Selasa, 31 Januari 2012

Langit di atas Madiun

Perjalanan selalu  menyenangkan jika kita lebur di dalamnya. Apa yang kita temui  sering tak terduga. Seperti perjalanan saya awal Desember tahun lalu. Naik kereta Taksaka jurusan Surabaya-Yogyakarta, tepat memasuki Kota Madiun, saya menyaksikan langit yang luar biasa indahnya.


Antara terperanjat menikmati keindahannya, atau mengabadikannya dalam BB, sama-sama sukarnya. Saya mengabadikan ini dari balik kaca kereta api, jadi warna foto tak sejernih biasanya. Ketambahan lagi, kecepatan kereta tidak mudah untuk fokus pada obyek yang ada.

Tapi apapun hasilnya, meski belum sempurna, saya ingin membagikan ke teman-teman. Belum pernah saya menyaksikan langit secantik menjelang petang itu. Saya merasa mendapatkan hadiah paling sempurna dari alam semesta. Terimakasih alam semesta. Hadiah indah ini saya bagikan kepada teman-teman juga yang setia menemani saya di tjapoenk.blogspot.com


Yogyakarta, 18 Januari 2012


semburat merah, kuning, jingga

Senin, 30 Januari 2012

Tukang Sayur

Gerobak sederhana Agus. Jualannya ludes di sore hari
Perjalanan saya kali ini ke rumah kakak di Tangerang. Bertahun-tahun sering mengunjungi kakak saya, sore yang basah ini baru tahu ada tukang sayur yang istimewa. Kok bisa? Ada banyak alasan setelah saya mengobrol  bersama si tukang sayur, tentu  dengan tambahan informasi dari kakak saya.


Awal cerita ini bermula ketika kakak  mengajak memasak di sore hari. Kening saya mengerenyit. Beli bahannya kemana? Dia keluar rumah dan mengobrol dengan tukang sayur. Hah, tukang sayur  di sore hari? Yang umum, biasanya kan  ibu rumah tangga memulai aktifitas  memasak di pagi hari.


Nama sebenarnya dari si tukang sayur adalah Rusmani (37). Lucunya para pelanggan menyapanya Agus. Nggak nyambung banget, kan?  Ihwal sejarah nama itu, saat saya menanyakannya, dia menjawab malu-malu sembari tertawa lebar. "Katanya biar gampang manggil Gus...Gus...Agus." Begitu saja. Simple bukan? Ha...ha..ha saya ngakak mendengar penjelasan sederhananya. Baiklah, saya ikut-ikutan deh memanggilnya Agus. Agus  tinggal di Kandang Besar,  masuk Kelurahan Cikokol di sebuah rumah kontrakan bersama istri dan satu anak. Saban pagi buta, pukul 04.00 ketika  kebanyakan orang masih terlelap dalam tidur, dia sudah kulakan  ke Pasar Cikokol dengan modal Rp 400.000. Pada pukul 06.00 sayur mayur  hasil kulakan telah berpindahtangan ke para pelanggan. Hingga  pukul 17.00 sore sayur mayur ini dia iderkan dengan gerobak ontel mulai  dari perkantoron, komplek perumahan, hingga pasar kaget.


Ini dia salah satu alasan saya menyebut Agus bukan sekedar tukang sayur biasa. Dia mencari celah, mendapatkan pelanggan tak hanya dari ibu rumah tangga semata. Dia juga menyasar pekerja kantoran yang menyiapkan makan malam untuk keluarganya. Bisa pula ingin menyiapkan memasak pada keesokan harinya.  Nah pekerja kantoran ini biasanya pulang sore hari. Pada jam bubaran kantor inilah, Agus nongkrong dan menawarkan belanjaannya.  Hemmm...boleh juga ide si Agus.


Tak cuma soal strategi menjual, Agus juga mampu membuat para pelanggan menaruh kepercayaan yang tinggi. Dari cerita kakak saya dan menurut pengakuan Agus, nyaris tak ada pelanggan yang menawar barang dagangannya. Semua barang yang akan dibeli, diitung lalu dibayar. Semudah itu.  Ini lantaran harga sayur mayur yang ditawarkan pria asal Pekalongan ini sudah sangat murah.  Hebat juga ya, antara penjual dan pembeli sama-sama menaruh kepercayaan, di jaman modern ini.


Teknologi juga dimanfaatkan Agus sedemikian rupa. Untuk menjaring pelanggan, dia rajin melakukan kontak dengan para pelanggan.  Berapa nomer telepon pelanggan yang  dia simpan? Dari pengakuannya, ada 170 nomer telepon pelanggan yang masuk dalam kontak telepon selulernya. Woww...hebat. Kakak saya salah satu pelanggan yang diberi informasi Agus. "Ada ikan segar, Bu. Mau nggak?." Walah..enak bener yak. Jika pelanggan oke, maka pesanan itu dibungkus dengan rapi. Dengan cuma mengambil untung hanya Rp 2000, Agus mengaku sudah puas melayani pelanggan.


jamur goreng rekomendasi Agus. Maknyus.

Tak cuma itu saja, dia akan menawarkan sayur yang belum laku dan menginformasikan kepada pelanggan cara memasak sayur yang di maksud. "Jamur ini digoreng pake tepung enak, Bu," katanya. Kakak saya yang belum pernah memasak jamur digoreng menginformasikan ini kepada saya. Saya menganggukkan kepala. "Memang enak," kata saya. "Wah aku baru tahu kalau jamur bisa digoreng," kata kakak.. Setelah  menggoreng jamur,  kakak saya yang mencicipi jamur mengaku serasa menyantap  ayam goreng. "Wah gara-gara Agus, aku jadi tahu jamur bisa digoreng," ujarnya.


Oh ya, karena jualan Agus sampai sore, maka pengemasan  merupakan salah satu kunci agar sayur tetap segar. Nah, sayur mayur itu dikemas rapi layaknya  kita belanja di supermarket. Buktinya, sayuran pokcai yang dibeli kakak saya sore ini tetap segar tuh. Wah...saya sampai geleng-geleng kepala. Hebat benar ya dia. Kalau sudah one stop service begini, jika saya punya tukang sayur seperti Agus, jelas tak perlu repot-repot ke supermarket. Belajar dari Agus, seorang tukang sayur yang begitu menghayati pekerjaannya, seperti ada energi baru dalam diri saya. Beberapa waktu belakangan, produktivitas saya menurun drastis. Sungguh petang yang indah, belajar dari Agus, si tukang  sayur.


Bumi Mas Raya, Tangerang, 29 Januari 2011

Pukul  19.02

Minggu, 29 Januari 2012

Kejutan dari Brazil

Saya mendapat kejutan  beberapa waktu lalu.  Sebuah email  dari Brazil. Ini  cerita masa lalu. Bunyi email  itu kira-kira begini. "Beberapa kali aku mencarimu  di internet dan baru hari ini saya menemukanmu di Google Images. Aku mengingat lengkap  namamu dan melihat blogmu di Tjepoenk (salah lafal mestinya Tjapoenk) Aku buka blogmu dan melihat wajahmu di Gunung Merapi. Senang bertemu denganmu lagi. Sudah 11 tahun sejak aku  meninggalkan Malang dan semua masih dalam ingatanku. Kalau kamu terima email ini, hubungi saya balik ya. Oke?

Wow.  Kaget dan bengong. Bagaimana bisa menemukan email saya ya?. Ealah. Teknologi super  canggih ini rupanya. Ketika membuat blog ini, saya memasukkan beberapa artikel di goggle +. Jelaslah email ini beredar karena saya sendiri yang memasukkannya. Hebat juga ya, tali silaturahmi  Brazil-Indonesia yang juahnya minta ampun  bisa tersambung kembali karena  teknologi. Hari ini jadi tahu manfaatnya langsung.  Maklum, selama ini cuma cerita orang melulu.


Tapi ngomong-ngomong soal tali silaturahmi ini, cukup takjub juga ada yang mencari-cari saya. Kalau ndak ada email ini, saya juga bakal lupa ama teman ini. Meski saya tahu dia orang yang baik :) Yeahh... cerita masa lalu, kadang-kadang hadir sebagai pernak pernik hidup. Tak terduga. Bikin hati kaget, gembira, terharu. Tapi setelah itu juga berlalu. Kalaupun ada rasa yang tertinggal, semua juga akan berlalu, kan? 

