Senin, 19 Desember 2011

Kangen

Kangen nge-blog, tapi ndak punya waktu buat nulis. Sepertinya sampai awal tahun depan blog-ku bakal ndak terisi. Hiks :(


Kangen bbm-an juga ndak punya waktu nggambleh.

arrrrgggggg....kenapa ya waktu cuma 24 jam saja.

Rabu, 14 Desember 2011

Melancong Ke Luar Negeri, Jika....

Akhir-akhir ini biro travel jor-joran pasang tarif murah terbang ke luar negeri dan menjual paket-paket murah. Tak mengherankan, masyarakat kita berbondong-bondong ke negara jiran Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Belakangan negara Eropa dan paket wisata rohani ke Jerusalem, juga kian laris manis.


Sah-sah saja sih ke luar negeri. Apalagi pengalaman adalah guru paling berharga. Membuka wawasan membuat seseorang terhindar dari hidup bagaikan katak dalam tempurung. Jika tak ada seseorng yang nendang batok si katak, maka dia tak akan pernah melihat dunia yang begitu berwarna.


Namun jika saya boleh berbagi, alangkah eloknya jika kita merambah dunia luar setelah mencicipi Indonesia yang kaya budaya, bahasa, dan tentu panorama indahnya. Negara kita yang cantik ini tak cuma punya Bali lho.


Ada Padang yang alamnya cantik nian, Tana Toraja yang indah, unik, dan eksotik. Juga Papua, Aceh, dan Lombok yang lautnya begitu biru, bersih, gugusan pulau dimana-mana. Bunaken yang alamakjan pemandangan bawah lautnya sungguh memanjakan mata. Atau Bangka yang pasirnya putih bersih dengan lautnya yang biru belum tercemar. Tak usah jauh-jauh ke pulau-pulau luar, Gunung Kidul di DIY saja, memiliki karst yang hemmmm...elok nian. Belum lagi gua-gua dengan stalaktit stalakmitnya.


Saya lebih bangga mengunjungi Indonesia dari Sabang sampai Merauke ketimbang mengunjungi Singapur atau Malaysia yang miskin sekali pemandangannya. Jika kita saja belum mengenal Indonesia secara utuh, bagaimana mungkin kita bisa bilang luar negeri lebih bagus? Melancong ke saudara kita di kepulauan lain berarti juga ikut menyejahterakan kehidupan masyarakat setemat bukan? Jika kita saling mengunjungi satu sama lain, maka uang jatuhnya ke kita-kita juga bukan?

Jadi, yuk, melancong ke Indonesia dulu. Baru ke luar negeri :)



Yogyakarta, 15 Desember 2011

Tentang "Musuh"

Beberapa hari ini saya tergelitik dengan kata musuh. Entah musuh dalam selimut, musuh boongan, atau musuh beneran. Siapa yang pernah musuhan? Atau kalaupun bukan musuh siapa yang pernah tidak disukai orng entah tanpa sebab atau karena alasan tertentu? Kalau belum saya acungi jempol. Seringkali musuh dianggap duri dalam daging. Kita bisa tidak nyenyak tidur, memikirkan perkataan-perkataannya atau sesuatu yang dilakukannya. Atau bisa pula ingin balas dendam karena tak terima dengan yang mereka lakukan. Padahal musuh atau orang yang tak menyukai kita, bukan tak berperan untuk penyadaran batin kita lo.



Saya teringat, ketika dai kondang Aa Gym ketika masih ngetop, memberi siraman rohani di salah satu televisi nasional. Topiknya tentang musuh. Terus terang saya masih ingat dengan baik siraman rohani yang cuma berlangsung beberapa menit saja dan ingin saya bagikan di sini. Mungkin tak persis sama, karena saya menggunakan bahasa saya sendiri dan beberapa hal memberikan penambahan di sana sini tanpa mengurangi maksud dan tujuannya.



Dalam siraman rohani itu, dia menyampaikan kita pasti akan berhadapan dengan musuh atau orang yang tidak menyukai kita. Tentu musuh atau orang yang tidak menyukai itu akan melontarkan hal-hal buruk tentang kita ketika berinteraksi dengan mereka. Pasti, kita akan sakit hati ketika mendengarnya. Padahal, menurut Aa Gym, pernyataan, ucapan, lontaran musuh atau orang yang tidak menyukai kita tak selamanya jelek bagi penyadaran diri kita. Mengapa? Karena, orang yang paling jujur menilai kepribadian kita apa adanya, justru biasanya musuh atau orang yang tidak menyukai kita.



Kalau kita punya sahabat, apalagi seiring senada, cenderung sungkan, enggan terus terang, mengatakan apa adanya tentang kita. Umumnya mereka hanya mengatakan hal yang baik-baik saja tentang kita. Bahkan kerapkali ketika jalan kita melenceng pun, dibiarkan saja. Tanpa disadari persahabatan yang tak jujur justru menjerumuskan sahabatnya ke dalam jurang kehancuran.



Seorang musuh atau orang yang tidak menyukai kita karena merasa benci, sebal, dendam, pada kita, maka cenderung akan melontarkan kekurangan-kekurangan kita. Semua yang jelek tentang kita dimuntahkan seperti peluru.

Biasanya begitu sang musuh mengatakan sesuatu tentang kita, maka kita akan marah dan berupaya membalas. Itu manusiawi. Tetapi jika kita merenungkan dan menyadari kembali ucapan musuh tadi, bisa jadi marah kita akan tertunda. Jangan-jangan apa yang mereka sampaikan ada benarnya.



Nah, kadang-kadang peran "musuh" memang dibutuhkan, untuk meneliti batin kita kembali dan mengajak kita masuk ke dalam diri. Bukankah kita seringkali sibuk dengan orang lain, bukannya diri kita? Benarkah yang mereka sampaikan itu? Karena bukankah kita dalam interaksi dengan orang lain kerapkali tidak menyadari batin kita bermasalah dan merugikan orang lain tanpa kita sadari?



Dengan keikhlasan, rendah hati, serta menyadari batin inilah, maka justru suatu saat kita akan merasa berterimakasih dengan "musuh" atau seseorang yang tidak menyukai kita karena telah memberikan penilaian tentang kita jujur, apa adanya. Justru penilaian jujur itu bukan dari sahabat yang kita sayangi. Musuh atau orang yang tak menyukai kita, selalu ada untuk menjaga terus kesadaran kita yang kerap kali "bablas". Melalui salah satu "musuh" inilah "eling" atau sadar itu bersama kita. Sehingga ketika tercerahkan, kita tak lagi menganggap musuh sebagai "musuh". Salam sadar setiap setiap.



Semoga bermanfaat untuk saya dan teman-teman.





Yogyakarta, 19 November 2011

Pagi

Mataku terbuka
Kulihat langit biru
Kurasakan angin menyentuh pipiku
damai...

Kunikmati keindahan alam itu
dari balik jendela kamarku
tapi mulai besok
semua kutinggalkan

Pagiku akan berbeda
Tapi aku percaya
semua kedamaian punya cara sendiri
untuk menyapaku, dimanapun tempatnya

Yogyakarta, 15 Desember 2011

Resolusi

Apa resolusi tahun depanmu, kawan? Aku selalu punya resolusi. Tak selalu on the track. Ada yang tercapai, ada juga yang memble. Salah satu yang belum tercapai adalah menuntaskan buku yang sudah saya rencanakan tetapi belum jadi juga :(


Meski sudah mengecewakan diri saya sendiri, tapi tak apalah. Tahun depan, masih ada waktu. Jadi resolusi tahun depan saya adalah

1. Menyelesaikan buku

2. Menikah

3. Meditasi setiap hari ndak bolong-bolong

4. Melancong

5. Homestay nya sudah beroperasi :)


Banyak ya? Resolusi kalian apa?

