juga.
Saya kemudian merapat ke jantung tempat berlangsungnya acara. Titik Nol kilometer. Parkir di kantor Pos Besar  yang seperti biasa membayar karcis motor 200  persen lebih  tinggi dari hari biasa, saya masih merasa beruntung mendapat  tempat parkir. Terlambat sedikit saja, mungkin saya cuma gigit jari.


Di tengah-tengah titik itu, panggung cukup besar, duduk Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Saya liat teman-teman  wartawan berada di area itu. Wah enak. Bisa lega. Malam ini saya penonton yang berjubel bersama puluhan ribu warga Yogyakarta. Keringetan. Leher terjulur-julur sampai pegal. Beruntung, badan saya cukup tinggi. Jadi masih bisa menyaksikan atraksi naga Hoo Hwan  Wee. Naga warna warni itu meliuk-liuk, berputar-putar, melompat ke sana kemari.  Wah, hebat. Berapa lama yah mereka latihan hingga tercipta harmonisasi gerakan yang  begitu  sedap dipandang?


Tapi di tengah berlangsungnya acara, saya merasakan ada keganjilan. Ke mana saudara-saudara warga Tionghoa yang  merayakan Cap Go Meh ya? Kok, tidak tertangkap mata saya dalam radius puluhan meter? Panggung VIP?  Kalaupun ada, jumlahnya  puluhan saja.  Panggung tak mungkin memuat ratusan tamu undangan. Mereka menjadi  pemain barongsaikah?  Iya, memang. Tapi berapa banyak? Oh mungkin mereka di titik lain? Tapi mosok, sih, mereka cuma terpusat di satu titik?  Salah satu alasan saya tergopoh-gopoh mendatangi  festival ini karena membayangkan cairnya kebersamaan warga Tionghoa dan pribumi lainnya. Pasti asyik juga ya, melebur bersama  warga Tionghoa yang merayakan. Pesta rakyat ini benar-benar ada di pelupuk mata saya.


Apa daya, yang saya bayangkan berbeda dengan kenyataan. Lantas saya membatin. Perayaan semeriah ini sebenarnya untuk siapa ya? Kata-kata pembauran yang digembor-gemborkan pembawa acara itu, sungguh indah. Tapi kenyataannya? Mosok sih sudah tujuh tahun peringatan, belum kelihatan hasilnya pembauran itu. Tapi meski ada pertanyaan mengganjal, tetap saja hati ini bahagia. Saya  pulang lebih awal, karena takut tak bisa bergerak. Ular naga panjangnya juga tidak bisa saya saksikan. Begitu pula pesta kembang api sebagai penutup acara.  


Saya sudah puas menyaksikan  replika kapal Laksamana Cheng Ho yang mengawali kirab. Juga replika Naga Laut Hai Long Wang membagi-bagikan kue-kue keranjang kepada penonton yang berdiri di tepi jalan. rakyat berebutan. Tentu karena tempat saya jauh, kue keranjang tak saya dapatkan.

Yogyakarta, Jumat, malam minggu kecil 9 Februari 2012

Pukul  19.10

Kamis, 09 Februari 2012

Salah Sambung

TNI AU latihan pesawat tempur di atas langit Jogja
 Berapa jam kesadaran yang kita miliki dari 24 jam sehari. Saya yakin seperempat hari saja kita memiliki kesadaran syukur Alhmadulilah. Saya termasuk orang yang ndlenger. Kalau di-Indonesia-kan apa ya artinya? Nggak fokus. Hilang konsentrasi. Lantaran  sudah menganggap ini masalah serius maka saya belajar sadar setiap saat. Meditasi salah satu latihan kesadaran itu. Pengaruhnya cukup  ampuh buat saya, meski belum bisa 100 persen. 
Seberapa parah sih, ndlengernya? Ini kejadian beberapa tahun lalu. Ketika saya masih bekerja di Jakarta, komunikasi dengan narasumber kerap menggunakan telepon. Tapi dengan catatan, saya mengenal dengan baik nara sumbernya. Nah, penyakit  saya adalah terburu-buru. Ndelalahnya, kerapkali  saya memasukkan nama narasumber itu  dalam telepon seluler dengan kode-kode jabatan dan nama yang seringkali malah lupa.