Tangerang,  30 januari 2012 



Pukul  13.29

Rumah (bagian I)

tampak dari  tengah

Siapa yang nggak pingin punya rumah? Tempat berteduh  tujuan awalnya. Tapi bagi mereka yang telah mapan pasti punya tujuan lain,  eksistensi diri. Semakin rumah seseorang bagus, maka dia dilihat sebagai orang "berlebih". Tak jarang orang tak lagi melihat estetikanya. Makin kelihatan magrong-magrong (baca-gede mewah banget), maka akan menunjukkan eksistensi dirinya sebagai manusia.


Padahal kalau dipikir, seberapa besar sih kebutuhan seseorang untuk berteduh. Saya teringat Tante Nelly, pemilik homestay di Jalan Buring Malang, kawasan Ijen, daerah terelit di kota apel itu. Luas rumah Tante Nelly 800 meter persegi. Tapi dia tak serakah membabi buta membangun seluruh areal pekarangannya  menjadi bangunan. kira-kira 50 persennya saja, dia bangun rumah. Sisanya, rumah sejuk nan asri itu ditanami pohon  mangga dan bunga-bunga.Seterik apapun kondisi di luar rumah, berada di homestay miliknya selalu bikin siapapun yang ada di tempatnya keriyip-keriyip, pingin bobok. Angin sepoi-sepoi. Para pekerja yang  bekerja dalam diam. Suara burung berkicau. Pemandangan taman yang indah.

Kalau ke sini  paling tidak satu tulisan saya hasilkan

Suatu pagi, saat saya bersamanya, matanya memandang sekeliling tetangga  kanan kirinya. Para tetangga ini membangun semua areal tanah miliknya dengan bangunan penuh, nyaris tak menyisakan  pekarangan. Dia bergumam. "Apa tidak sesak ya, semua dipenuhi bangunan?," gumamnya sembari menebarkan matanya ke rumah para tetangga. "Memangnya penghuni rumah itu ratusan orang?," dia melanjutkan. "Padahal bumi ini kan perlu bernafas."


Kawasan Ijen, menurut aturan pemerintah setempat masuk dalam kawasan cagar budaya. Pasalnya, bangunan di Ijen termasuk bangunan  berarsitektur kuno. Bentuk rumahnya  berkerucut. Di kanan kiri bangunan ada lahan  kosong, tempat sirkulasi udara, rumah khas bikinan jaman Belanda. Tante Nelly  pun patuh. "Tidak ada secuilpun  rumah ini yang dibongkar," katanya."Karena ini bangunan bersejarah."  Mata saya berkaca-kaca. Saya membatin,"Andai saja, ada 10 orang seperti beliau, berapa banyak bangunan bersejarah di Indonesia yang selamat."


Kalaupun ada tambahan, maka hanya bagian  belakangnya saja, itupun tetap menyisakan pekarangan yang amat luas. Tamu-tamu yang mengunjungi homestay miliknya, selalu kerasan. Umumnya para tamu yang masih singgah adalah tamu setia yang telah berpuluh tahun. Perempuan berusia 90 tahun ini juga keukeh tidak mau menggunakan pendingin ruangan. "Kalau mau ya begini,  apa adanya." Tanpa AC pun, di sini tidak sumuk, kok." Oh ya, tak sembarangan orang menginap di sini. Pemilik rumah harus mengenal siapa yang membawa ke Homestay miliknya.  Demi keamanan, salah satu alasannya. Jadi kalau ada yang mau kesana, lewat saya tentunya hehe.

Tante Nelly dan pengunjung yang selalu menyayanginya


Tante Nelly memang tidak memasang plang papan nama homestay  ataupun promosi melalui iklan. Setelah sang suami meninggal, praktis dia mengurus rumahnya sendirian. Karena pajak di kawasan ini sungguh  mahal, maka rumah asrinya ini sebagian kamarnya disewakan. Uang sewa inilah untuk membiayai  operasional rumah. Tante Nelly punya dua putra yang  tinggal di Belanda. Syukurlah, dia punya dua asisten rumah tangga yang begitu setia. Bayangkan, mereka sudah bekerja selama 35 tahun.  Sungguh takjub saya dibuatnya. 


Entah, bagaimana dia menjaga sang asisten  hingga selama itu. Kebaikan yang dia tebarkan pasti salah satunya. Belakangan sekitar  7 tahun terakhir, saudara dari asistennya, menjadi tukang kebun. Sang tukang kebun  begitu menghayati pekerjaannya. Kalau tidak, mana mungkin taman di sana  hijau, subur, tertata rapi.  Dalam diam para pekerja takzim dengan tugas yang diperintahkan.  Ah....andai saja setiap insan di dunia ini menyadari misinya masing-masing, sekecil apapun perannya, pastilah ada kemajuan di segala bidang.


minum  teh di pagi hari sembari mendengar kicauan burung

Ngomong-ngomong, kenapa saya tiba-tiba menulis blog ini dengan topik rumah? Nah, di bagian ke dua saya akan bercerita. Hari ini  saya ingin menulis sebanyak-banyaknya. Maklum karena kesibukan, sudah lebih dari sepekan saya tak menulis blog. Tak menulis blog itu juga rindu lho.Tentu dalam hidup,  perlu sedikit merindu, bukan?  Semoga ada yang merindui blog ini, meski  tak ada yang berkomentar. hehehhe...Cupz




Tangerang, 29 Januari 2012

Pukul 18.07


kamar dengan tarif Rp 200.000. Nyaman ya?












Jumat, 20 Januari 2012

Mari kita mengoceh ke http://mengoceh.blogspot.com

Selain http://tjapoenk.blogspot.com saya juga menulis di http://mengoceh.blogspot.com  bersama teman saya, Ayu.  Silahkan menikmati tulisan terbaru saya "Umuk". Selamat berakhir pekan ya. Untuk teman saya di Brazil, ah sayang kamu ndak bisa bahasa Indonesia ya.

Kamis, 19 Januari 2012

Kisah Tentang Sahabat


Kawan, kali ini saya ingin berkisah tentang persahabatan.   Suatu pagi, Sophie Ray Love,  sahabat saya di India ngobrol via BBM.  Dia melontarkan gagasan yang cukup unik. "Yuk, kita buat bikin puisi bergantian," kata dia. "Apa nggak ngalor ngidul?," tanya saya. "Lagipula saya tak cakap berpuisi," kata saya lagi. Saya jujur mengatakan ini. Puisi saya garing. Saya tak pandai beramsal. Sementara, saya tahu, dia jago berpuisi. Jelas saya ngeper berat. 

Waktu saya menjawab BBM itu, segera dia memasang gambar gundul berkepala merah di BBM itu. Artinya dia marah, meski saya tahu marah tak serius. "Membuat puisi itu bukan soal bagus atau tidak, tetapi soal bagaimana hati dan jiwa."


Ray, teman satu kos saya di Surabaya. Pershabatan kami sudah 18 tahun pada bulan September nanti.  Bahasa Inggrisnya jago, bacaan bukunya banyak. Wawasannya luas, jadi tak pernah bosan kami berbuih berbagi cerita. Nah ini dia,  kalau bikin puisi dia jago. Ada satu kawan lain yang  jago berpuisi. Namanya Zara. Zara kian pintar berpuisi kalau dia jatuh cinta dan patah hati hehehe. (kayaknya semua orang yang tak cakap berpuisi pun bakal keluar aura berpuisinya kalau kena dua hal ini ya?) Jadi mestinya dua sahabat inilah yang berkolaborasi , ketimbang dengan saya. 


Tapi karena Ray terus memaksa, maulah saya. Setelah bilang tanda setuju, Ray memaksa kedua kalinya. Saya yang harus bikin bait pertama. Sialan kamu Ray. Udah maksa, aku pula yang harus memulai. Tapi ya itu tadi, kok ya saya mau memenuhi permintaan dia, ya? 


Pas saya sudah bikin, kita nggak mulai-mulai.  Gara-garanya, begitu saya bikin satu bait. Saya bilang, "Nah tuh lanjut kamu." Rupaya  Ray berkeinginan isi BBM tu murni isi puisi kita, minus dialog. "Say...nggak usah ada embel-embelnya...pokoknya harus bersih dari kata-kata lain selain puisi." Jadi salah intruksi mewarnai puisi kolabrasi ini. Tapi oke-lah puisi ini, pun jadilah, meski hasilnya ngalor ngidul. 

(cerita ini belum berakhir-red)


Inilah puisi yang kami buat bergantian


Ini kisah tentang persahabatan
Antara ombak dan rembulan..
Antara air mata dan senyuman
Antara mengisi dan berbagi..