Melancong Kemana Tahun Depan?

Tahun depan, saya merencanakan perjalanan yang sangat panjang...Namanya rencana, boleh dong sebanyak-banyaknya. Saya percaya, jika kita menginginkan sesuatu alam semesta akan membantu mewujudkannya.

Bulan Februari ada undangan dari sahabat saya Ray ke India. Ray mengajak saya ke Sungai Gangga dan mengelilingi India. Sungguh aneh memang. Dua tahun terakhir ini saya aktif di meditasi. Konon, mereka yang  mendalami meditasi tidak afdol jika belum ke India.

Dan cukup mencengangkan karena belakangan India memanggil-manggil saya. Padahal saya kurang suka dengan orang-orangnya hehehe. Tapi mungkin takdir saya ke sana ya?

Kedua, Mbak Ivon teman saya di Surabaya ingin ke Vietnam. Saya sudah ke  Saigon, tetapi belum mengunjungi Halong Bay. Ingin sekali ke sana. Saya jatuh cinta dengan laut dan pemandangan pulau-pulau yang mengelilinginya. Eh...ternyata Halong Bay menjadi salah satu keajaiban dunia.  Woww....aneh bukan  ketika Mbak Ivon mengajak melancong dan punya keinginan yang sama. Takdir saya mungkin juga akan di sana.

Eropa...sudah saatnya. Semoga saya mendapatkan keberuntunga tahun ini.

Catatan penting:

Komodo, Danau Kelimutu, Pulau Derawan, Raja Ampat, dan Wakatobi adalah impian saya bertahun lalu. Semoga alam semesta juga memberkati saya kesana.

Raja Ampat, menurut cerita ibu angkat saya baru saja dikunjungi Toni Blair, mantan Perdana Menteri Inggris lho. wowww.....


Bless Me...

 

Buku adalah Sahabat Kesepianku


Langit di atas Katedral


Sensasiku

Masihkah Kalian Punya  Sensasi Yang Belum Terwujud?

Saya punya. Mungkin buat orang lain bukan sensasi,  tetapi buat saya ‘iya’.  Memang sih  sensasi saya  norak. Tapi namanya juga angan-angan,  nggak ada salahnya kan? Siapa tahu mewujud .   Pertanyaan itu diajukan oleh salah satu kawan ketika kami “nyangkruk “ bertahun lalu. Sembari menyeruput coklat, minuman kegemaran saya, kami menghabiskan  cerita sensasi ini sampai berbusa-busa.

Tadi malam,  obrolan sensasi  juga terjadi kala saya dan seorang kawan menyeruput coklat. Kali ini saya yang memulainya. Tak jelas bagaimana awalnya, tahu-tahu  obrolan sensasi menghangat.  Terbersitlah ide menuliskannya dlam note.  Nggak penting, mungkin.

Tapi akhir-akhir ini saya  mesti banyak menulis guna  menciptakan atmosfir menulis setelah saya padamkan selama empat bulan.  Apa alasannya, tidak penting untuk diceritakan. Terlebih kawan saya menagih tulisan  ini pagi tadi. Wah saya memang perlu diingatkan, biar nggak “nggambleh”. Jadi mari kita bahas sensasi  impian saya.

“Saya ingin berciuman dengan  orang yang saya cintai  di lift yang angka lantainya lebih dari 25,” kata saya kepada dia.  Saya berhenti sejenak,  menyeruput cuklat  bertabur keju di depan saya. Hemmm nikmatnya.  Mata teman saya terbeliak. “Hah? Nggak biasa ini?,” katanya.  “Ya namanya juga sensasi, pasti  agak anehlah,”  jawab saya buru-buru.  “Sensasinya dimana?,” tanyanya lagi. “Berciuman di lift yang punya  lantai di atas angka 25 itu butuh waktu agak lama, lho?. Setidaknya 10 menit bolak balik. Belum lagi kalau di tiap lantai ada yang tiba-tiba masuk. Nah deg-degannya itu yang  pasti bikin sensasi tersendiri. Antara menikmati ciuman itu sendiri dan harus berkonsentrasi jika “ting …ting” tanda ada orang masuk. Gugup pastilah, apalagi kalau ketahuan orang.

Teman saya manggut-manggut.  Ekspresinya  sulit saya ceritakan.  Tapi kurang lebih “Wong aneh tenan ki koncoku.” hihihihi. Memandanginya, saya cuma  cengar cengir dan mengulum senyum.

Cerita tentang gugup itu sendiri, bukan perkara sederhana untuk saya.  Gugup , buat saya adalah sensasi  yang  menggetarkan.  Coba kalian ingat, kapan terakhir kali gugup.  Gugup yang saya ceritakan bukan  karena ketahuan korupsi lho. Dalam konteks ini,  gugup yang sedang saya bincangkan  ketika kita sedang bersuka-suka dengan  teman,  pacaran  baru tetapi masih malu-malu, ketemu temen baru, atau ya gugup karena tidak ada  alasan. (aih kalau ini nggak mungkin).  Pendek kata, getaran  kegugupan itu sendiri,  sensasinya juga tak terjemahkan.  Bikin gagu, jantung berdegup lebih kencang,  ngomong salah-salah, atau bertindak juga jadi kacau. Nah, begitulah.  “Bikin hidup lebih hidup,” kata  sebuah iklan.

Nah, dalam kitannya  mewujudkan sensasi  itu, percaya tidak, saya pernah sampai mengamati dengan detil,  gedung mana saja yang memiliki lantai di atas 25 tingkat. Karena  dulu saya tinggal di Jakarta,   apalagi kerap melakukan tugas jurnalistik, saya  jadi tahu  gedung-gedung mana saja yang memiliki lantai di atas  25 tingkat. Jam berapa  kantor itu padat pengunjung, jam berapa sela. Benar-benar niat ya?

Tapi  seperti  cerita bersambung, kisah  impian sensasi ini belum berakhir.  Bisa ditebak bukan?  Saya belum pernah melakukannya, meski  saya  punya pacar dalam beberapa masa.  Ehem.

Sensasi  kedua yang ingin saya lakukan adalah bersama yang tercinta  menyaksikan kembang api di Singapura.  Lalu apa sensasinya? Ini sebenarnya kisah yang  sempat saya  simpan rapat. Alasannya, sederhana, takut orang punya pikiran yang tidak-tidak. Tapi  sudah  saya buang persepsi itu karena  tidak ada yang perlu ditakutkan.

Kejadiannya tahun 2002. Saya melancong  ala backpacker dengan dua sahabat saya Zara dan Siska.  Pada waktu itu, saya hanya  memberikan budgjet Rp 3 juta dlam perjalanan ke ke tiga negara  Singapura, Malaysia, dan Thailand.  Selama  dua minggu perjalanan itu,   keuangan sudah menipis di Thailand.  Dua sahabat saya memutuskan naik   pesawat dari Thailand ke Indonesia. Saya ngotot tinggal. Alasannya sederhana. Saya ingin membuktikan  Rp 3 juta itu bisa nggak sih keliling ke tiga negara?

Saya naik perjalanan darat dari Thailand ke Singapura sendirian. Hehehe cukup heroiklah. Satu malam di bus, bener-bener  garing.  Dari Singapura perjalanan mestinya berlanjut ke  Batam menuju  Jakarta  dengan  pesawat.

Dasar  naluri petualangan saya, duit  tak sampai  Rp 500.000 masih ngotot tinggal semalam  di Singapura. Ya…hari itu tanggal 31 Desember,  saya  menginjakkan kaki  kembali di Singapura.   Biar agak keren (norak  betul) saya pingin  bertahun baru di Singapura. Aih…rasanya  waktu  itu agak keren juga ya kalau pas lagi nongkrong  sama teman-teman, ditanya,” Tahun baru kemana?”  Lalu saya jawab “Singapura.” Yeksss… ingat itu saya jadi malu. Norak norak. Saya pingin mauk ke got  kalau ingat kenorakan  itu.  hiiii.