Lha masalah muncul ketika nama orang itu sama, di instansi yang sama, tetapi beda  seksi. Kadang-kadang sebuah kebetulan itu memang tak terduga, bukan? Katakanlah nama si nara sumber ini Subardi. Begini dialognya percakapan kami


Saya: Selamat pagi Pak Bardi.
Subardi: Selamat pagi Mbak Rurit.
Saya: Sehat, Pak?
Subardi: Oh sehat. Tumben telepon. Ada apa?
Saya: Begini lho Pak, saya mau menanyakan bla bla bla...kalau tidak salah pesawat latih TNI yang jatuh.  Saya jelaskan peristiwa 5 W 1 H.Sampai berbusa-busa...Kira-kira butuh 5 menit menjelaskan. Saat dialog terjadi...saya mulai menyadari kok si nara sumber  ah... uh ...eh ...oh...saja ya?
Saya : Maaf, pak. Ini benar Pak Subardi kan?
Subardi : Iya, Mbak. Pak Bardi.
Saya: Kok suaranya agak berbeda ya?
Subardi: Saya memang sedang batuk dan pilek.
Saya: Oh...makanya kok suaranya berbeda. (tapi saya terus saja kepikiran, "Kok ini bukan suara Pak Bardi yang saya kenal ya?) Nah, saya lanjutkan, Pak. jadi bagaimana Pak, Apa penjelasannya soal  peristiwa itu?
Subardi: Saya kan bukan pejabat yang berwenang menjelaskan ini? Coba di bagian ini (dia lantas menjelaskan instansi yang di maksud).
Saya: Lho ini bukan Pak Bardi yang di instansi ini? (Saya sebutkan nama bagiannya).
Subardi: Bukan, Mbak. Saya Subardi di bagian lain.
Saya: Waduh...maaf Pak. Namanya sama.

Weladalah....sudah ngguambleh 15-an menit. Salah sambung pula. Tepuk jidat 100 kali. Hiks....


Kasus lain yang bikin saya lemas juga karena salah sambung. Tapi kali ini bukan telepon tetapi SMS. Kali ini "korban" saya, pejabat paling tinggi di Kopassus, jenderal bintang dua. Saat itu ada kejadian bencana di Aceh kalau tidak salah dan  darurat militer masih diberlakukan.   Ndelalahnya, ketika saya SMS-an untuk menanyakan beberapa hal kepada yang bersangkutan, si pejabat sedang main golf. 


Waduh...nurani saya langsung bergejolak. Saya kebetulan punya teman yang bekerja di stasiun televisi. Saya curhat sama dia dan memberikan informasi ini melalui SMS. Kira-kira begini bunyinya. "Tahu nggak,  negara lagi susah, ada perang dan bencana,  sempat-sempatnya si bapak main golf?.Payah." Dan karena ndlenger itu tadi,  bukannya memasukkan nomer teman saya tadi, eh terkirim di nomer si pejabat. Hanya beberapa menit setelah saya memeroleh informasi kalau yang bersangkutan main golf.

Hiyaaaaa.....menyadari kekeliruan itu, dengkul saya sampai lemas. Bisa membayangkan bagaimana perasaan saya waktu itu? Ngomongin orang, eh yang  diomongin saya kirimi  SMS.Mau memberikan klarifikasi kok malah aneh. Sampai panik saya menghubungi teman ini. Setelah salah sambung  nomer telepon itu, saya tiarap untuk beberapa waktu. Ndak berani tunjuk muka. Hiiiii.....tatut. Pernah mengalami peristiwa seperti saya?

.
Yogyakarta, 10 Februari 2012. 

Pukul 10.00

Salah Eja


Teknologi memang mempermudah kita berkomunikasi dengan siapa pun. Ada blackberry, WhatsApp, ipad.. Tinggal milih teknologinya dan punya  budget berapa? Mempermudah komunikasi, jelas. Tapi apakah dengan  teknologi  yang maju ini, kita lantas luput dari kesalahpahaman dengan teman, pacar, suami atau istri, atasan, bos besar eh kalau itu istilahnya Angie ding, si trending topic di twitter beberapa hari terakhir.


Saya kok yakin, pasti di antara kita ada yang selip soal ini. Kok bisa? Salah  eja dalam menulis huruf salah satunya. Ini bisa terjadi lantaran antara  tangan dan pikiran  tidak klop. Tangan terlalu  cepat, sementara pikiran sudah langsung kadung menekan tombol send.

Contoh kesalahan yang terjadi antara kakak dan saya beberapa hari lalu.