Dan waktu yang seperti membeku,
Laksana hutan yang meranggas
Membuatku bertanya dalam diam....
Menunggu jawab tapi kita tak  pernah memulainya


Terkadang kesenyapan melumpuhkan
Aku kembali bertanya kemanakah muara persahabatan ini, sahabatku?
Di bebatuan dimana kuukir nama kita dengan tangan telanjang....
Aku menangis sesenggukan


Menyerumu agar kembali,rengkuh aku..
Aku berlari, mengadu pada langit
Berharap satu bintang tak lupa bersinar
Berharap rembulan tak lupa menyinari hati yang tengah gering


Agar dapat kutanami lagi,sudut hampa di taman itu..
Taman yang mampu menyirami kebekuan hati kita
Setelah sekian lama,sendiri tak lagi sepi
Batin tak lagi gaduh dengan kecemasan dan kekecewaan


Dengan gulana dan nestapa
Aku membiarkan waktu berpihak pada kita, pada persahabatan kita
Dan kau.Dan Aku. Menjadi juara.




Puisi oleh Sophi Ray Love dan Bernada Rurit

Selasa, 17 Januari 2012

Yuk, Melancong ke Ketep

Keteb pukul 07.30


Ketep. Belum banyak yang tahu lokasi wisata di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini. Padahal tempat wisata ini dahsyat banget lho keindahannya. Keindahan yang sempurna menurut pendapat subyektif  saya. Bayangkan dari sini, ada lima Gunung yang bisa kita nikmati. Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, dan Slamet. Semuanya bisa ditangkap dengan mata telanjang. Depan belakang, samping kanan dan kiri, sampai kita dibingungkan harus memfokuskan obyek yang mana. Semua sama mempesonanya.


Wisata Ketep sudah cukup digarap serius  oleh pemerintah setempat, meski ada bolong di sana sini, terutama transportasi pendukungnya. Kita bisa menonton film tentang kegunungapian di Museumnya. Titik pandang mata seperti terlihat ada di gambar tersedia kursi dan tempat nongkrong. Ketika saya memasang foto ini di facebook, banyak yang bertanya di hotel mana ini? Padahal tempat ini benar-benar  murni lokasi wisata, tidak ada restoran,  juga hotelnya. Kalaupun ada tempat makan dan minum, hanya gardu-gardu sederhana milik warga setempat.


Sudah kali ke sekian saya mengunjungi Ketep, (mungkin 5 kali). Pada kunjungan terakhir inilah Gunung Merapi sebersih ini baru dapat saya nikmati. Maka, begitu mendapatkan  keindahan yang begitu sempurna ini, saya kalap memotret. Kamera poket dan BB ini  tak henti-hentinya membidik semua yang mampu saya jepret.  Belum pernah saya senorak ini, kawan. Naik di atas pagar yang mestinya tidak boleh dilakukan karena bahaya, bisa jatuh ke bawah. Miring ke kanan, ke kiri. Pokoknya....saya banci kamera yang seolah-olah baru pertama kali  punya kamera hehehe.  


Di sebelah Gunung Merapi itu sebenarnya ada Gunung Merbabu. Cuma, (saya tak bermaksud membedakan keduanya), memotret Merapi memang lebih eye catching. Sementara dua gunung itu  sulit dipotret  berdampingan. Mungkin karena saya bukan  fotografer. Jadi, saya  cuma bisa memotret salah satunya.

Mengapa saya sekalap ini? Untuk menghasilkan pemandangan sebersih ini saya perlu berbagi. Jangan bernasib sial seperti saya sebelum-belumnya ketika mencoba mengunjungi Ketep. Pada kunjungan sebelum-belumnya, saya hanya menikmati kabut. Seperti orang buta yang berjalan dalam kegelapan. Tak menemukan apa-apa.  Dan itu berulang-ulang terjadi. Sudah begitu ampun dinginnya. Brrrrrrrrrrrr.  Teman-temanku penyuka perjalanan pasti tahu berwisata ke Gunung itu seperti kita menunggu kekasih yang kita kunjungi, tetapi kunjung ke luar dari kamarnya. Kadang-kadang perlu sedikit rayuan (ah...lebay). 


Tapi memang begitulah Gunung. Nah, untuk mengunjungi Keteb kita memang perlu bersusah payah. Yah...mirip pria yang menunggu si gadis menyatakan "iya" ketika sang jejaka sudah menyatakan cintanya agar cintanya diterima. Hihihi.Pertama, kita mesti bangun pagi sekali. Yap pukul 4.30 saya sudah bangun. Saya harus berangkat pukul 05.00 karena saat tepat menikmati gunung-gunung itu pukul 06.00. Perjalanan ke Keteb sekitar satu jam dari Kota Yogyakarta.  Begitu tiba di Pabrik Kertas Blabak, mobil langsung belok kanan. Tidak usah taut tersesat, ikuti saja jalan satu arah. Muara terakhirnya, ya ke Keteb. Tapi makin ke atas,  kondisi jalan makin menukik takam. Yah lumayan dibikin menghela nafas berkali-kali deh. Tapi jangan khawatir, pemandangan kanan kiri  menuju Keteb sudah cantik. 


Kalau naik mobil, saya sarankan buka jendela lebar-lebar. Offkan pendingin mobil. Rasakan  baunya tanah, padi yang tumbuh di kanan kiri. Segarrrrrrrr benar. Saya sampai menyedot dalam-dalam bau di luar sana. Pipi ini dingin seperti es. Rambut berterbangan. (Tidak disarankan nyalon dulu ya ;) rugi berat).


Sekitar setengah jam dari Blabak, sampailah di Keteb. Begitu masuk pedagang strawberry dan buah (ya...lupa namanya) juga beragam sayur mayur yang harganya miring banget sudah memenuhi badan jalan menuju Keteb. Lebih baik belanja setelah menikmati keindangan panorama gunung itu ya? Mengapa begitu? Karena saat berkunjung itulah, saya menyaksikan  awan-awan berarak mulai menutupi gunung pukul  09.00. Jadi kita hanya punya waktu 3 jam untuk menikmati gunung yang demikian jelasnya. Tapi 3 jam  dengan pemandangan seperti ini sungguh singkat lho. Saya sih merasa tidak cukup. Apalagi saya menyempatkan diri untuk duduk diam, berhenti berpikir :). Oh ya pemandangan awan-awan yang berarak menutupi gunungnya itu sendiri juga hiburan tersendiri untuk saya. Rasakan sendiri deh.


Sayang di sayang, transportasi publik menuju sana kurang terorganisir dengan baik. Saya pernah kesana. Waktu itu saya mengingap ke rumah teman di daerah Blabak. Mestinya selama-lamanya perjalanan by bus colt menuju Keteb sejam perjalanan. Ehhhhh, kami kesana sampai hampir 3 jam. Apa yang terjadi? Okai. Pertama menunggu penumpang penuh yang bahkan bikin kita ketiduran sampai bangun lagi, tetapi kita masih berada di titik yang sama. Bwuuuahhhh...bikin muntap.mobil coltnya sendiri juga sudah renta, sehingga beberapa kali naik turun ketika tanjakan. Ini pula yang  bikin jantung serasa  protol (copot). Hadeeeehhh. Nah, maksud saya, mbok ya pemerintah turun tangan mengatasi  transportasi yang  buruk ini.  Kan nggak semua yang ke Keteb punya mobil dan motor? 
 
Bukan berarti saya anti naik transportasi  umum. Tetapi  gara-gara menunggu waktu yang tak jelas itulah, saya yang sudah berangkat  jam 8.00  waktu itu, jadi  tidak bisa menikmati lima gunung. Huh. Beteeeee abis...Karena perjalanan panjang menuju Keteb itu punya cerita, maka saya menjadikan foto-foto di Keteb ini salah satu koleksi terfavorit saya. Maklum penuh perjuangan. 


Semoga kalian lebih singkat menikmati lima gunung ketimbang saya yang sampai bolak-balik cuma mendapat suguhan kabut melulu. Seperti orang buta. Tak menyaksikan apa pun kecuali berwarna putih. 


Yogyakarta, 17 Januari 2012

Di sebuah sudut warnet, pukul 15.45.




Kalau sudah begini yang lain kos deh


narsis bentar  boleh ya?