Jadi begitulah. Saya memutuskan, biar badai topan melanda, saya harus bertahun baru di  Singapura. Pesta kembang api-lah yang menjadi magnitnya.   Ini karena saya dengar, pesta kembang api di Singapura keren banget.  Kembang api seperti nafas hidup saya. Saya suka sekali.  Kesenangannya sulit dilukiskan.

Nah, Inilah awal cerita sensasi  itu.  Di stasiun MRT  Jurong (saya agak lupa) saya melihat bule yang lagi  bengong.  Tampangnya kelihatan baik. Saya menyapanya.  Dia bilang mau cari motel.  Keinginan kami sama.  Dasar sok tahu, saya bilang, saya punya referensi hotel yang biayanya murah antara lain daerah Tanjung Katong.  Ketika kami telepon, hotel penuh semua.  Saya memang  konyol, malam tahun baru di negeri yang menjadi tujuan wisata, belum pesan hotel. Waduh…saya mulai panic. 

Atas rekomendasi dari warga Singapur, kami diminta ke Little India. Di kawasan itu, menurut cerita mereka, ada banyak  pilihan hotel yang harganya miring. Dan tibalah kami  di hotel, ketika petang menjelang.  Begitu tiba di hotel, astaganaga. Saya hampir pingsan.   Mahal amat. Jelek amat.   Nggak ada  pendingin, puanasnya minta ampun, kumuh. Yang bikin saya melotot, kok bisa ya kawasan   kayak gini bisa jadi jualan  wisatanya Singapura. Halah. Indonesia jauh-jauh lebih asyik dan menarik deh.  Saya sudah mau balik badan, cabut dari tempat itu. Tetapi Tobias, nama turis Jerman itu, melarang saya. Dia bilang, “Kan cuma untuk tidur sebentar saja.  It’s oke-lah,” katanya.

Dan yaelah astaganaga. Harga kamarnya waktu itu   35 $ dengan kurs  Rp 5500. Sial, sial, sial. Bener-bener negara seiprit yang nggak yeye banget soal kemahalannya.  Sebagai perbandingan, saya menginap di Thailand dan Malaysia dengan tarif  Rp 125.000 hotel sudah AC dan dapat makan pagi.  Di Hotel Khaosan Road, kami lebih gila lagi, nginep Cuma Rp 20.00 semalam, tetapi jauh lebih manusia ketimbang kamar yang saya masuki di Singapur. Nggondok buanget.

Tobias sendiri juga terlihat  kaget dengan tarif  untuk hotel sejelek itu. Lantaran si backpacker ini  sudah menghabiskan uangnya  sebesar Rp 120 juta untuk keliling dunia, maka kondisi keuangannya juga sudah menipis.  Singapura adalah tujuan terakhirnya ke Asia. Selanjutnya dia akan mengunjungi Australia dan kembali ke Jerman.  Dengan duit yang makin cekak,  dia mengatakan  harus mengirit perjalanan.

Tak terduga, yang bikin saya melotot, dia berujar pada pemilik hotel. “Boleh nggak saya menginap di atap hotel ini.”  Saya terbeliak. Hah edan. Backpacker ya backpacker sih,  tapi saya ndak seedan itu, menginap di atas atap. Hiii.   Tapi saya diam saja.  Jelas saja si pemilik hotel tak memperbolehkan.  Tobias garuk-garuk kepala. Hemmm…sedetik kemudian,  dia bilang pada saya. “Hemmm…kamu keberatan tidak kalau kita share sewa kamar?  Mata saya melotot. Mungkin dia menangkap kecemasan saya. Dia bilang, “Kamu akan baik-baik saja,  kita hanya  sharing biaya kamar.” Sedetik saya berpikir. Tapi jujur, matanya terlihat  baik,  dan bukan tipe yang aneh-aneh.

Wadeuww….saya tolah toleh…Gugup….nah gugup memang sensasi  yang  asyik,kan? Si Tobias bilang, dia akan tidur di lantai kalau memang  tempat tidurnya hanya satu, meskipun harga kamar dibagi dua.  Hihihihi… Akhirnya saya mengangguk  setuju. Ternyata, tempat tidur kami  bersusun kayak jaman tanksi perang.  Bahannya bukan kayu, tetapi dari besi. Kalau kejedot kepala, lumayan juga tuh.  Dan saya bener-benr kejedut malam itu. Tobias mengambil tempat tidur  di atas, saya di bawah. Saya yakin aman, karena  untuk naik dan turun ke tempat tidur agak susah.

Rupanya  Tobias juga ingin menyaksikan pesta kembang api. Begitu tiba di hotel, dia  mencari informasi ke Orchard Road.  Saya memilih di hotel, mandi, dan istirahat. Tobias datang  2,5 jam kemudian.  Rupanya, dia jalan kaki dari Little India. (pantesan lama banget sampai hotel). Lokasi pesta kembang api itu di pinggir laut, Marina Bay.  Katanya  yang paling ramai dan  terbesar pada perayaan Tahun Baru.  Dari little India,  Tobias mengajak saya jalan kaki.  Katanya dekat. Tapi ternyata  1,5  jam  perjalanan. Gempor kaki saya. Alamakjan.  Jalan sama bule memang  doyannya pake kaki.

Dalam hati saya, jangan sampai  pulang jalan kaki lagi. Saya bilang ke dia. “Naik taksi deh, saya bayar nggak papa pulangnya.”  Tobias cuma  tertawa kecil. Dan begitu  sampai, lautan manusia sudah memenuhi kawasan Marina Bay. Untung kami tak terlewat gara-gara jalan kaki itu. Seperti yang  saya tebak, hampir sebagian besar orang berpasangan.  Duduk  di pinggir laut, angin cukup kencang bikin saya agak masuk angin. Saking asyiknya ngobrol, tak terasa jam sudah  menunjukkan  pukul 23.30. Dan ledakan api nan indah itu tibalah….wowww…saya bahkan masih mengingat keindahannya  hingga  sekarang.

Pesta kembang api   yang agak bikin  bibir saya menganga  adalah pesta kembang api  di halaman mall  Lippo Karawaci  tiap akhir pekan beberapa puluh tahun silam.  Tapi alamakjan, kembang api Singapura  benar-benar istimewa.  Kembang api itu  diluncurkan dari tengah laut. Langit  bersih…dan siiiiiiiuttttttt  duaaarrrr. Bulat bertingkat, ada yang  seperti kerucut,  ada yang seperti ekor naga.  Saya seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru. Wow…wow…indah sekali.  Seolah-olah sayalah yang menikmatinya sendirian.  Saya bahkan lupa  ada Tobias  di sebelah saya.  

Saya benar-benar terhipnotis dengan pesta kembang api itu.  Tiba-tiba Tobias berteriak pada saya. “Ini sangat cantik, di negara saya saja, saya belum pernah menyaksikan yang seindah ini,” katanya.  Dalam hati saya mengatakan. “Wah syukur deh berarti aku nggak terlalu udik,  mengagumi  pesta kembang api ini. Dia yang dari negara  maju saja terkagum-kagum  hihi.”  Tobias tak henti-hentinya memotret  ke langit bertaburan kembang api.

Setengah jam diluncurkan…dan inilah saat menjelang detik pergantian  tahun. “10,9, 8, 7,6,5,4,3,2,1,” teriak massa.  Dan kembang api itu meluncur dari tengah laut seperti rentetan  mesiu jaman perang.  Bersaut-sautan.  Ledakan-ledakan api yang membentuk api indah  begitu membius saya.  Tempik sorak  dari lautan manusia terdengar. Happy new year…. Langit Marina Bay terang benderang oleh api yang bermacam-macam bentuknya.