Saya: Mbak, jadi pesan tas?
Kakak: Jadi.
Saya : Warnanya nggak ada yang hitam je, gimana?
Kakak:  Warna ndak papa  beda asal model sama dengan punyamu.
Saya: Oke deh, aku pilihkan yang ping bagus. Ini fotonya ya
Foto terkirim. Kok tidak ada jawaban.
Saya memutuskan sendiri. Memilih warna yang sesuai selera saya. Tidak berapa lama kemudian.
Kakak : Gimana sih mosok warna pink. Orang tua kok disuruh pakai pink.
Saya: Itu warna fotonya coklat, mungkin  buram. (grrr saya sudah mulai nggondok). Saya masih mengira hasil kesimpulan warna pink itu dari gambar yang terkirim.

Kakak: Pokoknya kalau pink aku nggak mau, nggak mau ganti.
Saya: Lha yang milih warna pink itu siapa?
Kakak pun memngirimkan dialog saya sebelumnya. Oke deh, aku pilihkan yang ping bagus. Inikan kamu bilang warna pink.Saya:  Maksudku bukan ping. Tapi plng. Plng = paling. Hahahaha.


Contoh kedua. Masih dengan kakak saya.

Kakak :Jadi kesini nggak? Kalau jadi jam  13.30. Acara kelar jam segitu.
Saya: Jadi. Nanti aku kesana.
Kakak: Oke deh. Ekang nanti juga datang. Jadi bisa ketemu sekalian.
Saya:  Oh sudah kontak-kontakan sama Pekan to?
Kakak : Iya. Cu.

Ketika datang ke TKP.Muncullah si Elang.
Saya: Pekang mana? Katanya mau datang?
Kakak : Lho siapa yang bilang Pekang datang?. Elang yang datang. Aku heran kok kamu bilang Pekan. Siapa itu?.


Kami berdua terus cocok-cocokan dialog dalam WhatsApp. Sudah tahu kan dimana salahnya? Kakak saya menulis nama Elang jadi Ekang. Kebetulan kami berdua punya teman namanya Pekang. Nah, saya juga salah mengeja nama Pekang jadi Pekan. Kesimpulannya, kami berdua kalau dalam bahasa Jawa sama-sama pating blasur. Kalau orang Betawi bilang  Joko sembung  bawa golok deh. Nggak nyambung komunikasinya.


Kesalahpahaman yang sederhana ini sebenarnya bisa jadi masalah besar kalau kedua belah pihak sama-sama emosi. Tapi kalau disikapi dengan dingin, yang ada justru bikin kami berdua terbahak-bahak. 


Soal  salah eja mengeja ini, tentu tak hanya dalam teknologi. Teman-teman yang membaca blog ini, beberapa diantaranya, memberi masukan agar blog ini dibaca berulang-ulang. Soalnya sering salah ejaan jadi kerap mengganggu proses membaca. Duh, maaf ya. Kalau saya lagi buru-buru pingin menyelasaikan tulisan sementara harus pergi, saya memang kerap tidak cek ulang. Jadinya begitu deh. Apalagi kata-kata yang mesti di underline karena tidak baku, waduh, malesnya. Belum lagi SPOK dan DM - MD-nya.


Kadang-kadang saya agak ngeles-ngeles menjawab pertanyaan ini. "Ini artinya kalian peduli kalau tulisanku sering salah eja." Atau "Ah aku pingin bebas mengekspresikan diri. Jadi ndak perlu lagi mikir DM - MD sih." Sejujurnya memang alasannya rada-rada males sih. Tapi jangan dicontoh deh, untuk alasan satu ini.


Sebenarnya, paling gampang belajar menulis dengan benar ini ada kuncinya. Saya melakukannya ketika menjadi wartawan baru. Setiap hari tulisan asli dan hasil editan redaktur saya  print dua-duanya. Dari kata perkata saya pelajari mana yang salah, mana yang benar. Hasilnya? Setidaknya pada masa itu, ejaan jarang ada yang salah. Meski tidak pernah sempurna, bahkan saat saya menulis ini sekalipun. Hehehe. (Gunanya editor apa dong? Begitu selalu pembelaan diri saya). Lha kalau blog ini salah eja gimana? Kan ndak ada editornya? Jawaban saya: Kan kalian bisa menulis di komentar hehehe.


Yogyakarta,  9 Februari 2012.

Pukul 17.38.