Senin, 16 Januari 2012

Awan Kiriman dari Sahabat

langit kiriman ken petung-- pemburu awan yang sabar


senja di Kaimana by Sony-Fatih Gama

Saya suka awan. Mungkin karena kerap posting di jejaring sosial, maka saya jadi sering menerima awan. Mereka mengirimi saya di BB atau facebook. Asyik. Suka banget. Saya jadi punya banyak teman deh. Karena jumlahnya cukup banyak, saya akhirnya minta ijin kepada mereka agar awan itu bisa mengisi   blog tjapoenk  dan dinikmati teman-teman. Ken Petung adalah sahabat yang ahli tentang per-awan-an. Pada dia, saya banyak bertanya. 



Maklum  pengetahuan saya masih cetek. Baru sebatas mengenal cumulus dan  cirrus. Kalau sudah detil, saya agak susah menghafal. Awan kiriman sahabat-sahabat saya keren-keren lho. Ada yang dari Kaimana. Ingat lagu Senja di Kaimana itu kan? Nah awan di  wilayah dekat Papua Barat itu saya peroleh dari Sony yang melakukan penelitian di Kaimana. Wow...benar-benar dasyat. 
awan dan matahari terbenam  di Tanjung Layar by Agung S


Agung Setiawan, teman saya dari Jakarta juga paling rajin mengirimi saya awan, matahari terbenam, atau  bulan. Kirimannya dari macam-macam kota. Terimakasih ya Agung. 


Saya sendiri, jika bepergian kemana pun, kota manapun, selalu menyempatkan diri memotret. Saya akan terus mengirimkan awan-awan ini ke blog ini. 






Yogyakarta, 18 Januari 2012







Belajar Memanggang Roti




pemanggangnya unik
roti dioles telur
Bermain di rumah sahabat, selalu saja ada hal baru yang bisa kita bawa pulang.  Pagi tadi,  Dessy memanggangkan roti tawar untuk saya. Biasanya pemanggangnya memakai toaster. Tapi Dessy punya pemanggang yang menggunakan api, berbahan gas. Bahannya dari semacam lempengan baja. Tak perlu pakai mentega tau minyak lho. Jadi cocok betul untuk yang diet sperti saya. 


Biasanya juga selai roti hanya dari coklat yang dioles setelah proses panggang selesai. Tapi kali ini, dia mencampurkan roti dengan telur yang sudah dikocok bercampur garam sedikit. Kocokan telur itu dioles-oleskan ke roti tawar lalu dibolak-balik. 


"Wah apa ndak amis, Des," tanya saya. "Nanti dicicip aja, amis apa nggak?" kata Dessy. Begitu berwarna coklat. roti berlapis telur itu diangkat. Wah mateng dan rasanya gurih. Enak dan tidak amis. Dessy lalu mengambil mayones. "Dicocolin mayones lebih enak lagi," katanya. Saya mencobanya. Wah...swear deh. Kalian mesti mencobanya.  Cocolan lain yang direkomendasikan saos sambel. 


Oke deh. Saya pulang  dengan tambahan pengalaman. Memanggang roti telur oles mayones. Maknyus, pemirsa. :)

YOGYAKARTA, 16 JANUARI 2012

PUKUL 17.28

Minggu, 15 Januari 2012

Pagi di Riverside


Setiap pekan saya menyempatkan diri berkunjung ke rumah teman atau saudara. Sesekali menginap. Kali ini teman yang saya kunjungi Dessy Yusnita, sahabat saya sejak duduk di bangku SMA. Awet ya persahabatan saya? Dessy bersuamikan Teuku Dalin, asli Aceh. Anak mereka lucu-lucu, Olga, Anca, dan Troy. Dan pastilah rame. NAh, interaksi Dessy dan anak-anak itu sendiri sudah menjadi hiburan tersendiri untuk saya. Pada bagian lain, saya akan bercerita tentang lucunya anak-anak.

Mereka punya tiga cottage, persis di pinggir Kali Boyong, Pakem, dekat Gunung Merapi.  Kali inilah yang  berhulu ke Sungai Code yang membelah Kota Yogyakarta. Ketika banjir lahar dingin berpotensi mengancam Yogyakarta, biasanya mereka berdua mengabarkan ke facebook, bbm, atau jejaring sosial lainnya. "Yang di Yogyakarta, setengah jam lagi siap-siap ya...banjir lahar dingin akan datang." Begitu kicauan Teuku Dalin.

Riverside sungguh tertata dengan apik. Kedua suami istri ini senang berkebun. Salut saya. Mereka bisa lupa waktu kalau sudah berkebun. Bagi Dessy berkebun salah satu meditasi dirinya. Okai. Hehe. Saya beruntung selalu mendapat undangan menginap.
Mereka tahu seorang penulis butuh suasana tenang. Ketambahan lagi saya suka meditasi.


Ya ampun setiap sudut tempat ini benar-benar nyaman untuk meditasi dan menulis. Inilah  gambar-gambar yang bisa dinikmati. Kunjungi juga webside mereka di http://riverside-jogja.com


Yogyakarta, 16 Januari 2012

Riverside, pukul 10.00
 

Burung, Langit, dan Pagi




Berpekan setelah meditasi, saya punya kebiasaan bangun subuh. Jamnya sama. Pukul 3.45. Setelah bangun, reflek saya mengintip jam di telepon. Diam. Bengong sebentar. Pas pukul 04.00 saya pejamkan mata,  berdoa dan berlanjut ke  meditasi. Selesai pukul 4.30 hingga 05.00. Tergantung lamanya meditasi.


Bisa jadi saya selalu memilih tempat tinggal yang selalu menghadap langit. Dari beranda kamar saya pemandangan awan terbuka terlihat jelas dengan mata telanjang. Biasanya,  setelah meditasi kelar, lambat laun  hari mulai terang tanah. Langit bisa cerah, bisa pula  muram. Saya suka memandangi langit  dengan perubahannya yang begitu cepat. Ini mengingatkan pada saya bahwa kehidupan ini juga berubah dengan cepat. Perubahannya bisa membuat mata kita terbelalak, mengangumi keindahannya atau kecewa dan sedih ketika awan yang dilihat tak sesuai harapan. Begitu pula hidup. Ada sedih, kecewa, kesal, gembira. Tapi satu hal yang saya simpulkan dari semua ini tidak ada kesedihan atau kebahagiaan yang permanen. Jadi kenapa harus repot dengan semua itu?


Di langit kamar kos saya, ada du burung yang selalu terbang beriring. Burung yang sama, pada jam yang sama. Saya kurang begitu mengenal perburungan. Tetapi mata saya menangkap satu burung membawa alang-alang atau semacam itulah untuk membuat susuh (duh bahasa Indonesianya apa ya. Oh ya sarang burung)  Kaki si burung mencengkeram helaian alang-alang, satu burung ada di depannya seperti mengawal. Hihihi lucu juga ya. Kayaknya gini deh. Pasangannya membawakan bahan rumah untuk mereka, satu pasangan lain menjaganya. Begitu nggak ya?


burung terbang di atas langit hongkong foto by ariyanti puspodew

Oh ya...yang saya amati dari burung-burung ini pada saat latihan meditasi adalah mereka punya jam tidur dan jam bangun lho. Sekitar pukul 18.15, burung berhenti berkicau sama sekali. Malam senyap. Hebat, burung-burung ini bener-bener patuh dengan alam semeseta. Mereka seperti punya ketepan jiwa. 12 jam tak henti berkicau, maka saya harus berhenti bicara 12 jam. Kok 12 jam? Nah, saya baru menyadari, kicauan burung pertama di pagi hari. Ayo tebak pukul berapa? Yap...antara pukul 05.15-05.20. Jadi kicauan burung sebenarnya bisa menjadi penanda waktu manusia lho.


Kicauannya pun  tak langsung ramai. Lirih dulu, satu burung lain berkicau menyambut pendek. Nah, baru pukul 06.00 dunia mereka sudah ramai. Saut-sautan mereka makin panjang. Dan dunia burung pun berdetak....itulah mereka yang memenuhi indera kita.

langit di atas Vihara Mendut, Magelang


Itulah sebabnya saya selalu suka pagi. Ketika bensin di tubuh kita penuh. ketika batere di tubuh kita masih full. Di saat itulah saya merasa bisa memaksimalkan kesadaran. Dan ketika pikiran digunakan pada siang hingga malam harinya, tetap terasa segar. Pagi buat saya menentukan aktivitas saya selanjutnya. Kalau saya mengawalinya dengan marah-marah, grusa grusu...wah...biasanya waktu selanjutnya agak tersendat-sendat :(


Karena kos, hidup saya tentu terbatas pada ruangan 3,5 meter kali 5 meter. Sempit sekali. Tetapi saya tak membiarkan tubuh ini hanya sebatas 3,5 kali 5 meter. Saya juga tak membiarkan mata dan telinga saya hanya terbatas pada benda 21 inci: televisi. Membatasi ruang gerak hanya pada benda 21 inci dan  ruangan 3,5 kali  meter bisa membuat  seseorang kehilangan gairah hidupnya.