Dan ketika dongakan leher kami terlepas dari langit, segera kami tersadar dengan pemadangan  di sekeliling kami.   Kami berdua   terkurung di antara pasangan-pasangan yang saling berlumatan bibir. Hanya beberapa inci dari tempat kami berdiri.  Clap clup clap clup, bercipokan menyambut tahun baru. Mereka mengepung kami dari depan, tengah, belakang.  Saya dan Tobias sama-sama  getir.  Kami berdua  sama-sama  jengah. Tetapi juga nggak bisa apa-apa.  Saya misuh-misuh dalam hati.  “Jangkrik, kelamutan kabeh.”  Tempat sudah benar,  suasana mendukung,  malam  kian melankolis, tetapi  orang di sebelah saya, bukan kekasih,  hanya orang asing. Ah, sedih betul, kawan.

 Saking gugupnya Tobias dengan pemandangan di sekitar, dia mengulurkan tangannya ke saya. Tapi lebih mirip kayak teletabbies itu lho, yang suka bilang “Berpelukan.” Nah, seperti itulah.  Dan saya menyambut pelukan itu.  “Bernada, happy new year,” katanya.  Matanya yang baik hati itu terlihat tulus. Lalu dia mencium pipi saya. Hihihihi..Tahun baru dengan orang asing,  dengan kepungan  pasangan  berciuman sungguh tak enak, kawan. 

 Sambil memandang langit  dimana kembang api  masih muncrat dengan indahnya,  saya berucap dalam hati. “Suatu saat saya akan ke sini,  menikmati kembang api, di malam tahun baru, berlumatan, jika perlu sampai pagi dengan orang yang tercinta.” Jadi begitulah…sensasi yang saya impikan itu.

Dan hem… bisa ditebak yang kedua kalinya.  Impian sensasi itu belum terwujud.  Sudah  beberapa kali  mengunjungi  Singapura, tetapi tidak  tahun baru, juga tidak dengan pacar. Aih….

Ending:

Tapi meski itu pengalaman manis dan getir,  setidaknya ada  beberapa hal berharga  yang bisa  saya bagikan.  Satu, laki-laki  dan perempuan dalam satu kamar, tidak  selalu harus “begituan” kata anak muda jaman sekarang.  Kedua, tiada taksi, tiada bus malam, apalagi ojeklah yauw (dalam hati saya bersyukur  tinggal di  Indonesia punya tukang ojek. Sumpah).  Malam itu, meski kegembiraan saya begitu berwarna seperti kembang api dan  kegetirannya  seperti menelan pil pahit, saya tak punya pilihan lain untuk jalan kaki. Hem…1,5  jam.  Lengkap sudah malam pergantian tahun itu.    Ketiga, percaya tidak,  meski kami melewatkan malam tahun bersama, kami sama-sama  tak meninggalkan alamat   email, nomer telepon, atau apapun itu.  Bahkan nama belakang keluarganya saja saya tak tahu sampai sekarang.  Jam 3 pagi kami  sampai hotel,  pukul 05.00 saya  mengendap-endap keluar dari hotel. Sebelumnya kami sudah berpamitan.  Tobias masih mengantuk. Matanya keriyip-keriyip. Tapi dia masih  turun dari tempat tidur, memeluk saya. “Goodbye,” katanya.  Saya juga menjawab pendek.”Goodbye.”


Yogyakarta, 17 Juli 2011

Plesiran

Plesiran  adalah hobi yang kugandrungi sejak kecil. Nggak tahu ya, kalau setahun saja ndak berplesir ke suatu tempat baru, bisa sakau deh rasanya. Kebiasaan plesiran ke suatu tempat ini sudah di mulai dari keluarga. Sejak kecil, kami sekeluarga selalu berlibur di tempat baru.

Mulai piknik bawa makan, sampai  piknik yang serius sudah saya lakoni sejak kecil. Selalu menyenangkan bepergian bersama keluarga. Melihat pemandangan baru, menyaksikan suatu budaya baru, tempat baru, bahasa baru.

Nah, kebiasaan plesiran mulai saya praktekkan ketika saya jadi anak kos-kosan. Anak kos biasanya merantau dari berbagai daerah. Nah, setiap kali ada teman kos yang mudik, saya mbuntut di belakangnya alias ikut pergi. Tentu ndak memerlukan biaya menginap di hotel karena saya pasti  menginap di rumah teman itu. Paling-paling saya cukup menyediakan akomodasi bayar bus dari dan ke kota teman.

Maka, ketika saya tamat kuliah, Pulau Jawa sudah saya  singgahi dari ujung Barat sampai Timur. Jadi melancong itu tidak selalu harus mengeluarkan biaya banyak lho. Asal kreatif, kita bisa merambah ke dunia mana saja, asalkan kita ada usaha dan kemauan.

Hidup melancong.

Masih 14 Desember 2011

Ide

Begitu muncul di kepala, dan tidak menuliskannya, dia hanya seperti uap. Tak membekas. Saya punya banyak ide, tetapi karena tak menuliskannya, hilang begitu saja.

Lalu, saya sadar, kini mencoba menuliskannya. Tidak menguap. Dia menetap. Tetapi saya punya masalah baru.
Tak mempraktekkannya. Ya sudah...saya menikmati alur ini saja. Saya sadari.

Hidup memang begitu bukan?  :)

Yogyakarta, 14 Desember 2011




Pada Langit Aku Pulang

Pada langit aku pulang
Membawa kebahagiaan, kejenakaan,
juga kemarahan dan kesedihan

Pada langit aku pulang
Mengadu segala yang membuncah di dada
Hingga tak ada lagi yang tersisa

Yogyakarta, 14 Desember 2011















Aku, Meditasi, dan Keheningan

Sudah hampir dua tahun saya mengikuti meditasi. Up and down. Kadang saya rajin meditasi  5-30 menit setiap hari. Tetapi kadang tidak saya lakukan sama sekali.

Apa gunanya meditasi sebenarnya? Untuk sadar setiap saat dari waktu ke waktu. Itu saja. Saya punya masalah dengan kesadaran, maka saya terus berlatih. Soal berhasil atau tidak,  itu hanya soal waktu.

Yang jelas sejak saya mengikuti meditasi di Vihara Mendut, pada penganut Budha saya lebih menyukai keheningan. Membicarakan sesuatu yang perlu-perlu saja karena menyadari begitu banyak waktu saya yang habis untuk sesuatu yang tak berguna.

Dan bing bang begitu menyadarinya, saya merasa menyesal. Seharusnya saya bisa lebih banyak berkarya ketimbang menghabiskan waktu yang tak  perlu.  Bagaimanapun meditasi menyadarkan saya akan banyak hal. Tertarik untuk meditasi?

Monggo. Saya ikut Meditasi Mengenal Diri (MMD) bimbingan Hudoyo Hupudio dan Meditasi Pembebasan Diri yang  pembimbingnya Romo Sudrijanta Johanes. 


Yogyakarta, 14 Desember 2011





Selasa, 13 Desember 2011

PMS

Satu hal yang saya merasa kurang beruntung menjadi perempuan adalah harus mengalami menstruasi. Ini karena saya terkena endometeorosis. Karena itu, jika pas  palang merah, saya  kesakitan sampai gulung-gulung, perut melintir,  pucat pasi bahkan sampai sulit berjalan menjadi  langganan rutin tiap bulan.

Kadang-kadang saya ngiri dengan temen yang tidak bermasalah dengan menstruasi. Datang bulan seperti hari-hari biasa, tak ada bedanya.  Beda dengan saya yang mesti berjuang dari  segala kesakitan. Bekerja tak bisa, males ngomong, males makan.Mau begini salah mau begitu juga salah. Semuanya serba tidak menyenangkan. 

Selain rasa sakit di hari H, ada yang lebih gawat dari itu sebenarnya. Yup. Pre Menstrual Syndrom. Mengapa saya bilang gawat? Karena ketika mengalami ini, kita seperti kehilangan diri kita. Saya misalnya bisa emosi meledak tidak karuan ketika PMS. Hubungan dengan temen, keluarga, dan pacar bisa terganggu gara-gara ini. Tak jarang hubungan rusak karena terkena PMS. Hiii....

Agar sering tak salah paham, kadang-kadang saya minta diingatkan pacar saya (kalau pas sedang pacaran hihihi) agar lebih baik menjauh ketimbang kena semprot. Bahaya jack. Begitu masa itu lewat, semuanya juga akan baik-baik saja. Kembali normal seperti biasa.


Dari pengamatan saya, PMS tidak selalu diawali dengan  emosi yang tinggi. Ada kalanya saat PMS muncul, saya jadi suka berdandan. Wajah lebih bercahaya dan jadi terlihat cantik ketimbang hari biasa. Nah, kalau masa ini muncul senangnya....:)

Yang tak kalah repotnya sindrome PMS adalah  ketika libido muncul sementara saya belum punya kekasih. Wahhhh...sing ada lawan. Hahahaha. Kalau udah begitu, saya biasanya jogging. (emang ada hubungannya? hehehe) saya percaya olahraga bisa membuat kita sejenak melupakan  libido yang  tinggi hehehe.

Yang lebih penting dari semua itu, menyadari masa PMS itu akan hadir, jelas membuat saya lebih bisa mengontrol diri. Meski pada prakteknya sering kelupaan. yang paling senang kalau pasangan di sebelah kita memahami kondisi ini. Dan menjadi lebih sabar menghadapi perempuan PMS. Wah senangnya....:)

Yogyakarta, 14 Desember 2011




















KD, Raul, dan (Saya)


Ketika KD melakukan jumpa pers beberapa hari lalu, puluhan SMS mampir ke handphone saya. Macem-macem bunyinya. Tapi ada satu SMS yang cukup menggelitik sehingga mendorong saya menulis note ini. Bunyi SMS ini: "KD udah ngaku pacaran sama Raul. Masih mau ditahan juga tuh foto yang dijepret Rurit?

Apa hubungan KD, Raul, dan (saya)? Ini bermula ketika saya mendapat tugas meliput di negeri bekas provinsi ke-27 negara kita, Timor Leste, akhir Desember tahun lalu. Pertemuan itu tak sengaja. Saya diajak oleh Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao untuk hadir dalam acara ulang tahun Presiden Timor Leste Ramos Horta. Penawaran Pak PM hanya sesaat setelah usai wawancara selama dua jam setengah jam dari satu jam yang direncanakan.

Salah satu tugas dari kantor yang mesti saya lakoni adalah mewawancarai Pak Ramos Horta. Acara dadakan ini jelas di luar rencana saya. Tapi mendapat kesempatan tak terduga untuk wawancara Pak Ramos jelas seperti mendapat durian jatuh. Maklum, saya belum sempat memasukkan surat permohonan wawancara lantaran libur Natal kantor pemerintahan tutup.

Pak PM menjanjikan akan mengenalkan saya pada Pak Ramos untuk kepentingan wawancara tersebut. Pertemuan itu terjadilah. Sebelum acara peniupan lilin , kami bertiga bertemu. “Transaksi" permintaan wawancara kepada Pak Presdien berjalan mulus, cuma butuh waktu lima menit. Saya diterima Pak Presiden, pukul 10.00 tanggal 27 Desember, keesokan harinya, tanpa birokrasi yang ruwet. (Ah andai Indonesia seperti ini. Mungkin nggak ya?)

Pak PM, Pak Presiden, dan saya kemudian berpisah. (Ya jelaslah, saya, kan bukan first lady-nya?) Mereka kemudian ngobrol bersama tamu yang malam itu berjumlah tak lebih 150 orang.

Begitu sendirian, saya celingukan. Mata saya menyapu pada tamu undangan yang hadir, siapa tahu ada yang saya kenal. Saat itulah saya menangkap dua sosok yang begitu dikenal di Indonesia. Christine Hakim dan salah satu diva Indonesia, Kris Dayanti. Dari obrolan teman-teman dan media portal yang kadang saya baca, KD panggilan akrabnya, tengah menjadi perbincangan hangat karena terlibat kisah asmara dengan pengusaha asal Timor Leste, Raul Lemos. Menurut pemberitaan, Raul masih terikat hukum perkawinan dengan istrinya . Tapi kalau benar, kok berani betul ya Raul mengajak KD dalam acara resmi presiden yang pasti dihadiri oleh banyak tamu penting di negara itu. (Apalagi dari informasi yang dengar di TL, istri Raul, keponakan bekas Perdana Menteri Marie Alkatiri)

Malam itu, KD terlihat anggun dengan rambutnya yang disanggul. Dia mengenakan batik warna coklat tua. Wajah KD tak hentinya mengulum senyum. Bungah itu jelas terpancar dari matanya yang bersinar.

Tentu KD tak sendirian. Sesosok lelaki tinggi tegap, berkulit coklat, dan dandy, menemani KD. Lantaran belum pernah melihat wajahnya, saya hanya menduga dia Raul. Tapi apa peduli saya? Memikirkan harus menyiapkan wawancara dengan Pak Presiden keesokan harinya saja sudah membuat saya nervous. Jadi, mana sempat ngurusin yang begituan.

Merasa sesama Indonesia, saya menyalami Christin Hakim, dan memperkenalkan diri sebagai wartawan Tempo. Agak sok akrab memang. Tapi rasanya garing juga kalau saya cuma diam mematung. CH kelihatan cuek. Sebaliknya, KD menyapa dengan ramah. Kami pun ngobrol.

Kepada KD, pertanyaan saya datar, kapan tiba di Dili, ngapain datang ke acara ini, atas undangan siapa, berapa lama tinggal di Dili, apa komentar dia tentang Dili? Saya bahkan tak menanyakan nama pria yang terus digandeng KD sepanjang acara itu. Tapi KD sempat menyebut “Pak Raul” sebagai pengusaha Timor leste yang berpotensi memajukan Timor Leste. Dalam wawancara singkat kami, KD juga bercerita tentang album barunya bersama Siti Nurhaliza, penyanyi asal Malaysia.

Selama kami berbincang, sesekali KD melayani beberapa fans yang minta tandatangannya. Kadang-kadang ditengah obrolan kami, Raul membisikkan sesutu ke telinga KD. Begitu pula sebaliknya, ketika KD ingin berbicara dengan Raul, maka tubuhnya yang pendek berjinjit menjangkau kuping Raul. Sungguh serasi dan berseri-seri.

Tak lama setelah itu, cara di mulai. Untuk Pak Presiden, KD menyanyikan dua buah lagu, satu lagu Timor, dan lagu Barat berjudul When You Tell that you love me.

Sebelum acara selesai, saya pamit pulang lantaran sudah dijemput. Tapi saya minta di foto bersama KD atas permintaan kakak dan teman jika bertemu public figure. Penata rias KD yang khusus dia bawa dari Indonesia-lah yang menjepret pose kami.

Dengan profesi wartawan, mestinya saya punya banyak koleksi foto para artis, aktor, maupun pejabat. Tapi saya kurang menaruh minat. Satu-satunya public figure yang saya “ngotot” minta berfoto adalah bersama Wakil Presiden Boediono, yang sempat saya wawancara ketika masa kampanye. Saya mengagumi ketenangannya, kesantunannya, dan kecerdasannya.