Pagi di Riverside, Pakem. Dessy dan Dalin's cottage.


Maka, dapur, taman mini yang saya miliki menjadi obyek saya lainnya. Karena itulah, pagi buat saya selalu menggairahkan. Bagaimana dengan Anda?


Yogyakarta, 16 Januari 07.00

Hujan



Hujan selalu mendatangkan hawa romantis. Saya barusan ditanya seorang teman, kalau terjebak di rumah dan tak bisa berkegiatan di luar, apa yang kamu lakukan? Buat saya,  hujan jelas  bukan jebakan. Tak hanya mendatangkan hawa  romantis, hujan selalu membuat saya kreatif. Ide mengalir. Menulis lancar.


Untuk itulah saya menulis  blog, kegiatan yang saya sukai belakangan ini. Saya merasa ketika tak tik hujan deras mengalur, tulisan ini seperti mendapat irama. Ih lebay ndak sih? Tapi begitulah yang saya rasakan.

Selain menulis apa lagi kegiatan saya kalau hujan? Memasak dan baca buku itu kegiatan  favorit saya lainnya. Memasak kala hujan, tentu saja menu yang saya masak jenis berkuah. Karena favorit saya tom yam kung, maka menu ini yang saya buat. Mengapa pas hujan? Karena badan tak terlalu berkeringat :) Hujan kan mendatangkan hawa dingin, jadilah memasak kala hujan tak berkeringat.

Nah, begitu  masakan kelar dikerjakan, menyantap masakan panas-panas di tengah hujan aduhai nikmat betul. Apalagi ditemani teh hangat. Waw...sungguh menyenangan untuk saya. Buat saya memasak dan  menulis adalah terapi diri yang paling mujarab. Apalagi kalau pikiran tengah gundah gulana. Coba aja kalau nggak percaya hehe.

Nah, setelah memasak dan menyantap makanan berakhir, saya biasanya mencari buku-buku yang belum saya baca. Saya punya kebiasaan kalau uang tengah berlebih, ke toko buku beli buku buanyak. Buku-buku inilah yang menjadi cadangan ketika saya ingin berleha-hela juga  menikmati hujan bersama buku. Duh, rasakan sendiri deh kenikmatannya.

Kalau saya tengah malas membaca buku, saya nonton film dari pemutar cakram. Sama seperti buku, saya kerap membeli film-film lawas atau baru dengan jumlah banyak. Nah, film-film ini saya keluarkan ketika hujan :). Sembari memeluk guling, di luar hujan, nonton film aih...mantul deh. Mantul is mantap betul.


Mau mencoba bermain bersama hujan. Yuk, saya temani ;)

Riverside, Pakem

Yogyakarta, 15 Januari 2012

Pukul 19.37

Kamis, 12 Januari 2012

Natal


Natal baru saja lewat.  Bukan melewatinya di gereja, saya justru "bersemedi" di Vihara Mendut, tempat berdoa orang Budha. Tak hanya mereka yang Kristiani, bersama saya, malam Natal yang saya lalui  bersama teman Muslim, Kristen, Hindu, Budha, dan atheis. Kami bersama dalam diam.


Sudah dua tahun ini, perayaan Natal tidak saya habiskan bersama keluarga. Apakah hidup saya merasa tidak lengkap? Saya sedih? Saya merasa kosong. Tidak.  Biasa saja. Natal bagi saya sama seperti hari-hari lain. Begitu pula Lebaran, Waisyak, Idul Adha dll. Mengapa begitu?


Sebenarnya tulisan ini penting nggak penting. Tapi pada akhirnya saya perlu menuliskannya, karena teman-teman yang sama-sama mengikuti meditasi menganggap ini perlu dibagikan. Soal penting atau tidaknya, dianggap nyampah atau  tidak, monggo saja.


Saya ingin flash back berpuluh tahun silam ketika Natal, Lebaran, Paskah, Idul Adha menjadi perayaan yang begitu saya tunggu-tunggu dan  menyenangkan. Karena saya merayakan Natal, maka membeli pakaian baru, menghias gua, menata kue-kue, menyiapkan permen, dan menukar uang recehan untuk dibagikan anak-anak kecil yang berkunjung ke rumah kami sungguh menyenangkan.


Pada Misa Malam Natal, meski kadang terkantuk-kantuk karena lamanya  beribadat hingga 2,5 jam, tetap semangat hingga  peribadatan bubar. Nah ini dia puncaknya. Sejak pagi, tamu-tamu berdatangan, mengucapkan selamat Natal dan ikut bergembira bersama kami. Tidak hanya mereka yang Kristiani. Lingkungan rumah yang mayoritas Muslim juga hadir bersama kami. Menyantap kue. Setelah itu, obrolan berpindah  ke meja makan. Karena Natal tidak seperti Lebaran yang identik dengan ketupat, maka biasanya menu keluarga kami opor ayam, gule kambing, rolade, sop usus,  ayam goreng dll.


Begitulah perayaan Natal di kampung saya yang membekas. Sebaliknya pada perayaan Lebaran, gantian kami yang berkunjung ke kerabat dan  tetangga kami.  Waktu lebaran tentu buat saya yang masih anak-anak sama   menyenangkannya seperti Natal.  Ketupat yang cuma disantap setahun sekali, empek-empek, tekwan, rendang menjadi menu favorit saya. Belum lagi kue lapis legit, kue 12 jam yang alamak, rasanya tiada yang menandingi bikinan  Uwak Harun, orang Asli Sumatera.


Dasar anak jahil, saya "mencireni" (menandai) keluarga mana saja yang menyediakan empek-empek, tekwan atau rendang yang rasanya maknyus pada menu Lebarannya. Nah, sialnya, keluarga ini selalu bagian tengah atau bagian terakhir yang mesti di silaturahmi orangtua saya.


Padahal setiap kami bertamu, tentu kami harus menyantap kue yang tersedia. Dalam tradisi, tamu yang tak menyantap menu  yang disediakan pemilik rumah sebagai bentuk ketidaksopanan. Tak kurang akal, agar perut tetap kosong di tempat keluarga yang menunya saya sukai, maka saya mengambil kue satu-satu tetapi mengunyahnya lamaaaaaaa betul....Hihihihiih... Dengan begitu si pemilik rumah seolah-olah melihat saya makan terus. Pilihan saya biasanya kacang bawang atau kacang atom, benda kecil tetapi  nggak habis-habis kalau dikunyah.


Nah, begitu silaturami bergiliran sampai kepada keluarga yang menunya saya  "favoriti",  langsung hantam kromo. Menu itu saya jajali satu-satu, empek-empek, tekwan, dan rendang. Hahaha. Benar-benar ndak mengenal sopan santun. Tapi kenangan lebaran yang guyub,   begitu membekas dalam ingatan saya. Toleransi beragama pada masa itu tidak pernah diteriakkan seperti masa sekarang ini. Toleransi berlangsung alamiah, apa adanya.


Saya ajak flash back ke pertengahan tahun 1990-an. Saya terkaget-kaget ketika jangankan bersilaturahmi ke tetangga-tetangga, menerima ucapan Selamat  Natal atau Paskah saja, merupakan pemandangan langka. Tak hanya di  kalangan awamnya saja,  tetapi juga menembus teman-teman intelektual. Saya mencari jawab.  Belakangan, di salah satu Mesjid yang saya dengar melalui pengeras suara, mereka melarang untuk memberikan ucapan Natal karena haram.


Tahulah saya penyebabnya. Saya frustasi. Beberapa waktu saya mengalami pergumulan.  Apa yang salah dengan kami ya?.  Dari perbincangan itu, pelan-pelan saya mendapatkan jawab bahwa kami para Kristiani tidak layak diberi ucapan selamat karena "kafir" men-Tuhan-kan Yesus yang bagi saudara Muslim hanya Nabi Isa Almasih. Oh begitu toh, masalahnya.