Usai kami bertiga foto bersama, saya ijin menjepretkan kamera kepada mereka berdua. KD tak menolak, sebaliknya Raul agak keberatan. Kepada saya, KD berujar,“Ini eksklusif lho.Ini baru pertama kalinya foto kami berdua di depan publik yang dijepret wartawan.” Saya pun dengan polos bilang, “Wah beruntung dong saya.” Tapi Raul buru-buru menyela. “Fotonya jangan dijual ya.” Saya membalas pernyataan Raul. “Saya kan bukan koran gosip,” saya menjawab sekenanya. Maksud saya, bukan posi media tempat saya bernaung untuk membuat pemberitaan semacam ini. Ada yang lebih pas, yakni tabloid dan infotainment.

Kami lantas berpisah. Tak terduga, saat pulang ke Indonesia, kami satu pesawat. Begitu turun dari pesawat, saya berada dalam bus transit yang sama. KD-lah yang menyapa duluan. “Hei mbak ketemu lagi.” Dari cerita teman-teman dan artis yang pernah saya wawancara, KD dikenal orang yang ramah pada siapa saja. Dalam dandanan yang santai, KD jauh lebih terlihat segar. Rambutnya yang sebelumnya disanggul dibiarkan tergerai. Satu hal yang sama dengan pertemuan sebelumnya dia hangat dan selalu menyunggingkan senyum.

Begitu masuk bandara Bali, semua orang harus mengantri cap paspor. Padahal antrian sudah mengular. Ketika bermaksud mengantri, Raul menawarkan bantuan. “Sekalian saja kita urus.” “Wah kebetulan,” dalam hati saya. Paspor saya pun berpindah tangan dan diuruskan oleh orang Raul di bandara.

Selama kurang lebih 40 menit, saya mengobrol dengan KD. Raul hanya sesekali menimpali, itupun kalau saya tanya. Setelah urusan paspor kelar, kami berpisah. Kepada saya, KD bilang akan bertahun baru ke Hongkong bersama kakaknya yang lebih dulu berada di sana. Cerita pertemuan antara KD-Raul dan saya selesai sudah. Tapi ternyata tidak dengan urusan foto.

Begitu tiba di Indonesia, saya langsung liputan harian. Liputan Dili sempat saya lupakan. Tapi cerita KD soal album barunya, saya kirimkan untuk Koran.

Tak dinyana, seminggu setelah pemuatan di Koran pada bulan Januari, ada teman dari sebuah tabloid menanyakan apakah saya memiliki foto KD. Soal, bagaimana dia tahu kalau saya bertemu KD, saya duga dari tulisan yang sudah terbit. Saya berterus terang kalau memang memiliki foto KD. Dia berniat membeli foto yang menurut dia belum ada satu pun media yang memuatnya. Saya menolak karena berbagai alasan.

Dia mencecar saya dengan berbagai pertanyaan, antara lain alasan saya enggan memberikan foto itu. Saya sempat menjawab, “Karena memang bukan urusan saya.” Sang temen mash tetep ngotot. Dalam “perdebatan” itu, lama-lama, kok saya merasa menjadi korban intimidatif dia ya? Dia bilang soal jurnalisme, soal wartawan senior, dan bla bla bla. Waduh, kok malah saya yang jadi korban.

Teman saya “ngotot” memakai foto KD-Raul sebagai alat bukti yang menguatkan liputan mereka. Tapi di sisi lain, saya paham, mungkin dia mendapat tekanan dari kantor tempat dia bekerja, agar dengan cara apapun mendapat foto itu.

Tapi saya tetap tidak bersedia memberikan foto mereka berdua. Saya memang sempat memberikan tawaran, silahkan ambil foto, asal ijin KD, tapi dia menolaknya.

Setelah itu, tidak ada cerita lagi. Saya berpikir urusan ini selesai. Saya juga tak tertarik “berjualan” meski saya tahu nilai keeksklusifan foto KD-Raul. Hingga tiga bulan berjalan, tepatnya tiga minggu lalu, teman yang sama mencoba menghubungi saya kembali. Selain dia, ada teman media lain yang berminat terhadap foto itu tetapi tidak terlalu serius memang. Berbeda dengan tabloid teman saya yang memang benar-benar membutuhkan foto itu.

Dia meminta saya mempertimbangkan kembali pemuatan foto KD-Raul dan berkonsultasi dengan kantor Jakarta. Saya berkontak dengan redaksi di Jakarta dan mengatakan tidak akan memberikan foto itu. Rupanya urusan foto belum selesai. Pemimpin redaksi tempat dia bekerja, mengontak atasan saya, meminta koleksi foto KD. Bisa ditebak, urusan ini melebar. Bagian foto tak pernah menemukan foto itu lantaran tidak pernah saya laporkan di bagian pendataan foto. Atasan saya yang semula tidak tahu menjadi tahu.

Namun, teman dari Jakarta dan Biro menjelaskan duduk permasalahannya dengan para “petinggi” media kami. Beruntung, media tempat saya bernaung masih menghargai sikap saya . Mereka satu suara soal foto KD-Raul, menjadi hak saya untuk mengedarkan atau tidak, menjual atau menyimpan foto eksklusif itu.

Ada beberapa alasan saya keukuh tidak ingin mengedarkan foto itu saat semua media mencari foto mereka berdua. Pertama, urusan itu tak berdampak kepada publik. Sebagai contoh, kasus korupsi, penyelewengan jabatan dan kekuasaan dll. Kalau misalnya, KD atau Raul terlibat kriminal atau mereka terkena kasus korupsi yang melibatkan pejabat, bisa jadi foto itu saya edarkan. Tetapi untuk persoalan pribadi, itu bukan ranah saya.

Kedua komersialisasi industri infotainment sudah demikian mengerikan. Bombardir pemberitaan yang ditayangkan berulang-ulang terhadap satu kasus, membuat saya miris. Sebaliknya, masyarakat tak mendapat apapun, kecuali tontonan yang kurang mendidik.

Memang, jika foto itu tayang di tabloid, tak sedahsyat bila tayang di infotainment. Tapi bagaimana jika hasil jepretan di tabloid itu lantas dipakai oleh infotainment dan ditayangkan secara bombardir. Bukankah saya juga turut mendukung komersialisasi ini terjadi di depan mata?

Karena pemberitaan yang bombastis, orang bahkan lupa lagu-lagu yang dinyanyikan penyanyi, termasuk KD bisa menghibur kita yang tengah jatuh cinta, lara, bahagia. Saya tidak terlalu ngefans- amat dengan lagu-lagu KD. Cuma, kalau berkaraoke, saya tak pernah lupa menyanyikan dua buah lagunya, Menghitung hari dan Penantian.

Saya tidak pernah menyesal, foto itu hanya menjadi bagian koleksi pribadi semata. Meski ganjarannya, saya jelas tidak mendapat apa-apa, uang ataupun popularitas. Saya dengan sadar memilih itu. Alasan mendasarnya, saya ingin menyisakan ruang pada diri saya yang akhirnya saya bagikan juga di sini: secuil hati nurani yang belum mati. Saya percaya nurani tidak akan pernah mati, jika kita terus berusaha menjaganya.

Tanpa mengurangi rasa duka yang mendalam peristiwa Tanjung Priok, semoga sekeping kisah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 15 April 2010

Langit di atas Mekong

Perlukah Seseorang Mengggenggam Masa Lalu?

Apa yang Anda lakukan ketika seseorang yang Anda sayangi masih menyimpan foto-foto  perempuan yang pernah dia puja di telepon selulernya? Jawaban saya, kalau masih ada  seseorang yang masih menjalin  hubungan pada lelaki itu, tentulah dia orang yang tak waras.  Tentu saya orang yang waras. Karena itu, betapapun   menyayangi dia,  maka saya akan buru-buru angkat kaki meninggalkan dia, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.  Lebih baik asmara saya ambyar ketimbang  berlama-lama dengan orang yang hatinya mendua. Terlebih lagi, jika  pasangan kita  “tidak sadar’ bahwa  apa yang sudah dilakukannya  telah menyakiti pasangannya. Itu lebih gawat lagi.

 Memang, dibutuhkan  introspeksi  dan refleksi yang mendalam  dari seseorang untuk menyadari bahwa  kita menjadi  penyebab hancurnya sebuah hubungan.  Sayang, hanya sedikit orang yang melakukannya.  Alih-alih menyadari kesalahannya, biasanya  orang yang menghadapi hal demikian justru mengacungkan telunjuknya, menyalahkan orang lain. Nah,  orang yang tak menyadari dirinya dan enggan  berbenah diri biasanya punya mekanisme  menyerang orang lain untuk menutupi  kekurangannya.

Fokus tulisan ini sebenarnya bukan soal hubungan asmara. Tetapi lebih  pada pengalaman berbagi   tentang  masa lalu. Hubungan asmara hanyalah salah satu contoh untuk memudahkan saya  berbagi pengalaman.  Mengapa saya selama  ini survive, setidaknya  tidak pernah mengalami frustasi yang dalam,  atau paling parah mencoba bunuh diri  karena persoalan pekerjaan,  asmara, keluarga?  Jawabannya, karena  saya  tak ingin bersetubuh dengan  masa lalu.  Begitu sudah lewat, saya  cenderung menjalani  hidup ke depan, tanpa menoleh lagi ke belakang.  Rasanya  hidup begitu ringan, nyaris tanpa beban.

Saya punya teman, dia sudah bercerai, dan mati-matian ingin mencari suami  karena alasan ekonomi.  Alih-alih membangun hubungan baru, teman saya ini justru melakukan sesuatu yang menurut saya justru menghambat  relasinya dengan teman-teman prianya.  Dia masih menyimpan benda pemberian mantan suaminya  ketika masa  pacaran dulu, padahal  peristiwanya sudah lewat  20  tahun.  Bisa dipastikan hari-harinya muram, relasinya terhambat,  lantaran menggenggam masa lalu yang sebenarnya tak perlu.

Belakangan  ketika menekuni meditasi dalam dua tahun terakhir, saya baru tahu bahwa apa yang saya lakukan selama ini sudah on the track.  Mengingat-ingat masa lalu  hanyalah  menghambat seseorang  menjadi manusia tercerahkan atau menjadi  manusia bebas.  Dalam meditasi yang saya ikuti, masa lalu merupakan  sampah atau kotoran pikiran.  Ibarat hardisk, jika terus mengisinya dengan file  tanpa  pernah  dikosongkan, maka  komputer   bisa “hang”. Demikian pula masa lalu.  Jika pikiran ini terus menerus diisi masa lalu, lambat laun kemampuan berpikir kita pun  lambat laun  kacau.

Nah, bagaimana agar  tidak terjebak pada masa lalu. Prinsip kekinian, saat ini, kini, dan  di sini  diajarkan dalam meditasi. Dengan kekinian,  kita terus dilatih untuk sadar/eling. Menyadari terus menerus pikiran yang penuh masa lalu.  Tak mudah memang.  Saya pun belum sepenuhnya  terlepas dari  kotoran masa lalu. Dengan tekun berlatih  sadar setiap saat, maka niscaya, pikiran akan berhenti dengan sendirinya.  Dan setiap saat  kita  dengan ringan  akan mengucapkan  selamat tinggal pada masa lalu.

Yogyakarta, 7 November 2011

Yang terus berlatih  sadar setiap saat

Senin, 12 Desember 2011

Belajar Melepaskan Sesuatu


Wejangan YM. Sri Pannyavaro Mahatera

Di tulis ulang oleh Bernada Rurit

Meditasi Mengenal Diri (MMD)  bersifat universal. Agama apapun bisa mengikuti meditasi ini tanpa harus kehilangan imannya. Kalau dalam keseharian kita dituntut memburu atau mendapatkan sesuatu, seperti uang,jabatan, kekuasaan,  maka di sini Anda justru akan belajar melepaskan sesuatu. Jadi jika ada pertanyaan, dalam MMD anda mendapat apa? Saya justru bertanya sebaliknya. Anda  kehilangan apa setelah mengikuti meditasi.

Jelas, mengikuti MMD kita bukan  mendapatkan sesuatu atau mencari-cari sesuatu seperti yang diharapkan oleh kebanyakan orang. Ketika seseorang melatih meditasi maka dia sedang belajar melepaskan sesuatu. Melepaskan kebencian, melepaskan  kemarahan, ketakutan, dendam,  dan kecemasan

Melepaskan sesuatu jelas lebih sulit ketimbang memburu atau mendapatkan. Kalau kita mendapatkan sesuatu, jabatan, kekuasaan, uang dan lain-lain, maka kita akan merasa bahagia dan puas. Padahal kebahagiaan atau kepuasan itu hanya berlangsung sesaat dan tidak abadi.  Coba sebutkan kepuasan atau kebahagiaan apa yang berlangsung lama. Tidak ada bukan? Nah hanya dengan melepaskan sesuatu maka kita menjadi manusia yang bebas.

Melepaskan sesuatu ini membutuhkan latihan.  Di sini kita hanya memperhatikan pikiran, tanpa menilai, tanpa bereaksi. Sadar, hanya itu latihannya. Tanpa mengharapkan sesuatu, tanpa target, batin ini hanya menjadi penonton saja pikiran yang muncul. Sampai  pikiran ini diam dengan sendirinya. Selamat bermeditasi.


Meditasi Mengenal Diri 21-23 Oktober 2011 di Vihara Mendut

Cabe

Sanggupkah kalian menyantap sesuatu tanpa cabe di dalamnya?  Apalagi kalau yang disantap makanan jenis bakso, soto, mi kuah. Ya ampun! Makan tanpa cabe itu buat saya ibarat masak sayur tanpa garam, pacaran dengan kekasih tetapi tak pernah menikmati kecupannya. Hehhe yang terakhir mah agak lebay.  Tetapi asli makan sesuatu tanpa ho hah ho hah itu sungguh garing, tawar, nggak berasa apa-apa rasanya.


Saya ingat ketika di bangku sekolah dasar,  kami punya acara  rujakan bareng teman-teman.  Ide rujakan  ini kami buat karena masing-masing punya pohon  sendiri, ada yang memiliki pepaya, mangga, jambu. Nenas dan timun, karena umumnya tidak kami miliki, maka membeli di pasar salah satu solusinya. Tapi biasanya saya yang berinisiatif membelinya. Nah, buah hasil  kebun masing-masing disatukan, lalu dibuatlah bumbu rujaknya. Asyik ya pesta rujakan ini?

Di kampung saya, rujakan lebih popular dengan sebutan lutisan. Sebelum menentukan siapa pembuat bumbunya, saya bersama membuat ritual hompimpahalaiyumgambreng. Hasil akhirnya pingsutan yang kalah akan menjadi pembuat lutisan. Pembuat lutisan juga disesuaikan dengan si pembuat. Kami yang menang cuma pasrah bongkokan dengan pembuat bumbu. Di larang protes jika bumbu rujak rasanya tidak enak.

Apa hubungannya dengan cabe? Tentu ada. Secara umum bumbu lutisan terdiri dari gula merah, cabe, asem, bawang putih, dan kacang tanah yang digoreng. Tetapi ada yang punya kebiasaan menambahkan kencur agar segar. Ada pula yang menambahkan  terasi, agar aromanya lebih kuat dan rasanya lebih bernas. Nah, cabe inilah yang menentukan  “serunya”  rujakan bersama di masa kecil saya.