Belakangan, tidak cuma soal haram dan halal soal ucapan Natal.  Dari omong-omong dengan mereka, perbincangan melebar ke surga dan neraka. Beberapa teman mengajak saya pindah agama, karena menurut mereka, hanya Muslim yang bisa masuk surga. Pada saat yang sama, teman-teman Kristen Protestan juga tak kalah kencangnya mempromosikan surga yang cuma "monopoli" mereka. "Hanya orang yang percaya pada Yesus yang bisa masuk  surga"


Waduh. Tuhan-nya siapa nih yang benar? Kalau surga hanya monopoli agama tertentu, mengapa penciptaan manusia  dengan berbagai  kulit, ras, suka, budaya terus dilakukan? Masak sih, penciptaan itu bertujuan untuk penyeragaman? Kalau begitu bodoh-bodohannya, seharusnya penciptaan semesta ini harus seragam berkulit putih saja, atau semua ras dan budaya seragam, tak ada yang berbeda? Atau jika surga itu hanya milik agama tertentu, Tuhan menciptakan neraka untuk yang lain. Berarti Tuhan nggak adil dong hehe.


Kembali lagi ke Natal yang  guyub, memperlihatkan toleransi beragama pada masa kecil, akhirnya hanya menjadi kenangan atau nostalgia semata. Kebiasaan kunjung mengunjung meski masih ada hanya didominasi oleh kerabat yang seiman saja.  Natal atau lebaran sudah tak lagi menarik untuk saya. Dalam perjalananya,  saya menyadari satu hal. Kita tak bisa mengubah obyek apapun di luar kita. Jadi  cukup menyadarinya saja. Tidak menilai apapun. Menganggap semua obyek itu sama. Tidak mudah memang.



Dalam konteks haram dan halal ini, kepada teman-teman yang merasa "terpaksa" mengucapkan Natal karena takut berdosa sementara kami  terlanjur sudah bersahabat selama bertahun-tahun, saya menyampaikan dengan terbuka. "Jika persahabatan terganggu hanya soal haram dan halal karena ucapan Natal, jangan lakukan. Biarkan persahabatan kita tak terbebani dengan urusan ucapan semata." Saya pun tak pernah menunggu lagi dengan harap-harap cemas seperti bertahun-tahun lalu.


Tak semua teman Muslim begini. Masih banyak  teman-teman  Muslim yang dengan ringan menyampaikan. "Hai...selamat Natal ya? Bahagianya sama ketika meminta teman untuk tak perlu mengucapkan Natal pada saya. Tidak ada penilaian.


Sejak mengubah sudut pandang ini, saya bertanya kembali pada batin saya yang terdalam. Merasa berdosakah kamu ketika menganggap Natal tak lagi peristiwa penting? Merasa tidak enakkah setelah melepaskan semua penilaian itu tentang segala keagamaan? Merasa bersalahkah  ketika  Natal tidak bersama keluarga?  Tidak ke gereja? Dan masih banyak hal yang saya pertanyakan, termasuk relasi dengan teman-teman yang berlebaran.  Saya merasakan batin saya tenang. Sama tenangnya ketika saya masih ke gereja, dan lain-lain. Saya percaya Tuhan sejati bisa ditemukan dalam batin yang terdalam, yang tidak ada lagi ego dalam diri kita. Dalam bahasa Meditasi, ketika pikiran berhenti, hanya kesejatian yang ada. Itulah Tuhan yang sejati.


Ah ya, ketika memutuskan menuliskan ini (semoga tidak dianggap menggurui) saya ingin mengajak siapapun yang membaca ini untuk keluar sebentar saja dari entah itu ajaran, dogma, tradisi, ritual atau apapun labelnya. Mari kita menengok ke dalam batin. Rasakan reaksi batin itu. Sederhana saja. Jika kamu percaya bahwa mengucapkan Natal itu haram atau dengan label apalah, coba sekali saja mendobraknya. Satu hari saja, dan lakukan pada satu orang saja. Ulurkan tangan pada satu teman yang ber-Natalan.  Ucapkan "Selamat Natal." Pandangi ekspresi wajahnya setelah mengucapkan itu. Setelah dia berlalu. Diam. Diam. Diam. Rasakan sebentar batin ini. Menolak, merasa berdosa, atau merasa bersalah. Perasaan yang Anda rasakan itu menentukan keputusan Anda selanjutnya. Apakah Anda tetap menganggap mengucapkan Natal sesuatu yang haram, hanya kalian yang tahu selanjutnya :)



Saat ini, bersama teman-teman yang memiliki frekwensi sama, obrolan kami lebih banyak memperbincangkan: Bagaimana ya kalau April nanti harga BBM naik menjadi Rp 8000-an? Apakah Indonesia akan kolaps? Bagaimana ya bisa mensejahterakan diri ini juga masyarakat yang kekurangan. Bagaimana ya agar masyarakat miskin bisa berobat gratis? Dan diskusi selalu ditutup, Yuk, Berkarya! Agar kita sejahtera dan kita bisa mensejahterakan orang banyak. Tanpa sekat agama. Memperbincangkan surga atau neraka yang nggak kelihatan atau  ngawang-ngawang, juga haram dan halal hanya menghabiskan energi.



Yogyakarta, 13 Januari 2012

Suduh Turun 1 Kilogram :)

Ah senangnya. Sejak pencanangan diet sudah turun 1 kilogram. Caranya, tidak makan malam, tiap hari makan buah naga merah,  mengurangi daging dan ayam. Apalagi kalau dibarengi olahraga ya. Pasti hasilnya lebih memuaskan. Tapi kok nggak mulai-mulai? :(

Teruskan ya Bernada sayang. Diet yang alamiah dan 3 bulan ke depan bisa turun 10 kilogram. Hayo bisa nggak?


Yogyakarta, 13 Januari 2012

Posting pagi habis meditasi sembari memandangi langit yang cantik setelah berpekan muram terus :)

Rabu, 11 Januari 2012

Duniaku



Rehat Ah

lotus di vihara mendut

Dan Saya Akan Menyelesaikan Buku

Renjana datang ke Togamas. Saya utarakan niat saya. Dari buku melancong, akhirnya saya memprioritaskan buku meditasi terlebih dulu. Kami berdiskusi. Dan saya minta dia mengeditnya. Renjana-lah yang setiap saat mengingatkan saya menyelesaikan buku dengan cara yang tak biasa. Tak sekedar bilang "aku menunggu karyamu" tapi setelah itu tak melakukan apa-apa. Dia mengingatkan soal buku di status-status FB. Sampai-sampai saya "terteror". Tapi terimakasih untuk terus mengingatkan ya, Renjana.

Kemarin, aku mengira masih ada seseorang menunggu karyaku. Tapi sepertinya menguap begitu saja tuh. Dalam diam mungkin dia sudah menganggap semua persoalan selesai. Tadinya aku masih berharap dia bicara. Tapi kini tidak. Aku sudah tidak akan menunggunya lagi. Dan obyek yang tidak bisa kuubah ini, biarkan hanya menjadi obyek saja. Tidak ada pengaruhnya lagi untukku.

Selamat datang masa kini.


Togamas, Yogyakarta, 11 Januari 2012.

Pukul 21.09.

Done....Finish at all

Para "Pencari" Keheningan (bagian 1)

Akhir tahun lalu, 24 Desember – 1 Januari 2012 saya mengikuti Meditasi Mengenal Diri bimbingan Pak Hudoyo Hupudio di Vihara Mendut. Ada sekitar 40-an peserta yang mengikuti meditasi ini. Terjauh dari Nusa Tenggara Timur, terdekat ya dari Magelang, lokasi berlangsungnya meditasi.

gedung serbaguna tempat diskusi dan meditasi bersama

Saya berangkat bersama empat sahabat, dua peserta baru meditasi, dua sudah kerap meditasi. Buat saya, ini meditasi yang ke-8 kalinya, sejak tahun 2010 bulan Februari tahun lalu. Dua kali tahun baru saya lewatkan di dalam kesunyian. Tanpa hiruk pikuk, wine, makanan mewah.


lotus dan kolam ikan, satu sudut di vihara mendut

Praktis selama 8 hari, kami hanya berteman akrab dengan kesendirian. Seperti orang yang tersesat dalam hutan. Tak boleh bicara, tanpa telepon seluler, hanya makan dua kali, tanpa menu daging pula. Setiap hari kami bel membangunkan kami pada pukul 03.00. Berat ya? Kalau dibayangkan iya. Kalau dilakoni…nggak juga ah.


Vihara Mendut, tempat meditasi yang tepat. Semua sudut di tempat ini nyaman untuk meditasi. Baik di dalam vihara, gedung pertemuan, ruang perpustakaan, kolam ikan dan bunga lotus, gazebo hingga pohon mangga dan rambutan. Para peserta tak akan kehilangan tempat untuk “menziarahi batinnya.”

di bawah pohon avatar, meditasi duduk


Sadar Setiap Saat


Ngapain sih kegiatan kami? Menyadari setiap reaksi batin. Kami melatih kesadaran diri dari saat ke saat. Bermeditasi, masuk ke dalam diri. Tak mempedulikan obyek luar. Benar-benar hanya melihat reaksi batin.