Saya masih ingat, di kampung saya Sumatera Selatan itu, ukuran cabe itu bukan berapa biji untuk satu kali lutisan? Tetapi berapa kilogram cabe yang akan dimasukkan dalam rmuan lutis? Bayangkan saja kepedasannya. Kalau bumbu lutisan biasanya warna dominannya adalah coklat gula Jawa, maka lutisan bikinan kelompok masa kecil kami berwarna merah saga.

Biasanya kesepakatan kami selalu berakhir di angka seperempat kilogram saja. Itu saja sudah membikin bibir kami semua jontor, njedir, muka merah meruap, telinga sampai pekak (budeg) saking panasnya.  Keringat  bercucuran di mana-mana. Dan ups…maaf umbel produksi dadakan ini meler kemana-mana. Saya ingat karena kami masih belia, maka kami kerap mengenakan ujung  kaos bagian bawah atau kerah baju untuk menyisihkan umbel itu. Yekssssss…kalau ingat betapa joroknya kami, kadang-kadang jadi malu jika mengenangnya.



Ho hah ho hah…Cuma itu aja lontaran mulut kami sepanjang acara lutisan bersama ini. Dan sekitar setengah jam kemudian acara pesta rujakan ini bubar dengan diakhiri  mengaduh-aduh kepedasan. Beberapa di antaranya mengeluh perutnya sakit. Besoknya, ketika kami bertemu di sekolah satu sama lain mengaku mencret-mencret. Toh, pesta rujakan dengan cabe gila-gilaan terus berlangsung bertahun-tahun, sampai kemudian hanya menjadi kenangan manis semata. Setamat SMP saya sudah pindah ke tanah Jawa dan menandai berakhirnya pesta rujakan itu.

Kegilaan saya pada cabe terus terjadi. Di Yogyakarta, rujakan saya beli melalui pedagang keliling yang memberi isyarat lewat bunyi-bunyiannya yang khas. “tek…tek …tek…tek…” Kami biasanya anak-anak kos langsung menghambur keluar. Berebutan pesan. Nah ini dia. Karena ritual rujakan di kampung halaman dengan cabe yang melimpah, maka biasanya  rujak pesanan saya  dengan cabe 15 biji. Mbak-mbak kos sampai melotot ngeri ketika saya pesan cabe sebanyak itu.

Dan suatu hari ketika saya menginjak bangku SMA, peristiwa itu terjadilah. Saya mengeluhkan sakit perut yang tiada henti. Sampai-sampai saya sulit berjalan. Dokter kemudian memberikan berita yang mengejutkan saya harus dioperasi karena terkena usus buntu.

Cabe salah satu faktornya. Dan begitulah, sejak operasi itu, cabe adalah satu benda yang harus saya jauhi. Sungguh mulut saya kuat menahan kepedasannya, tetapi tidak untuk  perut saya. Setelah 17 tahun berlalu, perut saya kian tak mau diajak bekerjasama dengan cabe.

Jika saya pesan gado-gado atau pecel dengan cabe satu biji saja, perut saya melilit kesakitan. Hingga suatu hari saya merasakan dampak cabe yang begitu hebat untuk tubuh saya. Saya pernah tidak bisa jalan, bahkan untuk ke toilet sekalipun.

Sungguh menderita. Bagaimana obatnya? Saya biasanya minum norit dan menghentikan konsumsi cabe sama sekali. Maka dua hari sakit itu hilang sama sekali.


Tetapi gara-gara cabe itu pula, saya setidaknya sudah di opname di rumah sakit tiga kali karena  usus atau lambungnya terluka. Tidak hanya mampu berjalan, saya muntah-muntah  dan diare sampai 25 kali sehari.  Jika sudah begini, di infuse dan masuk rumah sakit satu-satunya  solusi. Terakhir sepekan lalu peristiwa itu terjadi. Tubuh ini lemas, lunglai, benar-benar seperti tidak berfungsi.


Setelah sepekan dihajar muntah dan diare, rasa-rasanya saya sudah  mantap menyatakan “perang melawan cabe”. Cabe dehhhhh…..


Yogyakarta, 9 Desmeber 2011.

Mengapa Tjapoenk?

Tjapoenk, jika dilafalkan dengan ejaan baru akan berbunyi capung. Ya, ini adalah binatang capung yang terbang seperti kupu-kupu. Waktu  kecil, saya kerap berburu capung.  Warna warni capung sungguh  memikat hati saya. Tak hanya warnanya saja. memburu capung itu sendiri sudah menimbulkan sensasi tersendiri. Mengendap-endap, berjingkat-jingkat, dan terus berkonsentrasi  tinggat tinggi untuk menangkap capung. Dan ketika capung hinggap di atas dahan pohon atau bunga, belum tentu saya langsung happpp...menangkapnya. Capung yang punya ketajaman mengendus sesuatu yang bergerak di sekitarnya kerap merepotkan saya. Kalau saya beruntung hanya beberapa menit saja bisa menangkapnya. Tapi jika tak beruntung, setengah harian mengejar, saya kerap kecewa  harus pulang dengan tangan kosong.


Jika tertangkap yihaaa....muka saya yang meruam merah karena berlarian kesana kemari di tengah terik matahari akan bersinar-sinar. Menangkap sebuah capung pada akhirnya serupa orang mendapat lotere. Bahagianya. Setelah mereka tertangkap, biasanya saya akan memasukkan ke toples dan menutupinya dengan kain mori. Ini agar si capung masih menikmati udara dari kain yang bolong-bolong halus itu. Setelah beberapa hari, biasanya si capung akan "meninggal' karena tidak pernah ada makanan untuknya. Jelas saya tidak tahu, makanan capung kecuali sari-sari bunga yang dia hisap. Ada kalanya saya merasa kasian dengan si capung.  Hanya beberapa jam saya tangkap, saya akan melepaskan capung ke alam bebas. . (Saya tahu perbuatan ini jahat untuk si capung, kelak di kemudian hari saat saya mulai remaja.



Itu kenangan masa kecil saya dengan capung. Setelah beranjak remaja, saya baru  tahu bahwa capung hanya akan terbang di daerah yang bebas polusi. Makin daerah itu masih perawan dan belum terkontaminasi  polusi udara, maka  capung akan mudah ditemukan. Dan ini memang terbukti. Pernahkah kalian melihat capung di tengah kota yang udaranya tercemari polusi kendaraan?


Sejak  20 tahun terakhir, saya lebih banyak menghabiskan waktu di kota-kota besar. Capung-pun tinggal menjadi kenangan indah masa kecil saya. Tapi pilihan hidup capung yang hanya mau terbang di tempat perawan,  tak  mau terkontaminasi udara cemar, sama dengan nafas blog yang saya ciptakan. Menjaga kemurnian, dan tak ingin cemar menjadi filosofi  penulisan blog ini.  "Tjapoenk" dengan ejaan lama ini saya pikir bisa jadi branding yang cukup enak di kuping dan memudahkan orang melafalkannya.

Sama seperti warna warni capung yang memikat hati saya, semoga "Tjapoenk" memberi warna bagi pembaca di mana pun  berada.


Salam hangat

-BR-





 

tanggal 12 bulan 12

Dear friend,

Hari ini, tanggal 12, bulan 12, menjadi waktu paling bersejarah untukku. Membuat blog (dibuat oleh sepupu) dan akan konsisten mengisinya.

Blog kubuat tidak hanya sekedar mencatat suatu peristiwa semata. Lebih dari itu, tjapoenk dibuat untuk merefleksikan sesuatu tentang hidup.

Kelak, jika berpuluh tahun mendatang aku, sahabatku, keluargaku, atau mungkin anak dan suamiku membukanya, mereka bisa merasakan kekuatan  jiwa lewat tulisan yang kuhasilkan. suatu saat ketika  kami terpisah ruang dan waktu, aku tetap ada dalam diri mereka.

Sayang selalu untuk kalian semua.

Yogyakarta, 12 bulan 12 tahun 2012.

Bunga Asoka