Ada empat cara bermeditasi. Berbaring (lebih sering kebablasan tidur hehe…), berdiri, duduk, dan berjalan. Empat cara inilah yang kami lakukan selama delapan hari.

walking meditation



Sebenarnya tak tepat menyebut judul itu Para Pencari Keheningan. Karena itulah kata “Pencari” saya beri tanda kutib. Ini karena meditasi yang kami jalankan pasif, tanpa obyek dan non konsentrasi. Kok begitu?



Kalau meditasi lain memfokuskan pada satu obyek tertentu misalnya nafas, satu cahaya, maka dalam meditasi MMD, semua obyek harus disadari. Ada meditasi serupa yakni Meditasi Tanpa Obyek yang dikembangkan oleh Romo Sudrijanta Johanes SJ, rohaniwan Katolik, sementara Pak Hud berlatar belakang Budha.


Meskipun mereka dari latar belakang agama Katolik dan Budha, mereka yang ingin mengikuti meditasi boleh dari agama manapun. Jangan heran,meskipun MMD dilakukan di Vihara Mendut, mereka yang mengikuti meditasi justru kebanyakan dari saudara Muslim dan Kristiani. Agama Budha yang menjadi penyelenggara selalu peserta paling sedikit. Dari pengalaman teman-teman, tidak ada yang kehilangan iman tuh, gara-gara mengikuti meditasi ini.


Seperti yang sudah dijelaskan kalau biasanya meditasi menggunakan satu obyek (karenanya disebut aktif) untuk membantu mencapai titik hening maka dalam MMD/MTO tidak memilih obyek.Pendek kata, obyek apapun yang tertangkap panca indera kita (mata, hidung, lidah, telinga, kulit/sensasi tubuh) dan ingatan-ingatan yang muncul.


Dalam MMD atau MTO, kita tidak boleh fokus terlalu lama pada satu obyek karena obyek-obyek itu tidak penting. Semua punya kedudukan yang sama, tidak boleh menolak juga melekati. Pendek kata, yang terpenting dari meditasi ini adalah reaksi batin itu sendiri, saat ini,kini, dan sekarang. Bukan masa lalu atau masa depan. Untuk mengenal MMD klik saja di sini untuk MMD dan di sini untuk MTO.

Tentang Menikah

Pertanyaan yang kerap diajukan kepada saya adalah : Kapan menikah? Kalau sudah dapat pertanyaan ini, hemmm...mata saya biasanya berputar-putar dulu, sembari tersenyum-senyum simpul. Lalu, saya pun akan menjawab dengan klise "Tahun ini." Lalu si penanya melanjutkan "Sudah punya pacar?" Mata saya kembali berputar-putar. Bibir saya agak manyun-manyun dikit. "Ehm...ada nggak ya?"

Ini pertanyaan yang gampang-gampang susah dijawab. Kalau boleh memilih, saya lebih suka orang menanyakan ini. "Sudah umur segini, kok belum punya karya? Kapan punya karya? Sudah pasti saya akan gelagapan atas pertanyaan ini. Mata saya tak akan berputar-putar, bibir ini juga tak akan sanggup mengulum senyum. Pastilah saat itu kening saya akan berkerut, dan saya terlihat lebih tua 10 tahun dari usia sebenarnya.Mata saya akan terlihat gelisah dan gusar.


Tapi ya itu tadi. Di Indonesia, menanyakan seseorang sudah menikah atau belum, sudah punya anak atau belum,tampaknya lebih penting ketimbang menanyakan "Apa sih yang kamu kerjakan sekarang? Sudahkah kamu punya karya yang kamu sumbangkan untuk dunia ini?

Menikah atau tidak menikah buat saya sama-sama pilihan yang baik. Semua pilihan tentu punya konsekwensi sendiri-sendiri. Apakah menikah juga sudah menjawab persoalan hidup yang bersangkutan? Nggak juga kan? Saya tidak akan membela diri dengan kesendirian ini. Saya justru menyaksikan mereka yang belum menikah banyak melakukan karya sosial, berderma, bahkan menjadi tulang punggung keluarga ketimbang mereka yang sudah menikah. Orang yang sudah menikah biasanya sudah direpotkan dengan urusan membiayai pendidikan, membeli rumah, mobil dll. Jadi mana sempat memikirkan orang lain? Jangankan memikirkan persoalan di luar keluarga, wong persoalan keluarga saja morat marit?

Ah...kok jadi melantur. Jadi, kapan saya menikah? Saya lebih suka menjawab dengan tersenyum simpul. Kalau pertanyaannya begini: Kenapa? Nggak laku? Saya biasanya menjawab datar. "Kamu terganggu ya saya nggak menikah. Kenapa? Hehe.

Obyek di luar tidak bisa diubah, karena itu, menyadari bahwa pikiran mereka tidak sama dengan kita, bagi saya juga sudah cukup. Ah....indah sekali dunia ini. Apa saya tampak terlihat resah karena tidak menikah, kawan?



Toga Mas Yogyakarta, 11 Januari 2012.

Senin, 09 Januari 2012

Mencanangkan Gerakan Puasa, Pantang, dan Diet

Dear blogspot,

Ini sebenernya agak "nggilani". Tapi aku harus melakukannya. Aku sudah kegendutan. Jadi aku mencanangkan gerakan puasa, pantang daging, dan diet. Sudah berapa hari ini aku maem buah naga kalau malam hari. Malam tidak makan. Tapi kok ya masih belum bisa puasa dan berpantang ya? Padahal meditasi kemarin selama seminggu makan cuma dua kali, ndak makan daging, badan rasanya enak banget.


Caranya gimana ya biar aku bisa menahan diri. Huhuhuhu...Help me dong.

Oke, pertama aku akan beli timbangan. Dua...pasang alarm untuk nginget-nginget kalau daku sedang puasa hihihi. Kosongkan isi kulkas kecuali buah. Tidak makan malam.


Tosss dulu ah. Selamat mencoba...bikin reportnya ya.
Yogyakarta, 9 Januari 2012

Pukul 3.35 ini hari Senin lo...

Saya Suka Angka Tujuh

Hari ini tanggal 7 Januari. Badan ini rasanya ringan. Mata berbinar-binar. Saya sudah melewati masalah "aneh" yang mungkin baru pertama kali terjadi. Ah sudahlah, karena sudah berlalu, saya tidak akan mengingat-ingatnya.


Yang penting ini tanggal 7 dan saya suka sekali dengan angka ini. Tujuh dalam bahasa Jawa artinya pitu. Lalu jika dipanjangkan menjadi pitulungan. Artinya pertolongan. kok, ndilalah, saya selalu berhubungan dengan angka tujuh terutama untuk urusan perbankan. Ajaib kan? Saya merasa pe-de jika perbankan saya berawalan atau berakhiran tujuh. Eh...kok ya kebetulan bin ajaib no telpon saya juga banyak yang berakhiran tujuh lho. Hihihi saya punya nomer telpon empat biji dengan operator yang berbeda-beda.


Sayang, kelahiran saya tidak ada unsur tujuhnya kecuali tahun kelahiran. Hayo siapa bisa menebak angka kelahiran saya?


Lalu kenapa saya suka angka tujuh? Sederhananya karena bikin hurufnya ndak susah. garis ke kanan terus bikin garis ke bawah meski agak serong sedikit. Hihihi. Merem aja nggak bakalan salah kan? Kan angka 0 dan 1 lebih sederhana? Nah, kalau soal itu masalah suka-suka lagi. hehehehhe.


Ada alasan lain sih, menurut kitab suci Tuhan berhenti mencipta setelah hari ke tujuh. Asyik kan menjadi penutup hari penciptaan?


Jadi begitu deh...siapa yang suka angka tujuh, yuk kita bikin club tujuh. Asyik kaleeeee....


Yogyakarta, 7 Januari 2012

Minggu, 08 Januari 2012

Nggak Ada Salahnya Baca Ini

Mendapatkan postingan ini dari temen. Wah pagi-pagi diajak refleksi diri nih.

18 Kumpulan Inspirasi dan Motivasi Dunia...

1. Salah satu hal yg melelahkan dlm hidup adalah KEPURA-PURAAN.

2. Orang yang mimpinya kecil, susah jadi pemimpin

3. Jangan menolak perubahan hanya karena anda takut kehilangan yang telah dimiliki

4. Kamu tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila kamu berkeras untuk mempertahankan cara-cara lamamu

5. Org PANDAI sudah banyak. Yg dibutuhkan saat ini adalah org PEDULI terhadap sesama.

6. Kamu akan disebut baru, hanya bila cara-cara yang kau gunakan adalah cara yang BARU

7. Setiap kali kita mengeluh kita telah kehilangan waktu utk bertumbuh.

8. Demi menjaga keharmonisan, untuk apa MEMUKUL jika bisa MERANGKUL saat bertutur kata

9. Jika kita hanya mengerjakan yang sudah kita ketahui, kapankah kita akan mendapat pengetahuan yang baru?

10. WIN or LEARN! If we don't succeed to win, we'll get to learn something.

11. Org yg suka bicara besar adalah org KECIL yg bergaya BESAR.

12. Jgn membaca ulang pesan yg menyakitkan, hapus & lupakan agar batin tdk tersiksa.

13. Ketika sebuah ucapan & tindakan ingin dilakukan, ingat kembali apakh sesuai dgn nama pemberian org tua.

14. Berperilakulah sesuai nama maka interaksi sosial menjadi mulia & org tua ikut merasa bangga.

15. Semua org punya gaya, yg tdk disukai adalah KELEBIHAN GAYA.

16. If you Wanna Make the world a better place, take a look at yourself and then make a change

17. Pemimpin adalah Teladan !! Kalau memimpin dan mengatur diri sendiri saja tidak mampu, bagaimana mungkin kita bisa mengatur dan memimpin orang lain.

18. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan teladan nyata bagi orang yang dipimpinnya. Pelihara sikap, perbaiki ucapan, jaga konsistensi antara ucapan dan tindakan.

Semoga bs dipakai sebagai Motivasi atau sebagai Instropeksi diri kita semuanya.

Jumat, 06 Januari 2012

Nonton

Sudah tiga purnama ini saya demen menonton bioskop. Sendirian pula. Sesekali saja ditemani teman. Aneh memang menonton sendiri. Tapi ndak ada yang salah tuh. Asyik-asyik aja. Tak cuma film yang jd tontonan. Para penonton dengan segala rupa menjadi obyek tontonan saya. Iseng sih. Gara-garanya, mataku menangkat oma dan opa-opa menonton bioskop. Mereka bertiga terlihat gembira. Saya mengerjab-ngerjab. Jujur, menonton bioskop dalam benak saya hanya dilakukan anak muda atau paling mentok ayah dan ibu yang mendampingi anaknya. Tapi oma opa memakai tongkat menonton bioskop? Wow ...pemandangan menarik untuk saya.

Saya rasanya ingin memotret mereka. Tapi saya urungkan. Rasanya tidak sopan. Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa mereka menonton film itu ya? Judulnya kalau tidak salah Sherlock Holmes. Mungkin mereka ingin bernostalgia atau memang menikmati waktu yang masih tersisa? Entahlah.
. Entahlah. Setiap orang punya cara sendiri menikmati hidup kan? Seperti saya, menonton sendirian. Mungkin buat orang aneh. Tapi kenapa tidak? Toh pada akhirnya kita akan sendirian, kan? Kita akan meninggal sendirian. Jadi kenapa harus takut sendiri?

Eh...bukan berarti aku tak butuh orang lain lho. Kalau ada yang mau mengajak saya menonton. Yuk? Mariii...dengan senang hati :)


Yogyakarta, 5-6 Januari 2012

Dientup Tawon

Tadi malam ada kejadian langka dalam hidup. Saya dientup tawon. Dientup bahasa Indonesia-nya disengat cocok dengan gambaran tadi malam, seperti ada sengatan di tubuh. Lbh sakit dari sengatan listrik karena saya pernah tersengat listrik. Beberapa menit entupan itu masih terasa. Saya mengaduh-aduh. Waduhhhh...jerit saya. Si tawon tampaknya kesasar masuk ke mobil teman saya. Bisa jadi si tawon nongkrong di kepala saya sejak bermenit lalu. Ketika saya meraba rambut di dalam mobil itulah, sengatan itu datang.

Aneh juga punya pengalaman dientup tawon. Pagi ini saya tertarik menuliskannya dalam blog ini lantaran ada pelajaran menarik dari sengatan tawon ini. Pertama sesuatu hal yang menyerang kita dan membuat kita kesakitan jelas membuat kita panik, sedih, mengaduh. Apalagi jika peristiwa itu tak terduga. Tapi setelah mengalami kesakitan, panik, marah, sedih dll beberapa saat kemudian juga akan berlalu. Sakit atau senang adalah sesuatu yang temporer. Dia tidak pernah menetap lama. Bahagia yang dirasakan orng menurut beberapa artikel yang saya baca hanya bertahan tiga hari.

Tapi ada satu yang abadi yakni kesejatian, kebenaran. Dalam dunia meditasi, itu akan kita dapatkan ketika kita sudah kehilangan aku. Bagaimana caranya? Sadar terus setiap saat. Untuk itulah diperlukan latihan meditasi. Tidak mudah memang. Saya juga sedang belajar, kok. Jika ingin melatih kesadaran kita datang saja ke Meditasi Mengenal Diri bimbingan Hudoyo Hupudio atau Meditasi Pembebasan Diri bimbingan J Sudrijanta.


Yogyakarta, 6 Januari 2012

Masih diatas peraduan
Pukul 06.45

Rabu, 04 Januari 2012

Saya Sedang Bergairah :)

Siang ini cuaca Yogyakarta panas. Keringat saya bercucuran. Tapi aneh, saya justru sedang bergairah. Sangat bergairah. Ada yang meletup-letup dalam diri ini. Kalau sudah begini rencana, ide mulai menggelinding. Saya mengulum senyum.

Saya sudah kembali. Naga dalam diri saya sudah normal. Siap menyemburkan api-nya.

Hai...saya Bernada Rurit. Mesti hidup tak pernah sempurna, saya percaya, setiap momen apapun yang terjadi sekecil apapun, dia tak pernah sia-sia jika kita menyadarinya.
Episode berikutnya, saya akan bercerita tentang meditasi yang sudah dua tahun ini menjadi nafas hidup saya.

Tunggu ya, sore ini dua keponakan saya yang manis-manis, Cornelia dan Damar akan kembali ke Dili. So saya ingin berpuas-puas dulu bersama mereka.

Dadahhhh....

Yogyakarta, 5 Januari 2012

Selamat Pagi Dunia

Pagi ini saya mulai berbenah kamar. Lebih tepatnya, menyusun kardus-kardus yang belum saya sortir, mana yang layak masuk kamar, mana yang perlu dibuang. Tapi sepertinya saya kehilangan energi. Saya putuskan tidak mensortir barang, tapi semua barang saya masukkan ke dalam kardus.

Toh, saya mau pindah rumah 3-4 bulan lagi. Dan empat bulan bukan waktu yang panjang bukan?
Ada enam kardus. Semuanya saya beri nama dan angka plus isi kardus. Ada enam kardus jumlahnya. Dan saya baru menyadari bahwa enam kardus itu berisi buku dan majalah. Gile...bagaimana mungkin akan dibuang?. Book is my life. Sahabat saya ketika saya kesepian, sahabat saya di perjalanan, sahabat ketika antri di rumah sakit, antri bank. Dan paling penting, buku-buku ini seperti impian saya berpuluh tahun lalu, akan menjadi koleksi perpustakaan pribadi.

Hemm...buat saya, hidup tanpa membaca seperti pacaran tanpa pernah berpagutan...hihiihihi.

Oke...saya putuskan mulai hari ini, hidup 2012 saya di mulai. Bukan pada tahun baru ketika tubuh saya lemah karena muntah-muntah dan lemas selama beberapa hari.

Selamat tinggal masa lalu. Saya tak akan menyisakan setitik pun untuk kenangan. Hari ini selalu tidak sama dengan kemarin. So...Mari, Bernada...kita buat lompatan besar.

Waktunya berkarya untuk dunia. Done...Publish


Yeah


5 Januari 2012 pukul 10.56

Gedung Pusat UGM

Senin, 02 Januari 2012

Semua pasti berlalu

Apa kabar tahun baru. Malam tahun baru tahun ini kulalui dengan sedih dan gembira. Aku seperti kehilangan cahaya. tapi seperti motto dalam hidupku. Semua hal pasti akan berlalu. Jadi, begitulah. Tidak perlu cemas bukan?